Follow Us @soratemplates

Monday, November 12, 2018

“Potret Kemiskinan dan Perlawanan dalam Cerpen Senyum Karyamin Karya Ahmad Tohari"

Ini adalah esai singkat mengenai cerpen Senyum Karyamin karya Ahmad Tohari yang ditulis oleh adik saya Khanafi, yang waktu itu masih mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Jenderal Soedirman angkatan 2013. Ini adalah tugas kuliah pertama yang ditulisnya begitu menjadi mahasiswa Semester 1 dan merupakan tugas mata kuliah Pengantar Pengkajian Kesusastraan yang diampu oleh Bambang Lelono, dosen sekaligus budayawan di Banyumas. Berikut esai singkat yang ditulis oleh Khanafi:


“Potret Kemiskinan dan Perlawanan dalam Cerpen SENYUM KARYAMIN Karya Ahmad Tohari"
Oleh: Khanafi 



PENDAHULUAN
Cerpen Ahmad Tohari yang berjudul Senyum Karyamin ini berkisah tentang seorang laki-laki bernama Karyamin yang menjadi tokoh utama dalam kisah fiksi ini. Tokoh ini digambarkan sebagai seseorang yang bekerja menjadi pengumpul batu, pekerjaan yang berat dan tampaknya tidak memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarganya. 

Ahmad Tohari mengawali cerita itu dengan memberikan deskripsi yang mengisahkan bagaimana Karyamin saat sedang bekerja. Sebagai seorang pengumpul batu, Karyamin harus memikul dua keranjang besar berisi bebatuan dari sungai dan harus melewati tanjakan yang licin karena dibasahi air yang menetes dari tubuh Karyamin dan kawan-kawan, yang pulang balik mengangkat batu dari sungai ke pangkalan material di atas sana. 

Cerpen Senyum Karyamin menggambarkan bagaimana suasana saat Karyamin dan kawan-kawannya bekerja mengumpulkan batu; Karyamin yang didera rasa lapar karena perut belum terisi, tidak mampu membeli pecel karena tidak memiliki uang serta telah terlalu banyak hutang yang belum dibayarnya kepada Saidah si penjual pecel (termasuk hutang kepada bank dan tukang edar kupon buntut yang selalu menagih kepada istrinya) serta kawan-kawannya yang mencari hiburan dengan menertawakan diri mereka sendiri dan menertawakan kemalangan yang menimpa orang lain. Terlebih lagi, tengkulak sebagai orang yang membeli batu-batu yang mereka kumpulkan itu kabur membawa truk dan tidak membayar gaji para pengumpul batu termasuk Karyamin.

Cerpen yang mengambil setting pedesaan ini sungguh menyentuh hati nurani penulis, cerpen Senyum Karyamin yang menggambarkan bagaimana seorang Karyamin yang bekerja keras namun tidak mendapatkan hasil dari kerja kerasnya; uang yang seharusnya di bayarkan kepada Karyamin dan para pekerja pengumpul batu raib di bawa oleh tengkulak mereka. Ironisnya, pada akhir cerita, di puncak kemalangannya, Karyamin yang jelas-jelas kelaparan dan tidak memiliki uang malah di mintai sumbangan oleh pamong desa untuk setor dana Afrika; dana untuk menolong orang-orang yang kelaparan di sana padahal mereka sendiri masih kekurangan.

PEMBAHASAN
Di bagian ini, dipaparkan dua analisis terhadap cerpen Senyum Karyamin karya Ahmad Tohari. Yang pertama adalah pembahasan mengenai potret kemiskinan dalam cerpen Senyum Karyamin karya Ahmad Tohari dan yang kedua adalah pembahasan mengenai “senyum” Karyamin sebagai representasi perlawanan rakyat kecil. 

Potret Kemiskinan dalam Senyum Karyamin Karya Ahmad Tohari
Cerpen Senyum Karyamin karya Ahmad Tohari menceritakan tentang tokoh Karyamin yang miskin dan harus bekerja keras untuk menyambung hidupnya sehari-hari. Ia bekerja sebagai pengumpul batu yang harus selalu “...melangkah pelan dan sangat hati-hati.” karena harus memikul “[B]eban yang menekan pundaknya .... yang digantungi dua keranjang batu kali.” Sementara itu, “[J]alan tanah yang sedang didakinya sudah licin dibasahi air yang menetes dari tubuh Karyamin dan kawan-kawan, yang pulang balik mengangkat batu dari sungai ke pangkalan material di atas sana” sehingga medan yang harus ia lewati, amatlah berat. Sedikit saja, ia ceroboh atau lengah, ia bisa terpeleset, dan terjatuh bersama dua keranjang berisi batu yang dipikulnya." 

Kerja keras kaum pekerja kelas bawah seperti yang dilakukan oleh Karyamin dan teman-temannya bukannya tanpa resiko, justru resiko itu selalu ada dan menghadang tepat di depan mata mereka. Karyamin harus sangat hati-hati, agar ia selamat membawa batu-batu dalam keranjangnya melewati tanjakan. Sebagaimana digambarkan dalam narasi berikut:

Karyamin sudah berpengalaman agar setiap perjalanannya selamat. Yakni berjalan menanjak sambil menjaga agar titik berat beban dan badannya tetap berada pada telapak kaki kiri atau kanannya. Pemindahan titik berat dari kaki kiri ke kaki kananya pun harus dilakukan dengan baik. Karyamin harus memperhitungkan tarikan napas serta ayunan tangan demi keseimbangan yang sempurna.”

Meskipun demikian, Karyamin yang sudah terbiasa dengan pekerjaannya pun masih juga terpeleset dan terjatuh saat melewati tanjakan yang licin. Sebagaimana digambarkan dalam narasi berikut: 

“Meskipun demikian, pagi ini Karyamin sudah dua kali tergelincir. Tubuhnya rubuh lalu menggelinding ke bawah, berkejaran dengan batu-batu yang tumpah dari keranjangnya......”

Potret kemiskanan dalam cerpen Senyum Karyamin karya Ahmad Tohari juga terlihat dalam deskripsi “....Min, kamu ingat anak-anak muda petugas bank harian itu? Jangan kira mereka hanya datang setiap hari buat menagih setoran kepada istrimu....” yang menunjukan bahwa Karyamin memiliki utang kepada bank harian. Kecilnya penghasilan yang ia terima sehari-hari, membuatnya terpaksa menumpuk hutang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Selain itu, penggambaran mengenai kondisi Karyamin ketika bekerja yang kemudian didera rasa lapar juga menunjukkan potret kemiskinan yang begitu jelas, sebab hanya orang miskinlah yang kelaparan serta tidak mampu membeli makanan meski untuk sekadar mengganjal perutnya. Sebagaimana digambarkan dalam narasi berikut, kelaparan menyebabkan Karyamin kehilangan fokus dan tak mampu bekerja dengan benar, sebab tak ada satupun kalori makanan yang dibakar menjadi energi:

“Dan Karyamin masih terduduk sambil memandang kedua keranjangnya yang berantakan dan hampa. Angin yang bertiup lemah membuat kulitnya merinding, meski matahari sudah cukup tinggi. Burung paruh udang kembali melintas di atasnya. Karyamin ingin menyumpahinya, tetapi tiba-tiba rongga matanya penuh bintang. Terasa ada sarang lebah di dalam telinganya. Terdengar bunyi keruyuk dari lambungnya yang hanya berisi hawa. Dan mata Karyamin menangkap semuanya menjadi kuning berbinar-binar.” 

Meskipun dalam kondisi tanpa tenaga, “[D]i bawah pohon waru” ketika “Saidah sedang menggelar daganganya, nasi pecel.” Karyamin tidak memesan makanan. padahal “[J]akun Karyamin turun naik.” dan “[U]susnya terasa terpilin”. Hal itu disebabkan karena ia tak memiliki uang sepeserpun untuk membeli makanan. Pun ketika Saidah menawarkan makanan secara cuma-cuma karena “Saidah memperhatikan bibirnya yang membiru dan telapak tangannya yang pucat.”dan “Saudah mendengar suara keruyuk dari perut Karyamin.” 

Karyamin telah teramat kelaparan, tapi kemiskinan membuatnya tak mampu membuat perutnya terisi. Ketika ditawari makan oleh Saidah, Karyamin berkata “[T]idak. Beri aku minum saja. Daganganmu sudah ciut seperti itu. Aku tak ingin menambah utang.” 

Saidah, penjual pecel itu pun berusaha membujuk Karyamin agar mau makan. Ia melihat betapa temannya itu teramat kelaparan. Namun, ketiadaan uang membuat Karyamin menolak bujukan itu. Ini terlihat jelas dalam narasi berikut:

“Makan, ya Min? Aku tak tahan melihat orang lapar. Tak usah bayar dulu. Aku sabar menunggu tengkulak datang. Batumu juga belum dibayarnya, kan?” 
............................
“Jadi, kamu sungguh tak mau makan, Min?” tanya Saidah ketika melihat Karyamin bangkit.

“Tidak. Kalau kamu tak tahan melihat aku lapar, aku pun tak tega melihat daganganmu habis karena utang-utangku dan kawan-kawanku.”

Dari kutipan di atas tampak jelas solidaritas Saidah kepada Karyamin. Kepedulian sesama orang kecil. Saidah yang juga orang kecil seperti Karyamin memiliki rasa kemanusiaan dan rasa peduli terhadap sesama orang kecil. Sebagai sesama orang kecil yang hidup dalam kemiskinan, Saidah barangkali tahu bagaimana rasanya kelaparan, sehingga ia terus membujuk Karyamin untuk mengisi perutnya dan membayarnya lain kali. Meskipun demikian, Karyamin tetap menolak. 

“Senyum” Karyamin sebagai Representasi Perlawanan Rakyat Kecil
Dalam cerpen Senyum Karyamin, berulang kali Ahmad Tohari menyebutkan betapa orang-orang kecil yang bekerja menjadi pengumpul batu ini sedemikian suka tertawa. Tohari menyebutkan bahwa “[M]ereka, para pengumpul batu itu, senang mencari hiburan dengan cara menertawakan diri mereka sendiri”. Dunia mereka ibaratnya, dipenuh-sesaki oleh kegetiran; pekerjaan yang berat, uang yang tak seberapa, rasa lapar tak terkira, dan hidup yang papa. 

Para pengumpul batu ini juga tertawa ketika melihat perempuan-perempuan yang baru pulang dari pasar. “Mereka senang mencari hiburan dengan cara melihat perempuan yang mengangkat kain tinggi-tinggi.” Bagi mereka, memandang para perempuan ini “bisa melupakan buat sementara perihnya jemari yang selalu mengais bebatuan; tentang tengkulak yang sudah setengah bulan menghilang dengan membawa satu truk batu yang belum dibayarnya; tentang tukang nasi pecel yang siang nanti pasti datang menagih mereka. Dan tentang nomor buntut yang selalu gagal mereka tangkap.”

Begitupun, ketika melihat Karyamin terpeleset dan terjatuh bersama batu-batu yang ia pikul, yang kemudian menggelinding ke bawah, sebagaimana dalam petikan yang menceritakan ketika Karyamin “...kehilangan keseimbangan. Tubuhnya bergulir sejenak, lalu jatuh tertunduk dibarengi suara dua keranjang batu yang ruah. Tubuh itu ikut meluncur, tetapi terhenti karena tangan Karyamin berhasil mencengkeram rerumputan.” teman-temannya menertawakannya. 

Dalam cerpennya, Ahmad Tohari menggambarkan betapa para pengumpul batu ini “memang pandai bergembira dengan cara menertawakan diri mereka sendiri.” Karyamin sendiri hanya tersenyum kepada kawan-kawannya saat kawan-kawannya menertawakannya. Senyum adalah daya tahan terakhir yang bisa Karyamin tampilkan saat ditertawakan oleh kawan-kawannya, senyum Karyamin yang terlihat adalah bukan karena Karyamin bahagia melainkan karena tak ada lagi yang bisa membuatnya benar-benar bahagia, senyum karyamin adalah representasi perlawanan rakyat kecil terhadap kondisi yang tidak lagi bisa dilawannya. Mekipun Karyamin kelaparan dan kelelahan, namun Karyamin hendak melawan itu semua dengan tersenyum dan tertawa, Karyamin percaya bahwa dia masih memiliki kebahagiaan yaitu keluarganya.

Karyamin jarang ikut tertawa. Ia lebih sering hanya tersenyum saja. Bagi para pengumpul batu, “tawa atau senyum sama-sama sah sebagai perlindungan terakhir. Tawa dan senyum bagi mereka adalah simbol kemenangan terhadap tengkulak, terhadap rendahnya harga batu, atau terhadap licinnya tanjakan.” Dan senyum Karyamin pada pagi itu “menjadi tanda kemenangan atas perutnya yang sudah mulai melilit dan matanya yang berkunang-kunang.” 

Contoh narasi yang menunjukan bagaimana para pakerja pengumpul batu mencari hiburan dengan mendengarkan “...Suara gelak tawa mereka yang riuh di antara bunyi benturan batu-batu yang mereka lempar ke tepi sungai. Air sungai mendesau-desau oleh langkah-langkah mereka. Ada daun jati melayang, kemudian jatuh di permukaan sungai dan bergerak menentang arus karena tertiup angin. Agak di hilir sana terlihat tiga perempuan pulang dari pasar dan siap menyeberang. Para pencari batu itu diam. Mereka senang mencari hiburan dengan cara melihat perempuan yang mengangkat kain tinggi-tinggi.”

Di akhir cerpen Senyum Karyamin, Ahmad Tohari menggambarkan suatu keadaan yang paradoksal sebagaimana dalam narasi ketika Karyamin bertemu dengan pak Pamong:

“Nah, akhirnya kamu ketemu juga, Min. Kucari kau di rumah, tak ada. Di pangkalan batu, tak ada. Kamu mau menghindar, ya?”

“Menghindar?”

“Ya, kamu memeng mbeling, Min. Di gerumbul ini hanya kamu yang belum berpartisipasi. Hanya kamu yang belum setor uang dana Afrika, dana untuk menolong orang-orang yang kelaparan di sana. Nah, sekarang hari terakhir. Aku tak mau lebih lama kau persulit.”

Karyamin mendengar suara napas sendiri. Samar-samar Karyamin juga mendengar detak jantung sendiri. Tetapi karyamin tidak melihat bibir sendiri yang mulai menyungging senyum. Senyum yang sangat baik untuk mewakili kesadaran yang mendalam akan diri serta situasi yang harus dihadapinya. Sayangnya, Pak Pamong malah menjadi marah oleh senyum Karyamin.

“Kamu menghina aku, Min?”

“Tidak, Pak. Sungguh tidak.”

“Kalau tidak, mengapa kamu tersenyum-senyum? Hayo cepat; mana uang iuranmu?”

Kali ini Karyamin tidak hanya tersenyum, melainkan tertawa keras-keras. Demikian keras sehingga mengundang seribu lebah masuk ke telinganya, seribu kunang masuk ke matanya. Lambungnya yang kampong berguncang-guncang dan merapuhkan keseimbangan seluruh tubuhnya. Ketika melihat tubuh Karyamin jatuh terguling ke lembah Pak Pamong berusaha menahannya. Sayang, gagal.”

Ironis, ketika Karyamin tengah berjuang melawan lapar yang membuat tubuhnya lemas dan nyaris pingsan, Pak Pamong malah datang untuk menagih dana iuran yang akan disumbangkan untuk orang-orang yang kelaparan di Afrika. Karyamin tersenyum dan tertawa ketika ia terus ditagih untuk membayar iuran karena ia bahkan tak memiliki sepeserpun uang untuk membeli makanan yang bisa mengganjal perutnya. Ia tersenyum dan tertawa menyaksikan betapa abai Pak Pamong dengan kondisi warganya sendiri yang kelaparan dan tak punya uang tapi diminta untuk menyumbang dana pengentasan kelaparan bagi orang-orang yang begitu jauh di Afrika sana. Senyum dan tawa Karyamin menunjukkan sebuah perlawanan pada ketidakadilan yang berada tepat di depan matanya, yang ia tak mampu melawannya selain dengan senyuman. Ketidakadilan yang jelas-jelas merentangkan jarak antara pamong pemerintah desa dan rakyatnya sendiri yang papa. 

PENUTUP



Cerpen Senyum Karyamin karya Ahmad Tohari menggambarkan tentang potret kemiskinan di desa-desa, di mana orang-orang bekerja keras namun tak memperoleh upah yang sepadan. Seperti yang ditunjukan melalui Karyamin tokoh utama dalam cerpen itu yang mati jatuh ke lembah meninggalkan senyum dan tawa yang mewakili keadaan yang ironis ketika Pak Pamong yang meminta dana untuk membantu orang-orang kelaparan di Afrika sana padahal Karyamin sendiri, warga desanya sendiri, membutuhkan bantuan. Pada saat Karyamin jatuh menggelinding, Pak Pamong gagal setelah berusaha menahannya sehingga karyamin pun mati jatuh ke lembah. Pamong desa yang semestinya mampu melindungi warga desanya sendiri gagal sejak ia abai melihat kondisi warganya yang miskin dan kelaparan. Ia malah ribut mengumpulkan iuran dana Afrika dan luput melihat kenyataan yang membentang di hadapan matanya.

No comments:

Post a Comment