Sebagian besar orang meyakini bahwa pernikahan sebagai ikatan
sakral diharapkan berlangsung selamanya, sebagaimana setiap kalimat penutup
dalam cerita dongeng. Namun, kehidupan nyata bukanlah dongeng. Pasangan
pernikahan tidak semudah titik terakhir “happily ever after”. Pernikahan
dalam beberapa perspektif melihat justru adalah starting point kehidupan.
Segala janji sakral dalam pernikahan, taburan bunga, ucapan selamat dan binar-binar
di dua pasang mata suami istri segera akan diuji dalam kehidupan rumah tangga.
Persoalan tidak berhenti di titik “saya sudah menikah” tapi justru pada
kehidupan pernikahan itulah segala persoalan bermunculan dan pada titik itulah
perceraian kadang menjadi jalan akhir. Jurnal Perempuan telah mengumpulkan
sejumlah data melalui beberapa media massa mengenai perceraian, dan menemukan
bahwa semakin banyak perempuan yang melakukan gugat cerai.
Angka Perceraian yang Terus Meningkat
Dalam 4 tahun terakhir, angka perceraian di
Indonesia mengalami peningkatan berdasarkan jumlah pengaduan, gugatan dan
dikabulkannya gugatan perceraian. Dalam berita di website resmi Menkokesra (24
Januari 2012) dan Poskota (Minggu 5 Februari 2012) disebutkan bahwa perceraian
di Indonesia tergolong paling tinggi. Pada tahun 2008 sebanyak 200 ribu kasus
perceraian dan pada tahun 2009 meningkat sampai 250 ribu kasus. Berdasarkan
data Direktorat Jenderal Bimas Islam Kementerian Agama RI tahun 2010, dari dua
juta orang yang menikah setiap tahun di Indonesia, ada 285.184 pasangan suami
istri yang berakhir dengan perceraian.
Tahun ini, Harian Poskota (Minggu, 11 Maret 2012)
mengabarkan bahwa selama tahun 2012 sudah ada 500 berkas pengajuan perceraian
yang masuk Pengadilan Agama (PA) Kota Bekasi berdasarkan pengaduan dari
pasangan yang masih produktif antara usia 23-40 tahun. Di daerah Kebumen,
sebagaimana diberitakan dalam Kompas (Kamis, 11 Februari 2010) sedikitnya 24
pegawai negeri sipil di lingkungan Pemerintah Kabupaten Kebumen mengajukan
perceraian. Sementara itu total kasus perceraian di Kebumen selama setahun
terakhir mencapai 2.047 perkara atau naik sampai 193 perkara dari tahun
sebelumnya yang hanya 1.854 perkara.
Perceraian Dianggap “Dosa” Perempuan
Berbagai media memberitakan bahwa angka perceraian
semakin tinggi setiap tahunnya disebabkan oleh beberapa hal. Menurut Agus
Syafi’i, sebagaimana dikutip dalam Poskota (Minggu, 5 Februari 2012) perceraian
disebabkan berbagai faktor seperti perselingkuhan, ketidakharmonisan, ekonomi
morat-marit bahkan persoalan sepele. Dari beberapa berita di media yang
berhasil dihimpun Jurnal Perempuan, menekankan bahwa pengajuan perceraian
banyak didominasi oleh perempuan, sebagaimana contoh berikut:
Tahun ini proses perceraian di Indonesia masih sangat
tinggi. Dari data yang dirilis Mahkamah Agung (MA), sebanyak 285.184 perceraian
terjadi di seluruh Indonesia. Anehnya, sebanyak 59 persen perceraian diajukan
oleh pihak istri.
“Dari
285.184 perceraian di seluruh Indonesia, 59 persen diajukan oleh istri, 29
persen oleh suami dan sisanya oleh pihak lain,” demikian rilis MA, Rabu, (3/8).
Dalam
keterangan pers itu, Badan Peradilan Agama MA (Badilag MA) menyebutkan,
permohonan gugatan cerai yang dilayangkan pihak istri sebanyak 190.280 kasus
perceraian. Sedangkan yang dilayangkan oleh laki-laki hanya setengahnya yaitu
94.099 kasus perceraian. (LensaIndonesia.com Kamis, 4 Agustus 2011)
Pemberitaan tersebut menunjukkan bahwa pengajuan
perceraian paling banyak dilakukan perempuan, dan tersirat dalam pemberitaan
bahwa kecenderungan ini dianggap aneh. Perempuan mengajukan perceraian dianggap
tidak lazim. Bahwa angka 59 persen dari keseluruhan kasus gugatan perceraian di
Indonesia diajukan oleh perempuan dianggap sesuatu yang ganjil. Sebuah point
of recognition perempuan menggugat bukanlah pada tempatnya. Padahal,
setelah perceraian terjadi, rata-rata perempuan tidak ingin mencari pendamping
baru atau memilih hidup mandiri, sementara pria cenderung mencari pasangan
baru.
Setelah
perceraian, sebagian besar mantan suami akan segera mencari pendamping hidup
baru. “Hanya 33 persen pria yang mengaku tidak akan kembali menikah setelah
perceraian,” ungkap survei tersebut seperti dilansir oleh MSBNC.
Sedangkan
bagi wanita, perceraian memberikan kebebasan dan identitas pribadi. Sebanyak 43
persen wanita yang bercerai mengkhawatirkan kejadian serupa akan mereka alami
saat menikah lagi. “Sebagian besar wanita yang bercerai mengakui lebih bahagia
daripada saat mereka menikah.” (LensaIndonesia.com Kamis, 4 Agustus 2011)
Namun sayang sekali bahkan pengamat yang diminta
pendapatnya tentang masalah ini menyimpulkan dengan cepat bahwa perceraian
disebabkan oleh gerakan emansipasi dan menyalahkan perempuan yang tidak cukup
bersabar untuk menyelesaikan persoalan rumah tangganya. Pendapat tersebut
mengabaikan pentingnya mengamati lebih dalam faktor-faktor apa saja yang
mendorong perceraian. Sementara itu, psikolog forensik Universitas Bina
Nusantara (Binus), Jakarta, Reza Indragiri Amriel, menilai gerakan emansipasi mendorong
perempuan lebih berani mengajukan gugatan cerai. Sayangnya, gerakan ini
mengakibatkan pandangan bahwa perceraian sebagai solusi atas permasalahan
ketidak harmonisan keluarga.
Pergeseran
cara pandang yang menilai perceraian masih dianggap sebagai puncak kegagalan
berumah tangga nampaknya sudah terkesan usang. Yang terjadi, bila ada masalah
maka sedikit-sedikit perempuan memilih cerai. (LensaIndonesia.com
Kamis, 4 Agustus 2011)
Dikatakan
Hamid, setiap harinya ada dua hakim yang memimpin 20 sidang perceraian. “Jumlah
hakim yang ada 10 orang, delapan di antaranya juga berperan sebagai mediator,”
tutur Hamid. Dikatakannya, beberapa faktor penyebab penceraian masih didominasi
permasalahan ekonomi. Tapi, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan
perselingkuhan, persentasenya juga relatif tinggi sebagai pemicu timbulnya
percekcokan sehingga mengajukan perceraian. “Sebagian kecil pihak istri juga
mengaku ingin bercerai karena suaminya menikah kembali,” tambahnya.
Seperti
dalam sidang perceraian antara Tubagus Maryani, 38, digugat cerai istrinya Ny.
Yuni, 29, yang disebabkan persoalan ekonomi. Sidang keduanya warga Desa
Bojongnangka, Kecamatan Cileungsi ini berlangsung singkat. Sebelumnya pasangan
yang sudah 12 tahun menikah sudah dua kali menjalani sidang termasuk dilakukan
mediasi. “Saya keukeh minta cerai karena tak tahan lagi,” ucap Ny. Yuni kepada
majelis hakim.
Berdasarkan
berkas gugat cerainya, diketahui Ny. Yuni minta cerai lantaran sudah dua tahuan
setengah tak diberi nafkah ekonomi. Selama itulah ibu dua anak berdagang nasi
sementara suaminya tak punya pekerjaan tetap. (Poskota, Senin 26 Maret 2012)
Poskota
(Senin, 26 Maret 2012) yang menyebutkan salah satu kasus perceraian: Ny. Irma,
23, ibu satu balita, yang mendaftarkan gugat cerai suaminya TY, 25, ke PA
Cibinong. Katanya, suami bersifat kekanakan, ringan tangan, dan tak mampu
mandiri membuatnya menggugat cerai. “Selama 21 bulan berumah tangga saya stres,
lebih baik hidup sendiri,” ucapnya. Suaminya mengandalkan hidup sebagai tukang
bangunan, secara ekonomi tak cukup, tapi itu bukan persoalan utama. “Saya kerja
jadi pembantu. Yang bikin malu dan stres jika tak ada gawean dia kerap marah
lalu merengek minta bantuan ke ibunya,” akunya.
Di Depok, dimana 30 persen dari 1.673 pengajuan
kasus gugat cerai adalah disebabkan oleh KDRT.
DEPOK,
RIMANEWS-Sebanyak 30 persen dari 1.673 pengajuan kasus gugat cerai di Kota
Depok disebabkan karena kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Namun hanya
sebagian kecil dari kasus KDRT tersebut yang terbukti di pengadilan.
Panitera
Hukum sekaligus Humas Pengadilan Agama Kota Depok, Arifudin mengatakan,
perempuan lebih mendominasi mengajukan gugatan perceraian dibandingkan
laki-laki pada tahun 2011. Pengajuan cerai talak yang diajukan laki-laki di
Kota Depok sebanyak 648 perkara atau hanya 28 persen dari kasus perceraian di
Kota Depok pada tahun itu. “Dari 1.673 kasus cerai yang diajukan perempuan,
sebanyak 30 persen disebabkan karena kekerasan dalam umah tangga,” ujarnya di
Depok, Rabu (18/1).
Meskipun
demikian, kata dia, hanya sedikit dari kasus KDRT tersebut yang terbukti di
pengadilan. Hal itu karena minimnya bukti KDRT. “Biasanya kasus KDRT dibuktikan
oleh visum, tapi yang namanya warga biasa saat kejadian KDRT berlangsung,
jarang yang terpikirkan untuk melakukan visum di rumah sakit,” ujar Arifudin.
Jumlah
kasus KDRT tersebut tercatat semakin bertambah seiring dengan meningkatnya
kasus perceraian di Kota Depok. Namun secara persentase, kisarannya masih sama
dari tahun sebelumnya. (Rimanews.com, Rabu 18 Januari 2012)
Kasus KDRT sulit dibuktikan di pengadilan karena
perlu menunjukkan bukti seperti hasil visum, dll. Sementara dalam keadaan
demikian perempuan jarang berpikir tentang visum.
Dalam berbagai kasus yang telah diuraikan,
perceraian bagi perempuan ibarat emergency door yang memang harus
diambil. Keputusan bercerai untuk keluar dari penderitaan bukan semata-mata
soal gerakan emansipasi, tetapi keinginan manusia untuk menjalani hidup yang
lebih baik. Mereka rela hidup menjanda untuk menjalani sendiri kehidupannya.
BOGOR
(Pos Kota) – Sekitar 500-an perempuan di Kabupaten Bogor selama Januari-akhir
Maret ini rela menjadi dan siap menjanda. Angka ini setidaknya tercatat di
Pengadilan Agama (PA) Cibinong yang telah menerima 522 berkas pengajuan cerai
selama 2010 ini.
Beberapa persepsi tampak dari pemberitaan media
bahwa kasus perceraian kesalahan ada pada perempuan, yang tidak mau bersabar
sedikit menjaga keutuhan rumah tangganya. Padahal persoalan perceraian tidak
lepas dari kedua belah pihak. Namun, dalam banyak pasangan suami istri,
perempuan terpaksa menjadi satu-satunya yang harus memegang tanggung jawab soal
“keutuhan rumah tangga”. Lebih dari itu, banyak kasus kekerasan yang terjadi
dan menempatkan perempuan sebagai korban. Beberapa perempuan memutuskan untuk
bertahan, sebab dia tidak memiliki pekerjaan dan dia tidak mampu meninggalkan
anaknya. Jadi, dia bertahan, lama, sampai batas ketahanannya menerima
penganiayaan membuatnya menyadari bahwa penganiayaan yang diterimanya sudah
semakin serius sehingga ia memutuskan untuk mengajukan gugatan cerai.
Perempuan, dalam posisi perceraian tetap dalam
posisi dikalahkan. Dia harus menanggung tanggung jawab sendirian. Ada
konsekuensi besar yang harus dia hadapi sebagai penyandang status janda.
Perempuan memutuskan bercerai harus berjuang sendiri menafkahi dirinya, juga
anaknya (jika memiliki anak). Bahkan jika perempuan korban kekerasan dalam
rumah tangga bertahan, dia bisa mati.
Sumber:
(*Dimuat dalam Jurnal Perempuan 73, Perkawinan dan Keluarga, April 2012)
No comments:
Post a Comment