Follow Us @soratemplates

Showing posts with label Esai. Show all posts
Showing posts with label Esai. Show all posts

Tuesday, November 26, 2019

Cultural Identity and Diaspora – Stuart Hall*

November 26, 2019 0 Comments
Gambar dari Centre for Research in Cultural Studies

Hall merumuskan identitas budaya melalui definisi identitas sebagai sebuah ‘produk’ yang tidak pernah selesai, selalu berproses, dan selalu menjadi bagian di dalam representasi. Artikulasi representasi ini tidak bisa dilepaskan dari konteks diposisikan (being positioned) atau memposisikan (positioning). Diaspora sebagai model untuk membicarakan identitas budaya berawal dari festival film Karibia yang membuat Hall mempertanyakan identitas orang kulit hitam dalam film tersebut, siapa subjek yang muncul di layar itu dan dari mana ia berbicara. Diaspora menjadi model untuk membicarakan identitas budaya karena pengalaman diaspora didefinisikan tidak semata melalui esensinya tetapi juga dalam pengakuan heteroginitas dan keanekaragaman (konsep identitas yang hidup dalam dan melalui perbedaan; yaitu melalui hibriditas). Identitas diaspora ini sendiri terus bereproduksi melalui transformasi dan perbedaan. 


Hall mengungkapkan bahwa ada setidaknya dua cara berbeda dalam merumuskan identitas budaya. Yang pertama, identitas budaya diterjemahkan ke dalam satu identitas yang dimiliki secara kolektif dan biasanya dimiliki oleh sekelompok orang dari latar belakang sejarah dan nenek moyang yang sama karena adanya kepentingan untuk menyatukan masyarakat dalam satu kesatuan atau ‘oneness’. Hall mencontohkan orang-orang kulit hitam Karibia dan bagaimana diaspora kulit hitam ditemukan, dieksakavasi, dan diekspresikan melalui representasi sinematik. Konsepsi ini memainkan peran penting di semua perjuangan post-kolonial yang membentuk kembali dunia kita. Contohnya adalah puisi-puisi ‘negritude’ yang merepresentasikan masyarakat-masyarakat Afrika yang marjinal dan foto Francis ‘The Black Triangle’ yang menunjukkan bahwa identitas budaya orang kulit hitam diaspora berakar dari Afrika. 

Cara kedua dalam merumuskan identitas budaya adalah menerjemahkannya sebagai ‘proses menjadi’ sekaligus ‘proses mengada’. Identitas ini adalah bagian dari masa depan sekaligus masa lalu, bukan sesuatu yang sudah ada, tetapi melampaui tempat, waktu, sejarah dan budaya. Karena adanya intervensi sejarah, pertanyaan ‘siapa sesungguhnya kita’ berubah menjadi ‘telah menjadi siapa kita’. Di sini Hall menjelaskan identitas budaya sebagai suatu penempatan (positioning), bukan esensi; bagaimana menempatkan diri dalam narasi masa lalu, dan bagaimana narasi masa lalu memposisikan diri. Hall mencontohkan identitas kulit hitam Karibia yang merupakan hasil dialogis antara kontinuitas masa lalu dan diskontinuitas pengalaman: bagaimana orang kulit hitam Afrika ditarik ke dalam perbudakan, transportasi, penjajahan, migrasi dari Afrika. 

Penjelasan Hall mengenai identitas budaya dan diaspora sangat membantu dalam memahami fenomena sosial yang terjadi di sekitar kita, bahwa identitas budaya datang dari suatu tempat, memiliki sejarah, namun tidak selalu tetap melainkan cair dan terus berkembang. Dalam penelitian saya mengenai kampanye pernikahan muda di sosial media instagram, melihat pandangan Hall, saya menyadari bahwa identitas-identitas dari subjek yang saya teliti tidak tunggal namun sangat cair, dan bagaimana para pengkampanye atau pendukung kampanye tersebut membentuk identitas budaya mereka masing-masing meskipun sama-sama orang Indonesia dan beragama Islam.


*Tulisan ini merangkum bacaan Cultural Identity and Diaspora Stuart Hall yang menjadi salah satu tugas Pemetaan Cultural Studies yang diampu Prof. Melani Budianta.

Monday, November 12, 2018

How to Know Japan More by "The Johari Window" and "The Journey"*

November 12, 2018 0 Comments
Mia Fitria Agustina, S. S. & Khanifah


Abstract

Do not have to be a doctor to know how to cure, do not have to be an architect to know how to build, and do not have to be a Japanese expert to know about Japanese culture. Novel as reflection of life, can give all we want as readers. By reading it, we know how to cure, we know how to build, and we know about Japanese culture. This knowledge that we get from reading novel can be used to create better understanding about something that we want to know or can be used to create better understanding between individuals and groups. When this understanding is applied in diplomacy, it is not impossible that the diplomacy process will be faster, easier, and smoother. It becomes faster since misunderstanding can be avoided. It becomes easier since both sides understand what can be done and what cannot be done. And it is smoother as there is not any cultural misunderstanding. In understanding between individuals and groups, Joseph Luft and Harry Ingham develop the Johari Window. This window shows how to understand people by open area, blind area, avoided area and unknown area. Based on the theme of seminar which is how to optimize diplomacy by culture, the writers are going to explain the open area only (as the representation of tools to create better understanding) using a novel entitled The Journey by Jiro Osaragi since this novel is full of cultural issues. 




Key words: understanding, the Johari Window, the open area, the blind area, and the journey

INTRODUCTION

Literature helps us grow both personally and intellectually; it provides an objectives base for our knowledge and understanding, it helps us to connect ourselves to the cultural context of which we are a part; it enables us to recognize human dreams and struggles in different societies that we would never otherwise get to know; it helps us to develop mature sensibility and compassion for the condition of all living things—human, animal, vegetable; it gives us the knowledge and perception needed to appreciate the beauty of order and arrangement, just as a well-structured song or a beautifully done painting can; it provides the comparative basis from which we can see worthiness in the aims of all people, and it therefore help us see beauty in the world around us, it exercises our emotion through arousal of interest, concern, tension, excitement, hope, fear, regret, laughter, and sympathy (Edgar V. Roberts and Henry E. Jacobs, 1987).

“Potret Kemiskinan dan Perlawanan dalam Cerpen Senyum Karyamin Karya Ahmad Tohari"

November 12, 2018 0 Comments
Ini adalah esai singkat mengenai cerpen Senyum Karyamin karya Ahmad Tohari yang ditulis oleh adik saya Khanafi, yang waktu itu masih mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Jenderal Soedirman angkatan 2013. Ini adalah tugas kuliah pertama yang ditulisnya begitu menjadi mahasiswa Semester 1 dan merupakan tugas mata kuliah Pengantar Pengkajian Kesusastraan yang diampu oleh Bambang Lelono, dosen sekaligus budayawan di Banyumas. Berikut esai singkat yang ditulis oleh Khanafi:


“Potret Kemiskinan dan Perlawanan dalam Cerpen SENYUM KARYAMIN Karya Ahmad Tohari"
Oleh: Khanafi 



PENDAHULUAN
Cerpen Ahmad Tohari yang berjudul Senyum Karyamin ini berkisah tentang seorang laki-laki bernama Karyamin yang menjadi tokoh utama dalam kisah fiksi ini. Tokoh ini digambarkan sebagai seseorang yang bekerja menjadi pengumpul batu, pekerjaan yang berat dan tampaknya tidak memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarganya. 

Ahmad Tohari mengawali cerita itu dengan memberikan deskripsi yang mengisahkan bagaimana Karyamin saat sedang bekerja. Sebagai seorang pengumpul batu, Karyamin harus memikul dua keranjang besar berisi bebatuan dari sungai dan harus melewati tanjakan yang licin karena dibasahi air yang menetes dari tubuh Karyamin dan kawan-kawan, yang pulang balik mengangkat batu dari sungai ke pangkalan material di atas sana. 

Cerpen Senyum Karyamin menggambarkan bagaimana suasana saat Karyamin dan kawan-kawannya bekerja mengumpulkan batu; Karyamin yang didera rasa lapar karena perut belum terisi, tidak mampu membeli pecel karena tidak memiliki uang serta telah terlalu banyak hutang yang belum dibayarnya kepada Saidah si penjual pecel (termasuk hutang kepada bank dan tukang edar kupon buntut yang selalu menagih kepada istrinya) serta kawan-kawannya yang mencari hiburan dengan menertawakan diri mereka sendiri dan menertawakan kemalangan yang menimpa orang lain. Terlebih lagi, tengkulak sebagai orang yang membeli batu-batu yang mereka kumpulkan itu kabur membawa truk dan tidak membayar gaji para pengumpul batu termasuk Karyamin.

Re-thinking Feminism*

November 12, 2018 0 Comments
Dalam konteks Indonesia, feminisme sebagai sebuah pemikiran atau filsafat dan juga gerakan sosial menjadi sebuah topik yang selalu dibicarakan dalam berbagai diskursus keilmuan. Sebagai negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam, dan dengan semakin banyak dikenalnya reformis perempuan muslim yang memperjuangkan kesetaraan gender, perdebatan pandangan mengenai “penerimaan” diskursus feminisme dalam konteks masyarakat Islam Indonesia secara khusus semakin marak. Tulisan ini akan mencoba memberikan kontribusi pemikiran mengenai feminisme dalam konteks masyarakat Islam Indonesia. Pembahasan ini diawali dengan pemaparan singkat lahirnya feminisme secara umum, feminisme di Indonesia, dan feminisme kaitannya dengan pandangan masyarakat Islam di Indonesia.

*
I do not wish women to have power over men; but over themselves
--- Mary Wollstonecraft
*

1. Feminisme sebagai Perlawanan terhadap Ketidakadilan terhadap Perempuan

Perempuan Bekerja dan Tidak Bekerja: Mana Yang Lebih Berdaya?

November 12, 2018 0 Comments
The labor of women in the house, certainly, enables men to produce more than they otherwise could; and in this way women are economic factors in the society. But so are horses.” (Charlotte Perkins Gilman)

Kesselmen dkk (1999: 188) mengatakan bahwa pekerjaan rumah tangga yang dilakukan oleh perempuan sangat menguras tenaga dan waktu. Pekerjaan rumah tangga bahkan dilakukan sebelum matahari terbit . Ketika anak-anak pergi ke sekolah dan suami bekerja, perempuan kembali dihadapkan pada pekerjaan rumah tangga yang tak kunjung usai. Anak dan suami pulang, mereka perlu disiapkan makanan. Bahkan ketika malam, perempuan masih harus mendampingi anaknya belajar kemudian melayani suaminya. Pekerjaan perempuan di ranah domestik menguras tenaga, waktu dan membutuhkan keterampilan. Sementara itu, keterlibatan peran laki-laki dalam kegiatan domestik masih sangat jarang, sebab kebanyakan laki-laki diasosiasikan dalam peran mencari nafkah saja.

Charlotte Perkins Gilman (dalam Edles dan Scott, 2004: 204) menyatakan peran perempuan dalam ranah domestik sangat problematik, dan tidak ada jaminan serta penghargaan dalam bentuk materi. Perempuan memberikan kesempatan yang lebih kepada laki-laki dalam melakukan kegiatan ekonomi. Laki-laki menjadi satu-satunya agen ekonomi tempat perempuan bergantung secara finansial. Lebih lanjut, Gilman membandingkan posisi perempuan dalam relasi tersebut ibarat kuda dengan majikannya, yang keduanya sama-sama tidak merdeka. Perumpamaan kuda dan majikannya ini menggambarkan bagaimana perempuan dalam rumah tangga bekerja dari pagi sampai malam tetapi tidak dibayar, seperti peliharaan (kuda) di dalam rumah. Bahkan segala status sosial dan ekonominya selalu mengikuti suaminya, bukan pencapaian sendiri.


Perempuan Yang (Di)Kalah(kan)

November 12, 2018 0 Comments
Sebagian besar orang meyakini bahwa pernikahan sebagai ikatan sakral diharapkan berlangsung selamanya, sebagaimana setiap kalimat penutup dalam cerita dongeng. Namun, kehidupan nyata bukanlah dongeng. Pasangan pernikahan tidak semudah titik terakhir “happily ever after”. Pernikahan dalam beberapa perspektif melihat justru adalah starting point kehidupan. Segala janji sakral dalam pernikahan, taburan bunga, ucapan selamat dan binar-binar di dua pasang mata suami istri segera akan diuji dalam kehidupan rumah tangga. Persoalan tidak berhenti di titik “saya sudah menikah” tapi justru pada kehidupan pernikahan itulah segala persoalan bermunculan dan pada titik itulah perceraian kadang menjadi jalan akhir. Jurnal Perempuan telah mengumpulkan sejumlah data melalui beberapa media massa mengenai perceraian, dan menemukan bahwa semakin banyak perempuan yang melakukan gugat cerai.

Angka Perceraian yang Terus Meningkat
Dalam 4 tahun terakhir, angka perceraian di Indonesia mengalami peningkatan berdasarkan jumlah pengaduan, gugatan dan dikabulkannya gugatan perceraian. Dalam berita di website resmi Menkokesra (24 Januari 2012) dan Poskota (Minggu 5 Februari 2012) disebutkan bahwa perceraian di Indonesia tergolong paling tinggi. Pada tahun 2008 sebanyak 200 ribu kasus perceraian dan pada tahun 2009 meningkat sampai 250 ribu kasus. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Bimas Islam Kementerian Agama RI tahun 2010, dari dua juta orang yang menikah setiap tahun di Indonesia, ada 285.184 pasangan suami istri yang berakhir dengan perceraian.