Follow Us @soratemplates

Showing posts with label Catatan Harian. Show all posts
Showing posts with label Catatan Harian. Show all posts

Sunday, May 10, 2020

Ziarah

May 10, 2020 0 Comments

Dulu aku sering bertanya-tanya, apakah kenangan bisa dihela dan dilupakan bersama hembusan nafas. Atau meluruh bersama hujan. Atau lenyap begitu seja seiring terbentuknya memori-memori baru. Aku sendiri sudah mencoba melupakan puluhan kali sampai kadang-kadang pikiran isengku muncul untuk membuat sebuah buku berjudul ‘cara-cara melupakan’. Tapi bagaimana bisa, sedang upayaku untuk melupakan saja tak pernah ada satupun yang berhasil. Dan semakin ke sini, aku tahu bahwa semakin berusaha melupakan, justru malah semakin tidak bisa. Sampai akhirnya aku sadar bahwa satu-satunya cara melupakan tanpa berujung kegagalan hanyalah dengan mencopot kepala dari badan.

Di dinding-dinding beton rumah sakit itu, aku masih melihat wajah kakekku. Di pelataran yang jadi tempat parkir mobil dan motor, aku juga melihat kakekku yang bertelanjang kaki, dengan lumpur yang membenamkan seluruh pergelangan kakinya nyaris mencapai lutut. Rumah sakit megah ini, berdiri di persawahan milik kakekku yang terpaksa harus dilepasnya karena tak ada lagi keluarga yang membelanya.

Kau sudah tua, sudah waktunya berhenti bertani. Anak cucumu tak ada yang mau bertani. Begitu kata orang-orang yang akhirnya meninggalkan beberapa ratus ribu rupiah untuk sekian petak sawah yang dirawat kakekku. Beberapa petak tanah yang tak dijualnya, ia hadiahkan semua pada adik-adik tirinya yang jumlahnya lebih dari jari-jari di satu tangan. Setelah kehilangan seluruh tanah persawahan yang pernah begitu dicintainya, usia senjanya ia habiskan mengurus anak-anak orang yang dititipkan mengaji di sebuah langar kecil di samping rumahnya.

Rumah yang dulu ditinggali kakekku adalah sebuah rumah memanjang dengan batu-bata merah dan tegel semen kelabu. Bagian paling depan adalah rumah kayu yang berisi kamar kakekku, rak-rak berisi kitab-kitab tebal berhuruf arab dan pegon, dan sebuah televisi tabung hitam putih. Kadang-kadang aku suka tidur di sana, mendengarkan dongeng-dongeng, cerita nabi, dan cerita wayang yang sebetulnya tak pernah begitu kupahami. Tapi aku senang mendengarnya.

Kala adzan maghrib berkumandang, aku akan beranjak menuju langgar sambal mengekor kakek. Ikut sholat di pangimaman sambal mencuri kesempatan untuk naik ke punggungnya saat ia sujud. Mengaji bersamanya juga menyenangkan. Meski bodoh mengeja alif ba ta, kakek tak pernah memarahiku. Berbeda dengan ibu. Bersama ibu, membaca basmalah saja sudah begitu menakutkan. Makhraj yang salah bisa berujung cubitan dan bentakan yang mengerikan.

Kini, rumah memanjang milik kakekku sudah binasa. Yang ada hanya sebuah rumah kecil berarsitektur modern yang ditinggali mendiang nenekku selepas kakekku tiada. Langgar kayu yang dulu juga kini sudah dipugar lebih modern. Empang di samping langgar yang dulu dihuni ikan-ikan gemuk segala rupa juga sudah tidak ada; hanya terlihat sisa ceruk lebar yang kini mengering. Segala kenangan-kenangan masa kecilku pun seperti ikut luntur Bersama bangunan-bangunan yang kini punah itu.

Kembali ke tanah itu rasanya serupa menziarahi kenangan-kenangan yang menyenangkan sekaligus menyakitkan. Ada begitu banyak kenangan buruk yang membersamai masa-masa indah itu dan begitu ingin kulupakan. Tetapi semua kenangan baik dan buruk itu serupa wajah di kedua sisi mata koin yang sama; keberadaannya bebarengan menjadi satu dan kita tidak bisa memilih salah satunya.

Jadi, satu-satunya cara adalah berdamai. Menyaksikan tanah-tanah hijau yang begitu berarti bagi kakekku dulu itu menjadi bangunan-bangunan berbeton. Mata air-mata air alami tempatku dulu bermain dan mandi kini kering. Pohon-pohon murbei dan cimplukan yang buahnya segar dan sering kumakan saat main masak-masakan juga kini tiada. Tanah itu telah berubah Kek, begitu asing, begitu asing…

Purwokerto, 10 Mei 2020

Thursday, May 7, 2020

Meski Ambyar Hatiku, Selamat Berpulang Didi Kempot!

May 07, 2020 0 Comments
Foto dari NU Online yang saya dapat dari kiriman pesan WA seorang kawan
Kemarin, Didi Kempot berpulang. Selalu ada rasa pedih dan kehilangan ketika mendengar orang yang namanya akrab dengan kehidupan kita sehari-hari tiada. Berita itu juga datang begitu tiba-tiba. Memang maut selalu demikian, tidak pernah memberi aba-aba. Tapi, beberapa hari sebelumnya, kita masih mendengar konser amalnya tembus angka sekian milyar dan didedikasikan untuk mereka yang terdampak COVID19. Wajar belaka jika sekian detik pasca mendengar kabar duka itu kita tertegun tak percaya. 

Tentu warisan Didi Kempot bukan konser amal saja. Salah satu yang lain adalah jasa besarnya mempopulerkan istilah "ambyar" ke dalam kosa-kata keseharian berbahasa Indonesia kita. Bahkan ulasan-ulasan dari mulai yang filosofis sampai biasa-biasa saja muncul merespon kata "ambyar" tersebut.

Saya sendiri bukan fans berat Didi Kempot atau lagu-lagunya. Justru, saya barangkali adalah sedikit orang yang nyaris tidak pernah ikut euforia dengan populernya lagu-lagu "ambyar" tersebut. Tetapi, meskipun bukan termasuk fans beratnya, rasa duka akibat kehilangan yang kurasakan nampaknya bukanlah rasa duka ikut-ikutan semata.

Ketika kuingat-ingat kembali, aku memang tidak pernah secara sengaja memutar lagu-lagu Didi Kempot. Tak ada satupun lagunya masuk ke dalam daftar favorit di playlist spotify milikku. Tapi, bukan berarti lagu-lagu itu tidak akrab di telingaku. Sesekali, tanpa sadar, mulutku ikut mendengungkan nada-nada lagu yang tidak pernah betul-betul kusukai tersebut.


Dek opo salah awakku iki

Kowe nganti tego mblenjani janji


Aku nelongso mergo ke bacut tresno
Ora ngiro saikine cidro
Wes samestine ati iki nelongso

Wong seng tak tresnani mblenjani janji

Lagu-lagunya telah menjadi bagian tidak terpisahkan dalam kehidupan keseharianku karena terlalu seringnya lagu-lagu itu mengalun dan mengakrabi telingaku tanpa pernah kuminta. Bahkan lagu lawasnya, Stasiun Balapan, nyaris kuhafal di luar kepala keseluruhan liriknya. Dalam perjalanan-perjalananku naik kereta melewati Stasiun Purwokerto-Stasiun Gubeng atau Stasiun Gambir-Stasiun Gubeng yang intensitasnya tidak pernah berkurang beberapa tahun terakhir ini, aku suka diam-diam menyanyikannya, khususnya ketika kereta yang kunaiki berhenti sejenak di Stasiun Solo Balapan. Dan kadang-kadang, tanpa kumau, sambil menggumamkan lagunya tanpa sadar, aku seperti ikut menjiwai rasa sedih dan melankolisnya... 

Ning Stasiun Balapan
Rasane Koyo Wong Kelangan
Kowe Ninggal Aku
Ra Kroso Netes Eluh Ning Pipiku
Da... Dada Sayang
Da... Slamat Jalan

Janji Lungo Mung Sedelo
Jare Sewulan Ra Ono
Pamitmu Naliko Semono
Ning Stasiun Balapan Solo

Betul. Didi Kempot dan lagu-lagunya mau tidak mau telah menjadi bagian tidak terpisahkan dari kehidupan sehari-hariku, barangkali kita. Ia menjadi rutinitas, menjadi kebiasaan. Sehingga tanpa sadar, kita semua akrab dengan lirik-liriknya yang membuat hati "ambyar" itu. Selaiknya kebiasaan atau rutinitas, kita nyaris mustahil hidup tanpanya. Iya kan? How do we fix habit? We can't. Even if we can, it will be very hard and painful.

Sebagai seseorang yang tidak pernah secara sukarela mengakrabi lagu-lagunya, dua hari ini, aku memutar semua lagu-lagu Didi Kempot di spotify, setengah berharap bahwa aku mengakrabi lagu-lagu ini sejak dulu, lalu ikut berdiri di tengah-tengah penonton konsernya sambil meneriakkan lirik-lirik lagu patah hati ini sampai serak. Tapi, kesadaran memang kadang suka datang terlambat bukan? Meski ambyar hatiku, dengan duka dan kehilangan, aku ingin berkata: selamat berpulang Didi Kempot...

Purwokerto, 7 Mei 2020 
   


Tuesday, May 5, 2020

Mendengarkan Versi Lain "The Sound Of Silence"

May 05, 2020 0 Comments
Ilustrasi diambil dari https://www.tvtime.com/en/show/311903
Serial The Blacklist barangkali adalah sedikit serial televisi yang betul-betul saya ikuti dan membuat saya begitu tenggelam secara emosional dalam ceritanya. Tayang pertama pada 2013, tahun ini adalah tahun ke-tujuh serial ini membersamai para penonton setianya. Tentu banyak yang sepakat bahwa Season 1 adalah yang terbaik di antara semuanya, tetapi fakta bahwa di Season 7 yang masih berlangsung ini ternyata masih banyak yang menonton dan menanti kejutan-kejutan berikut (seperti, siapa sih sebetulnya Raymond Reddington kalau ternyata dia yang sekarang ini adalah imposter?) membuktikan bahwa masih banyak orang yang enggan melewatkan cerita Red. Lagian, apa sih yang lebih memukau dari seorang penjahat kriminal paling dicari tiba-tiba masuk ke lobby kantor FBI untuk menyerahkan diri? Bagi mereka yang bukan penggemar serial ini pasti akan menjawab: banyak! Tentu saja. 

Lagi pula banyak hal sudah terjadi sejak peristiwa Red menyerahkan diri; plot-twist yang menyebalkan, kemarahan, pengkhianatan, love-hate feeling antara Liz dengan Raymond Reddington yang seperti ayahnya sendiri, kemunculan Katarina Rostova ibu kandung Liz yang awalnya dikira sudah mati, kematian orang-orang di dekat Liz dan Red seperti Mr. Kaplan dan Tom. Iya Tom Keen!

Satu dari banyak hal yang membekas tentang serial ini adalah lagu-lagu penyertanya yang bagus-bagus. Beberapa lagu Elton John, Bob Dylan, Nancy Sinatra, AC/DC, Fink, dan beberapa penyanyi favorit saya menyertai episode-episode The Blacklist dari Season 1. Ada satu lagu yang ketika saya dengarkan lagi di luar film ini membawa campuran emosi marah, sedih, dan putus asa yang menyesakkan. Lagu itu adalah The Sound Of Silence.

The Sound Of Silence yang menjadi lagu pengiring salah satu episode di serial The Blacklist ini (di salah satu Season 5 kalau tidak salah) bukanlah versi asli yang dinyanyikan oleh Simon & Garfunkel; yang tentu saja sendu, melankolis, lembut. Tetapi versi cover yang dinyanyikan oleh salah satu band rock alternative, Disturbed. Lagu ini muncul ketika Liz dan suaminya, Tom Keen terkapar sekarat setelah segala adegan kejar-kejaran-kucing-kucingan yang mendebarkan. Keduanya dilarikan ke rumah sakit di mobil yang sama. Di luar, suara sirine meraung-raung. Sementara Red, dengan ekspresi khawatir di wajahnya, duduk di samping Liz dengan tangan terulur merengkuh perempuan yang begitu disayanginya seperti anaknya sendiri. Tapi kita semua tahu, meski enggan mengakui, bahwa kondisi Tom Keen yang luka parah hampir mati itu salah satunya disebabkan oleh Red juga. Satu kalimat pendek "How long?" dari Red pada Dembe yang menyupir di depan mengimplikasikan ketidaksabaran Red untuk segera tiba di Rumah Sakit. Sementara percakapan pendek dengan nafas terengah-engah antara Liz dan Tom Keen seperti sebuah seremoni ucapan selamat tinggal yang menyesakkan. Lalu, lagu The Sound Of Silence yang dinyanyikan Disturbed menyalak keras, membawa rasa marah dan putus asa yang tidak terbayangkan.   

Sejak saat itu, persepsi saya pada lagu The Sound Of Silence berubah. Setiap lagu itu mengalun, mau tak mau saya akan teringat malam jahanam itu: ketika Liz kehilangan Tom dan seperti ikut merasakan perih yang menusuk ulu hati.

Purwokerto, 6 Mei 2020

Friday, April 3, 2020

Life In Time of Corona

April 03, 2020 0 Comments
Akhir Februari lalu saya sudah menulis tentang COVID19 dan banyak orang mencela saya, mengatakan bahwa saya panik berlebihan. Beberapa juga denial dengan mengatakan bahwa tidak mungkin corona sampai ke Indonesia karena dan hal ini masih terus terjadi sampai akhir Maret kemarin ketika ribuan pemudik dari Jabodetabek membanjiri daerah-daerah yang masih termasuk zona hijau tanpa melakukan swa-karantina sebelum dan sesudah sampai ke daerah. Sekarang kita lihat, gelombang kepanikan menyapu bahkan kemanusiaan di desa-desa. Pasien COVID19 yang meninggal tidak diterima di pemakaman sekitar. ODP dan PDP distigma habis-habisan. Karena apa? Karena takut. Mereka takut dengan hal-hal yang tidak mereka kenal sebelumnya dan pemerintah terlalu terlambat melakukan edukasi. They should have anticipated it long ago!
Foto dari The Guardian

COVID19 yang awalnya hanya kita dengar terjadi di tempat-tempat jauh, di negara lain, tiba-tiba ada begitu dekat dengan kita. Orang yang kita kenal mulai ada yang terjangkit virusnya bahkan ada yang meninggal. Dan kita tidak pernah tahu apakah kita turut berkontribusi terhadap penyebaran itu atau tidak, sebagai carrier misalnya. Imbauan tinggal di rumah juga tidak dipikirkan bagaimana realisasi dan konsekuensinya. Semuanya gagap menanggapi pandemi ini. Dan seperti yang sudah-sudah, masyarakat hanya bisa saling bergantung satu sama lain. 

Terlepas dari apapun, upaya penggalangan donasi untuk keperluan APD tenaga kesehatan (yang entah kenapa tidak diprioritaskan sama pemerintah, oke, kalaupun bilang diprioritaskan tetapi kenyataannya tidak demikian. Banyak sekali sahabat-sahabat saya yang dokter mengeluhkan betapa langka nya APD, termasuk masker!) dan basic needs para pekerja harian yang lemah secara finansial apalagi kalau harus diam di rumah membuat saya begitu terharu, sekaligus membuat saya sadar bahwa in the end, we only got each other. Untuk pertama kalinya, saya melihat dengan begitu terang benderang sisi terbaik sekaligus tergelap manusia. Panic buying, selfishness, altruism, and even incompetent government.   

Hari ini adalah hari ketigabelas swa-karantina saya sepulang dari Depok (di Depok pun saya melakukan swa-karantina juga sebelum pulang). Dan selama ini saya masih tinggal di kamar sendiri, terpisah dari anggota keluarga yang lain. Keluar sesekali hanya ke kamar mandi ataupun dapur. Rencananya, setelah empat belas hari, saya akan keluar rumah untuk jogging sendirian, mengambil rute yang jauh dari tempat-tempat umum tentunya. Dan di tengah pembelajaran jarak jauh serta tugas-tugas yang terus menggunung, saya berdoa semoga pandemi ini segera berlalu, semoga kita semua kuat, semoga kemanusiaan kita mengalahkan keegoisan kita, dan meskipun begitu kecewa dan susah percaya lagi dengan pemerintah, saya berharap pemerintah bisa menangani pandemi ini dengan baik, jangan blunder lagi, please!

Be safe, be healthy, and just stay at home for the time being, folks!


Purwokerto, 3 April 2020 

Friday, February 28, 2020

Corona dan Curahan Hati Kepanikan Saya

February 28, 2020 0 Comments
Gambar dari Colombo Gazette

Awal-awal pemberitaan tentang merebaknya virus corona di Wuhan dan segala teori konspirasi yang melingkupinya; bahwa virus itu adalah senjata biologis yang memang sengaja dibuat untuk kepentingan mengurangi populasi manusia atau teori-teori lainnya, masih membuat saya tidak peduli sampai beberapa hari terakhir ketika pemberitaan dan isu-isu aneh mulai bermunculan di media sosial. Tentu saja pemberitaan aneh-aneh itu datang dari pemerintah kita yang terhormat; ucapan ngawur orang KPAI yang bilang berenang bisa menyebabkan kehamilan lah, 'fatwa' orang kaya untuk menikahi orang miskin, tanggapan ngawur perihal banjir yang melanda ibu kota dan kota-kota lain, serta munculnya RUU Ketahanan Keluarga yang membuat naik pitam. Dan semua itu membuat saya merenung.

Berita soal virus corona tiba-tiba senyap. Tetapi dari berita-berita yang muncul begitu jarang di lini masa media sosial, kita tahu virus ini belum teratasi. Ratusan atau bahkan ribuan orang sudah menjadi korban. Beberapa negara sudah melakukan precaution dan prevention, bahkan ada yang sudah membatasi arus keluar-masuk warga negara asing ke negaranya. Arab Saudi misalnya, membatasi jemaah umroh dari sekian negara untuk tidak dulu datang ke negaranya. Tetapi lihat apa yang terjadi di Indonesia? Kita dibuai dengan narasi-narasi yang mengatakan bahwa kita tidak mungkin terinfeksi corona karena pola hidup kita yang terbiasa tidak sehat ini membuat kita nyaris imun dari virus apapun. Kemudian muncullah meme dan unggahan lucu-lucu yang mengafirmasi narasi-narasi itu. Tapi apa narasi itu betul-betul melindungi kita dari kemungkinan semakin tersebarnya virus corona? Tidak.

Saya tidak tahu kenapa persoalan corona ini seolah tidak menjadi perhatian bagi pemerintah. Apa hidup kita tidak ada artinya apa-apa bagi mereka? Apa masyarakat yang jutaan ini hanya angka statistik bagi mereka? Alih-alih melakukan tindakan precaution atau prevention, pemerintah malah menggelontorkan dana begitu besar, puluhan milyar, untuk menarik wisatawan masuk ke Indonesia. Apa logika pemerintah hanya soal investasi, ekonomi, untung, dan rugi? 

Kita sudah begitu sering dibuat marah dengan kebijakan-kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat kecil. Kita sudah begitu sering berusaha bersabar dengan komentar-komentar ngawur wakil rakyat yang seperti mengejek kecerdasan kita. Tetapi, urusan nyawa ini, kok bisa-bisanya muncul ucapan: "Banyak-banyak berdoa saja supaya tidak kena corona." No! Bukan tugas anda untuk menyuruh kita berdoa, tugas anda adalah memastikan nyawa semua warga negara selamat dari ancaman tersebarnya virus ini bukan malah mengundang wisatawan luar negeri untuk meningkatkan pendapatan negara, tugas anda adalah membuka dengan sebenar-benarnya informasi perihal penyebaran virus corona di Indonesia sehingga tidak ada kepanikan-kepanikan karena kurangnya informasi, tugas anda adalah memastikan masyarakat bisa mengakses masker dan hand sanitizer sehingga mereka tidak harus memilih beli makan atau beli masker karena harga masker yang tidak masuk akal. 

Anda mungkin bisa bilang kalau saya berlebihan, tetapi dengan segala kengawuran pemerintah dan begitu belum jelasnya tindakan pemerintah berkaitan penyebaran virus corona ini, apa kepanikan seperti ini bisa dipersalahkan? Seolah-olah kita bahkan tidak bisa merasa aman di tempat kita sendiri karena negara seperti tidak bisa memastikan bahwa kita bisa aman dari penyebaran corona ini. Dan, meski sering sekali kami kecewa dengan pemerintah, apa kami sudah tidak lagi bisa berharap bahwa dalam situasi krisis seperti ini, mereka akan berdiri di pihak kita?  


Depok, 28 Februari 2020 

Thursday, December 12, 2019

Common Sense

December 12, 2019 0 Comments
Gambar dari WHISC

Beberapa hari yang lalu, seorang kawan menangis padaku karena kekasihnya berselingkuh dengan sahabatnya. Kami berpelukan lama sambil mendengarkan ceritanya. Apa lagi yang bisa kulakukan selain memeluknya dan berharap ia kuat? Aku tahu, hal-hal yang mungkin bagi sebagian orang remeh temeh bisa berarti hidup dan mati bagi sebagian yang lain.

Hanya berjarak sekian hari kemudian, seorang kawan yang lain datang padaku dengan kisah yang sama. Dan lagi-lagi, aku hanya bisa memeluknya sambil mendengarkan segala yang ingin ia tumpahkan. Aku berusaha menghiburnya dengan bercerita hal-hal lucu yang sebenarnya tidak lucu hanya untuk membuat hatiku sedikit lebih baik, karena tak mampu berbuat apapun untuk meringankan bebannya.

Meskipun aku tahu, nasihatku tidak berguna karena kurasa kawan-kawan yang datang padaku lebih butuh didengarkan timbang diberi nasihat, mulutku tetap tak mampu menahan sederet umpatan pada pria-pria yang berselingkuh itu dan meminta kawanku untuk tegas meninggalkan mereka karena apa sih yang bisa diharapkan dari pria tak setia dan mengkhianati komitmen begitu?

Dan seharusnya, apapun keputusan yang diambil kawan-kawanku, harus kuhormati bukan?

Seringkali, aku merasa kesensitifitasanku terhadap sesuatu menjadi sebuah kutukan. Melihat raut muram seorang kawan, atau mendengar helaan nafasnya yang berat, atau memandang tatapan kosongnya membuatku merasa harus berbuat sesuatu untuk berbagi beban berat apapun itu. Tentu aku tidak menyesalinya, hanya saja kadang aku menjadi berpikir apakah yang kulakukan tepat, apakah aku berhak untuk menjadi orang yang mendengarkan rahasia-rahasianya. Aku juga sering bertanya apakah niatku murni tulus ingin membuat perasaannya menjadi lebih baik atau jangan-jangan aku hanya kepo dan ingin terlihat baik?

Tetapi, aku berharap bahwa common sense yang kulakukan ini tidak dibajak setan, tidak dibajak rasa-rasa palsu tanpa ketulusan. Semoga. Dan siapapun yang pernah berkisah tentang hidupnya padaku, kuharap mereka menemukan ketulusanku yang membuatnya menjadi lebih kuat. Ya, hidup ini berat, tetapi semoga kita kuat bukan?


Depok, 12 Desember 2019


Sunday, September 8, 2019

Menjadi Humanis

September 08, 2019 0 Comments

Terus berbicara untuk menyuarakan keberpihakan tidaklah mudah. Kita tidak hanya harus menghadapi orang-orang yang memiliki kuasa dan para penindas, tetapi acap kali kita juga harus berhadapan dengan orang-orang terdekat yang berbeda pandangan dengan kita. Tetapi, sebagai orang yang memiliki kemewahan mengecap ilmu pengetahuan, harus kemana kita berpihak jika tidak kepada mereka yang lemah dan ditindas? 

Mungkin bukan hanya saya, yang juga sering kehilangan keberanian. Ketakutan akan menyakiti orang-orang terdekat kita, sahabat-sahabat kita, juga kekhawatiran tidak bisa menjadi role-model bagi orang-orang yang mengikuti kita kadang membuat kita berhenti sejenak dan mempertanyakan, sudah benarkan kita melangkah. Jangan-jangan nanti saya dibenci dan dimusuhi kalau melakukan ini, kalau berkata begini. Jangan-jangan keluarga saya nanti ikutan kena gara-gara saya memutuskan melakukan hal yang seperti ini. Dan pertanyaan-pertanyaan lain yang kadang membuatku memilih untuk diam mencari aman. Tapi sekali lagi, bukankah rasa keadilan seharusnya tidak membuat kita peduli dengan rasa-rasa yang egois?

Dan dalam keragu-raguan, aku berterima kasih kepada mereka yang terus berada di jalan kemanusiaan, tak rela tunduk, dan terus berani. Kepada mereka yang tulisannya, musik-musiknya, kata-katanya kembali membangkitkan percikan keberanian dalam hati saya, sungguh saya berterima kasih.

Jalan perjuangan tentu beragam, tetapi kecintaan kepada sesama manusia selalu menjadi titik tolak yang sama. Dengan jalan apapun nanti akhirnya aku memutuskan untuk melangkah, aku berharap keberanian dalam hatiku tidak pernah mati. 




Purwokerto, 9 September 2019

(Tulisan ini saya persembahkan untuk kakakku Bagus Dwi Danto 'Sisir Tanah' dan mas Bayu Agni. Terima kasih banyak.)

Thursday, August 29, 2019

Mothering and Studying

August 29, 2019 0 Comments




Tentu saja, semua ibu pasti ingin selalu dekat dengan anaknya. Jadi, ketika saya kemudian memutuskan untuk melanjutkan sekolah lagi, setelah punya anak, saya tahu pilihan yang saya buat ini bukanlah sebuah pilihan yang mudah. Saya berusaha untuk mengabaikan segala penghakiman orang-orang yang kurang lebih mempertanyakan keibuan saya serta keegoisan saya memilih lanjut sekolah timbang mengurusi anak.

Di sisi lain, ada pula yang mengatakan betapa enaknya menjadi saya, bisa sekolah lagi, ninggalin anak, berasa masih gadis, bebas kemana-mana. Yang begini ini, ya mari kita tertawakan saja, sambil berdoa semoga hidup kita dipenuhi keselamatan, kebahagiaan, dan keberkahan.

Dan karena ada beberapa teman-teman saya, ibu-ibu muda juga yang kebanyakan sudah punya anak namun ingin lanjut sekolah lagi, bertanya tentang bagaimana proses jungkir balik saya untuk bisa sekolah lagi, tulisan saya ini dipersembahkan khusus untuk mereka.

Sejak dulu, jauh sebelum menikah dan punya anak, saya punya mimpi untuk bisa melanjutkan sekolah sampai jenjang yang paling tinggi seandainya memungkinkan dan ada kesempatan. Kalau ditanya apa cita-cita saya, ya cita-cita saya sederhana sih, muda kaya raya, mati masuk surga. Namun, sebagai seorang hamba yang bersyukur dianugerahi akal dan pikiran juga kesadaran bahwa awak kulo niki bodo, tekad untuk sekolah lagi itu terus saya pelihara sampai sekarang.

Saya sadar, sekolah lagi itu butuh biaya yang tidak sedikit, makanya saya berusaha nyari beasiswa. Dan nyari beasiswa ini juga ternyata tidak mudah. Saya beberapa kali daftar beasiswa, dari Australia Awards sampai LPDP. Tahun 2015, sebelum menikah dan punya anak, saya daftar beasiswa LPDP dan tidak lolos. Ceritanya bisa dibaca di sini ya. Dan ndilalah saya dapat beasiswa-nya malah ketika sudah menikah dan sudah punya anak.

Jadi, kalau anda seorang perempuan, sudah menikah, sudah punya anak, bertanya kepada saya, apa mungkin bisa lanjut sekolah lagi? Maka jawabannya adalah sangat mungkin. Tetapi keputusan itu membutuhkan banyak kompromi dan saya berterima kasih banyak kepada suami serta anak yang mendukung kekeras-kepalaan saya habis-habisan.

Saya mulai mengajukan aplikasi beasiswa LPDP setahun yang lalu, ketika anak saya belum genap dua tahun dan masih butuh ASI. Seleksi LPDP tidak hanya berhenti di tahap administrasi karena saat lolos di tahap tersebut, kita harus mengikuti tahap selanjutnya yaitu seleksi berbasis komputer (SBK). Begitu membulatkan tekad untuk sekolah lagi, kita harus siap dengan segala resikonya. Termasuk kompromi waktu dan lain-lain dengan keluarga. Tes-tes seleksi yang saya ikuti mengharuskan saya untuk melakukan perjalanan bolak-balik Sumenep-Surabaya (karena lokasi tes saya waktu itu di Surabaya), bawa anak yang masih ASI dan sedang aktif-aktifnya. Ketika saya ujian di lokasi tes, anak saya titipkan ke suami di hotel. Bagi perempuan yang tidak pernah lama-lama meninggalkan anak, karena anak selalu nempel kemana-mana, seleksi beasiswa ini beratnya jadi berlipat-lipat karena selain harus konsentrasi ke tes juga sambil kepikiran anak nangis apa nggak, rewel apa nggak, minta minum ASI apa nggak dan lain-lain. Nah, waktu saya tes SBK itu malah anak sakit karena masuk angin di perjalanan Sumenep-Surabaya. Jadi makin nggak konsen lah ngerjain tesnya.

Persiapan ujiannya juga tidak kalah berat. Saya belajar TPA dari buku-buku milik suami. Kadang baru buka satu halaman, anak sudah nangis minta main. Akhirnya belajarnya nunggu pas anak tidur, kadang sampai begadang malam-malam. Jadi, tidak jarang kalau pagi dan siang saya nguap-nguap melulu karena ngantuk dan kecapekan.

Belum lagi setelah lulus semua tesnya dan dinyatakan jadi penerima beasiswa, saya harus ikut PK (Persiapan Keberangkatan) selama nyaris seminggu di Jakarta. Itu kali pertama saya jauh-jauhan sama anak dalam waktu yang cukup lama. Apalagi anak masih ASI jadi bisa dibayangkan bagaimana sakitnya payudara yang tidak disusu oleh anaknya. Meskipun sudah dipompa, tetap saja rasanya nggak karu-karuan. 


Karena saya lolos beasiswa tahun lalu, perkuliahan saya dimulai tahun ini. Dan inilah ujian kesabaran yang sebenar-benarnya. Saya sadar, proses adaptasi di tempat baru tidak mudah, oleh karena itu sampai sekarang, di bulan-bulan pertama kepindahan saya dari Sumenep ke Depok, anak belum saya ajak. Sementara anak saya titipkan di rumah eyangnya. Dan saya tinggal sendirian di kos. Sesekali suami tinggal di sini satu-dua minggu. Kalau sedang tidak terlalu banyak tugas, rencananya juga saya pulang menengok anak di rumah eyangnya barang dua-tiga hari.

Memang tidak mudah, tapi kita pasti bisa melewatinya. Buat teman-teman kesayanganku, ibu-ibu muda yang ingin segera lanjut sekolah, ayo semangat. Diskusikan semua dengan suami dan keluarga. Saling berbagi peran dan ketika merasa down atau tidak semangat, segera cerita dengan teman-teman terdekat, biar saling memberi kekuatan dan dukungan. Dari pada mendengarkan omongan nyinyir orang-orang, yang bahkan sama sekali tidak berkontribusi apapun bagi kita, lebih baik mengelilingi diri dengan orang-orang berenergi positif, orang-orang yang bersedia mendengarkan keluh kesah kita dan memeluk kita untuk memberikan kekuatan. Dan dari pengalaman saya, apa yang saya capai tidak lepas dari orang-orang baik yang selalu mendengarkan dan mendukung saya, memberikan kekuatan di tengah gempuran kenyinyiran dan kejulidan orang-orang. Kalau saya bisa, teman-teman juga pasti bisa :*



Depok, 29 Agustus 2019

Thursday, August 22, 2019

Perempuan dan Apa yang Ia Kenakan

August 22, 2019 0 Comments
Gambar diambil dari http://waterfordwhispersnews.com/2019/08/21/how-much-clothes-should-a-woman-wear/

Pagi tadi, saya berjalan kaki sekitar satu kilometer dari kos menuju pemberhentian bis kuning (bikun-transportasi umum yang melewati hampir semua fakultas di kampus) terdekat. Tak lama, bis yang saya tunggu tiba. Mungkin karena masa perkuliahan belum betul-betul dimulai, bis yang saya naiki tidak terlalu ramai. Setengah mengantuk, saya membuka gawai saya untuk membalas pesan-pesan di whatsapp dan aplikasi pesan lainnya. Beberapa halte sudah dilewati. Saya menoleh ke arah jendela, memastikan kampus yang saya tuju tidak terlewat karena sebelumnya saya dua kali nyasar naik bikun. Di halte RIK, bikun berhenti agak lama karena banyak yang turun sekaligus ada beberapa yang naik. Salah satunya seorang perempuan yang hampir jatuh tersandung roknya sendiri. Tepat di hadapan saya.

Saya sudah mau berdiri untuk mempersilakannya duduk tetapi kursi di hadapan saya sudah lebih dulu ditinggalkan penumpang sebelumnya, sehingga perempuan yang tadi nyaris jatuh itu duduk di sana. Saya menatapnya sekilas lalu tersenyum. Pandangan saya kembali terpaku ke gawai di tangan tetapi pikiran saya mengembara kemana-mana. Perempuan itu masih muda. Kukira umurnya terpaut jauh denganku. Mungkin 7-8 tahun lebih muda. Mungkin juga lebih. Sepertinya ia mahasiswa jenjang sarjana. Aku kembali melirik ke arahnya sedikit. Bajunya lusuh dan tampak kebesaran. Ia berkali-kali memperbaiki letak pinggang roknya supaya roknya sedikit terangkat ke atas. Mungkin supaya roknya tidak kepanjangan dan menyulitkan saat berjalan. Kuperhatikan roknya yang juga tampak kebesaran, warna hitamnya lusuh dan agak mengkilat, seperti terlalu sering dicuci dan disetrika. Mata kami bertemu. Aku merasa bersalah karena sudah memperhatikannya, sehingga aku tersenyum penuh permohonan maaf. Dan ia membalas senyumku dengan rasa malu yang tidak bisa disembunyikan oleh sepasang matanya. Tiba-tiba hatiku merasa nyeri.

Tak jarang kita melihat tulisan-tulisan yang membahas bagaimana perempuan seharusnya berpakaian. Ada yang mengkritik perempuan berbaju ketat, memakai celana, atau rok mini. Namun sering pula kita mendapati orang-orang yang mengkritik perempuan berbaju gamis, bercadar, berkaus tangan. "Mana yang lebih baik?" begitu orang terus memperdebatkan. Ada yang membandingkan perempuan tak berjilbab dengan permen loli dikerubungi semut dan ada yang mencela perempuan bercadar dengan mengatakan bahwa di sini bukan gurun pasir.

Perdebatan itu tidak pernah selesai. Tidak akan pernah.

Tetapi, apakah kita pernah berpikir bahwa bagi beberapa perempuan, memperoleh baju yang nyaman ia kenakan juga tidak mudah? Saya ingat bertahun-tahun lalu, kala masih mahasiswa jenjang sarjana. Saya hanya punya beberapa potong baju yang bisa dibilang bagus dan pantas dipakai kuliah. Kadang, saya bahkan memakai baju-baju bekas punya bulik yang diwariskan pada saya, karena usia kami tidak terpaut terlalu jauh dan ukuran badan kami nyaris sama. Untuk membeli baju yang sedikit agak bagus, saya harus berpikir puluhan kali karena uang tersebut bisa dialokasikan untuk membeli buku dan keperluan primer lainnya. Sehingga saya jarang sekali berganti-ganti baju karena stok baju kuliah saya memang itu-itu saja.

Dan perdebatan orang-orang tentang baju apa yang harus dikenakan perempuan itu begitu menyakitkan didengar karena mereka yang sibuk berdebat itu seolah tidak peduli dengan pendapat personal para perempuan. Beberapa perempuan nyaman memakai rok, beberapa merasa lebih nyaman memakai celana. Beberapa mungkin juga nyaman memakai cadar, beberapa yang lain mungkin tidak nyaman memakai kerudung. Pilihan-pilihan berpakaian itu adalah hal-hal yang sangat personal dan kompleks. Beberapa perempuan bahkan tidak punya terlalu banyak pilihan karena ketidakmampuan finansial dalam membeli baju-baju yang menurut mereka nyaman dikenakan. Alih-alih menghakimi pilihan perempuan dalam berpakaian, kenapa kita tidak belajar memahami dan menghormati pilihan-pilihan orang lain? 

Tentu saja, gaya berpakaian tidak bisa dilepaskan dengan konteks budaya, atau kalau mau merujuk kajian-kajian sosial budaya, model-model baju juga terkait erat dengan pertarungan identitas, kuasa, bahkan kapitalisme (kita tahu kan baju-baju tertentu harganya bisa sangat tidak masuk akal). Tetapi, maksud saya begini, kenapa kita harus selalu memperdebatkan cara berpakaian perempuan dan berusaha mengatur mereka sesuai norma agama atau apapun yang kita yakini? Merasa bahwa mengurusi pakaian perempuan adalah tugas dan kewajiban kita, tetapi abai dengan perasaan atau pilihan sadar mereka seolah itu tidak penting. Padahal yang terpenting tentang pakaian adalah kenyamanan bagi mereka yang mengenakannya. 



Depok, 23 Agustus 2019

Tuesday, April 9, 2019

Pengalaman Mengikuti SIMAK UI 2019

April 09, 2019 16 Comments

Setelah mengikuti PK (Persiapan Keberangkatan) LPDP, semua awardee wajib memperoleh LOA selambat-lambatnya setahun sejak diterima beasiswa. Karena sejak pendaftaran beasiswa LPDP, kampus tujuan saya adalah UI, maka begitu selesai PK saya langsung mencari info perihal pembukaan pendaftaraan pasca-sarjana di UI. Sebulan setelah PK, sekitar bulan November 2018, SIMAK Genap dibuka, sayangnya jurusan yang saya tuju tidak buka saat itu, akhirnya saya pun daftar SIMAK Gasal Gelombang 1 yang dibuka 4 Februari - 15 Maret 2019.

Jadi, untuk program S2, SIMAK buka sebanyak 3 gelombang: SIMAK Gasal Gelombang 1 (4 Februari - 15 Maret 2019), SIMAK Gasal Gelombang 2 (10 Juni - 10 Juli 2019), dan SIMAK Genap (1 Oktober - 1 November 2019).

Untuk pendaftaran SIMAK sendiri sangat mudah. Jadi, kita tinggal masuk ke web penerimaan.ui.ac.id lalu membuat akun, upload foto, isi identitas diri, dan jurusan yang dituju. Saya kemarin memilih jurusan Ilmu Susastra dengan peminatan Studi Kultural dan tahu nggak sih, kuota jurusan tujuan saya untuk SIMAK Gasal Gel I hanya 5 orang saja 😟. Baru ngisi form pendaftaran aja udah deg-degan yekan? Nah setelah pengisian identitas, lanjut dengan upload dokumen seperti ijazah, transkrip nilai, dan sertifikat TOEFL. Kemudian lanjut dengan pembayaran biaya pendaftaran sebesar 1 juta rupiah di bank yang sudah ditentukan (saya kemarin melakukan pembayaran di teller BNI).


Setelah semua proses administrasi selesai, tinggal tunggu tes SIMAK aja. Kebetulan jadwal tes saya 24 Maret 2019 di Fak Teknik UI Depok dari pukul 07.00 sampai 12.00. Semua peserta tes harus sudah berada di lokasi minimal 30 menit dari jadwal. Jadi kebayang kan gimana riwehnya pagi-pagi buta udah harus siap-siap berangkat ke lokasi. Saran saya, kalau yang tempat asalnya jauh, sebaiknya nyari penginapan dekat-dekat lokasi tes. 

Nah untuk tesnya sendiri terdiri dari dua sesi: 
  1. Tes Potensi Akademik (TPA) selama 120 menit yang terdiri dari kemampuan verbal (analogi, pemahaman teks) 40 soal dalam waktu 40 menit, kemampuan numerik (aljabar, soal jual beli, deret bilangan, bilangan berpola dll) 35 soal dalam waktu 50 menit, dan penalaran (silogisme, penalaran analitis) 25 soal dalam waktu 30 menit. Oh iya untuk soal TPA ini menggunakan sistem benar 4 dan salah -1. Jadi sebaiknya kerjakan soal yang betul-betul yakin dulu ya dan dimulai dari mengerjakan soal-soal yang mudah. Harus diingat juga, kalau di tes TPA ini setiap bagian soal punya durasi waktu sendiri dan kalau durasi tersebut habis, harus segera melanjutkan ke bagian selanjutnya meskipun bagian sebelumnya belum selesai. Dan ketika soal bagian selanjutnya sudah selesai tetap tidak boleh kembali ke bagian sebelumnya yang belum selesai. Misalnya waktu mengerjakan soal kemampuan verbal sudah selesai dan masih ada 10 soal yang belum kita jawab, tetapi waktu sudah mulai memasuki pengerjaan soal kemampuan numerik, maka kita tetap tidak boleh membuka kembali soal kemampuan verbal yang belum selesai meskipun jika soal kemampuan numerik kita selesai lebih dulu, 
  2. Tes Bahasa Inggris selama 90 menit yang terdiri dari 40 soal structure dan 50 soal reading. Berbeda dengan tes TPA, di bagian ini, kita diperbolehkan untuk kembali lagi ke soal structure misalnya ketika sudah mengerjakan soal reading dan ada soal structure yang terlewat.
Khusus untuk jurusan saya, harus mengirimkan karya tulis sepanjang 3000-5000 kata yang berkaitan dengan topik kajian yang kita minati dan dikirimkan paling lambat dua hari sebelum tes SIMAK ke email Ketua Prodi Pascasarjana Ilmu Susastra. Untuk contoh tulisan yang saya sertakan sebagai persyaratan ini bisa dilihat di sini ya.

Jujur saja, soal-soal ujian SIMAK ini susah-susah sekali. Sekitar sebulan sebelum tes, saya sempat belajar TPA dari 3 buku berbeda dan menurut saya, semua soal di buku-buku yang saya pelajari tidak ada yang sesusah soal SIMAK. Bahkan soal Bahasa Inggris-nya pun menurut saya lebih susah dari soal-soal TOEFL ITP. Tetapi, belajar dari buku-buku TPA yang tersedia di pasaran lumayan membantu kita supaya familiar dengan model-model soalnya sih. Jadi tetap saja, persiapan dengan mengerjakan soal-soal TPA akan sangat membantu kita di hari ujian sih, terutama sekali untuk soal kemampuan verbal supaya kita familiar dengan kosa kata yang jarang dipakai dalam kehidupan sehari-hari dan juga soal kemampuan numerik yang biasanya dalam buku-buku latihan TPA disertakan cara singkat penyelesaiannya.

Berhubung saya merasa soal-soal SIMAK susahnya minta ampun dan kenyataan bahwa kuota jurusan saya yang diterima di SIMAK Gel 1 ini cuma 5 orang, saya agak pesimis apakah lolos atau nggak. Jadi ketika pengumuman tanggal 8 April 2019 kemarin saya dinyatakan keterima, senengnya luar biasa sih. Oh iya jangan lupa, kartu ujian yang sudah ditandatangi harap disimpan ya. Soalnya kartu tersebut jadi salah satu syarat dalam dokumen daftar ulang loh.

Setelah ini, tinggal proses daftar ulang kemudian lanjut perkuliahan yang akan dimulai awal September 2019 nanti. Doakan ya, semoga semua lancar!

Purwokerto, 9 April 2019


Sunday, March 31, 2019

Pilpres dan Ajakan Membenci

March 31, 2019 0 Comments
Pernah nggak dapat broadcast di grup whatsaapp atau baca postingan di timeline yang isinya menjelek-jelekkan capres tertentu? Misalnya kalau capres x terpilih, nanti nggak akan ada lagi adzan berkumandang, nggak akan lagi perempuan pake kerudung, trus nanti homo boleh nikah. Kesel nggak baca fitnah begitu? 

Trus lagi, ada yang mengatakan kalau umat Islam sekarang didzalimi (padahal, jaman sekarang, mau sholat di masjid, mau pake kerudung, mau bikin pengajian, gampang nggak pernah dipersulit), trus katanya ekonomi sulit, daya beli menurun, banyak tenaga asing yang merebut jatah pekerjaan pribumi. Sebel nggak bacanya? 

Menjelang pilpres April 2019 besok, keributan pendukung capres makin menjadi-jadi; tak hanya di jejaring sosial seperti facebook, twitter, dan instagram, tetapi juga merajalela di grup-grup whatsapp. Beragam fitnah dan berita bohong dibagikan sampai berantai-rantai. Sejujurnya saya ingin sekali bertanya: apa nggak lelah? Nggak capek membenci dan mengobarkan bara kebencian?

Sunday, March 3, 2019

Garang Asem, Percobaan Pertama

March 03, 2019 0 Comments
Sebenarnya postingan ini sudah pernah saya unggah di facebook, tetapi sengaja saya tulis ulang di sini, supaya lebih mudah kalau nyarinya, nggak harus scroll-scroll di timeline facebook lama-lama. 


Ini betul-betul percobaan pertama saya dalam memasak garang asem tapi rasanya lumayan enak dan tidak mengecewakan, sehingga boleh lah kalau dibilang percobaan pertama ini berhasil :) 

Garang asem selalu mengingatkan saya pada Reading Room Kemang, Pak Rocky Gerung, dan Prof. Tommy F Awuy karena tiap kali main ke Reading Room, nyaris beliau selalu memesan menu ini. Saya sendiri pertama kali makan garang asem ayam di Kudus bertahun yang lalu dan sudah mencicipi beragam rupa garang asem versi beberapa kota (Misalnya, di Semarang saya pernah makan garang asem yang rasanya plek sama seperti opor ayam. Sementara di Pekalongan, garang asemnya lebih mirip dibilang rawon.)

Garang asem yang saya buat ini lebih mirip versi yang pernah saya makan di Kudus sih. Resepnya saya peroleh dari Iyung Farah Maulida. Silakan kalau ada yang mau nyoba (nyoba bikin maksudnya).

Cara membuat sederhana sekali. Bawang merah 7 butir dan bawang putih 3 butir diulek sama lada dan garam, balurkan ke setengah kilo ayam yang udah dibersihkan. Lalu diamkan sebentar. Tambahkan santan sedikit, irisan blimbing wuluh/tomat ijo, daun salam, daun jeruk, dan batang serai yang dimemarkan. Bungkus daun pisang, kukus 30 menit. Setelah itu, angkat dan sajikan bersama nasi hangat. 


Wednesday, February 13, 2019

Hari Perempuan

February 13, 2019 0 Comments
Selamat hari perempuan Ma,
Kudengar angka kematian ibu terus naik tinggi
Pendidikan, kesehatan, mahal sekali
Perempuan muda bermigrasi, beberapa nikah dini
Beberapa terpaksa menjual diri, beberapa mati bersama para bayi

Selamat hari perempuan Ma,
Sebab hari ini milik perempuan semua
Sebab tak semua perempuan menjadi ibu
Sebab beberapa perempuan tak bisa menjadi ibu
Tetapi mereka perempuan juga, sepertimu Ma

Sunday, January 27, 2019

Travelling Bersama Bayi Usia 6 Bulan Ke Atas

January 27, 2019 0 Comments
Hai halo, apa kabar semuanya? Kali ini saya mau sharing tentang travelling bawa bayi usia 6 bulan ke atas. Kenapa usia 6 bulan? Biasanya di usia ini, bayi sudah boleh konsumsi Makanan Pendamping ASI (MPASI) sehingga bepergian bersama bayi di usia ini juga menjadi cukup tricky dan sedikit repot. Apalagi kalau kita bepergian dengan moda transportasi umum. Kan repot tuh kalau harus bawa perlengkapan MPASI, belum slow-cooker, bib, dan seabrek barang lainnya. Kalau bayi masih full-ASI kan enak tuh, nggak usah rempong bawa macem-macem, yang penting ibunya nggak kelaparan aja insyaallah ASI aman. 

Nah, yang paling penting menurut saya saat bepergian bersama bayi yang sedang MPASI adalah perencanaannya. Sekali lagi kita harus memastikan moda transportasi apa yang akan digunakan. Karena jika menggunakan kendaraan umum maka kita harus mempersiapkan MPASI sepraktis mungkin, misalnya membawa bekal MPASI yang sudah dimasak dan membaginya ke dalam beberapa porsi kecil. Tetapi kita juga harus mempertimbangkan lama perjalanan supaya bisa memastikan kondisi makanan tetap bagus dan tidak basi. Lain halnya jika menggunakan moda transportasi pribadi, dimana kita bisa berhenti untuk mempersiapkan MPASI ketika dibutuhkan.

Thursday, January 17, 2019

Travelling with Baby Under 6-Month-Old

January 17, 2019 0 Comments
Ibu-ibu muda yang baru saja melahirkan anak pertama biasanya galau kalau mau berpergian agak jauh bersama bayi. Kadang bertanya-tanya juga, sebaiknya mulai usia berapa bayi boleh dibawa jalan-jalan. Menurut saya, sebetulnya tidak ada batasan usia berapa saja untuk mengajak bayi jalan-jalan, karena pertimbangannya bukan soal itu, melainkan soal kondisi kesehatan bayi dan bagaimana membuat bayi nyaman sepanjang perjalanan.

Saya akan sedikit berbagi pengalaman tentang mengajak bayi usia 0-6 bulan bepergian ya. Tentu saja ini tidak bisa dijadikan patokan bagi semua orang, tetapi semoga bisa membantu memberikan sedikit pandangan tentang apa saja yang harus disiapkan selama perjalanan.

Pertama, kita harus menentukan dulu moda transportasi apa yang akan kita gunakan karena hal itu juga berpengaruh dengan barang-barang yang akan kita bawa. Kalau menggunakan kendaraan pribadi, sepertinya tidak ada batasan mengenai barang apa saja yang ingin dibawa. Misalnya mau bawa kasur sak bantal-bonekanya ya monggo saja. Tetapi beda jika kita menggunakan kendaraan umum. Untuk kendaraan umum, bukan saja kita dibatasi oleh space barang yang diperbolehkan armada tertentu, tetapi juga kepraktisan saat membawanya nanti. 

Tuesday, January 15, 2019

Hello 2019!

January 15, 2019 0 Comments
Haiii halooo, happy new year 2019 yaaaa! Maafkan telat banget, hehehe. Jadi, sebenarnya saya sudah lama merencanakan untuk menulis banyak hal di awal tahun ini. Tapi oh tapi, beberapa hari terakhir ini supeeeer hectic dan mager banget yang mau buka laptop dan ngetik-ngetik (padahal salah satu resolusi 2019 adalah mengurangi sifat malas, hiks).

Ada beberapa tulisan yang rencananya akan saya bagikan dalam beberapa hari ini, antara lain tentang Travelling with Baby Under 6-Month-Old dan Travelling with Baby Under 2-Year-Old (yang didasarkan atas pengalaman pribadi berpergian bersama dek Elnaz), kemudian beberapa review buku, cerita pendek, dan artikel pendek. 

Saya bersyukur sekali dengan capaian-capaian 2018 saya dan berharap tahun ini bisa jauh lebih baik lagi, membaca lebih banyak buku, menulis lebih banyak, bersyukur lebih banyak, semakin sabar, semakin hari semakin baik. Aamiin.

Salah satu hal terbaik di 2018 adalah lolos beasiswa LPDP. Ini adalah kali kedua saya mendaftar LPDP, setelah gagal di percobaan pertama bertahun lalu. Buat teman-teman yang pengen sharing tentang LPDP, feel free to contact me yaaaa... Keberhasilan saya menjadi awardee ini pun tidak lepas dari bantuan teman-teman yang lain, yang sudah lebih dulu lolos menjadi awardee dan berkenan berbagi banyak informasi tentang seleksi LPDP pada saya.

Semoga harapan-harapan terbaik kita di tahun ini terwujud ya teman-teman. Salam sayang dari saya, Mama-nya Elnaz ❤❤❤


Sumenep, 15 Januari 2019

Wednesday, December 26, 2018

Tentang Mati

December 26, 2018 0 Comments
Kita tahu, hidup hanyalah menunda waktu mati. 

Waktu sendiri adalah misteri. Siapa bisa menjamin kita masih memiliki banyak waktu tersisa? Yang bisa kita lakukan adalah berbuat sebaik mungkin, seolah hari ini adalah hari terakhir kita di muka bumi. Mencintai dengan sungguh. Mengasihi dengan penuh. Menghindari saling luka-melukai, sakit -menyakiti. Sebab, jika waktu telah sampai, kedamaian macam apa yang akan diraih hati yang luka?

Sedetik kita berdiri, bisa jadi tanah membelah-merekah dan menelan habis tidak hanya tubuh kita, tetapi juga eksistensi kehidupan kita. Kita tidak pernah tahu. Tidak pernah tahu.

Segala kebisingan-kebisingan itu, teriakan-teriakan itu, apa artinya ketika waktu berhenti dan kita mati?

Kematian seperti apa yang akan kita pilih? Kematian yang dipenuhi rasa dendam dan sakit hati? 

Kita adalah pengelana, yang mengembara dari dimensi ke dimensi. Bukan untuk mencari abadi. Bukan. Kita mencari peristirahatan terakhir yang tenang dan damai. Tempat dimana sekujur tubuh kita terpeluk dalam kasih. Bukan tempat yang menyisakan luka dan air mata.

Barangkali, kita masih memiliki sedikit waktu, untuk saling mencintai, untuk berhenti saling menyakiti. Untuk menciptakan surga sebelum akhirnya kita mati dan tiada. Mungkin juga tidak. Tetapi, pilihan apa yang akan kita ambil?

Saturday, November 24, 2018

LPDP - Journey Part III: Wawancara dan LGD

November 24, 2018 0 Comments
Tahap ketiga dalam seleksi beasiswa LPDP adalah Wawancara dan LGD. Di tahap ini, kita juga harus memastikan bahwa semua dokumen atau berkas yang diunggah saat pendaftaran terverifikasi sehingga kita bisa mengikuti wawancara. Secara keseluruhan, di tahap ini kita harus mengikuti 3 langkah: verifikasi dokumen, LGD, dan wawancara. Ketiganya bisa saja tidak berurutan, tetapi wawancara hanya bisa dilakukan setelah verifikasi dokumen. Pengalaman saya kemarin, saya mendapatkan jadwal LGD dulu di hari pertama kemudian verifikasi dokumen dan wawancara di hari kedua. 

LGD sendiri adalah kependekan dari Leaderless Group Discussion yang secara singkat berarti bahwa diskusi ini berlangsung tanpa adanya pemimpin diskusi. Setiap kelompok LGD terdiri dari sekitar 6-8 orang yang sudah ditentukan anggotanya oleh pihak LPDP. Biasanya sekian menit sebelum LGD dimulai, kelompok LGD dipanggil oleh panitia dan dipersilakan untuk menunggu di luar ruangan. Nah, di saat ini kita harus memanfaatkan waktu untuk berkenalan secara singkat dengan teman-teman yang akan menjadi anggota kelompok LGD kita. Paling tidak kita tahu siapa namanya dan apa background pendidikannya. Kita juga bisa berdiskusi kira-kira siapa yang akan bicara dulu, siapa yang akan membuka, dan siapa yang akan membuat kesimpulan. 

Kemudian saat kita dipanggil masuk, kita akan bertemu dengan dua orang psikolog (?) yang berperan sebagai observer. Semua tas dan handphone dikumpulkan di kursi paling belakang dan kita hanya diperbolehkan membawa bolpen atau pensil untuk mencatat. Observer menjelaskan pada kita beberapa hal penting seperti berapa lama LGD berlangsung dsb. Setelah itu beliau meminta kami membaca selembar kertas berisi topik masalah yang sudah disiapkan di hadapan kami dan memperbolehkan kami membuat catatan di selembar kertas yang juga sudah disiapkan. Waktu itu saya mendapatkan topik mengenai sistem zonasi PPDB. 

Friday, November 23, 2018

Tak Sepadan

November 23, 2018 0 Comments
November. Hujan. November Rain. That song!
Sudah cukup lama telinga tidak mengakrabi lagu-lagu yang dulu bahkan menemani di saat-saat paling sepi. Mencari waktu untuk bisa duduk lama, merenung, mendengarkan musik, sembari membaca atau menulis menjadi begitu tak tertahankan susahnya. Bukan, bukannya mengeluh. Tetapi, for some reason, life really is changing.
Tidak terasa, November sudah hampir selesai. Tapi akan selalu ada banyak hal yang tak pernah mudah selesai begitu saja, bahkan jika hitungan-hitungan bulan satu per satu berlalu.

Saya baru menyelesaikan sebuah novel, satu dari tiga seri Millenium yang terkenal itu. The Girl Who Played With Fire, sequel dari The Girl With The Dragon Tattoo yang tebalnya 500 sekian halaman. Seri yang pertama, saya bahkan belum sempat membaca bukunya, tetapi menonton filmnya. Baik yang adaptasi Swedia maupun yang dimainkan Daniel Craig. I will review that novel soon. Dan sekarang saya sedang membaca seri terakhir The Girl Who Kicked The Hornet's Nest. Yang pasti, I am so proud that this month I am about to finish two or perhaps three books. Sebuah pencapaian yang cukup langka 😊

Out of nowhere, saya tiba-tiba ingat dengan puisi di bawah ini saat membaca tentang Kalle Blomvkist dan Lisbeth Salander. Ya nggak ada hubungannya sih, tapi nggak tau kenapa kok ingat saja dengan puisi ini:

TAK SEPADAN – CHAIRIL ANWAR
Aku kira:
Beginilah nanti jadinya
Kau kawin, beranak dan berbahagia
Sedang aku mengembara serupa Ahasveros
Dikutuk-sumpahi Eros

Aku merangkaki dinding buta
Tak satu juga pintu terbuka
Jadi baik juga kita padami
Unggunan api ini
Karena kau tidak ‘kan apa-apa
Aku terpanggang tinggal rangka
Chairil Anwar-Februari 1943

Melihat Lisbeth Salander, aku menyadari bahwa kadang-kadang hidup begitu menakutkan, tetapi tentu harus tetap dijalani. Harapan-harapan harus tetap dipelihara, seberapapun mustahilnya. Dan aku tiba-tiba teringat dengan penggalan puisi Pablo Neruda, "In the end, everyone is aware of this: nobody keeps any of what he has, and life is only a borrowing of bones." dan tiba-tiba aku merasa mellow.


Sumenep, 24 November 2018


LPDP - Journey Part II: Seleksi Berbasis Komputer

November 23, 2018 2 Comments
Berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, mulai tahun ini ada tahapan baru di seleksi LPDP yaitu seleksi berbasis komputer (SBK). Tes ini bertempat di kantor BKN di beberapa kota besar di Indonesia dan kita bisa memilih lokasi BKN di kota yang terdekat dari tempat tinggal kita. Pemilihan kota ini kita lakukan saat mendaftar secara online di seleksi administrasi. Karena saat ini saya tinggal di Sumenep, maka saya memilih kota Surabaya sebagai tempat seleksi SBK dan wawancara.

Jadi, setelah pengumuman seleksi administrasi, semua pendaftar beasiswa LPDP akan memperoleh pemberitahuan mengenai jadwal dilaksanakannya tahapan seleksi SBK. Pertama, jadwal yang diterima adalah jadwal global per kota. Misalnya Medan tanggal sekian sampai tanggal sekian, Yogyakarta tanggal sekian sampai sekian, Jakarta tanggal sekian sampai sekian dst. Untuk jadwal individu sendiri, menurut pengalaman saya, keluarnya sangat mepet. Bahkan bisa sampai H-2 atau H-1 tes. Bagi mereka yang rumahnya jauh dari lokasi tes, sebaiknya mempersiapkan segalanya lebih awal sebelum jadwal individu keluar.

Saat saya mendapat pengumuman lolos administrasi, hal pertama yang saya lakukan adalah segera mencari informasi tentang materi tes SBK. Berdasarkan buku panduan LPDP, tes SBK meliputi Tes Potensi Akademik (TPA), soft competency, dan essay on the spot writing. Untuk persiapan TPA, saya sempat sedikit latihan soal-soal dari buku. Untuk essay on the spot writing, saya mempersiapkannya dengan membaca berita-berita nasional setiap pagi.