Ini adalah esai singkat mengenai cerpen Senyum Karyamin karya Ahmad Tohari yang ditulis
oleh adik saya Khanafi, yang waktu itu masih mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Jenderal Soedirman
angkatan 2013. Ini adalah tugas kuliah pertama yang ditulisnya begitu
menjadi mahasiswa Semester 1 dan merupakan tugas mata kuliah Pengantar
Pengkajian Kesusastraan yang diampu oleh Bambang Lelono, dosen sekaligus
budayawan di Banyumas. Berikut esai singkat yang ditulis oleh Khanafi:
“Potret Kemiskinan dan Perlawanan dalam Cerpen SENYUM KARYAMIN Karya Ahmad Tohari"
Oleh: Khanafi
PENDAHULUAN
Cerpen
Ahmad Tohari yang berjudul Senyum Karyamin ini berkisah tentang seorang
laki-laki bernama Karyamin yang menjadi tokoh utama dalam kisah fiksi
ini. Tokoh ini digambarkan sebagai seseorang yang bekerja menjadi
pengumpul batu, pekerjaan yang berat dan tampaknya tidak memenuhi
kebutuhan hidupnya dan keluarganya.
Ahmad
Tohari mengawali cerita itu dengan memberikan deskripsi yang
mengisahkan bagaimana Karyamin saat sedang bekerja. Sebagai seorang
pengumpul batu, Karyamin harus memikul dua keranjang besar berisi
bebatuan dari sungai dan harus melewati tanjakan yang licin karena
dibasahi air yang menetes dari tubuh Karyamin dan kawan-kawan, yang
pulang balik mengangkat batu dari sungai ke pangkalan material di atas
sana.
Cerpen
Senyum Karyamin menggambarkan bagaimana suasana saat Karyamin dan
kawan-kawannya bekerja mengumpulkan batu; Karyamin yang didera rasa
lapar karena perut belum terisi, tidak mampu membeli pecel karena tidak
memiliki uang serta telah terlalu banyak hutang yang belum dibayarnya
kepada Saidah si penjual pecel (termasuk hutang kepada bank dan tukang
edar kupon buntut yang selalu menagih kepada istrinya) serta
kawan-kawannya yang mencari hiburan dengan menertawakan diri mereka
sendiri dan menertawakan kemalangan yang menimpa orang lain. Terlebih
lagi, tengkulak sebagai orang yang membeli batu-batu yang mereka
kumpulkan itu kabur membawa truk dan tidak membayar gaji para pengumpul
batu termasuk Karyamin.
Cerpen
yang mengambil setting pedesaan ini sungguh menyentuh hati nurani
penulis, cerpen Senyum Karyamin yang menggambarkan bagaimana seorang
Karyamin yang bekerja keras namun tidak mendapatkan hasil dari kerja
kerasnya; uang yang seharusnya di bayarkan kepada Karyamin dan para
pekerja pengumpul batu raib di bawa oleh tengkulak mereka. Ironisnya,
pada akhir cerita, di puncak kemalangannya, Karyamin yang jelas-jelas
kelaparan dan tidak memiliki uang malah di mintai sumbangan oleh pamong
desa untuk setor dana Afrika; dana untuk menolong orang-orang yang
kelaparan di sana padahal mereka sendiri masih kekurangan.
PEMBAHASAN
Di
bagian ini, dipaparkan dua analisis terhadap cerpen Senyum Karyamin
karya Ahmad Tohari. Yang pertama adalah pembahasan mengenai potret
kemiskinan dalam cerpen Senyum Karyamin karya Ahmad Tohari dan yang
kedua adalah pembahasan mengenai “senyum” Karyamin sebagai representasi
perlawanan rakyat kecil.
Potret Kemiskinan dalam Senyum Karyamin Karya Ahmad Tohari
Cerpen
Senyum Karyamin karya Ahmad Tohari menceritakan tentang tokoh Karyamin
yang miskin dan harus bekerja keras untuk menyambung hidupnya
sehari-hari. Ia bekerja sebagai pengumpul batu yang harus selalu “...melangkah pelan dan sangat hati-hati.” karena harus memikul “[B]eban yang menekan pundaknya .... yang digantungi dua keranjang batu kali.” Sementara itu, “[J]alan
tanah yang sedang didakinya sudah licin dibasahi air yang menetes dari
tubuh Karyamin dan kawan-kawan, yang pulang balik mengangkat batu dari
sungai ke pangkalan material di atas sana” sehingga medan yang harus ia
lewati, amatlah berat. Sedikit saja, ia ceroboh atau lengah, ia bisa
terpeleset, dan terjatuh bersama dua keranjang berisi batu yang
dipikulnya."
Kerja
keras kaum pekerja kelas bawah seperti yang dilakukan oleh Karyamin dan
teman-temannya bukannya tanpa resiko, justru resiko itu selalu ada dan
menghadang tepat di depan mata mereka. Karyamin harus sangat hati-hati,
agar ia selamat membawa batu-batu dalam keranjangnya melewati tanjakan.
Sebagaimana digambarkan dalam narasi berikut:
“Karyamin
sudah berpengalaman agar setiap perjalanannya selamat. Yakni berjalan
menanjak sambil menjaga agar titik berat beban dan badannya tetap berada
pada telapak kaki kiri atau kanannya. Pemindahan titik berat dari kaki
kiri ke kaki kananya pun harus dilakukan dengan baik. Karyamin harus
memperhitungkan tarikan napas serta ayunan tangan demi keseimbangan yang
sempurna.”
Meskipun
demikian, Karyamin yang sudah terbiasa dengan pekerjaannya pun masih
juga terpeleset dan terjatuh saat melewati tanjakan yang licin.
Sebagaimana digambarkan dalam narasi berikut:
“Meskipun
demikian, pagi ini Karyamin sudah dua kali tergelincir. Tubuhnya rubuh
lalu menggelinding ke bawah, berkejaran dengan batu-batu yang tumpah
dari keranjangnya......”
Potret kemiskanan dalam cerpen Senyum Karyamin karya Ahmad Tohari juga terlihat dalam deskripsi “....Min,
kamu ingat anak-anak muda petugas bank harian itu? Jangan kira mereka
hanya datang setiap hari buat menagih setoran kepada istrimu....” yang
menunjukan bahwa Karyamin memiliki utang kepada bank harian. Kecilnya
penghasilan yang ia terima sehari-hari, membuatnya terpaksa menumpuk
hutang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Selain
itu, penggambaran mengenai kondisi Karyamin ketika bekerja yang
kemudian didera rasa lapar juga menunjukkan potret kemiskinan yang
begitu jelas, sebab hanya orang miskinlah yang kelaparan serta tidak
mampu membeli makanan meski untuk sekadar mengganjal perutnya.
Sebagaimana digambarkan dalam narasi berikut, kelaparan menyebabkan
Karyamin kehilangan fokus dan tak mampu bekerja dengan benar, sebab tak
ada satupun kalori makanan yang dibakar menjadi energi:
“Dan
Karyamin masih terduduk sambil memandang kedua keranjangnya yang
berantakan dan hampa. Angin yang bertiup lemah membuat kulitnya
merinding, meski matahari sudah cukup tinggi. Burung paruh udang kembali
melintas di atasnya. Karyamin ingin menyumpahinya, tetapi tiba-tiba
rongga matanya penuh bintang. Terasa ada sarang lebah di dalam
telinganya. Terdengar bunyi keruyuk dari lambungnya yang hanya berisi
hawa. Dan mata Karyamin menangkap semuanya menjadi kuning
berbinar-binar.”
Meskipun dalam kondisi tanpa tenaga, “[D]i bawah pohon waru” ketika “Saidah sedang menggelar daganganya, nasi pecel.” Karyamin tidak memesan makanan. padahal “[J]akun Karyamin turun naik.” dan “[U]susnya terasa terpilin”. Hal
itu disebabkan karena ia tak memiliki uang sepeserpun untuk membeli
makanan. Pun ketika Saidah menawarkan makanan secara cuma-cuma karena “Saidah memperhatikan bibirnya yang membiru dan telapak tangannya yang pucat.”dan “Saudah mendengar suara keruyuk dari perut Karyamin.”
Karyamin
telah teramat kelaparan, tapi kemiskinan membuatnya tak mampu membuat
perutnya terisi. Ketika ditawari makan oleh Saidah, Karyamin berkata “[T]idak. Beri aku minum saja. Daganganmu sudah ciut seperti itu. Aku tak ingin menambah utang.”
Saidah,
penjual pecel itu pun berusaha membujuk Karyamin agar mau makan. Ia
melihat betapa temannya itu teramat kelaparan. Namun, ketiadaan uang
membuat Karyamin menolak bujukan itu. Ini terlihat jelas dalam narasi
berikut:
“Makan,
ya Min? Aku tak tahan melihat orang lapar. Tak usah bayar dulu. Aku
sabar menunggu tengkulak datang. Batumu juga belum dibayarnya, kan?”
............................
“Jadi, kamu sungguh tak mau makan, Min?” tanya Saidah ketika melihat Karyamin bangkit.
“Tidak.
Kalau kamu tak tahan melihat aku lapar, aku pun tak tega melihat
daganganmu habis karena utang-utangku dan kawan-kawanku.”
Dari
kutipan di atas tampak jelas solidaritas Saidah kepada Karyamin.
Kepedulian sesama orang kecil. Saidah yang juga orang kecil seperti
Karyamin memiliki rasa kemanusiaan dan rasa peduli terhadap sesama
orang kecil. Sebagai sesama orang kecil yang hidup dalam kemiskinan,
Saidah barangkali tahu bagaimana rasanya kelaparan, sehingga ia terus
membujuk Karyamin untuk mengisi perutnya dan membayarnya lain kali.
Meskipun demikian, Karyamin tetap menolak.
“Senyum” Karyamin sebagai Representasi Perlawanan Rakyat Kecil
Dalam
cerpen Senyum Karyamin, berulang kali Ahmad Tohari menyebutkan betapa
orang-orang kecil yang bekerja menjadi pengumpul batu ini sedemikian
suka tertawa. Tohari menyebutkan bahwa “[M]ereka, para pengumpul batu itu, senang mencari hiburan dengan cara menertawakan diri mereka sendiri”. Dunia
mereka ibaratnya, dipenuh-sesaki oleh kegetiran; pekerjaan yang berat,
uang yang tak seberapa, rasa lapar tak terkira, dan hidup yang papa.
Para pengumpul batu ini juga tertawa ketika melihat perempuan-perempuan yang baru pulang dari pasar. “Mereka senang mencari hiburan dengan cara melihat perempuan yang mengangkat kain tinggi-tinggi.” Bagi mereka, memandang para perempuan ini “bisa
melupakan buat sementara perihnya jemari yang selalu mengais bebatuan;
tentang tengkulak yang sudah setengah bulan menghilang dengan membawa
satu truk batu yang belum dibayarnya; tentang tukang nasi pecel yang
siang nanti pasti datang menagih mereka. Dan tentang nomor buntut yang
selalu gagal mereka tangkap.”
Begitupun,
ketika melihat Karyamin terpeleset dan terjatuh bersama batu-batu yang
ia pikul, yang kemudian menggelinding ke bawah, sebagaimana dalam
petikan yang menceritakan ketika Karyamin “...kehilangan
keseimbangan. Tubuhnya bergulir sejenak, lalu jatuh tertunduk dibarengi
suara dua keranjang batu yang ruah. Tubuh itu ikut meluncur, tetapi
terhenti karena tangan Karyamin berhasil mencengkeram rerumputan.” teman-temannya menertawakannya.
Dalam cerpennya, Ahmad Tohari menggambarkan betapa para pengumpul batu ini “memang pandai bergembira dengan cara menertawakan diri mereka sendiri.” Karyamin
sendiri hanya tersenyum kepada kawan-kawannya saat kawan-kawannya
menertawakannya. Senyum adalah daya tahan terakhir yang bisa Karyamin
tampilkan saat ditertawakan oleh kawan-kawannya, senyum Karyamin yang
terlihat adalah bukan karena Karyamin bahagia melainkan karena tak ada
lagi yang bisa membuatnya benar-benar bahagia, senyum karyamin adalah
representasi perlawanan rakyat kecil terhadap kondisi yang tidak lagi
bisa dilawannya. Mekipun Karyamin kelaparan dan kelelahan, namun
Karyamin hendak melawan itu semua dengan tersenyum dan tertawa, Karyamin
percaya bahwa dia masih memiliki kebahagiaan yaitu keluarganya.
Karyamin jarang ikut tertawa. Ia lebih sering hanya tersenyum saja. Bagi para pengumpul batu, “tawa
atau senyum sama-sama sah sebagai perlindungan terakhir. Tawa dan
senyum bagi mereka adalah simbol kemenangan terhadap tengkulak, terhadap
rendahnya harga batu, atau terhadap licinnya tanjakan.” Dan senyum Karyamin pada pagi itu “menjadi tanda kemenangan atas perutnya yang sudah mulai melilit dan matanya yang berkunang-kunang.”
Contoh narasi yang menunjukan bagaimana para pakerja pengumpul batu mencari hiburan dengan mendengarkan “...Suara
gelak tawa mereka yang riuh di antara bunyi benturan batu-batu yang
mereka lempar ke tepi sungai. Air sungai mendesau-desau oleh
langkah-langkah mereka. Ada daun jati melayang, kemudian jatuh di
permukaan sungai dan bergerak menentang arus karena tertiup angin. Agak
di hilir sana terlihat tiga perempuan pulang dari pasar dan siap
menyeberang. Para pencari batu itu diam. Mereka senang mencari hiburan
dengan cara melihat perempuan yang mengangkat kain tinggi-tinggi.”
Di
akhir cerpen Senyum Karyamin, Ahmad Tohari menggambarkan suatu keadaan
yang paradoksal sebagaimana dalam narasi ketika Karyamin bertemu dengan
pak Pamong:
“Nah, akhirnya kamu ketemu juga, Min. Kucari kau di rumah, tak ada. Di pangkalan batu, tak ada. Kamu mau menghindar, ya?”
“Menghindar?”
“Ya,
kamu memeng mbeling, Min. Di gerumbul ini hanya kamu yang belum
berpartisipasi. Hanya kamu yang belum setor uang dana Afrika, dana untuk
menolong orang-orang yang kelaparan di sana. Nah, sekarang hari
terakhir. Aku tak mau lebih lama kau persulit.”
Karyamin
mendengar suara napas sendiri. Samar-samar Karyamin juga mendengar
detak jantung sendiri. Tetapi karyamin tidak melihat bibir sendiri yang
mulai menyungging senyum. Senyum yang sangat baik untuk mewakili
kesadaran yang mendalam akan diri serta situasi yang harus dihadapinya.
Sayangnya, Pak Pamong malah menjadi marah oleh senyum Karyamin.
“Kamu menghina aku, Min?”
“Tidak, Pak. Sungguh tidak.”
“Kalau tidak, mengapa kamu tersenyum-senyum? Hayo cepat; mana uang iuranmu?”
Kali
ini Karyamin tidak hanya tersenyum, melainkan tertawa keras-keras.
Demikian keras sehingga mengundang seribu lebah masuk ke telinganya,
seribu kunang masuk ke matanya. Lambungnya yang kampong
berguncang-guncang dan merapuhkan keseimbangan seluruh tubuhnya. Ketika
melihat tubuh Karyamin jatuh terguling ke lembah Pak Pamong berusaha
menahannya. Sayang, gagal.”
Ironis,
ketika Karyamin tengah berjuang melawan lapar yang membuat tubuhnya
lemas dan nyaris pingsan, Pak Pamong malah datang untuk menagih dana
iuran yang akan disumbangkan untuk orang-orang yang kelaparan di Afrika.
Karyamin tersenyum dan tertawa ketika ia terus ditagih untuk membayar
iuran karena ia bahkan tak memiliki sepeserpun uang untuk membeli
makanan yang bisa mengganjal perutnya. Ia tersenyum dan tertawa
menyaksikan betapa abai Pak Pamong dengan kondisi warganya sendiri yang
kelaparan dan tak punya uang tapi diminta untuk menyumbang dana
pengentasan kelaparan bagi orang-orang yang begitu jauh di Afrika sana.
Senyum dan tawa Karyamin menunjukkan sebuah perlawanan pada
ketidakadilan yang berada tepat di depan matanya, yang ia tak mampu
melawannya selain dengan senyuman. Ketidakadilan yang jelas-jelas
merentangkan jarak antara pamong pemerintah desa dan rakyatnya sendiri
yang papa.
PENUTUP
Cerpen
Senyum Karyamin karya Ahmad Tohari menggambarkan tentang potret
kemiskinan di desa-desa, di mana orang-orang bekerja keras namun tak
memperoleh upah yang sepadan. Seperti yang ditunjukan melalui Karyamin
tokoh utama dalam cerpen itu yang mati jatuh ke lembah meninggalkan
senyum dan tawa yang mewakili keadaan yang ironis ketika Pak Pamong yang
meminta dana untuk membantu orang-orang kelaparan di Afrika sana
padahal Karyamin sendiri, warga desanya sendiri, membutuhkan bantuan.
Pada saat Karyamin jatuh menggelinding, Pak Pamong gagal setelah
berusaha menahannya sehingga karyamin pun mati jatuh ke lembah. Pamong
desa yang semestinya mampu melindungi warga desanya sendiri gagal sejak
ia abai melihat kondisi warganya yang miskin dan kelaparan. Ia malah
ribut mengumpulkan iuran dana Afrika dan luput melihat kenyataan yang
membentang di hadapan matanya.
No comments:
Post a Comment