Setahun
yang lalu, pada Jum’at, 3 Agustus 2012 pukul 15.00 WIB, Jurnal
Perempuan bekerja sama dengan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
(FISIP) Universitas Atma Jaya Yogyakarta menyelenggarakan pendidikan
publik Jurnal Perempuan edisi 73 dengan tema “Perkawinan dan
Keluarga” di auditorium FISIP Universitas Atma Jaya. Acara ini dibuka
oleh Wakil Direktur Jurnal Perempuan Deedee Achriani dan sambutan dari
Dekan FISIP Universitas Atma Jaya, Lukas Ispandriarno. Kemudian,
pendidikan publik berupa diskusi dan tanya jawab dengan narasumber Gusti
Kanjeng Ratu Hemas, Siti Ruhaini Dzuhayatin (Dosen UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta), dan Elli Nurhayati (Direktur Rifka Annisa) dimoderatori
oleh Dewi Candraningrum yang merupakan Dewan Redaksi Jurnal Perempuan.
Dewi
membuka diskusi ini dengan menjelaskan bahwa acara semacam ini adalah
serupa sumur ilmu pengetahuan. Namun, sumur ilmu pengetahuan ini jangan
dianggap sebagai sesuatu yang jauh sekali harus ditimba, harus kita
renggut, sebab sumur ilmu pengetahuan ini seringkali berada sangat dekat
dengan kita. Kita bisa belajar dari ibu kita, ayah kita, saudara
perempuan kita, saudara laki-laki kita, teman-teman dan sahabat kita.
Feminisme dan Jurnal Perempuan berangkat dari penghargaan semacam itu,
sehingga merupakan sebuah pijakan awal yang salah kalau menganggap bahwa
feminisme itu melawan laki-laki. Feminisme adalah penghargaan terhadap
semua manusia. Selanjutnya Dewi juga memperkenalkan satu per satu
pembicara kepada peserta acara ini, dilanjut dengan pemaparan-pemaparan
dari narasumber.
Gusti
Kanjeng Ratu (GKR) Hemas memaparkan bahwa jika kita berbicara mengenai
perkawinan dan keluarga, yang menjadi fokus selalu perempuan. Jika
sebuah keluarga miskin, yang paling kelihatan adalah wajah perempuan.
Jika sebuah keluarga menderita, yang paling menjadi sasaran adalah
perempuan. Jurnal Perempuan sebagai sebuah lembaga yang melakukan
pencerahan terhadap kepentingan-kepentingan perempuan menjadi spirit
yang luar biasa dalam perjuangan perempuan. Kita melihat, banyak sekali
jargon kepentingan negara dalam keluarga yang hanya berhenti sebagai
pemanis belaka, misalnya “Keluarga adalah benteng terakhir dari arus
globalisasi”, “Keluarga adalah pilar negara”, “Ketangguhan negara
tergantung dari ketangguhan keluarga”, dan lain-lain. Padahal
kenyataannya,
banyak sekali persoalan dalam keluarga, baik disebabkan oleh
kemiskinan, ketidakadilan terhadap perempuan, dan sebagainya. Sehingga
jargon-jargon yang hanya menjadi kalimat manis itu menjadi cermin
kesadaran negara yang belum melibatkan aparatnya untuk memperhatikan
kepentingan keluarga.
Perhatian
kepala negara dan pemerintah juga terlihat kurang serius dalam
permasalahan keluarga. GKR juga menyebutkan bahwa UU dan kebijakan di
Indonesia ini banyak yang perlu direvisi, seperti UU Perkawinan tahun
1974 yang dianggap ada ketidakadilan terhadap perempuan di dalamnya.
Sementara kesetaraan gender selalu dianggap sebagai bentuk penjajahan
perempuan kepada laki-laki, padahal jika dicermati, RUU Kesetaraan
Gender itu isinya untuk melindungi dan menghargai perempuan. Masalah
dalam keluarga itu sendiri sedemikian kompleks, salah satunya disebabkan
oleh tidak adanya UU atau kebijakan yang berpihak kepada perempuan,
seperti UU perlindungan khusus bagi perempuan bekerja yang hamil dan
menyusui. Peningkatan perceraian juga yang disalahkan selalu perempuan,
padahal perceraian bukan kesalahan perempuan. Kebanyakan perceraian
disebabkan oleh tidak adanya kebijakan yang berpihak pada perempuan
sehingga terpaksa perempuan bercerai, misalnya Tenaga Kerja Wanita (TKW)
yang harus pergi ke luar negeri dalam waktu yang lama karena tidak
tersedia
lapangan
pekerjaan di dalam negeri. Karena terpisah jauh dan lama dari keluarga,
maka banyak permasalahan yang muncul dan tidak terselesaikan hingga
berujung pada perceraian. Dan itu bukan kesalahan perempuan, melainkan
kesalahan negara yang tidak membuat kebijakan yang berpihak pada
perempuan dengan menciptakan lapangan pekerjaan yang dekat dengan
keluarga di dalam negeri.
Setelah
pemaparan dari GKR Hemas, sesi tanya jawab kemudian dibuka oleh Dewi
sebagai moderator. Erna, seorang dosen Hukum Perkawinan di Universitas
Sriwijaya berharap banyak kepada GKR Hemas untuk membantu memperjuangkan
agar UU yang masih bias gender bisa segera direvisi, juga mengenai PP
No. 10. Erna mengungkapkan bahwa banyak sekali UU dan kebijakan negara
yang melukai hati perempuan, padahal jargon pemerintah selalu HAM
melulu, tapi nyatanya negara tidak peduli pada perempuan, padahal
perempuan juga manusia yang berhak atas HAM itu. Kemudian Mira dari
Institut HAM mengungkapkan kegelisahannya mengenai bentuk keluarga yang
selama ini selalu dibicarakan terbatas perempuan sebagai istri,
laki-laki sebagai suami, dan anak. Tapi, sepertinya pembicaraan mengenai
keluarga melupakan perempuan-perempuan minoritas seperti LGBT dan
pekerja seks, padahal mereka juga berhak untuk membentuk sebuah
keluarga. Mira mengharapkan bahwa negara bisa membuat kebijakan yang
adil untuk perempuan minoritas seperti jaminan keamanan, karena selama
ini kondisi perempuan minoritas dalam LGBT selalu tertekan.
GKR
Hemas menjawab bahwa selain lemahnya kepedulian negara terhadap masalah
keluarga termasuk revisi UU dan kebijakan yang bias gender, banyak juga
pelunakan terhadap hukum-hukum yang berlaku, seperti masalah laki-laki
PNS yang poligami dan diijinkan. Sementara itu, banyak juga hukum agama
yang dibaca separo-separo untuk menjustifikasi poligami, sementara yang
dikorbankan adalah perempuan. Mengenai perempuan minoritas, GKR
menyebutkan bahwa bukan hanya negara tidak melindungi mereka tapi negara
memang sepertinya melakukan pembiaran atas kekerasan terhadap mereka.
Padahal perempuan minoritas, LGBT, semua itu adalah warga negara yang
harus dilindungi dan tidak boleh ada pembiaran, semestinya malah dibela,
tapi negara entah berada di mana.
Selanjutnya
Siti Ruhaini Dzuhayatin, dosen UIN Sunan Kalijaga memaparkan bahwa
persoalan keluarga ini sedemikian kompleks dan memang ada rezimisasi
politis di dalamnya. UU Perkawinan tahun 1974 misalnya, ada konstelasi
politis di dalamnya, yaitu dalam rangka pembentukan sebuah keluarga
‘ideal’ yang sebenarnya adalah perpanjangan tangan dari bentuk keluarga
Jawa Priyayi yang dipelihara secara politis, dilegalkan dalam bentuk
undang-undang. Sehingga UU Perkawinan tersebut sebenarnya sangat bias
priyayi dan patriarkis. Counter legal draft yang digagas Musdah Mulia
mengenai revisi UU Perkawinan ini juga ditolak mentah-mentah, sebab UU
Perkawinan yang menolak poligami dan memperbolehkan pernikahan beda
agama dianggap sebagai ijtihad setan dan tidak islami. Resistensi ini
ada karena segala bentuk upaya revisi terhadap UU Perkawinan tahun 1974
dianggap akan mengerosi nilai-nilai Islam yang mestinya dirawat dalam
keluarga. Padahal UU tersebut sangat patriarkis.
Negara
sepertinya juga tidak berupaya untuk membuat kebijakan yang berpihak
dan melindungi perempuan. Di negara barat seperti Kanada, Denmark, dan
lain-lain, sejak tahun 2005 merumuskan dan mengesahkan kebijakan work
and family policy. Dalam kebijakan tersebut, perempuan diwajibkan cuti 2
tahun setelah melahirkan dan laki-laki yang menjadi suaminya diwajibkan
untuk cuti 1 tahun dan tinggal di dalam rumah bersama keluarganya.
Kebijakan tersebut mengindikasikan bahwa negara peduli terhadap masalah
keluarga warga negaranya.
Elli
Nurhayati, Direktur Rifka Annisa memaparkan bahwa negara mestinya
membuat kebijakan yang berpihak pada perempuan sehingga perempuan akan
terlindungi. Negara juga semestinya mengalokasikan dana pendidikan yang
mencukupi untuk perempuan sehingga perempuan tidak ketinggalan dalam hal
pendidikannya. Sementara UU yang membatasi ruang gerak perempuan dan
yang membatasi akses perempuan terhadap kesehatan dan pendidikan harus
terus dimonitor dan didesak untuk direvisi.
Dewi
sebagai moderator, sebelum melanjutkan sesi tanya jawab, menambahkan
sedikit mengenai seringnya pembicaraan migrasi perempuan dari ranah
domestik ke ranah publik, tapi tidak migrasi lakilaki dari ranah publik
ke domestik. Padahal laki-laki yang mencuci misalnya (ikut berperan
dalam ranah domestik) itu sama sekali tidak merendahkan harga dirinya,
justru sebaliknya. Dewi juga menekankan bahwa feminisme adalah
kesetaraan, dimana laki-laki dan perempuan setara dan saling menghargai.
Sesi tanya jawab yang kedua, dimulai dengan penanya CS Prianti dari
Atma Jaya Yogyakarta. Prianti menanyakan apa yang bisa dilakukan
mengenai kebijakan yang bias jika kita hanyalah orang biasa, bukan
ilmuwan atau intelektual. Doni dari Harian Bernas Yogyakarta menggugat
bahwa mengapa yang dibahas perempuan melulu, padahal laki-laki juga ada
yang mengalami kekerasan, dan dalam keluarga banyak sekali nilai yang
harus dikaji asal usulnya.
Kemudian
Martha dari Atma Jaya mengungkapkan bahwa hal-hal seperti kodrat dan
konstruksi sosial itu seringkali salah tempat. Bahwa perempuan memasak
itu kodrat, padahal bukan. Dan sunat laki-laki yang dianggap kodrat,
padahal adat. Masyarakat umum masih banyak yang belum peka terhadap hal
tersebut, bagaimana melawan paradigma di masyarakat yang tidak sensitif
gender tersebut. Maula Paramitha dari UGM menanyakan bagaimana bentuk
pemberdayaan perempuan agar bisa menembus kesadaran perempuan agar
memiliki kesadaran feminis. Kemudian Laela dari Kalimantan Timut
mengungkapkan bahwa meski sudah banyak sekali Perda mengenai
perlindungan perempuan dan anak, traffiking, tapi yang belum tersentuh
adalah mengenai incest. Di Samarinda, angka incest ini sangat banyak dan
bagaimana pemberdayaan perempuan di pedalaman terkait hal itu apalagi
jika mereka memang tidak berpendidikan dan memiliki ekonomi yang lemah.
Didin
dari Satu Hati menyatakan bahwa pembicaraan mengenai perkawinan menjadi
terkesan ekslusif karena yang di-cover istri, suami dan anak. Bagaimana
dengan LGBT? Sementara Nova bertanya mengenai bentuk-bentuk kategori
kekerasan, apakah pembatasan perempuan untuk berekspresi itu adalah
kekerasan.
Sesi
tanya jawab dalam pendidikan publik ini sangat ramai. Peserta pun
sangat antusias, namun karena keterbatasan waktu maka narasumber tidak
bisa merespon dengan sangat detail satu-satu, sehingga narasumber hanya
menjawab secara singkat mengenai semua pertanyaan dari peserta diskusi
ini. Siti Ruhaini menjawab bahwa sistem patriarki itu tidak semata
laki-laki. Laki-laki pun bisa menjadi korban dari sistem patriarki ini.
Dalam relasi kuasa, selalu ada korban, dan dalam patriarki itu korbannya
bisa perempuan bisa laki-laki, meskipun secara statistik korbannya
lebih banyak perempuan.
Oleh
karena itu harus ada kesetaraan, yang dimotori oleh feminisme. Dengan
kesetaraan, maka patriarki akan hilang, dan imbasnya tidak hanya baik
untuk perempuan tapi juga untuk laki-laki. Di Indonesia, nampaknya ada
ketidakmampuan agama dalam merespons perubahan sebab agama sedemikian
normatifnya. Sehingga, agama mestinya didinamisasi agar bisa merespon
perubahan. Keluarga itu juga sebenarnya tidak sakral, sehingga sah saja
kalau ada perceraian. Akad nikah itu juga sebenarnya adalah kontrak
nikah, maka jika ada yang dilanggar dari kesepakatan yang sudah dibuat,
maka kontrak tersebut bisa batal. Perceraian itu tidak jelek, jika itu
merupakan solusi yang baik, kenapa tidak. Yang penting tetap bisa
menjaga hubungan baik dan tidak ada permusuhan.
Siti
Ruhaini juga menyebutkan bahwa orientasi seksual itu given, termasuk
LGBT, oleh karena itu kita semua harus menerimanya, tidak boleh
mendiskriminasi. Dalam fiqh Islam juga ada yang disebut sebagai Khunsa,
semestinya ada kajian mendalam mengenai hal itu, sehingga
temuan-temuannya diharapkan bisa mengakhiri diskriminasi yang disebabkan
oleh tidak diterimanya kelompok minoritas ini. Elli Nurhayati
menambahkan bahwa kebijakan memang tidak selalu kebijakan yang besar.
Kita bisa menciptakan kebijakan yang berpihak pada perempuan dalam skala
kecil, keluarga, komunitas. Sementara itu pemberdayaan perempuan itu
sebaiknya tidak semata dalam pendidikan akademik, tapi juga life skill
seperti keterampilan berkomunikasi dan decision making. Perempuan yang
dikonstruksi untuk bergantung pada orang lain biasanya tidak memiliki
keterampilan itu, namun perempuan yang berdaya, akan berani mengambil
keputusan dan tidak bergantung kepada orang lain.
Demikian
pendidikan publik “Perkawinan dan Keluarga” di Atma Jaya Yogyakarta.
Karena keterbatasan waktu, maka respon dari narasumber tidak bisa
detail. Dewi sebagai moderator kemudian menutup diskusi dan dikembalikan
kepada pembawa acara. Pembawa acara menutup acara pendidikan publik dan
mempersilakan peserta untuk berbuka puasa bersama.
*sebelumnya, artikel ini sudah pernah dimuat di website www.jurnalperempuan.org
No comments:
Post a Comment