Follow Us @soratemplates

Wednesday, December 12, 2018

Menjadi Buruh

Seorang lelaki dengan rambut mulai memutih berjalan dengan tas di punggung. Tasnya sudah sedikit sobek di bagian risletingnya, seperti terlalu sering membawa beban yang melebihi seharusnya. Di sela jarinya, terselip sebatang rokok lintingan dengan bau yang khas. Racikan mbako yang diuwuri menyan serta dilinting dalam balutan kertas papir. Dia tersenyum padaku, dan terlihat gigi-giginya yang tidak rapi serta menghitam. Aku balas tersenyum ketika dia mengambil tempat duduk di sebelahku. Di bangku panjang yang memang diperuntukan untuk orang-orang yang menunggu bus itu, hanya ada aku dan lelaki itu. Sementara di belakang, di deretan warung reot pinggir jalan, ada beberapa lelaki yang tengah asyik menyesap kopi dan rokok sambil tertawa-tawa, berbicara dari satu hal ke hal lainnya. Sayup-sayup, terdengar pembicaraan tentang bus A yang tabrakan kemarin sore, lalu beralih ke obrolan tentang tontonan organ tunggal nanti malam di desa Karang Nanas, lalu sayup ada pembicaraan tentang harga beras yang mahal minta ampun, lalu pembicaran tentang demo dan mogok buruh di mana-mana serta entah apa lagi. Aku kembali asyik membaca koran di hadapanku.


Lelaki di sebelahku batuk-batuk, lalu menoleh ke arahku, dan dengan segan, ia menunduk seolah meminta maaf. Aku melipat koran di hadapanku dan memasukkannya ke dalam tas lalu menatap ke kenyataan di sampingku. “Tindak kemana Pak?” tanyaku membuka pembicaraan.
Lelaki itu menoleh, tersenyum, batuk-batuk sebentar sebelum kemudian menjawab. “Pulang Mas, ke Menganti,” jawabnya sangat sopan, sambil bola matanya bergerak-gerak gelisah. Menatapku sekilas dan memalingkan pandangan beberapa detik kemudian.

“Oh, jauh nggih Pak... habis dari mana Pak, sesore ini baru pulang?” tanyaku lagi, setelah melirik jam di pergelangan tangan yang menunjukkan pukul setengah enam sore.

“Dari proyek Mas, saya buruh di... itu proyek bikin hotel baru,” jawabnya. Dia menyesap rokok lintingannya. Batuk-batuk sebentar, lalu menatapku dan tersenyum.

“Hari Sabtu sih nggih Pak, jadi kondur ke rumah,” tebakku.

Lelaki itu batuk-batuk lagi. “Enggih Mas, saya pulang sebulan sekali. Meski Minggu libur, saya biasanya nginep juga Mas di proyek, jaga material,” jawabnya.

Aku tersenyum. Menoleh sebentar ke lelaki di sebelahku dan dengan pandangan menerawang, aku melihat puncak gunung Slamet di sebelah utara lalu teringat Bapakku.

*

“Pak, besok batas akhir bayar uang buku,” adikku berbicara setengah berbisik. Aku, duduk sambil memijit kaki Bapak, mendengarkan dalam diam.

“Berapa rupiah?” Bapak bertanya.

“Seratus limabelas ribu Pak,” jawab adikku lebih lirih, seolah mencicit. Aku masih memijit, dan semakin menunduk.

“Iya, nanti Bapak usahakan,” ujar Bapak singkat.

Sementara dari arah dapur, Emak berteriak, “Seratus limabelas ribu itu buku apa? Kok mahal?”

“Ada buku materi, LKS juga. Tiap mata pelajaran, ada bukunya sendiri. Wajib punya Mak, kalau tidak, nanti tidak boleh ikut mata pelajaran,” jawab adikku, lirih. Teramat lirih. 

Aku tahu, kami adalah anak-anak yang tidak hanya dipusingkan oleh rumus-rumus dan narasi yang harus dihafal di luar kepala. Kami adalah anak-anak yang dipusingkan bagaimana membayar biaya sekolah kami, juga buku-buku yang minta ampun mahalnya. Kami, aku dan adik perempuanku, adalah anak-anak yang diam-diam menahan lapar dan berusaha tersenyum saat melihat makanan, entah bagaimanapun bentuknya, terhidang di meja. Berusaha menampakkan wajah bahwa kami tidak pernah lapar dan selalu kenyang, bahkan setelah menyantap satu ubi bakar yang dibagi menjadi empat bagian yang menjadi menu makan malam kami. Untuk aku, adikku, bapak dan juga emak. 

Tentu saja, bagianku dan adik selalu lebih besar dari punya bapak dan emak. Katanya, karena aku dan adik adalah anak-anak yang tengah tumbuh, dan butuh asupan gizi lebih besar dari mereka. Padahal, aku tidak harus terpanggang terik matahari dan mengaduk adonan semen seperti Bapak.

*

“Namanya juga buruh Mas, ya begini ini,” ucapan lelaki tua di sebelahku itu, menyentakanku dari lamunan. 

Aku menoleh ke arahnya, “Iya pak, saya juga buruh. Penjaga toko dan jualan koran.”

Lelaki itu mengagguk. Kami berdua sama-sama terdiam. Satu persatu bus lewat di hadapan kami, namun kami masih tetap duduk dalam diam, diam dengan kebisingan di dalam kepala kami masing-masing. 

Lelaki di sebelahku ini seorang buruh proyek, sama seperti bapakku. Gajinya paling sekitar tiga puluh ribu sampai lima puluh ribu sehari, untuk dipanggang terik matahari, mondar-mandir kesana-kemari, mengangkat ini-itu, membuat adonan semen, dari pukul setengah delapan pagi sampai jam empat sore. Dari tiga puluh ribu itu, paling bersihnya dua puluh ribu, setelah digunakan untuk makan dan beli rokok. Dan dua puluh ribu, adalah harga dua kilo beras tanpa garam, tanpa minyak, tanpa kayu bakar, tanpa tahu dan tanpa tempe. Dan itulah upah lelaki di sebelahku dan bapakku sehari-hari. Itupun tidak setiap hari. Hanya ketika ada proyek dari pemborong. Setelah proyek selesai, maka orang-orang seperti mereka pun akan kerja serabutan dengan bayaran paling dua puluh lima ribu rupiah setiap harinya.

Tetapi buruh seperti kami ini, kalau bicara jarang sekali didengar. Disini, orang berbicara harus punya posisi, baru orang akan mendengar. Sementara, orang macam kami, jika ngomong, jarang ada yang menanggapi. Namun, yang sia-sia macam inipun, tetap kami teriakkan. Di warung-warung kopi, di kios-kios pasar; sambil menjajakan koran-koran. 

Aku teringat demo buruh akhir-akhir ini, seperti yang kubaca di koran-koran yang kujajakan setiap harinya. Ya memang beginilah buruh, kalau tidak demo, kalau tidak mogok, ya sampai kiamat pun tidak akan didengar.

“Busnya datang Pak,” kataku saat melihat bus jurusan Cilacap berhenti di depan kami. Sebenarnya, ini sudah bus jurusan Cilacap yang kesekian, tetapi nampaknya lelaki di sebelahku ini belum ingin pulang.

“Nanti mas, nunggu sebentar lagi, ini nunggu rokoknya habis,” ujar lelaki itu.

Aku mengangguk. Urung berdiri dan memutuskan untuk menemani lelaki ini. “Besok ke sini lagi Pak? Kerja lagi, maksud saya...” tanyaku.

Lelaki itu menoleh, menatapku sebentar, kemudian menghisap rokoknya. Dia terdiam cukup lama, sampai kemudian ia menggeleng. “Anu Mas, saya dipecat,” katanya lirih. 

Aku tersentak. Mulutku sudah mau melontarkan pertanyaan, tapi pertanyaan itu tertahan di ujung lidah. Tentu saja, pemecatan biasanya ada alasannya. Tetapi mendengarnya dipecat, seperti mendengar bapakku sendiri yang dipecat. Rasanya tidak terima, marah. 

“Kemarin itu, ada material yang hilang Mas. Besi-besi. Dikira mandor, saya yang nyuri, padahal wallahi saya ndak nyuri. Dia ndak mau dengar penjelasan saya. Tahu-tahu saya dipecat. Ya sudahlah. Mungkin harus nyari kerja lain. Kalau tidak, anak istri mau makan apa. Belum lagi biaya sekolah,” ceritanya sambil sesekali menghisap rokok lintingannya.

Ya pak, tentu saja. Kita ini buruh, kalau kata mandor salah, ya pasti kita salah meskipun sebenarnya tidak. Aku mengutuk dalam hati. Meskipun aku tidak tahu kejadian yang sebenarnya, tetapi cerita lelaki ini mengusikku. Aku membayangkan bagaimana respon anak-istrinya saat tau ia dipecat. Mungkin sehari-dua hari mereka masih bisa makan, seadanya. Tetapi hari ketiga? Kalau lelaki ini belum juga dapat kerja, selanjutnya bagaimana? Tentu saja proyek bangunan semacam yang dikerjakannya itu tidaklah peduli dengan nasib pekerjanya. Padahal, tanpa buruh pekerja, hotel dan gedung-gedung mereka juga tidak akan berdiri. Pekerjaan itu kan cuma buruh yang bisa mengerjakan, kok seenaknya sama buruh. Aku merutuk dalam hati. 

“Tak ada teman yang membela pak?” aku bertanya, menahan tumpahan rasa marah di dalam dada.

Yo ndak ada toh Mas, apa mereka juga mau ikut-ikutan dipecat? Nanti keluarganya makan apa?” lelaki itu menjawab sambil terkekeh, namun getir.

“Ya kalau buruh tidak bersatu jadi begini Pak, pengusaha semena-mena,” keluhku.

Ndak segampang ngomong kok Mas, makanya saya senang dengar berita buruh demo di mana-mana. Iri saya Mas...”

“Kenapa Pak?”

“Mereka punya keberanian, memperjuangkan hidupnya. Ya memang senjatanya buruh itu ya demo dan mogok toh?”

Aku mengangguk. Kurasakan hari semakin gelap. Lelaki tua di sebelahku bangkit. Bus jurusan Cilacap yang entah ke berapa, berhenti di depan kami. Ia mengucap salam perpisahan sebelum naik ke bus. Aku membalasnya dengan lambaian tangan. Beberapa saat kemudian, bus jurusan Wangon datang, dan aku segera melompat naik. 

Aku masih teringat lelaki yang tadi duduk di sebelahku dan semakin ingat bapakku. Begitu melewati perempatan Tanjung, bus yang kunaiki berhenti. Ternyata macet panjang. Pasti perlintasan kereta, begitu pikirku. Aku duduk sambil memandang ke luar dari jendela kaca. Purwokerto semakin gelap. Beberapa saat kemudian, bus yang kami naiki merangsek jalan lambat-lambat. Terlihat orang-orang di dalam bus yang kunaiki melongok-longokkan kepalanya ke jendela. Karena penasaran, akupun ikut melongok. Kulihat kerumunan orang, mobil ambulans, dan mobil patroli polisi. Aku melihat-lihat keadaan, mencari-cari kalau ada kecelakaan. Tetapi nihil. Akhirnya aku bertanya pada kondektur bus ku. 

Wonten nopo toh Pak?”

“Itu Mas, bus jurusan Cilacap yang tadi di depan kita tabrakan, trus terjun ke sungai. Mati semua kayaknya. Tinggi banget gitu kok jembatannya.”

Aku lemas, teringat lelaki yang tadi duduk di sebelahku, juga teringat bapakku sendiri, juga buruh-buruh pabrik yang berdemo dan mogok di berita-berita.

Catatan:
Mbako: Tembakau
Diuwuri: Ditaburi
Papir: Kertas untuk rokok lintingan
Tindak: Pergi
Kondur: Pulang
Wonten nopo toh Pak?: Ada apa ya Pak?

*Cerpen ini pernah dimuat di Koran Satelit Post

No comments:

Post a Comment