Judul : Working and Mothering in Asia: Images, Ideologies, and Identities
Editor : Theresa Devasahayam & Brenda S.A. Yeoh
Tahun/ Penerbit : 2007/ NUS Press
Tebal : xiv & 256 halaman
Banyak
perempuan di Asia bekerja di luar rumah. Beberapa di antaranya semata
ingin menopang kebutuhan keluarganya, sebagian yang lain, terutama
perempuan yang berpendidikan, memiliki harapan untuk mengembangkan
kariernya. Banyak dari perempuan ini dibebani tanggung jawab norma
sosial dan kultural, dan dalam upaya untuk menyeimbangkan perannya
sebagai perempuan yang bekerja dan sebagai ibu, perempuan dengan
berbagai latar belakang di Asia ini menegosiasikan, mempertentangkan,
dan membentuk ulang definisi “motherhood” (peran keibuan).
Buku
ini ditulis oleh tiga belas kontributor dengan pendekatan akademik
meliputi antropologi, sosiologi, kajian gender, demografi, dan hukum
tetapi memiliki tema yang hampir sama berkaitan dengan patriarki, buruh
pekerja, peran ayah, definisi sosial mengenai “good mothering” dan lain
sebagainya. Mereka adalah Daniele Belanger, Chen Xuan, Theresa W.
Devasahayam, Arent Greeve, Keiko Hi-rao, Anne-Marie Hilsdon, Santosh
Jatrana, Debbie Ong, Janet W. Salaff, Carolyn I. Sobritchea, Maila
Stivens, Brenda S.A. Yeoh. Buku ini diedit oleh Theresa Devasahayam dan
Brenda S.A. Yeoh.
Theresa Devasahayam dikenal sebagai seorang akademisi yang bekerja sebagai konsultan dengan lembaga-lembaga pemba-ngunan internasional. Riset-riset-nya, termasuk yang dilakukan di Centre for Asia Pacific Social Transfor-mation Studies (CAPSTRANS), Universitas Wollongong Australia dan Asia Research Institute, Universitas Nasional Singapura banyak berkaitan dengan globalisasi dan status perempuan, migrasi buruh perempuan yang tidak terlatih di Asia Tenggara, penuaan dan implikasinya terhadap pekerja perempuan, serta fertilitas perempuan dan kesehatan serta hak reproduksi. Pada 2011, Devasahayam menjadi Kordinator Program Studi Gender di Institute of Southeast Asian Studies (ISEAS), Singapura. Sementara Brenda S.A. Yeoh adalah seorang profesor di Jurusan Geografi, Universitas Nasional Singapura, dan Kepala Riset di Asian Migration Research Cluster and Principal Investigator di Asian MetaCentre di Asia Research Institute. Riset-risetnya berkaitan dengan politik di kota kolonial dan post-kolonial, gender, migrasi dan komunitas transnasional.
Theresa Devasahayam dikenal sebagai seorang akademisi yang bekerja sebagai konsultan dengan lembaga-lembaga pemba-ngunan internasional. Riset-riset-nya, termasuk yang dilakukan di Centre for Asia Pacific Social Transfor-mation Studies (CAPSTRANS), Universitas Wollongong Australia dan Asia Research Institute, Universitas Nasional Singapura banyak berkaitan dengan globalisasi dan status perempuan, migrasi buruh perempuan yang tidak terlatih di Asia Tenggara, penuaan dan implikasinya terhadap pekerja perempuan, serta fertilitas perempuan dan kesehatan serta hak reproduksi. Pada 2011, Devasahayam menjadi Kordinator Program Studi Gender di Institute of Southeast Asian Studies (ISEAS), Singapura. Sementara Brenda S.A. Yeoh adalah seorang profesor di Jurusan Geografi, Universitas Nasional Singapura, dan Kepala Riset di Asian Migration Research Cluster and Principal Investigator di Asian MetaCentre di Asia Research Institute. Riset-risetnya berkaitan dengan politik di kota kolonial dan post-kolonial, gender, migrasi dan komunitas transnasional.
Motherhood
secara biologis dilekatkan pada perempuan berkaitan dengan fungsi
reproduksinya dan secara bersamaan menyangkal identitas diri perempuan
itu sendiri di luar pengalaman menjadi ibu. Klaim biologis ini umumnya
digunakan dalam relasi gender yang tidak setara sebagai hasil dari
konstruksi sosial bahwa perempuan mestinya melahirkan dan mengasuh anak
karena dia memiliki alat reproduksi yang memungkinkan dia untuk itu.
Namun, bersamaan dengan majunya teknologi, perempuan juga mulai
menyadari ada banyak pilihan yang bisa dia ambil, apakah dia akan
melahirkan anak, tidak melahirkan anak, atau justru memilih untuk
mengadopsi anak.
Buku
yang diedit oleh Devasahayam dan Yeoh ini memaparkan mengenai
perempuan-perempuan Asia yang juga berperan sebagai ibu, bernegosiasi
dalam peran motherhood yang selama ini ada dalam masyarakat untuk
membentuk definisi motherhood yang lebih kompleks. Misalnya para ibu
yang bekerja untuk mencari nafkah ini berupaya bagaimana caranya agar
perannya sebagai ibu tidak hilang di tengah kesibukannya bekerja di
tempat yang jauh dari anak-anak dan keluarganya. Hubungan penting
partisipasi pasar perempuan pekerja, keluarga, dan kesetaraan gender
kemudian menjadi fokus dalam buku ini.
Bagian
pertama buku ini membahas mengenai multi-definisi motherhood
berdasarkan konteks wilayah di Asia. Maila Stivens (hal. 29-50) membahas
mengenai pembentukan kultural terhadap ideologi motherhood di Malaysia
dan Singapura dengan pendapat bahwa politik kultural pengasuhan berimbas
pada munculnya variasi penggambaran seorang perempuan sebagai ibu atau
pekerja perempuan yang kemudian menjadi suatu isu nasional. Misalnya,
perpindahan perempuan dari wilayah domestik ke wilayah publik
dikhawatirkan akan menurunkan angka kelahiran bayi. Sementara itu, Keiko
Hirao (hal. 51-83) berbicara kontradiksi peran keibuan di Jepang. Keiko
memaparkan mengenai kondisi status-quo dimana perekonomian di Jepang
sangat berorientasi pada jenis kelamin laki-laki sehingga perempuan yang
bekerja hanya mendapatkan upah yang sangat minimal dan tanpa
mendapatkan asuransi kerja. Pada saat yang sama, pemerintah Jepang
menganjurkan para laki-laki dan perempuan di Jepang untuk menikah dan
memiliki anak. Kebijakan semacam ini menjadi kontradiktif ketika
pemerintah juga berusaha mendorong perempuan untuk meningkatkan
kiprahnya dalam bidang perekonomian. Pembahasan mengenai betapa
kompleksnya isu motherhood ini juga dipaparkan oleh Debbie Ong dalam
konteks Singapura, Daniele Belanger dan Xavier Oudin dalam konteks
Vietnam, dan Santosh Jatrana yang membahas motherhood di India Utara.
Bagian
terakhir dalam buku ini membahas mengenai fenomena globalisasi yang
membentuk motherhood di dalam dan di luar Asia. Misalnya Carolyn I.
Sobritchea yang membahas mengenai konstruksi mothering berdasarkan
pengalaman perempuan Filipina yang menjadi pekerja sebagai pembantu
rumah tangga di luar Filipina, misalnya di Hongkong, Arab Saudi dan
lain-lain. Sobritchea memaparkan bahwa long-distance mothering (yaitu
para ibu yang bekerja di tempat yang jauh dari tempat anak dan
keluarganya tinggal) semacam ini juga berarti akan semakin banyak hal
dikorbankan oleh perempuan, karena dalam waktu bersamaan dia menjadi
seorang ibu dan juga pekerja yang jauh dari rumah dan harus bergulat
dengan perasaan bersalah, kerinduan akan rumah dan anak-anak,
kekhawatiran akan anak-anaknya yang secara fisik berada jauh darinya,
dan lain sebagainya.
Pengalaman-pengalaman
perempuan Asia yang terangkum dalam buku ini dan dikaji oleh para
akademisi yang ahli dalam bidangnya melalui perspektif antropologi,
sosiologi, kajian gender, demografi, dan hukum ini menarik karena baik
editor maupun kontributor buku ini seperti berbagi kesadaran yang hampir
sama, bahwa menjadi perempuan yang bekerja sekaligus menjadi ibu di
Asia masih sangat sulit misalnya sebagaimana dipaparkan di atas, para
ibu yang bekerja namun dituntut untuk tidak meninggalkan peran mothering
untuk anak-anaknya. Kegagalan negara dalam melihat kontribusi perempuan
dalam dua hal, yaitu keluarga dan perekonomian, juga opresi yang
dialami oleh perempuan, ketidaksetaraan gender yang berdasarkan ras,
etnik, dan kelas, semakin mempersulit perempuan yang bekerja, terutama
sekali yang dalam waktu bersamaan juga menjadi seorang ibu.
*Resensi buku ini dimuat di Jurnal Perempuan 76, Vol. 18 No. 1, Maret 2013
No comments:
Post a Comment