Follow Us @soratemplates

Monday, November 12, 2018

Wajah Perempuan dalam Perkawinan dan Keluarga*

Setahun yang lalu, pada Jum’at, 3 Agustus 2012 pukul 15.00 WIB, Jurnal Perempuan bekerja sama dengan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Atma Jaya Yogyakarta menyelenggarakan pendidikan publik Jurnal Perempuan edisi 73 dengan tema “Perkawinan dan Keluarga” di auditorium FISIP Universitas Atma Jaya. Acara ini dibuka oleh Wakil Direktur Jurnal Perempuan Deedee Achriani dan sambutan dari Dekan FISIP Universitas Atma Jaya, Lukas Ispandriarno. Kemudian, pendidikan publik berupa diskusi dan tanya jawab dengan narasumber Gusti Kanjeng Ratu Hemas, Siti Ruhaini Dzuhayatin (Dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta), dan Elli Nurhayati (Direktur Rifka Annisa) dimoderatori oleh Dewi Candraningrum yang merupakan Dewan Redaksi Jurnal Perempuan. 



Dewi membuka diskusi ini dengan menjelaskan bahwa acara semacam ini adalah serupa sumur ilmu pengetahuan. Namun, sumur ilmu pengetahuan ini jangan dianggap sebagai sesuatu yang jauh sekali harus ditimba, harus kita renggut, sebab sumur ilmu pengetahuan ini seringkali berada sangat dekat dengan kita. Kita bisa belajar dari ibu kita, ayah kita, saudara perempuan kita, saudara laki-laki kita, teman-teman dan sahabat kita. Feminisme dan Jurnal Perempuan berangkat dari penghargaan semacam itu, sehingga merupakan sebuah pijakan awal yang salah kalau menganggap bahwa feminisme itu melawan laki-laki. Feminisme adalah penghargaan terhadap semua manusia. Selanjutnya Dewi juga memperkenalkan satu per satu pembicara kepada peserta acara ini, dilanjut dengan pemaparan-pemaparan dari narasumber.


Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Hemas memaparkan bahwa jika kita berbicara mengenai perkawinan dan keluarga, yang menjadi fokus selalu perempuan. Jika sebuah keluarga miskin, yang paling kelihatan adalah wajah perempuan. Jika sebuah keluarga menderita, yang paling menjadi sasaran adalah perempuan. Jurnal Perempuan sebagai sebuah lembaga yang melakukan pencerahan terhadap kepentingan-kepentingan perempuan menjadi spirit yang luar biasa dalam perjuangan perempuan. Kita melihat, banyak sekali jargon kepentingan negara dalam keluarga yang hanya berhenti sebagai pemanis belaka, misalnya “Keluarga adalah benteng terakhir dari arus globalisasi”, “Keluarga adalah pilar negara”, “Ketangguhan negara tergantung dari ketangguhan keluarga”, dan lain-lain. Padahal
kenyataannya, banyak sekali persoalan dalam keluarga, baik disebabkan oleh kemiskinan, ketidakadilan terhadap perempuan, dan sebagainya. Sehingga jargon-jargon yang hanya menjadi kalimat manis itu menjadi cermin kesadaran negara yang belum melibatkan aparatnya untuk memperhatikan kepentingan keluarga.

Perhatian kepala negara dan pemerintah juga terlihat kurang serius dalam permasalahan keluarga. GKR juga menyebutkan bahwa UU dan kebijakan di Indonesia ini banyak yang perlu direvisi, seperti UU Perkawinan tahun 1974 yang dianggap ada ketidakadilan terhadap perempuan di dalamnya. Sementara kesetaraan gender selalu dianggap sebagai bentuk penjajahan perempuan kepada laki-laki, padahal jika dicermati, RUU Kesetaraan Gender itu isinya untuk melindungi dan menghargai perempuan. Masalah dalam keluarga itu sendiri sedemikian kompleks, salah satunya disebabkan oleh tidak adanya UU atau kebijakan yang berpihak kepada perempuan, seperti UU perlindungan khusus bagi perempuan bekerja yang hamil dan menyusui. Peningkatan perceraian juga yang disalahkan selalu perempuan, padahal perceraian bukan kesalahan perempuan. Kebanyakan perceraian disebabkan oleh tidak adanya kebijakan yang berpihak pada perempuan sehingga terpaksa perempuan bercerai, misalnya Tenaga Kerja Wanita (TKW) yang harus pergi ke luar negeri dalam waktu yang lama karena tidak tersedia
lapangan pekerjaan di dalam negeri. Karena terpisah jauh dan lama dari keluarga, maka banyak permasalahan yang muncul dan tidak terselesaikan hingga berujung pada perceraian. Dan itu bukan kesalahan perempuan, melainkan kesalahan negara yang tidak membuat kebijakan yang berpihak pada perempuan dengan menciptakan lapangan pekerjaan yang dekat dengan keluarga di dalam negeri.

Setelah pemaparan dari GKR Hemas, sesi tanya jawab kemudian dibuka oleh Dewi sebagai moderator. Erna, seorang dosen Hukum Perkawinan di Universitas Sriwijaya berharap banyak kepada GKR Hemas untuk membantu memperjuangkan agar UU yang masih bias gender bisa segera direvisi, juga mengenai PP No. 10. Erna mengungkapkan bahwa banyak sekali UU dan kebijakan negara yang melukai hati perempuan, padahal jargon pemerintah selalu HAM melulu, tapi nyatanya negara tidak peduli pada perempuan, padahal perempuan juga manusia yang berhak atas HAM itu. Kemudian Mira dari Institut HAM mengungkapkan kegelisahannya mengenai bentuk keluarga yang selama ini selalu dibicarakan terbatas perempuan sebagai istri, laki-laki sebagai suami, dan anak. Tapi, sepertinya pembicaraan mengenai keluarga melupakan perempuan-perempuan minoritas seperti LGBT dan pekerja seks, padahal mereka juga berhak untuk membentuk sebuah keluarga. Mira mengharapkan bahwa negara bisa membuat kebijakan yang adil untuk perempuan minoritas seperti jaminan keamanan, karena selama ini kondisi perempuan minoritas dalam LGBT selalu tertekan.

GKR Hemas menjawab bahwa selain lemahnya kepedulian negara terhadap masalah keluarga termasuk revisi UU dan kebijakan yang bias gender, banyak juga pelunakan terhadap hukum-hukum yang berlaku, seperti masalah laki-laki PNS yang poligami dan diijinkan. Sementara itu, banyak juga hukum agama yang dibaca separo-separo untuk menjustifikasi poligami, sementara yang dikorbankan adalah perempuan. Mengenai perempuan minoritas, GKR menyebutkan bahwa bukan hanya negara tidak melindungi mereka tapi negara memang sepertinya melakukan pembiaran atas kekerasan terhadap mereka. Padahal perempuan minoritas, LGBT, semua itu adalah warga negara yang harus dilindungi dan tidak boleh ada pembiaran, semestinya malah dibela, tapi negara entah berada di mana.

Selanjutnya Siti Ruhaini Dzuhayatin, dosen UIN Sunan Kalijaga memaparkan bahwa persoalan keluarga ini sedemikian kompleks dan memang ada rezimisasi politis di dalamnya. UU Perkawinan tahun 1974 misalnya, ada konstelasi politis di dalamnya, yaitu dalam rangka pembentukan sebuah keluarga ‘ideal’ yang sebenarnya adalah perpanjangan tangan dari bentuk keluarga Jawa Priyayi yang dipelihara secara politis, dilegalkan dalam bentuk undang-undang. Sehingga UU Perkawinan tersebut sebenarnya sangat bias priyayi dan patriarkis. Counter legal draft yang digagas Musdah Mulia mengenai revisi UU Perkawinan ini juga ditolak mentah-mentah, sebab UU Perkawinan yang menolak poligami dan memperbolehkan pernikahan beda agama dianggap sebagai ijtihad setan dan tidak islami. Resistensi ini ada karena segala bentuk upaya revisi terhadap UU Perkawinan tahun 1974 dianggap akan mengerosi nilai-nilai Islam yang mestinya dirawat dalam keluarga. Padahal UU tersebut sangat patriarkis.

Negara sepertinya juga tidak berupaya untuk membuat kebijakan yang berpihak dan melindungi perempuan. Di negara barat seperti Kanada, Denmark, dan lain-lain, sejak tahun 2005 merumuskan dan mengesahkan kebijakan work and family policy. Dalam kebijakan tersebut, perempuan diwajibkan cuti 2 tahun setelah melahirkan dan laki-laki yang menjadi suaminya diwajibkan untuk cuti 1 tahun dan tinggal di dalam rumah bersama keluarganya. Kebijakan tersebut mengindikasikan bahwa negara peduli terhadap masalah keluarga warga negaranya.

Elli Nurhayati, Direktur Rifka Annisa memaparkan bahwa negara mestinya membuat kebijakan yang berpihak pada perempuan sehingga perempuan akan terlindungi. Negara juga semestinya mengalokasikan dana pendidikan yang mencukupi untuk perempuan sehingga perempuan tidak ketinggalan dalam hal pendidikannya. Sementara UU yang membatasi ruang gerak perempuan dan yang membatasi akses perempuan terhadap kesehatan dan pendidikan harus terus dimonitor dan didesak untuk direvisi.

Dewi sebagai moderator, sebelum melanjutkan sesi tanya jawab, menambahkan sedikit mengenai seringnya pembicaraan migrasi perempuan dari ranah domestik ke ranah publik, tapi tidak migrasi lakilaki dari ranah publik ke domestik. Padahal laki-laki yang mencuci misalnya (ikut berperan dalam ranah domestik) itu sama sekali tidak merendahkan harga dirinya, justru sebaliknya. Dewi juga menekankan bahwa feminisme adalah kesetaraan, dimana laki-laki dan perempuan setara dan saling menghargai. Sesi tanya jawab yang kedua, dimulai dengan penanya CS Prianti dari Atma Jaya Yogyakarta. Prianti menanyakan apa yang bisa dilakukan mengenai kebijakan yang bias jika kita hanyalah orang biasa, bukan ilmuwan atau intelektual. Doni dari Harian Bernas Yogyakarta menggugat bahwa mengapa yang dibahas perempuan melulu, padahal laki-laki juga ada yang mengalami kekerasan, dan dalam keluarga banyak sekali nilai yang harus dikaji asal usulnya.

Kemudian Martha dari Atma Jaya mengungkapkan bahwa hal-hal seperti kodrat dan konstruksi sosial itu seringkali salah tempat. Bahwa perempuan memasak itu kodrat, padahal bukan. Dan sunat laki-laki yang dianggap kodrat, padahal adat. Masyarakat umum masih banyak yang belum peka terhadap hal tersebut, bagaimana melawan paradigma di masyarakat yang tidak sensitif gender tersebut. Maula Paramitha dari UGM menanyakan bagaimana bentuk pemberdayaan perempuan agar bisa menembus kesadaran perempuan agar memiliki kesadaran feminis. Kemudian Laela dari Kalimantan Timut mengungkapkan bahwa meski sudah banyak sekali Perda mengenai perlindungan perempuan dan anak, traffiking, tapi yang belum tersentuh adalah mengenai incest. Di Samarinda, angka incest ini sangat banyak dan bagaimana pemberdayaan perempuan di pedalaman terkait hal itu apalagi jika mereka memang tidak berpendidikan dan memiliki ekonomi yang lemah.

Didin dari Satu Hati menyatakan bahwa pembicaraan mengenai perkawinan menjadi terkesan ekslusif karena yang di-cover istri, suami dan anak. Bagaimana dengan LGBT? Sementara Nova bertanya mengenai bentuk-bentuk kategori kekerasan, apakah pembatasan perempuan untuk berekspresi itu adalah kekerasan.
Sesi tanya jawab dalam pendidikan publik ini sangat ramai. Peserta pun sangat antusias, namun karena keterbatasan waktu maka narasumber tidak bisa merespon dengan sangat detail satu-satu, sehingga narasumber hanya menjawab secara singkat mengenai semua pertanyaan dari peserta diskusi ini. Siti Ruhaini menjawab bahwa sistem patriarki itu tidak semata laki-laki. Laki-laki pun bisa menjadi korban dari sistem patriarki ini. Dalam relasi kuasa, selalu ada korban, dan dalam patriarki itu korbannya bisa perempuan bisa laki-laki, meskipun secara statistik korbannya lebih banyak perempuan.

Oleh karena itu harus ada kesetaraan, yang dimotori oleh feminisme. Dengan kesetaraan, maka patriarki akan hilang, dan imbasnya tidak hanya baik untuk perempuan tapi juga untuk laki-laki. Di Indonesia, nampaknya ada ketidakmampuan agama dalam merespons perubahan sebab agama sedemikian normatifnya. Sehingga, agama mestinya didinamisasi agar bisa merespon perubahan. Keluarga itu juga sebenarnya tidak sakral, sehingga sah saja kalau ada perceraian. Akad nikah itu juga sebenarnya adalah kontrak nikah, maka jika ada yang dilanggar dari kesepakatan yang sudah dibuat, maka kontrak tersebut bisa batal. Perceraian itu tidak jelek, jika itu merupakan solusi yang baik, kenapa tidak. Yang penting tetap bisa menjaga hubungan baik dan tidak ada permusuhan.

Siti Ruhaini juga menyebutkan bahwa orientasi seksual itu given, termasuk LGBT, oleh karena itu kita semua harus menerimanya, tidak boleh mendiskriminasi. Dalam fiqh Islam juga ada yang disebut sebagai Khunsa, semestinya ada kajian mendalam mengenai hal itu, sehingga temuan-temuannya diharapkan bisa mengakhiri diskriminasi yang disebabkan oleh tidak diterimanya kelompok minoritas ini. Elli Nurhayati menambahkan bahwa kebijakan memang tidak selalu kebijakan yang besar. Kita bisa menciptakan kebijakan yang berpihak pada perempuan dalam skala kecil, keluarga, komunitas. Sementara itu pemberdayaan perempuan itu sebaiknya tidak semata dalam pendidikan akademik, tapi juga life skill seperti keterampilan berkomunikasi dan decision making. Perempuan yang dikonstruksi untuk bergantung pada orang lain biasanya tidak memiliki keterampilan itu, namun perempuan yang berdaya, akan berani mengambil keputusan dan tidak bergantung kepada orang lain.

Demikian pendidikan publik “Perkawinan dan Keluarga” di Atma Jaya Yogyakarta. Karena keterbatasan waktu, maka respon dari narasumber tidak bisa detail. Dewi sebagai moderator kemudian menutup diskusi dan dikembalikan kepada pembawa acara. Pembawa acara menutup acara pendidikan publik dan mempersilakan peserta untuk berbuka puasa bersama.

*sebelumnya, artikel ini sudah pernah dimuat di website www.jurnalperempuan.org

No comments:

Post a Comment