Follow Us @soratemplates

Showing posts with label Sastra Indonesia. Show all posts
Showing posts with label Sastra Indonesia. Show all posts

Friday, November 8, 2019

Menegosiasikan Motherhood: Antara Pariyem dan Nyai Ontosoroh*

November 08, 2019 0 Comments
Ilustrasi diambil dari http://babiekinsmag.com/momkins-art-motherhood-brooke-smart/

Peran motherhood dalam masyarakat Indonesia, Jawa khususnya, menempatkan pengasuhan anak dari kecil sampai menjelang dewasa dengan dibebankan kepada sosok ibu sehingga memungkinkan ketidak-terpisahan antara anak dan ibunya. Meskipun dalam konteks jaman yang terus berubah, banyak pasangan mulai mendialektikakan peran motherhood ini antara perempuan sebagai ibu dan laki-laki sebagai ayah. Cerita tentang motherhood ini juga muncul menjadi isu serta diskursus dalam kisah-kisah fiksi yang bisa diinterpretasi dengan pemaknaan yang beragam.

Dalam esai ini akan dibahas bagaimana motherhood dikonstruksi dalam teks dan dinegosiasikan oleh tokoh Pariyem dalam prosa liris Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi AG dan Nyai Ontosoroh dalam novel Bumi Manusia karya Parmoedya Ananta Toer. Metode kualitatif dengan pendekatan post-strukturalisme digunakan dalam upaya memahami teks dengan membacanya secara tidak tekstual semata, melainkan berupaya menyingkap makna di baliknya (Barry, 2002: 77). Untuk memahami motherhood dalam hubungannya dengan kuasa patriarki, kritik feminisme juga akan sedikit digunakan dalam tulisan ini.

Novel Pengakuan Pariyem, berlatar tahun 1970-an pada masa Sultan Hamengkubuwono IX, mengisahkan seorang permpuan bernama Pariyem yang menuturkan kembali kisah hidupnya dengan sudut pandang aku dan ditujukkan kepada seseorang bernama Mas Paiman. Diceritakan bahwa Pariyem yang berasal dari Wonosari, Gunung Kidul bekerja sebagai babu di keluarga Ndoro Kanjeng Cokro Sentono, ndalem Suryo Mentaraman, Yogyakarta. Di sana, ia hamil setelah melakukan hubungan seksual bersama anak Ndoro Kanjeng, Den Bagus Ario. Menanggapi kehamilan yang menyangkut anak lelakinya itu, Ndoro Kanjeng memutuskan bahwa permasalahan tersebut diselesaikan secara kekeluargaan; Pariyem diantar pulang ke Wonosari sampai melahirkan anaknya lalu diminta kembali lagi ke Yogyakarta untuk bekerja seperti biasa. Sementara anak yang lahir diakui sebagai anak Den Bagus Ario serta bagian keluarga Cokro Sentono meskipun tanpa pernikahan. 

Sementara novel Bumi Manusia berlatar di masa kolonial, sekitar akhir 1800-an dan awal 1900-an di masa diberlakukannya politik etis, mengisahkan seorang anak bupati dan siswa HBS bernama Minke yang menuturkan kisah hidupnya serta pertemuannya dengan keluarga Mellema yang mengubah pandangan hidupnya tentang banyak hal, termasuk tentang ilmu pengetahuan dan Barat. Diceritakan bagaimana kisah keluarga Mellema, terutama sosok Nyai Ontosoroh, gundik Herman Mellema yang dikaguminya, dan bagaimana hubungan asmaranya bersama Annelies Mellema. Setelah meninggalnya Herman Mellema, Nyai Ontosoroh terpaksa berpisah dengan anaknya dan terancam kehilangan aset-aset perusahaan yang dikelolanya karena kalah di pengadilan kolonial meskipun sudah berupaya melawan bersama Minke tak hanya secara hukum di pengadilan tetapi juga melalui tulisan-tulisan Minke di surat kabar.

Dalam cerita Pariyem, peran motherhood yang dilakukan Pariyem berbeda dari apa yang dilakukan oleh ibunya, Parjinah. Kedua orang tua Pariyem yang awalnya seniman, setelah geger G-30-S/PKI kehilangan pekerjaannya karena kegiatan kesenian kethoprak dan ledhek menjadi punah. Mereka kemudian tinggal di Wonosari, Gunung Kidul menjadi petani, “bercocok tanam di ladang” (AG, 2017: 28) dan di sanalah Parjinah mengasuh Pariyem serta kedua adiknya di tengah aktivitas bertani dan berjualan ke pasar. 

Sementara Pariyem, ia melakukan urbanisasi dengan bekerja ke kota, meninggalkan Wonosari karena motif ekonomi. Sebagai petani, orang tuanya tidak memiliki lahan sebab mereka “menggarap bengkok pak Sosial” yang luasnya “hanya tiga petak kecil-kecil” (AG, 2017: 4). Di sana, Pariyem tidak memiliki jatah pekerjaan yang memberdayakan secara ekonomi sebab lahan yang digarap juga tidak terlalu luas dan perannya tidak terlalu dibutuhkan, sehingga bekerja ke kota menjadi satu-satunya solusi ekonomi untuk membantu perekonomian keluarganya yang “melarat” (AG, 2017: 4). 

Di kota, Pariyem hamil dengan anak majikannya, Den Bagus Ario, seorang mahasiswa filsafat yang tergila-gila kepada kecantikan Pariyem. Keputusan keluarga Cokro Sentono untuk memulangkan Pariyem sampai melahirkan lalu kembali lagi bekerja di Ndalem Suryo Mentaraman membuat Pariyem meninggalkan anaknya untuk tinggal bersama keluarga Pariyem di Wonosari (AG, 2017: 239). Tentu saja keputuskan meninggalkan anak ini bukanlah kemauan Pariyem sebab penggambaran Pariyem sendiri tentang motherhood justru “tak siang tak malam tak pagi tak petang/ selalu ibu yang menggula-wenthah anaknya… digendongnya ke mana pun pergi (AG, 2017: 211-212) yang menunjukkan keinginannya untuk selalu bersama dengan anaknya.

Yang menentukan berpisahnya Pariyem dengan sang anak adalah Ndoro Kanjeng. Saat mengetahui kehamilan Pariyem, ia berkata “Pekerjaanmu tak berubah, sebagai biasa/ hanya selama setahun tinggal di dusun… Kowe bertugas merawat diri dan si thuyul/ sedang semua kebutuhan nanti tersedia.” (AG, 2017: 201-202). Meskipun sebulan sekali Pariyem menengok anaknya, perkataan Pariyem “Demi anak segala rintangan saya tempuh/ mati pisan saya lakoni… saya pun kini mondar-mandir… antara kota Ngayogya dan dusun Wonosari” (AG, 2017: 240) menunjukkan bahwa sebenarnya ia ingin selalu bersama dengan anaknya. Menurut kritik feminis, ruang domestik dalam hal aktivitas reproduksi menjadi akar subordinasi terhadap perempuan. Tetapi peran reproduksi ini dikontestasikan dan dinegosiasikan sebagai respon terhadap apa yang terjadi di luar ruang domestik (Hayami, 1998). Dan dengan pulang-pergi sebulan sekali dari Yogyakarta ke Wonosari itu, Pariyem menegosiasikan peran motherhood-nya.

Berbeda dengan Pariyem, Nyai Ontosoroh sebagai gundik Tuan Mellema bisa tinggal bersama dengan anak-anaknya sejak usia mereka masih dini, mengasuhnya sembari mengurus perusahaan Mellema. Tetapi begitu Herman Mellema meninggal dan Robert Mellema, anak lelaki Nyai Ontosoroh tidak bisa ditemukan, hak kepengasuhan terhadap Annelies Mellema yang menurut hukum kolonial masih di bawah umur pun terlepas dari tangan Nyai Ontosoroh.

Hukum kolonial memang tidak pernah mengakui Robert dan Annelies sebagai anak Nyai Ontosoroh sebagaimana diungkapkannya “hukum tidak mengakui keibuanku, hanya karena aku pribumi dan tidak dikawin secara syah” (Toer, 2005: 112). Meski demikian, kedua anak Nyai Ontosoroh diakui sebagai anak Herman Mellema sehingga ketika sang ayah meninggal, hak kepengasuhan tersebut jatuh ke tangan Maurits Mellema, kakak tiri Annelies.

Berpisahnya Nyai Ontosoroh dengan Annelies juga bukan keinginan Nyai, meskipun pledoinya “Dia anakku… hanya aku yang berhak atas dirinya” (Toer, 2005: 488) itu tidak berarti di mata hukum kolonial. Meskipun menyadari bahwa posisinya lemah di depan hukum kolonial tidak mengurungkan tekad Nyai Ontosoroh untuk mempertahankan anaknya seperti yang ia ungkapkan: “Aku akan berkelahi untuk harga diri anakku. Ibuku dulu tak mampu mempertahankan aku, maka dia tak patut jadi ibuku” (Toer, 2005: 128). Sehingga bersama Minke yang menjadi suami Annelies, Nyai Ontosoroh berjuang melawan peradilan kolonial meskipun kalah. Di sinilah Nyai Ontosoroh menegosiasikan peran motherhood-nya.

Pariyem dan Nyai Ontosoroh sama-sama perempuan yang tidak dinikahi oleh pasangannya namun sama-sama memiliki anak dari hubungan di luar pernikahan tersebut. Dalam konteks masyarakat kolonial, identitas Nyai Ontosoroh sebagai gundik Tuan Mellema sekaligus perempuan pribumi, membuatnya berada dalam posisi yang selalu dikalahkan ketika berhadapan dengan hukum kolonial yang pada akhirnya merenggut dan memisahkan Annelies dari sisinya. Hukum kolonial yang memungkinkan terjadinya perbudakan dalam bentuk ‘nyai’ dan tidak mengakui keibuan seseorang terhadap anak indo-nya ini menjadi sebuah sistem patriarkal yang mensubordinasi Nyai Ontosoroh. 

Dalam konteks masyarakat feodal, identitas Pariyem sebagai seorang babu, golongan rakyat biasa dan bukan bangsawan, menempatkannya pada posisi yang tidak bisa menawar sabda Ndoro Kanjeng. Ada alasan kenapa Pariyem diminta untuk pulang, melahirkan anaknya, lalu kembali bekerja tanpa membawa serta anaknya ke Yogyakarta. Tentu saja sebab Endang, anak Pariyem bersama Den Bagus, adalah anak di luar pernikahan yang keberadaannya bisa mengancam wibawa kekuarga Cokro Sentono.

Menurut Rich (1996:42) pengalaman motherhood dan seksualitas pada perempuan hampir selalu ‘dipaksa menyerah’ pada kepentingan atau keinginan patriarki. Pariyem yang meninggalkan anaknya demi kepentingan Ndoro Kanjeng Cokro Sentono untuk menjaga wibawa keluarganya, Nyai Ontosoroh yang terpaksa berpisah dengan anaknya demi kepentingan Maurits Mellema lewat hukum kolonial. Latar belakang dan konteks masa kejadian dua teks ini berbeda tapi posisi perempuan sebagai ibu hampir sama. Keduanya bukan istri sah, tidak diikat perkawinan sah, dan yang berkuasa membuat keputusan tentang anaknya (peran motherhood) sama-sama keluarga laki-laki. 


Daftar Pustaka:

AG, Linus Suryadi. 2017. Pengakuan Pariyem. Jakarta: KPG.
Barry, Peter. 2002. Beginning Theory. Yogyakarta: Jalasutra.
Hayami, Y. 1998. Motherhood Redefined: Women's Choices on Family Rituals and Reproduction in the Peripheries of Thailand. Sojourn: Journal of Social Issues in Southeast Asia, 242-243. Diakses di https://www.jstor.org/stable/41056989 pada 12 Oktober 2019.
Rich, Adrienne. 1996. Of Woman Born, Motherhood as Experience and Institution. New York: W. W. Norton & Company.
Toer, Pramoedya Ananta. 2005. Bumi Manusia. Jakarta: Lentera Dipantara.

*Tulisan ini merupakan tugas yang diajukan dalam mata kuliah Teori Sastra yang diampu oleh Dr. Tommy Christomy 

Sunday, March 17, 2019

Jakarta Sebelum Pagi, Novel Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie

March 17, 2019 0 Comments

Judul Buku: Jakarta Sebelum Pagi

Pengarang: Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie
Penerbit: Grasindo
Tahun Terbit: 2016
Jumlah Halaman: 270
Genre: Fiksi
Pe-review: Iffah Hannah

"Tumbuh dewasa rasanya seperti itu. Waktu masih kecil, semua orang perhatian. Tapi, begitu dewasa, sedikit demi sedikit, kamu hilang dari pandangan. Makanya, orang dewasa pakai makeup, berdandan rapi, pakai baju bagus... Karena kalau nggak, nggak akan ada yang melihat mereka. Penampilan, bagi orang dewasa, itu seperti baju untuk manusia transparan-membuat orang sadar kalau mereka ada. Karena biasanya, di dunia orang dewasa, orang-orang nggak cukup punya perhatian untuk menunggu kamu bicara dan bilang kalau kamu ada." (hal 40-41)

Emina, gadis 25 tahun yang bekerja sebagai salah seorang sekretaris di suatu kantor mendapatkan kiriman mawar, hyacinth biru, melati yang dibawa oleh balon perak terbang hampir setiap hari di balkon apartemennya. Keingintahuannya terhadap stalker pengirim bunga itu membuat rekan sekantornya, Nissa, ngomel-ngomel. Menurut Nissa, stalker itu bisa berbahaya dan alih-alih mencari tahu identitas si stalker, Emina harusnya lapor polisi saja.

Wednesday, February 13, 2019

Hari Perempuan

February 13, 2019 0 Comments
Selamat hari perempuan Ma,
Kudengar angka kematian ibu terus naik tinggi
Pendidikan, kesehatan, mahal sekali
Perempuan muda bermigrasi, beberapa nikah dini
Beberapa terpaksa menjual diri, beberapa mati bersama para bayi

Selamat hari perempuan Ma,
Sebab hari ini milik perempuan semua
Sebab tak semua perempuan menjadi ibu
Sebab beberapa perempuan tak bisa menjadi ibu
Tetapi mereka perempuan juga, sepertimu Ma

Thursday, December 27, 2018

Pukul 5 Sore

December 27, 2018 0 Comments
Laporan harian baru saja selesai diketik. Seperti biasa, laporan harian harus dicetak dan diserahkan pada bagian administrasi sebelum semua pegawai kantor ini pulang. Aku melirik ikon jam yang menunjukkan pukul 16.50 di layar komputerku bagian kanan bawah sambil menekan tombol ctrl dan p untuk mencetak laporanku. Terdengar suara printer beroperasi yang tenggelam dalam berisik orang bercakap-cakap. Aku membereskan meja kerja, menyambar kertas yang baru saja keluar dari mesin printer, meraih jaket dan tasku, kemudian berjalan tergesa-gesa menuju ruang administrasi. Setelah menyerahkan laporanku bersama staf yang lain, aku segera melangkah ke luar kantor, mengarungi jalanan Jakarta untuk pulang.


Begitu kaki menginjak jalanan, aku bergabung dengan sekian banyak manusia yang juga berjalan keluar dari gedung tempat mereka masing-masing bekerja. Semua berjalan dengan tergesa-gesa, sebagaimana aku. Dan bahkan aku tidak mengerti mengapa aku mesti berjalan secara tergesa-gesa, dan mengapa mereka juga mesti tergesa-gesa. Tapi toh aku tetap tergesa-gesa juga, setengah berlari menuju halte TransJakarta terdekat, dan berdesak-desakkan dengan manusia-manusia Jakarta yang lain. Suara berderai klakson, suara berisik knalpot bajaj, suara deru sepeda motor, dan suara sumpah serapah bercampur aduk, riuh ramai, seperti kata-kata padat yang dibentuk menjadi kalimat tapi kehilangan spasi. Penuh, sesak, dan membikin susah bernafas. Aku memijit kepalaku yang berdenyut-denyut ngilu dan memejamkan mata yang berkabut dan terasa pedih. 

Aku mengedarkan pandangan dan melihat segala macam manusia serta kendaraan bermotor tumpah ruah menyesaki jalan. Halte TransJakarta penuh orang dan aroma keringat bercampur kolonye yang memuakkan. Itulah mengapa sebagian besar orang memilih menutup hidungnya dengan masker. Kau tahu, bau keringat bercampur kolonye bagi sebagian orang bisa jadi polusi udara yang sangat menyebalkan. Aku sendiri sudah terlalu pasrah dengan aroma semacam ini sehingga alih-alih ambil pusing untuk memasang masker (yang sebenarnya tak kupunyai), aku lebih memilih mengeluarkan inhaler dan menghirup aroma yang menyegarkan itu darinya. 

Friday, December 21, 2018

Kendat*

December 21, 2018 0 Comments

Musim penghujan sudah mulai sejak penghujung Oktober yang lalu. Dan awal November ini, hujan hampir tak henti-hentinya menderas setiap harinya. Tentu saja kemarau yang lalu membikin sumur-sumur tanah menjadi kerontang, parit-parit kering, dan tanah-tanah tandus menjadi sedemikian berdebu telah membuat orang-orang di dusun ini begitu rindu akan hujan. Tetapi hujan menderas setiap hari seperti ini, ya kadang kala membikin nelangsa juga. Betapa tidak? Sebagian besar penduduk di desa ini adalah penyadap nira. Bayangkan saja betapa nelangsanya ketika pagi subuh dan senja mereka memanjat pohon kelapa yang licin karena air hujan, dan menemukan pongkornya2 bukannya penuh nira, tetapi penuh air hujan. Dan nyaris pasti, hasil gula kelapa dari nira-nira yang kebanyakan campuran air hujannya ini biasanya tidak terlalu bagus kualitasnya.


“Gulanya gemblung lagi Nang...” si Mbok mendesah memandangi sewajan besar gula kelapa yang baru saja matang. Yang ia maksud sebagai gula gemblung adalah gula kelapanya tak mau mengeras.

Biasanya, untuk membuat gula kelapa, nira dari pohon kelapa itu dimasak di wajan besar sampai menjadi cairan kental kecoklatan untuk kemudian dituangkan ke dalam cetakan-cetakan dari pohon bambu yang dipotong sepanjang 5cm. Begitu mendingin, cairan kental kecoklatan itu berubah menjadi gula kelapa yang padat berukuran silinder dan siap dijual ke tengkulak. Namun musim penghujan yang begini ini seringkali menyebabkan gula jadi gemblung, sebutan untuk gula-gula yang benyek3, yang tak mau mengeras dan memadat. Suka tidak suka, gula gemblung semacam ini pasti akan dibeli dengan harga sangat murah oleh para tengkulak. 

Wednesday, December 12, 2018

Menjadi Buruh

December 12, 2018 0 Comments
Seorang lelaki dengan rambut mulai memutih berjalan dengan tas di punggung. Tasnya sudah sedikit sobek di bagian risletingnya, seperti terlalu sering membawa beban yang melebihi seharusnya. Di sela jarinya, terselip sebatang rokok lintingan dengan bau yang khas. Racikan mbako yang diuwuri menyan serta dilinting dalam balutan kertas papir. Dia tersenyum padaku, dan terlihat gigi-giginya yang tidak rapi serta menghitam. Aku balas tersenyum ketika dia mengambil tempat duduk di sebelahku. Di bangku panjang yang memang diperuntukan untuk orang-orang yang menunggu bus itu, hanya ada aku dan lelaki itu. Sementara di belakang, di deretan warung reot pinggir jalan, ada beberapa lelaki yang tengah asyik menyesap kopi dan rokok sambil tertawa-tawa, berbicara dari satu hal ke hal lainnya. Sayup-sayup, terdengar pembicaraan tentang bus A yang tabrakan kemarin sore, lalu beralih ke obrolan tentang tontonan organ tunggal nanti malam di desa Karang Nanas, lalu sayup ada pembicaraan tentang harga beras yang mahal minta ampun, lalu pembicaran tentang demo dan mogok buruh di mana-mana serta entah apa lagi. Aku kembali asyik membaca koran di hadapanku.


Lelaki di sebelahku batuk-batuk, lalu menoleh ke arahku, dan dengan segan, ia menunduk seolah meminta maaf. Aku melipat koran di hadapanku dan memasukkannya ke dalam tas lalu menatap ke kenyataan di sampingku. “Tindak kemana Pak?” tanyaku membuka pembicaraan.

Monday, November 12, 2018

Aksara Amananunna, Sebuah Catatan Singkat

November 12, 2018 0 Comments



Judul Buku: Aksara Amananunna
Pengarang: Rio Johan
Penerbit dan Tahun Terbit: KPG, April 2014
Jumlah Halaman: 240
Genre: Fiksi

Di sebuah setting yang sangat dystopian, di masa depan pada tahun 21xx, wabah bunuh diri melanda negeri R. UU Anti Bunuh Diri yang disahkan kemudian ternyata tidak berefek apa-apa. Angka bunuh diri terus melejit serta menjadi penyebab kematian terganas mengalahkan genosida, HIV, dan penyakit kardiovaskular. Bunuh diri menjadi gaya hidup dan filosofi tentang bagaimana cara mati semakin berkemabang. Perdana Menteri negeri R, yang putus asa memikirkan cara menanggulangi wabah ini harus kecele setelah putrinya sendiri ikut serta dalam bunuh diri masal. Hingga kemudian, ia sendiri menimbang-nimbang untuk mengakhiri saja hidupnya.

"Undang-undang Anti Bunuh Diri" adalah cerpen pertama dari 12 cerpen dalam Aksara Amananunna karya Rio Johan. Buku kumpulan cerpen yang terbit 2014 lalu ini berisi kisah-kisah yang cukup mencengangkan dan beberapa bahkan membuat begidik ngeri. Ada yang ber-setting di masa depan, ada yang ber-setting di masa lalu.

Laut Bercerita, Bagaimana Kita Merawat Ingatan

November 12, 2018 0 Comments
 
Judul Buku: Laut Bercerita
Pengarang: Leila S. Chudori
Penerbit dan Tahun Terbit: KPG, Oktober 2017
Genre: fiksi/nonfiksi
Jumlah Halaman: 379


Novel ini dikisahkan melalui dua sudut pandang: yang pertama adalah sudut pandang Biru Laut, seorang mahasiswa dan aktivis 98 yang diculik dan dibunuh namun jasadnya tidak pernah ditemukan oleh keluarganya atau siapapun karena ada di dasar laut. Dari sana, ia mengisahkan cerita tentang kegiatannya bersama teman-teman aktivis lainnya semasa hidup sampai akhirnya ketika ia dan teman-temannya diculik, diinterogasi, disiksa, dan akhirnya dibunuh.

Sementara sudut pandang kedua, adalah penceritaan yang dilakukan oleh Asmara Jati, adik Biru Laut, yang kehilangan kakaknya juga sempat kehilangan kekasihnya (yang kemudian pulang dan menjadi berbeda setelah diculik). Asmara Jati mengisahkan bagaimana keluarga-keluarga aktivis 98 yang hilang (mereka tidak bilang mati, karena jasad para aktivis itu tidak pernah ditemukan sehingga mereka terus berharap bahwa para aktivis itu masih hidup meski entah dimana) terus berjuang untuk melawan kesedihan akibat kehilangan orang-orang terkasih mereka dan berusaha untuk terus mencari keadilan dengan berdemonstrasi setiap kamis di depan istana negara agar kasus penghilangan paksa ini dituntaskan.

“Potret Kemiskinan dan Perlawanan dalam Cerpen Senyum Karyamin Karya Ahmad Tohari"

November 12, 2018 0 Comments
Ini adalah esai singkat mengenai cerpen Senyum Karyamin karya Ahmad Tohari yang ditulis oleh adik saya Khanafi, yang waktu itu masih mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Jenderal Soedirman angkatan 2013. Ini adalah tugas kuliah pertama yang ditulisnya begitu menjadi mahasiswa Semester 1 dan merupakan tugas mata kuliah Pengantar Pengkajian Kesusastraan yang diampu oleh Bambang Lelono, dosen sekaligus budayawan di Banyumas. Berikut esai singkat yang ditulis oleh Khanafi:


“Potret Kemiskinan dan Perlawanan dalam Cerpen SENYUM KARYAMIN Karya Ahmad Tohari"
Oleh: Khanafi 



PENDAHULUAN
Cerpen Ahmad Tohari yang berjudul Senyum Karyamin ini berkisah tentang seorang laki-laki bernama Karyamin yang menjadi tokoh utama dalam kisah fiksi ini. Tokoh ini digambarkan sebagai seseorang yang bekerja menjadi pengumpul batu, pekerjaan yang berat dan tampaknya tidak memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarganya. 

Ahmad Tohari mengawali cerita itu dengan memberikan deskripsi yang mengisahkan bagaimana Karyamin saat sedang bekerja. Sebagai seorang pengumpul batu, Karyamin harus memikul dua keranjang besar berisi bebatuan dari sungai dan harus melewati tanjakan yang licin karena dibasahi air yang menetes dari tubuh Karyamin dan kawan-kawan, yang pulang balik mengangkat batu dari sungai ke pangkalan material di atas sana. 

Cerpen Senyum Karyamin menggambarkan bagaimana suasana saat Karyamin dan kawan-kawannya bekerja mengumpulkan batu; Karyamin yang didera rasa lapar karena perut belum terisi, tidak mampu membeli pecel karena tidak memiliki uang serta telah terlalu banyak hutang yang belum dibayarnya kepada Saidah si penjual pecel (termasuk hutang kepada bank dan tukang edar kupon buntut yang selalu menagih kepada istrinya) serta kawan-kawannya yang mencari hiburan dengan menertawakan diri mereka sendiri dan menertawakan kemalangan yang menimpa orang lain. Terlebih lagi, tengkulak sebagai orang yang membeli batu-batu yang mereka kumpulkan itu kabur membawa truk dan tidak membayar gaji para pengumpul batu termasuk Karyamin.