Follow Us @soratemplates

Monday, May 4, 2020

Budaya Populer*

Ilustrasi diambil dari https://www.beutlerink.com/blog/2015-mashup-illustration/

Adakah teman-teman yang suka mengikuti serial Marvel atau Star Wars, membaca buku-buku Tereliye, menikmati kopi kekinian seperti Kopi Kenangan, Janji Jiwa, Dalgona coffee? Apakah teman-teman juga ada yang aktif di Instagram atau media sosial lain seperti facebook, kemudian suka bertukar meme, suka musik dangdut, pernah tergila-gila dengan Noah atau Dewa 19? Apa film dan music favorit teman-teman? Apa kedai kopi/cafƩ yang paling sering teman-teman kunjungi?
Lalu, ketika mendengar kata budaya popular, apa yang ada dalam pikiran teman-teman?
Selama ini nampaknya kita tanpa sadar mengamini bahwa yang disebut budaya adalah seperti budaya daerah: tari-tarian, upacara adat, baju daerah, bahasa daerah atau seni-sastra adiluhung seperti Shakespeare, Monalisa, musik klasik. Kemudian, hal-hal yang saya sebutkan di bagian awal yang kerap dikenal sebagai produk budaya populer apakah bukan kategori budaya?
Padahal kita tahu, ada begitu banyak perubahan yang terjadi karena budaya populer. Misalnya saja industri mainan berubah karena Star Wars atau Toy Story. Cara pandang kita tentang tubuh perempuan ideal berubah karena boneka Barbie. Cara kita mengkonsumsi kopi berubah karena Dalgona Coffee. Cara pandang kita tentang kecantikan berubah karena iklan kosmetik atau menonton beauty vlogger.
Masihkan kita berkata kalau budaya populer tidak penting? Lalu, apa sih budaya itu?
Jika merujuk pada pengertian budaya yang diajukan oleh para pemikir kajian budaya seperti Raymond Williams, maka budaya bisa diartikan sebagai sebuah cara hidup atau praktek hidup sehari-hari. Sehingga perayaan Idul Fitri, liburan sekolah, sinetron, musik dangdut, komik, makan rame-rame menggunakan tangan, jajan kopi kekinian, novel Twillight yang semuanya terlihat sepele, biasa, dan tidak berarti sebetulnya adalah budaya.
Istilah budaya popular sendiri muncul untuk menunjukkan beragam budaya yang bisa jadi diproduksi secara massal sehingga ada dimana-mana, menarik sehingga populer di banyak kalangan, dan disukai oleh banyak orang. Berbeda dengan misalnya Monalisa, atau konser musik klasik yang hanya bisa dinikmati oleh kalangan tertentu, budaya populer justru adalah budaya yang dinikmati oleh banyak orang secara massal.
Budaya populer yang begitu lekat dengan kehidupan kita sehari-hari biasanya diabaikan karena dianggap sepele dan tidak penting. Atau dianggap sebatas rutinitas belaka sehingga tidak berarti apa-apa, tidak disadari, dan tidak dipikirkan lagi. Justru di sinilah pentingnya memahami budaya populer. Fakta bahwa ia dikonsumsi oleh begitu banyak orang, menunjukkan bahwa budaya ini merepresentasikan pengalaman-pengalaman orang-orang kebanyakan sehingga semestinya tidak diabaikan.  
Dari beberapa istilah di atas, kita bisa melihat bahwa kita hidup di tengah-tengah budaya populer dan mustahil melepaskan diri darinya. Kita ada di sana, sebagai konsumen sekaligus produsen. Turut berparisipasi dalam siklus pergerakannya, memilih untuk mendengarkan atau tidak, memilih untuk membeli atau tidak. Sehingga, apa yang selama ini dianggap sebagai budaya populer sebetulnya tak kurang “budaya” dari budaya-budaya adiluhung lainnya. Budaya populer ini justru sama pentingnya dengan budaya adiluhung. Sebab kalau mengatakan bahwa budaya populer ini bukan budaya, berarti kita mengafirmasi perbedaan kelas antara kelas elit dan kelas kebanyakan.  
Sehingga, meskipun budaya populer ini dianggap tidak penting, sebetulnya budaya populer ini penting dan tidak bisa diabaikan. Karena budaya populer membantu kita memahami banyak hal melalui apa yang disukai dan dianggap penting oleh banyak orang. Dalam salah satu tulisannya tentang budaya populer di Indonesia, Ariel Heryanto menunjukkan betapa pentingnya budaya populer dengan menyatakan bahwa ada sebuah lubang atau kekosongan dalam kajian-kajian tentang Indonesia karena kurangnya kajian mengenai budaya populer yang selama ini tidak dianggap, disalahpahami, atau dianggap tidak penting.

Purwokerto, 4 Mei 2020
*Tulisan ini dibawakan dalam diskusi open mic tadarus online bersama DSC (Dunia Santri Community pada 4 Mei 2020)

No comments:

Post a Comment