Follow Us @soratemplates

Friday, November 8, 2019

Menegosiasikan Motherhood: Antara Pariyem dan Nyai Ontosoroh*

Ilustrasi diambil dari http://babiekinsmag.com/momkins-art-motherhood-brooke-smart/

Peran motherhood dalam masyarakat Indonesia, Jawa khususnya, menempatkan pengasuhan anak dari kecil sampai menjelang dewasa dengan dibebankan kepada sosok ibu sehingga memungkinkan ketidak-terpisahan antara anak dan ibunya. Meskipun dalam konteks jaman yang terus berubah, banyak pasangan mulai mendialektikakan peran motherhood ini antara perempuan sebagai ibu dan laki-laki sebagai ayah. Cerita tentang motherhood ini juga muncul menjadi isu serta diskursus dalam kisah-kisah fiksi yang bisa diinterpretasi dengan pemaknaan yang beragam.

Dalam esai ini akan dibahas bagaimana motherhood dikonstruksi dalam teks dan dinegosiasikan oleh tokoh Pariyem dalam prosa liris Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi AG dan Nyai Ontosoroh dalam novel Bumi Manusia karya Parmoedya Ananta Toer. Metode kualitatif dengan pendekatan post-strukturalisme digunakan dalam upaya memahami teks dengan membacanya secara tidak tekstual semata, melainkan berupaya menyingkap makna di baliknya (Barry, 2002: 77). Untuk memahami motherhood dalam hubungannya dengan kuasa patriarki, kritik feminisme juga akan sedikit digunakan dalam tulisan ini.

Novel Pengakuan Pariyem, berlatar tahun 1970-an pada masa Sultan Hamengkubuwono IX, mengisahkan seorang permpuan bernama Pariyem yang menuturkan kembali kisah hidupnya dengan sudut pandang aku dan ditujukkan kepada seseorang bernama Mas Paiman. Diceritakan bahwa Pariyem yang berasal dari Wonosari, Gunung Kidul bekerja sebagai babu di keluarga Ndoro Kanjeng Cokro Sentono, ndalem Suryo Mentaraman, Yogyakarta. Di sana, ia hamil setelah melakukan hubungan seksual bersama anak Ndoro Kanjeng, Den Bagus Ario. Menanggapi kehamilan yang menyangkut anak lelakinya itu, Ndoro Kanjeng memutuskan bahwa permasalahan tersebut diselesaikan secara kekeluargaan; Pariyem diantar pulang ke Wonosari sampai melahirkan anaknya lalu diminta kembali lagi ke Yogyakarta untuk bekerja seperti biasa. Sementara anak yang lahir diakui sebagai anak Den Bagus Ario serta bagian keluarga Cokro Sentono meskipun tanpa pernikahan. 

Sementara novel Bumi Manusia berlatar di masa kolonial, sekitar akhir 1800-an dan awal 1900-an di masa diberlakukannya politik etis, mengisahkan seorang anak bupati dan siswa HBS bernama Minke yang menuturkan kisah hidupnya serta pertemuannya dengan keluarga Mellema yang mengubah pandangan hidupnya tentang banyak hal, termasuk tentang ilmu pengetahuan dan Barat. Diceritakan bagaimana kisah keluarga Mellema, terutama sosok Nyai Ontosoroh, gundik Herman Mellema yang dikaguminya, dan bagaimana hubungan asmaranya bersama Annelies Mellema. Setelah meninggalnya Herman Mellema, Nyai Ontosoroh terpaksa berpisah dengan anaknya dan terancam kehilangan aset-aset perusahaan yang dikelolanya karena kalah di pengadilan kolonial meskipun sudah berupaya melawan bersama Minke tak hanya secara hukum di pengadilan tetapi juga melalui tulisan-tulisan Minke di surat kabar.

Dalam cerita Pariyem, peran motherhood yang dilakukan Pariyem berbeda dari apa yang dilakukan oleh ibunya, Parjinah. Kedua orang tua Pariyem yang awalnya seniman, setelah geger G-30-S/PKI kehilangan pekerjaannya karena kegiatan kesenian kethoprak dan ledhek menjadi punah. Mereka kemudian tinggal di Wonosari, Gunung Kidul menjadi petani, “bercocok tanam di ladang” (AG, 2017: 28) dan di sanalah Parjinah mengasuh Pariyem serta kedua adiknya di tengah aktivitas bertani dan berjualan ke pasar. 

Sementara Pariyem, ia melakukan urbanisasi dengan bekerja ke kota, meninggalkan Wonosari karena motif ekonomi. Sebagai petani, orang tuanya tidak memiliki lahan sebab mereka “menggarap bengkok pak Sosial” yang luasnya “hanya tiga petak kecil-kecil” (AG, 2017: 4). Di sana, Pariyem tidak memiliki jatah pekerjaan yang memberdayakan secara ekonomi sebab lahan yang digarap juga tidak terlalu luas dan perannya tidak terlalu dibutuhkan, sehingga bekerja ke kota menjadi satu-satunya solusi ekonomi untuk membantu perekonomian keluarganya yang “melarat” (AG, 2017: 4). 

Di kota, Pariyem hamil dengan anak majikannya, Den Bagus Ario, seorang mahasiswa filsafat yang tergila-gila kepada kecantikan Pariyem. Keputusan keluarga Cokro Sentono untuk memulangkan Pariyem sampai melahirkan lalu kembali lagi bekerja di Ndalem Suryo Mentaraman membuat Pariyem meninggalkan anaknya untuk tinggal bersama keluarga Pariyem di Wonosari (AG, 2017: 239). Tentu saja keputuskan meninggalkan anak ini bukanlah kemauan Pariyem sebab penggambaran Pariyem sendiri tentang motherhood justru “tak siang tak malam tak pagi tak petang/ selalu ibu yang menggula-wenthah anaknya… digendongnya ke mana pun pergi (AG, 2017: 211-212) yang menunjukkan keinginannya untuk selalu bersama dengan anaknya.

Yang menentukan berpisahnya Pariyem dengan sang anak adalah Ndoro Kanjeng. Saat mengetahui kehamilan Pariyem, ia berkata “Pekerjaanmu tak berubah, sebagai biasa/ hanya selama setahun tinggal di dusun… Kowe bertugas merawat diri dan si thuyul/ sedang semua kebutuhan nanti tersedia.” (AG, 2017: 201-202). Meskipun sebulan sekali Pariyem menengok anaknya, perkataan Pariyem “Demi anak segala rintangan saya tempuh/ mati pisan saya lakoni… saya pun kini mondar-mandir… antara kota Ngayogya dan dusun Wonosari” (AG, 2017: 240) menunjukkan bahwa sebenarnya ia ingin selalu bersama dengan anaknya. Menurut kritik feminis, ruang domestik dalam hal aktivitas reproduksi menjadi akar subordinasi terhadap perempuan. Tetapi peran reproduksi ini dikontestasikan dan dinegosiasikan sebagai respon terhadap apa yang terjadi di luar ruang domestik (Hayami, 1998). Dan dengan pulang-pergi sebulan sekali dari Yogyakarta ke Wonosari itu, Pariyem menegosiasikan peran motherhood-nya.

Berbeda dengan Pariyem, Nyai Ontosoroh sebagai gundik Tuan Mellema bisa tinggal bersama dengan anak-anaknya sejak usia mereka masih dini, mengasuhnya sembari mengurus perusahaan Mellema. Tetapi begitu Herman Mellema meninggal dan Robert Mellema, anak lelaki Nyai Ontosoroh tidak bisa ditemukan, hak kepengasuhan terhadap Annelies Mellema yang menurut hukum kolonial masih di bawah umur pun terlepas dari tangan Nyai Ontosoroh.

Hukum kolonial memang tidak pernah mengakui Robert dan Annelies sebagai anak Nyai Ontosoroh sebagaimana diungkapkannya “hukum tidak mengakui keibuanku, hanya karena aku pribumi dan tidak dikawin secara syah” (Toer, 2005: 112). Meski demikian, kedua anak Nyai Ontosoroh diakui sebagai anak Herman Mellema sehingga ketika sang ayah meninggal, hak kepengasuhan tersebut jatuh ke tangan Maurits Mellema, kakak tiri Annelies.

Berpisahnya Nyai Ontosoroh dengan Annelies juga bukan keinginan Nyai, meskipun pledoinya “Dia anakku… hanya aku yang berhak atas dirinya” (Toer, 2005: 488) itu tidak berarti di mata hukum kolonial. Meskipun menyadari bahwa posisinya lemah di depan hukum kolonial tidak mengurungkan tekad Nyai Ontosoroh untuk mempertahankan anaknya seperti yang ia ungkapkan: “Aku akan berkelahi untuk harga diri anakku. Ibuku dulu tak mampu mempertahankan aku, maka dia tak patut jadi ibuku” (Toer, 2005: 128). Sehingga bersama Minke yang menjadi suami Annelies, Nyai Ontosoroh berjuang melawan peradilan kolonial meskipun kalah. Di sinilah Nyai Ontosoroh menegosiasikan peran motherhood-nya.

Pariyem dan Nyai Ontosoroh sama-sama perempuan yang tidak dinikahi oleh pasangannya namun sama-sama memiliki anak dari hubungan di luar pernikahan tersebut. Dalam konteks masyarakat kolonial, identitas Nyai Ontosoroh sebagai gundik Tuan Mellema sekaligus perempuan pribumi, membuatnya berada dalam posisi yang selalu dikalahkan ketika berhadapan dengan hukum kolonial yang pada akhirnya merenggut dan memisahkan Annelies dari sisinya. Hukum kolonial yang memungkinkan terjadinya perbudakan dalam bentuk ‘nyai’ dan tidak mengakui keibuan seseorang terhadap anak indo-nya ini menjadi sebuah sistem patriarkal yang mensubordinasi Nyai Ontosoroh. 

Dalam konteks masyarakat feodal, identitas Pariyem sebagai seorang babu, golongan rakyat biasa dan bukan bangsawan, menempatkannya pada posisi yang tidak bisa menawar sabda Ndoro Kanjeng. Ada alasan kenapa Pariyem diminta untuk pulang, melahirkan anaknya, lalu kembali bekerja tanpa membawa serta anaknya ke Yogyakarta. Tentu saja sebab Endang, anak Pariyem bersama Den Bagus, adalah anak di luar pernikahan yang keberadaannya bisa mengancam wibawa kekuarga Cokro Sentono.

Menurut Rich (1996:42) pengalaman motherhood dan seksualitas pada perempuan hampir selalu ‘dipaksa menyerah’ pada kepentingan atau keinginan patriarki. Pariyem yang meninggalkan anaknya demi kepentingan Ndoro Kanjeng Cokro Sentono untuk menjaga wibawa keluarganya, Nyai Ontosoroh yang terpaksa berpisah dengan anaknya demi kepentingan Maurits Mellema lewat hukum kolonial. Latar belakang dan konteks masa kejadian dua teks ini berbeda tapi posisi perempuan sebagai ibu hampir sama. Keduanya bukan istri sah, tidak diikat perkawinan sah, dan yang berkuasa membuat keputusan tentang anaknya (peran motherhood) sama-sama keluarga laki-laki. 


Daftar Pustaka:

AG, Linus Suryadi. 2017. Pengakuan Pariyem. Jakarta: KPG.
Barry, Peter. 2002. Beginning Theory. Yogyakarta: Jalasutra.
Hayami, Y. 1998. Motherhood Redefined: Women's Choices on Family Rituals and Reproduction in the Peripheries of Thailand. Sojourn: Journal of Social Issues in Southeast Asia, 242-243. Diakses di https://www.jstor.org/stable/41056989 pada 12 Oktober 2019.
Rich, Adrienne. 1996. Of Woman Born, Motherhood as Experience and Institution. New York: W. W. Norton & Company.
Toer, Pramoedya Ananta. 2005. Bumi Manusia. Jakarta: Lentera Dipantara.

*Tulisan ini merupakan tugas yang diajukan dalam mata kuliah Teori Sastra yang diampu oleh Dr. Tommy Christomy 

No comments:

Post a Comment