Dulu aku sering bertanya-tanya, apakah
kenangan bisa dihela dan dilupakan bersama hembusan nafas. Atau meluruh bersama
hujan. Atau lenyap begitu seja seiring terbentuknya memori-memori baru. Aku
sendiri sudah mencoba melupakan puluhan kali sampai kadang-kadang pikiran
isengku muncul untuk membuat sebuah buku berjudul ‘cara-cara melupakan’. Tapi
bagaimana bisa, sedang upayaku untuk melupakan saja tak pernah ada satupun yang
berhasil. Dan semakin ke sini, aku tahu bahwa semakin berusaha melupakan,
justru malah semakin tidak bisa. Sampai akhirnya aku sadar bahwa satu-satunya
cara melupakan tanpa berujung kegagalan hanyalah dengan mencopot kepala dari badan.
Di dinding-dinding beton rumah sakit itu,
aku masih melihat wajah kakekku. Di pelataran yang jadi tempat parkir mobil dan
motor, aku juga melihat kakekku yang bertelanjang kaki, dengan lumpur yang
membenamkan seluruh pergelangan kakinya nyaris mencapai lutut. Rumah sakit
megah ini, berdiri di persawahan milik kakekku yang terpaksa harus dilepasnya
karena tak ada lagi keluarga yang membelanya.
Kau sudah tua, sudah waktunya berhenti
bertani. Anak cucumu tak ada yang mau bertani. Begitu kata orang-orang yang
akhirnya meninggalkan beberapa ratus ribu rupiah untuk sekian petak sawah yang
dirawat kakekku. Beberapa petak tanah yang tak dijualnya, ia hadiahkan semua
pada adik-adik tirinya yang jumlahnya lebih dari jari-jari di satu tangan. Setelah
kehilangan seluruh tanah persawahan yang pernah begitu dicintainya, usia senjanya
ia habiskan mengurus anak-anak orang yang dititipkan mengaji di sebuah langar kecil
di samping rumahnya.
Rumah yang dulu ditinggali kakekku adalah sebuah
rumah memanjang dengan batu-bata merah dan tegel semen kelabu. Bagian paling
depan adalah rumah kayu yang berisi kamar kakekku, rak-rak berisi kitab-kitab
tebal berhuruf arab dan pegon, dan sebuah televisi tabung hitam putih. Kadang-kadang
aku suka tidur di sana, mendengarkan dongeng-dongeng, cerita nabi, dan cerita
wayang yang sebetulnya tak pernah begitu kupahami. Tapi aku senang
mendengarnya.
Kala adzan maghrib berkumandang, aku akan
beranjak menuju langgar sambal mengekor kakek. Ikut sholat di pangimaman sambal
mencuri kesempatan untuk naik ke punggungnya saat ia sujud. Mengaji bersamanya
juga menyenangkan. Meski bodoh mengeja alif ba ta, kakek tak pernah memarahiku.
Berbeda dengan ibu. Bersama ibu, membaca basmalah saja sudah begitu menakutkan.
Makhraj yang salah bisa berujung cubitan dan bentakan yang mengerikan.
Kini, rumah memanjang milik kakekku sudah
binasa. Yang ada hanya sebuah rumah kecil berarsitektur modern yang ditinggali mendiang
nenekku selepas kakekku tiada. Langgar kayu yang dulu juga kini sudah dipugar
lebih modern. Empang di samping langgar yang dulu dihuni ikan-ikan gemuk segala rupa juga sudah tidak ada; hanya terlihat sisa ceruk lebar yang kini mengering. Segala kenangan-kenangan masa kecilku pun seperti ikut luntur Bersama
bangunan-bangunan yang kini punah itu.
Kembali ke tanah itu rasanya serupa menziarahi
kenangan-kenangan yang menyenangkan sekaligus menyakitkan. Ada begitu banyak
kenangan buruk yang membersamai masa-masa indah itu dan begitu ingin kulupakan.
Tetapi semua kenangan baik dan buruk itu serupa wajah di kedua sisi mata koin
yang sama; keberadaannya bebarengan menjadi satu dan kita tidak bisa memilih
salah satunya.
Jadi, satu-satunya cara adalah berdamai. Menyaksikan
tanah-tanah hijau yang begitu berarti bagi kakekku dulu itu menjadi
bangunan-bangunan berbeton. Mata air-mata air alami tempatku dulu bermain dan
mandi kini kering. Pohon-pohon murbei dan cimplukan yang buahnya segar dan
sering kumakan saat main masak-masakan juga kini tiada. Tanah itu telah berubah
Kek, begitu asing, begitu asing…
Purwokerto, 10 Mei 2020
No comments:
Post a Comment