Aku sudah mencari Dipa kemana-mana, tapi hasilnya nihil. Dalam setiap acara-acara pameran lukisan, bahkan yang di Gedung Suteja, juga Pascalis Hall, tak pernah kutemui sosoknya. Dipa bisa saja meninggalkanku, dan seisi dunia, tapi tidak dengan lukisan. Dipa tidak pernah bisa dilepaskan dari lukisan. Namun, segala pencarianku di se-sudut-sudutnya kota ini, tidak pernah sekalipun aku berhasil bertatapan muka dengannya. Dipa menghilang. Sebenar-benar menghilang.
***
Aku memasuki ruang rapat dengan lesu. Beberapa teman yang melihat kehadiranku langsung menatapku dengan pertanyaan tersirat lewat sorot mata. Semua menanyakan hal yang sama, tentang Dipa.
“Aku belum menemukannya,” desahku sambil menghempaskan tubuhku di karpet ruang rapat.
“Acara tinggal tiga hari lagi, lalu bagaimana tanpa Dipa?”
“Masa hanya karena hal sepele, dia bisa semarah itu?”
Aku terdiam. Tidak mengacuhkan sedikitpun menanggapi pertanyaan-pertanyaan mereka. Aku beringsut menjauh, masuk ke ruang baca yang sempit. Teringat pertengkaran kami dengan Dipa sebelum kepergiannya:
“Dip, nanti uangnya bisa kita pakai untuk membiayai kegiatan-kegiatan kita lainnya. Kita kan butuh dana”
Dipa menatap temannya itu dengan mata berkilat, “Oh, uangnya mau dipakai untuk kepentingan kita?” tanya Dipa sinis. “Oke, aku resign!” tanpa penjelasan apa-apa, Dipa menghilang, bersama tas ransel usang, yang dipakainya kemana-mana, dan sampai sekarang, ia tidak (belum) kembali. Aku tak sempat menahan. Hanya sempat ternganga beberapa detik, menyaksikan Dipa keluar sambil menyentakkan pintu sekretariat dengan keras.
***
Aku memasuki rumah kontrakan Dipa dengan badan gemetar. Rumah kecil dengan satu kamar, ruang tamu sempit, dapur dan sebuah ruangan yang dipakai Dipa sebagai galerinya, disewa dengan harga 250 ribu per-bulan. Disela-sela kuliah dan kesibukannya di organisasi, Dipa bekerja sambilan di kedai kopi, dan kadang-kadang menerjemah. Aku menutup pintu kontrakan yang sudah sedikit keropos ini dengan perlahan, meski tak urung bunyi ‘klereet’ itu tetap terdengar juga, seolah daun pintu itu protes, minta diperbaiki segera. Kumasukkan kunci duplikat ke dalam saku jinsku dan segera melangkah masuk.
Aku melangkah ke kamar Dipa, membuka gordennya untuk sekadar mengecek apa ada yang berubah sejak aku mengunjungi kamar ini kemaren pagi. Ternyata tidak. Kamar itu masih sama, segalanya sama, letak seprai yang miring, novel Bumi Manusia karangan Pram yang merupakan buku pertama dari kwartet Buru yang demikian dicintai Dipa masih tergeletak di dekat bantal tidurnya, juga beberapa kertas-kertas dengan coretan-coretan yang tidak kumengerti masih berserakan belum dibereskan. Pertanda Dipa tidak (belum) pulang sejak tiga minggu yang lalu. Aku menutup gorden kamar itu dan beranjak ke galeri lukis Dipa. Aroma itu, aroma cat menyengat yang menyublim menjadi udara. Beberapa kuas tergeletak sembarang dengan cat mengering. Sementara lantai, penuh dengan percikan warna-warna cat yang benar telah mengering.
Aku teringat Dipa, yang selalu menguarkan aroma cat basah ketika kami duduk berdekatan di sebuah sudut toko buku bekas di dekat LP depan Alun-alun kota. Aku bahkan masih bisa mengingat dengan jelas tangannya yang kasar, juga kuku-kukunya yang selalu penuh sisa-sisa cat, sebersih apapun dia membasuh tangannya. Dan kini, hanya aroma itu yang tersisa. Dipa menghilang. Sebenar-benar menghilang.
***
Aku tengah merapikan bungkusan-bungkusan sembako yang akan kami jual pada rakyat sekitar. Teman-teman yang lain sibuk mendata barang-barang lainnya untuk bazar murah esok lusa. Masing-masing dari kami sudah berada dalam titik antara berharap dan tidak lagi akan kehadiran Dipa. Dia belum juga muncul. Atau bahkan, tidak akan muncul. Segalanya memang bisa berlangsung tanpa Dipa, tapi rasanya tidak akan sama. Dialah yang pertama-tama menggagas acara sosial semacam ini, karena sejak awal, dialah motor dari organisasi ini. Sekumpulan mahasiswa yang tergilas idealisme, yang karena Dipa maka punyalah kami visi dan misi. Namun, Dipa bagaimanapun adalah Dipa. Yang keras, yang idealis, yang sosialis, yang kadang pandangan hidupnya terlalu jauh ke depan, selalu susah kami ikuti benar-benar.
Krak!
Aku terlonjak. Kaget karena mendengar suara seperti benda keras yang jatuh tiba-tiba. Tergopoh-gopoh, aku dan beberapa teman yang lain buru-buru keluar dari sekretariat, dan mendapati Bima, yang tergesa-gesa mendatangi kami dan meninggalkan vespa nya yang rubuh begitu saja. Bima menatapku, lekat. Bibirnya bergerak-gerak, tapi tidak ada sepatah katapun keluar dari mulutnya. Aku menanti dengan tidak sabar. Hingga kemudian, Bima berucap: aku melihat Dipa...
***
Rumah bambu itu tak lebih besar dari rumah kontrakan Dipa. Tapi rumah itu dipenuhi anak-anak kecil. Anak-anak usia sekolah yang namun tidak bersekolah. Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling rumah bambu reyot ini, dan tak kutemukan satu rumahpun yang lebih baik dan layak huni dari rumah ini. Kebanyakan sama reotnya, dan beberapa malah hanya berpagarkan kardus-kardus bekas yang ditata sedemikian rupa asal membentuk rumah. Seperti rumah-rumahan. Sayangnya disini, di Kampung Dayak ini, kardus-kardus itu sungguh menjelma rumah yang dihuni dan ditinggali.
Kampung Dayak, terletak di dekat terminal lama kota Purwokerto. Entah kenapa kampung ini disebut kampung Dayak. Tapi konon, itu tidak disebabkan karena kampung ini dihuni oleh suku Dayak, sebab tak kutemukan seorangpun Dayak disini. Namun, lebih karena kampung ini dikenal sebagai tempat tinggal para orang jalanan yang hidupnya bebas dan keras. Tidak jauh dari kampung Dayak ini, ada sebuah taman kota yang baru dibangun. Terminal lama yang sudah tidak berfungsi itu, dijelmakan menjadi taman kota: bentuk kemewahan yang bersanding dengan kemiskinan yang senyata-nyatanya.
Taman kota itu, megah dengan tatanan arsitek cetakan pendidikan tinggi. Tempat bersantai yang nyaman dari beton dan semen, juga tanaman-tanaman yang dipangkas rapi untuk memenuhi standar keindahan. Stand-stand makanan yang menjamur di setiap sudut, dengan branding masing-masing membuatku percaya benar dengan kalimat Dipa di awal pembangunan taman kota ini: kau pikir, taman kota itu benar-benar akan ditumbuhi pepohonan lebat yang bisa membuat kita bernostalgia akan hutan-hutan kita yang dicuri? Lihat saja, begitu jadi, tempat ini akan dipenuhi stand-stand penjual makanan yang benar-benar mengantongi modal, bukan untuk pedagang kaki lima yang bermodal seadanya.
Senja ini, aku menatap Dipa yang duduk di atas tikar anyaman dalam diam. Dipa yang memakai kaos hitam, celana jins sobek-sobek, dan rambut gondrong diikat ke belakang, dan menatapku sama tajamnya. Kulihat kuku-kuku jarinya yang tetap beraroma cat dan kotor. Juga kucium aroma keringat, yang tetap menyisakan aroma cat diantaranya.
“Acaranya lusa Dip,” ucapku membuka percakapan.
“Aku udah resign, tiga minggu yang lalu,” timpalnya.
Aku mengangkat bahu. Segala debat tidak akan mengembalikannya kepada kami. Lebih baik ikuti apa maunya, dulu. “Jadi, ada apa di kampung ini?” tanyaku. “Yang menarik perhatianmu, tentunya,” tambahku. Berusaha mengalihkannya dari topik yang kuangkat semula.
Dipo tertawa. Sumbang. “Kau tidak lihat anak-anak jalanan itu?”
Aku menatap sekitar 16 anak-anak berpakaian kumal di rumah yang ditinggali Dipa itu dengan seksama. Ketika tatapanku terhenti pada kertas, pensil dan buku tulis, Dipa menyentuh pundakku.
“Bagimu, bagi teman-teman semua, yang tidak pernah kesulitan membeli sebuah buku tulis dan sebatang pensil, apa artinya itu? Tapi bagi mereka Ta, semua itu surga.”
“Tiga minggu ini, kamu disini?” tanyaku dengan tenggorokan tercekat.
“Aku tinggal disini. Aku menyamar jadi preman untuk bisa diterima disini,” tuturnya sambil tertawa bangga.
“Kan kalau kau mau ngajarin mereka mbaca nulis, tidak mesti begini caranya...”
“Iya memang. Tapi aku perlu tau tempat mereka tumbuh, aku perlu ngerasa seperti apa dunia mereka, agar segala tak hanya sampai di titik teori. Agar aku tahu benar seberapa yang sungguh mereka butuhkan benar.”
“Tapi tidak mesti dengan cara ini...,” aku masih menyuarakan protes.
Lalu, dikutipnya sajak Rendra sambil menepuk-nepuk bahuku, “Laku adalah kenyataan... mengolah kebajikan haruslah sampai menjadi laku... apa yang kita lakukan kemaren itu teori Ta, kita harus begini, kita harus begitu, tapi tidak pernah kita berbuat dengan konkret. Kebajikan butuh laku Ta...”
“Bazar itu juga laku Dip...,” keluhku perlahan.
“Ah, benar, laku...,” Dipa tersenyum. Senyum yang menyindirku habis-habisan. “Aku sudah resign Ta, kalau kedatangan kesini untuk mengajakku kembali, sekali-kali tidak. Tempatku disini.” Final. Khas Dipa.
***
Aku teringat pertengkaran hari itu, sebelum Dipa meninggalkan kami sebenar-benarnya:
“Kita dapat banyak donatur Dip, melimpah ruah! Nanti kita jual murah, separuh harga! Kita akan dapat untung banyak!” ucap Raka berapi-api.
“Itu toh bukan milik kita Ka, bukankah tinggal kita bagi saja semua, habis perkara,” balas Dipa.
“Justru itu Dip, kita jadi untung dalam banyak sisi. Pertama: kita membantu warga miskin di daerah sini dengan membagikan sembako setengah harga. Kedua: nama kita sebagai organisasi mahasiswa dengan jiwa sosial tinggi akan melambung. Ketiga: kita dapat untung uang untuk kas organisasi.”
Kulihat mata Dipa berkilat marah. “Pertama: niat kita membantu Ka, bukan ngambil untung, kedua: kita nggak butuh orang ngerti kita ada, hanya sekedar pencitraan, ketiga: kas organisasi, kita bisa nyari sendiri, dengan cara yang lain lagi.”
“Setengah harga udah murah banget Dip.”
“Iyah, murah dari ukuran kita yang biasanya makan di tempat kuliner bergengsi,” Dipa menimpali dengan kesal.
“Dip, nanti uangnya bisa kita pakai untuk membiayai kegiatan-kegiatan kita lainnya. Kita kan butuh dana”
Dipa menatap temannya itu dengan mata berkilat, “Oh, uangnya mau dipakai untuk kepentingan kita?” tanya Dipa sinis. “Oke, aku resign!”
***
Acara bazar itu tak berlangsung seperti harapan Dipa. Namun, ia telah melawan, sebaik-baiknya, sebagaimana Minke yang diciptakan Pram itu melawan. Sehormat-hormatnya. Dan di sepagi yang demikian, untuk kali yang kesekian, aku, dan beberapa teman yang lain, sudah berada di rumah reot Dipa di Kampung Dayak. Kami bersama-sama mengajari anak-anak itu menulis, membaca, berhitung, membuat kerajinan tangan, membuat kue dan kudapan. Kami mengajari mereka berjualan. Dan Dipa mengajari mereka melukis, mengenalkan mereka pada biola, mengenalkan mereka pada tradisi puisi yang dicintainya.
Suatu sore, ketika anak-anak kecil itu selesai mengaji pada salah satu teman kami, Dipa mengajakku duduk di depan rumah reotnya. Membuka mataku pada senja yang menyapa penuh kerendahan hati pada kaum-kaum papa di sekitar kita. Dengan lembut, dia meremas tanganku, dan saat ia mendekat, aroma cat yang menguar dari tubuhnya itu sungguh terasa menyejukkan, lalu ia berbisik: sebab Cinta, laku tak cukup jadi hantu...
Purwokerto, 30 Agustus 2011
*Cerpen ini menjadi salah satu cerpen terbaik Lomba Cipta Cerpen Pemuda, Kemenpora 2011
No comments:
Post a Comment