Follow Us @soratemplates

Monday, November 12, 2018

Perempuan Yang (Di)Kalah(kan)

Sebagian besar orang meyakini bahwa pernikahan sebagai ikatan sakral diharapkan berlangsung selamanya, sebagaimana setiap kalimat penutup dalam cerita dongeng. Namun, kehidupan nyata bukanlah dongeng. Pasangan pernikahan tidak semudah titik terakhir “happily ever after”. Pernikahan dalam beberapa perspektif melihat justru adalah starting point kehidupan. Segala janji sakral dalam pernikahan, taburan bunga, ucapan selamat dan binar-binar di dua pasang mata suami istri segera akan diuji dalam kehidupan rumah tangga. Persoalan tidak berhenti di titik “saya sudah menikah” tapi justru pada kehidupan pernikahan itulah segala persoalan bermunculan dan pada titik itulah perceraian kadang menjadi jalan akhir. Jurnal Perempuan telah mengumpulkan sejumlah data melalui beberapa media massa mengenai perceraian, dan menemukan bahwa semakin banyak perempuan yang melakukan gugat cerai.

Angka Perceraian yang Terus Meningkat
Dalam 4 tahun terakhir, angka perceraian di Indonesia mengalami peningkatan berdasarkan jumlah pengaduan, gugatan dan dikabulkannya gugatan perceraian. Dalam berita di website resmi Menkokesra (24 Januari 2012) dan Poskota (Minggu 5 Februari 2012) disebutkan bahwa perceraian di Indonesia tergolong paling tinggi. Pada tahun 2008 sebanyak 200 ribu kasus perceraian dan pada tahun 2009 meningkat sampai 250 ribu kasus. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Bimas Islam Kementerian Agama RI tahun 2010, dari dua juta orang yang menikah setiap tahun di Indonesia, ada 285.184 pasangan suami istri yang berakhir dengan perceraian.

Tahun ini, Harian Poskota (Minggu, 11 Maret 2012) mengabarkan bahwa selama tahun 2012 sudah ada 500 berkas pengajuan perceraian yang masuk Pengadilan Agama (PA) Kota Bekasi berdasarkan pengaduan dari pasangan yang masih produktif antara usia 23-40 tahun. Di daerah Kebumen, sebagaimana diberitakan dalam Kompas (Kamis, 11 Februari 2010) sedikitnya 24 pegawai negeri sipil di lingkungan Pemerintah Kabupaten Kebumen mengajukan perceraian. Sementara itu total kasus perceraian di Kebumen selama setahun terakhir mencapai 2.047 perkara atau naik sampai 193 perkara dari tahun sebelumnya yang hanya 1.854 perkara.

Perceraian Dianggap “Dosa” Perempuan
Berbagai media memberitakan bahwa angka perceraian semakin tinggi setiap tahunnya disebabkan oleh beberapa hal. Menurut Agus Syafi’i, sebagaimana dikutip dalam Poskota (Minggu, 5 Februari 2012) perceraian disebabkan berbagai faktor seperti perselingkuhan, ketidakharmonisan, ekonomi morat-marit bahkan persoalan sepele. Dari beberapa berita di media yang berhasil dihimpun Jurnal Perempuan, menekankan bahwa pengajuan perceraian banyak didominasi oleh perempuan, sebagaimana contoh berikut:

Tahun ini proses perceraian di Indonesia masih sangat tinggi. Dari data yang dirilis Mahkamah Agung (MA), sebanyak 285.184 perceraian terjadi di seluruh Indonesia. Anehnya, sebanyak 59 persen perceraian diajukan oleh pihak istri.

Dari 285.184 perceraian di seluruh Indonesia, 59 persen diajukan oleh istri, 29 persen oleh suami dan sisanya oleh pihak lain,” demikian rilis MA, Rabu, (3/8).

Dalam keterangan pers itu, Badan Peradilan Agama MA (Badilag MA) menyebutkan, permohonan gugatan cerai yang dilayangkan pihak istri sebanyak 190.280 kasus perceraian. Sedangkan yang dilayangkan oleh laki-laki hanya setengahnya yaitu 94.099 kasus perceraian. (LensaIndonesia.com Kamis, 4 Agustus 2011)

Pemberitaan tersebut menunjukkan bahwa pengajuan perceraian paling banyak dilakukan perempuan, dan tersirat dalam pemberitaan bahwa kecenderungan ini dianggap aneh. Perempuan mengajukan perceraian dianggap tidak lazim. Bahwa angka 59 persen dari keseluruhan kasus gugatan perceraian di Indonesia diajukan oleh perempuan dianggap sesuatu yang ganjil. Sebuah point of recognition perempuan menggugat bukanlah pada tempatnya. Padahal, setelah perceraian terjadi, rata-rata perempuan tidak ingin mencari pendamping baru atau memilih hidup mandiri, sementara pria cenderung mencari pasangan baru.

Setelah perceraian, sebagian besar mantan suami akan segera mencari pendamping hidup baru. “Hanya 33 persen pria yang mengaku tidak akan kembali menikah setelah perceraian,” ungkap survei tersebut seperti dilansir oleh MSBNC.

Sedangkan bagi wanita, perceraian memberikan kebebasan dan identitas pribadi. Sebanyak 43 persen wanita yang bercerai mengkhawatirkan kejadian serupa akan mereka alami saat menikah lagi. “Sebagian besar wanita yang bercerai mengakui lebih bahagia daripada saat mereka menikah.” (LensaIndonesia.com Kamis, 4 Agustus 2011)

Namun sayang sekali bahkan pengamat yang diminta pendapatnya tentang masalah ini menyimpulkan dengan cepat bahwa perceraian disebabkan oleh gerakan emansipasi dan menyalahkan perempuan yang tidak cukup bersabar untuk menyelesaikan persoalan rumah tangganya. Pendapat tersebut mengabaikan pentingnya mengamati lebih dalam faktor-faktor apa saja yang mendorong perceraian. Sementara itu, psikolog forensik Universitas Bina Nusantara (Binus), Jakarta, Reza Indragiri Amriel, menilai gerakan emansipasi mendorong perempuan lebih berani mengajukan gugatan cerai. Sayangnya, gerakan ini mengakibatkan pandangan bahwa perceraian sebagai solusi atas permasalahan ketidak harmonisan keluarga.

Pergeseran cara pandang yang menilai perceraian masih dianggap sebagai puncak kegagalan berumah tangga nampaknya sudah terkesan usang. Yang terjadi, bila ada masalah maka sedikit-sedikit perempuan memilih cerai. (LensaIndonesia.com Kamis, 4 Agustus 2011)

 Pendapat dalam berita tersebut menampakkan bahwa bahwa gerakan emansipasi turut “menanggung dosa” karena mengakibatkan perempuan menjadi berani. Sementara perhatian pada fakta bahwa perceraian itu tidak serta merta terjadi begitu saja disebabkan himpitan ekonomi, bahkan kekerasan dalam rumah tangga, sebagaimana berita berikut ini:

Dikatakan Hamid, setiap harinya ada dua hakim yang memimpin 20 sidang perceraian. “Jumlah hakim yang ada 10 orang, delapan di antaranya juga berperan sebagai mediator,” tutur Hamid. Dikatakannya, beberapa faktor penyebab penceraian masih didominasi permasalahan ekonomi. Tapi, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan perselingkuhan, persentasenya juga relatif tinggi sebagai pemicu timbulnya percekcokan sehingga mengajukan perceraian. “Sebagian kecil pihak istri juga mengaku ingin bercerai karena suaminya menikah kembali,” tambahnya.

Seperti dalam sidang perceraian antara Tubagus Maryani, 38, digugat cerai istrinya Ny. Yuni, 29, yang disebabkan persoalan ekonomi. Sidang keduanya warga Desa Bojongnangka, Kecamatan Cileungsi ini berlangsung singkat. Sebelumnya pasangan yang sudah 12 tahun menikah sudah dua kali menjalani sidang termasuk dilakukan mediasi. “Saya keukeh minta cerai karena tak tahan lagi,” ucap Ny. Yuni kepada majelis hakim.

Berdasarkan berkas gugat cerainya, diketahui Ny. Yuni minta cerai lantaran sudah dua tahuan setengah tak diberi nafkah ekonomi. Selama itulah ibu dua anak berdagang nasi sementara suaminya tak punya pekerjaan tetap. (Poskota, Senin 26 Maret 2012)

 Nyonya Irma, (23) memutuskan melakukan pengajuan cerai karena mengalami KDRT, seperti dalam berita berikut ini.

Poskota (Senin, 26 Maret 2012) yang menyebutkan salah satu kasus perceraian: Ny. Irma, 23, ibu satu balita, yang mendaftarkan gugat cerai suaminya TY, 25, ke PA Cibinong. Katanya, suami bersifat kekanakan, ringan tangan, dan tak mampu mandiri membuatnya menggugat cerai. “Selama 21 bulan berumah tangga saya stres, lebih baik hidup sendiri,” ucapnya. Suaminya mengandalkan hidup sebagai tukang bangunan, secara ekonomi tak cukup, tapi itu bukan persoalan utama. “Saya kerja jadi pembantu. Yang bikin malu dan stres jika tak ada gawean dia kerap marah lalu merengek minta bantuan ke ibunya,” akunya.


Di Depok, dimana 30 persen dari 1.673 pengajuan kasus gugat cerai adalah disebabkan oleh KDRT.

DEPOK, RIMANEWS-Sebanyak 30 persen dari 1.673 pengajuan kasus gugat cerai di Kota Depok disebabkan karena kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Namun hanya sebagian kecil dari kasus KDRT tersebut yang terbukti di pengadilan.

Panitera Hukum sekaligus Humas Pengadilan Agama Kota Depok, Arifudin mengatakan, perempuan lebih mendominasi mengajukan gugatan perceraian dibandingkan laki-laki pada tahun 2011. Pengajuan cerai talak yang diajukan laki-laki di Kota Depok sebanyak 648 perkara atau hanya 28 persen dari kasus perceraian di Kota Depok pada tahun itu. “Dari 1.673 kasus cerai yang diajukan perempuan, sebanyak 30 persen disebabkan karena kekerasan dalam umah tangga,” ujarnya di Depok, Rabu (18/1).

Meskipun demikian, kata dia, hanya sedikit dari kasus KDRT tersebut yang terbukti di pengadilan. Hal itu karena minimnya bukti KDRT. “Biasanya kasus KDRT dibuktikan oleh visum, tapi yang namanya warga biasa saat kejadian KDRT berlangsung, jarang yang terpikirkan untuk melakukan visum di rumah sakit,” ujar Arifudin.

Jumlah kasus KDRT tersebut tercatat semakin bertambah seiring dengan meningkatnya kasus perceraian di Kota Depok. Namun secara persentase, kisarannya masih sama dari tahun sebelumnya. (Rimanews.com, Rabu 18 Januari 2012)

Kasus KDRT sulit dibuktikan di pengadilan karena perlu menunjukkan bukti seperti hasil visum, dll. Sementara dalam keadaan demikian perempuan jarang berpikir tentang visum.

Dalam berbagai kasus yang telah diuraikan, perceraian bagi perempuan ibarat emergency door yang memang harus diambil. Keputusan bercerai untuk keluar dari penderitaan bukan semata-mata soal gerakan emansipasi, tetapi keinginan manusia untuk menjalani hidup yang lebih baik. Mereka rela hidup menjanda untuk menjalani sendiri kehidupannya.

BOGOR (Pos Kota) – Sekitar 500-an perempuan di Kabupaten Bogor selama Januari-akhir Maret ini rela menjadi dan siap menjanda. Angka ini setidaknya tercatat di Pengadilan Agama (PA) Cibinong yang telah menerima 522 berkas pengajuan cerai selama 2010 ini.

 Perempuan: Pihak yang (di)Kalah(kan)
Beberapa persepsi tampak dari pemberitaan media bahwa kasus perceraian kesalahan ada pada perempuan, yang tidak mau bersabar sedikit menjaga keutuhan rumah tangganya. Padahal persoalan perceraian tidak lepas dari kedua belah pihak. Namun, dalam banyak pasangan suami istri, perempuan terpaksa menjadi satu-satunya yang harus memegang tanggung jawab soal “keutuhan rumah tangga”. Lebih dari itu, banyak kasus kekerasan yang terjadi dan menempatkan perempuan sebagai korban. Beberapa perempuan memutuskan untuk bertahan, sebab dia tidak memiliki pekerjaan dan dia tidak mampu meninggalkan anaknya. Jadi, dia bertahan, lama, sampai batas ketahanannya menerima penganiayaan membuatnya menyadari bahwa penganiayaan yang diterimanya sudah semakin serius sehingga ia memutuskan untuk mengajukan gugatan cerai.

Perempuan, dalam posisi perceraian tetap dalam posisi dikalahkan. Dia harus menanggung tanggung jawab sendirian. Ada konsekuensi besar yang harus dia hadapi sebagai penyandang status janda. Perempuan memutuskan bercerai harus berjuang sendiri menafkahi dirinya, juga anaknya (jika memiliki anak). Bahkan jika perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga bertahan, dia bisa mati.

Sumber:

(*Dimuat dalam Jurnal Perempuan 73, Perkawinan dan Keluarga, April 2012)

No comments:

Post a Comment