Ilustrasi diambil dari https://www.beutlerink.com/blog/2015-mashup-illustration/ |
Adakah teman-teman yang suka mengikuti
serial Marvel atau Star Wars, membaca buku-buku Tereliye, menikmati kopi
kekinian seperti Kopi Kenangan, Janji Jiwa, Dalgona coffee? Apakah teman-teman
juga ada yang aktif di Instagram atau media sosial lain seperti facebook, kemudian
suka bertukar meme, suka musik dangdut, pernah tergila-gila dengan Noah atau
Dewa 19? Apa film dan music favorit teman-teman? Apa kedai kopi/cafƩ yang
paling sering teman-teman kunjungi?
Lalu, ketika mendengar kata budaya
popular, apa yang ada dalam pikiran teman-teman?
Selama ini nampaknya kita tanpa sadar mengamini bahwa
yang disebut budaya adalah seperti budaya daerah: tari-tarian, upacara adat,
baju daerah, bahasa daerah atau seni-sastra adiluhung seperti Shakespeare,
Monalisa, musik klasik. Kemudian, hal-hal yang saya sebutkan di bagian awal yang
kerap dikenal sebagai produk budaya populer apakah bukan kategori budaya?
Padahal kita tahu, ada begitu banyak perubahan yang
terjadi karena budaya populer. Misalnya saja industri mainan berubah karena
Star Wars atau Toy Story. Cara pandang kita tentang tubuh perempuan ideal
berubah karena boneka Barbie. Cara kita mengkonsumsi kopi berubah karena
Dalgona Coffee. Cara pandang kita tentang kecantikan berubah karena iklan
kosmetik atau menonton beauty vlogger.
Masihkan kita berkata kalau budaya populer tidak
penting? Lalu, apa sih budaya itu?
Jika merujuk pada pengertian budaya yang diajukan oleh
para pemikir kajian budaya seperti Raymond Williams, maka budaya bisa diartikan
sebagai sebuah cara hidup atau praktek hidup sehari-hari. Sehingga perayaan
Idul Fitri, liburan sekolah, sinetron, musik dangdut, komik, makan rame-rame
menggunakan tangan, jajan kopi kekinian, novel Twillight yang semuanya terlihat
sepele, biasa, dan tidak berarti sebetulnya adalah budaya.
Istilah budaya popular sendiri muncul untuk
menunjukkan beragam budaya yang bisa jadi diproduksi secara massal sehingga ada
dimana-mana, menarik sehingga populer di banyak kalangan, dan disukai oleh
banyak orang. Berbeda dengan misalnya Monalisa, atau konser musik klasik yang
hanya bisa dinikmati oleh kalangan tertentu, budaya populer justru adalah
budaya yang dinikmati oleh banyak orang secara massal.
Budaya populer yang begitu lekat dengan kehidupan kita
sehari-hari biasanya diabaikan karena dianggap sepele dan tidak penting. Atau
dianggap sebatas rutinitas belaka sehingga tidak berarti apa-apa, tidak
disadari, dan tidak dipikirkan lagi. Justru di sinilah pentingnya memahami
budaya populer. Fakta bahwa ia dikonsumsi oleh begitu banyak orang, menunjukkan
bahwa budaya ini merepresentasikan pengalaman-pengalaman orang-orang kebanyakan
sehingga semestinya tidak diabaikan.
Dari beberapa istilah di atas, kita bisa melihat bahwa
kita hidup di tengah-tengah budaya populer dan mustahil melepaskan diri darinya.
Kita ada di sana, sebagai konsumen sekaligus produsen. Turut berparisipasi
dalam siklus pergerakannya, memilih untuk mendengarkan atau tidak, memilih
untuk membeli atau tidak. Sehingga, apa yang selama ini dianggap sebagai budaya
populer sebetulnya tak kurang “budaya” dari budaya-budaya adiluhung lainnya.
Budaya populer ini justru sama pentingnya dengan budaya adiluhung. Sebab kalau mengatakan
bahwa budaya populer ini bukan budaya, berarti kita mengafirmasi perbedaan
kelas antara kelas elit dan kelas kebanyakan.
Sehingga, meskipun budaya populer ini dianggap tidak
penting, sebetulnya budaya populer ini penting dan tidak bisa diabaikan. Karena
budaya populer membantu kita memahami banyak hal melalui apa yang disukai dan
dianggap penting oleh banyak orang. Dalam salah satu tulisannya tentang budaya
populer di Indonesia, Ariel Heryanto menunjukkan betapa pentingnya budaya
populer dengan menyatakan bahwa ada sebuah lubang atau kekosongan dalam
kajian-kajian tentang Indonesia karena kurangnya kajian mengenai budaya populer
yang selama ini tidak dianggap, disalahpahami, atau dianggap tidak penting.
Purwokerto, 4 Mei 2020
*Tulisan ini dibawakan dalam diskusi open mic tadarus online bersama DSC (Dunia Santri Community pada 4 Mei 2020)
No comments:
Post a Comment