Follow Us @soratemplates

Showing posts with label Feminisme. Show all posts
Showing posts with label Feminisme. Show all posts

Friday, November 8, 2019

Menegosiasikan Motherhood: Antara Pariyem dan Nyai Ontosoroh*

November 08, 2019 0 Comments
Ilustrasi diambil dari http://babiekinsmag.com/momkins-art-motherhood-brooke-smart/

Peran motherhood dalam masyarakat Indonesia, Jawa khususnya, menempatkan pengasuhan anak dari kecil sampai menjelang dewasa dengan dibebankan kepada sosok ibu sehingga memungkinkan ketidak-terpisahan antara anak dan ibunya. Meskipun dalam konteks jaman yang terus berubah, banyak pasangan mulai mendialektikakan peran motherhood ini antara perempuan sebagai ibu dan laki-laki sebagai ayah. Cerita tentang motherhood ini juga muncul menjadi isu serta diskursus dalam kisah-kisah fiksi yang bisa diinterpretasi dengan pemaknaan yang beragam.

Dalam esai ini akan dibahas bagaimana motherhood dikonstruksi dalam teks dan dinegosiasikan oleh tokoh Pariyem dalam prosa liris Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi AG dan Nyai Ontosoroh dalam novel Bumi Manusia karya Parmoedya Ananta Toer. Metode kualitatif dengan pendekatan post-strukturalisme digunakan dalam upaya memahami teks dengan membacanya secara tidak tekstual semata, melainkan berupaya menyingkap makna di baliknya (Barry, 2002: 77). Untuk memahami motherhood dalam hubungannya dengan kuasa patriarki, kritik feminisme juga akan sedikit digunakan dalam tulisan ini.

Novel Pengakuan Pariyem, berlatar tahun 1970-an pada masa Sultan Hamengkubuwono IX, mengisahkan seorang permpuan bernama Pariyem yang menuturkan kembali kisah hidupnya dengan sudut pandang aku dan ditujukkan kepada seseorang bernama Mas Paiman. Diceritakan bahwa Pariyem yang berasal dari Wonosari, Gunung Kidul bekerja sebagai babu di keluarga Ndoro Kanjeng Cokro Sentono, ndalem Suryo Mentaraman, Yogyakarta. Di sana, ia hamil setelah melakukan hubungan seksual bersama anak Ndoro Kanjeng, Den Bagus Ario. Menanggapi kehamilan yang menyangkut anak lelakinya itu, Ndoro Kanjeng memutuskan bahwa permasalahan tersebut diselesaikan secara kekeluargaan; Pariyem diantar pulang ke Wonosari sampai melahirkan anaknya lalu diminta kembali lagi ke Yogyakarta untuk bekerja seperti biasa. Sementara anak yang lahir diakui sebagai anak Den Bagus Ario serta bagian keluarga Cokro Sentono meskipun tanpa pernikahan. 

Sementara novel Bumi Manusia berlatar di masa kolonial, sekitar akhir 1800-an dan awal 1900-an di masa diberlakukannya politik etis, mengisahkan seorang anak bupati dan siswa HBS bernama Minke yang menuturkan kisah hidupnya serta pertemuannya dengan keluarga Mellema yang mengubah pandangan hidupnya tentang banyak hal, termasuk tentang ilmu pengetahuan dan Barat. Diceritakan bagaimana kisah keluarga Mellema, terutama sosok Nyai Ontosoroh, gundik Herman Mellema yang dikaguminya, dan bagaimana hubungan asmaranya bersama Annelies Mellema. Setelah meninggalnya Herman Mellema, Nyai Ontosoroh terpaksa berpisah dengan anaknya dan terancam kehilangan aset-aset perusahaan yang dikelolanya karena kalah di pengadilan kolonial meskipun sudah berupaya melawan bersama Minke tak hanya secara hukum di pengadilan tetapi juga melalui tulisan-tulisan Minke di surat kabar.

Dalam cerita Pariyem, peran motherhood yang dilakukan Pariyem berbeda dari apa yang dilakukan oleh ibunya, Parjinah. Kedua orang tua Pariyem yang awalnya seniman, setelah geger G-30-S/PKI kehilangan pekerjaannya karena kegiatan kesenian kethoprak dan ledhek menjadi punah. Mereka kemudian tinggal di Wonosari, Gunung Kidul menjadi petani, “bercocok tanam di ladang” (AG, 2017: 28) dan di sanalah Parjinah mengasuh Pariyem serta kedua adiknya di tengah aktivitas bertani dan berjualan ke pasar. 

Sementara Pariyem, ia melakukan urbanisasi dengan bekerja ke kota, meninggalkan Wonosari karena motif ekonomi. Sebagai petani, orang tuanya tidak memiliki lahan sebab mereka “menggarap bengkok pak Sosial” yang luasnya “hanya tiga petak kecil-kecil” (AG, 2017: 4). Di sana, Pariyem tidak memiliki jatah pekerjaan yang memberdayakan secara ekonomi sebab lahan yang digarap juga tidak terlalu luas dan perannya tidak terlalu dibutuhkan, sehingga bekerja ke kota menjadi satu-satunya solusi ekonomi untuk membantu perekonomian keluarganya yang “melarat” (AG, 2017: 4). 

Di kota, Pariyem hamil dengan anak majikannya, Den Bagus Ario, seorang mahasiswa filsafat yang tergila-gila kepada kecantikan Pariyem. Keputusan keluarga Cokro Sentono untuk memulangkan Pariyem sampai melahirkan lalu kembali lagi bekerja di Ndalem Suryo Mentaraman membuat Pariyem meninggalkan anaknya untuk tinggal bersama keluarga Pariyem di Wonosari (AG, 2017: 239). Tentu saja keputuskan meninggalkan anak ini bukanlah kemauan Pariyem sebab penggambaran Pariyem sendiri tentang motherhood justru “tak siang tak malam tak pagi tak petang/ selalu ibu yang menggula-wenthah anaknya… digendongnya ke mana pun pergi (AG, 2017: 211-212) yang menunjukkan keinginannya untuk selalu bersama dengan anaknya.

Yang menentukan berpisahnya Pariyem dengan sang anak adalah Ndoro Kanjeng. Saat mengetahui kehamilan Pariyem, ia berkata “Pekerjaanmu tak berubah, sebagai biasa/ hanya selama setahun tinggal di dusun… Kowe bertugas merawat diri dan si thuyul/ sedang semua kebutuhan nanti tersedia.” (AG, 2017: 201-202). Meskipun sebulan sekali Pariyem menengok anaknya, perkataan Pariyem “Demi anak segala rintangan saya tempuh/ mati pisan saya lakoni… saya pun kini mondar-mandir… antara kota Ngayogya dan dusun Wonosari” (AG, 2017: 240) menunjukkan bahwa sebenarnya ia ingin selalu bersama dengan anaknya. Menurut kritik feminis, ruang domestik dalam hal aktivitas reproduksi menjadi akar subordinasi terhadap perempuan. Tetapi peran reproduksi ini dikontestasikan dan dinegosiasikan sebagai respon terhadap apa yang terjadi di luar ruang domestik (Hayami, 1998). Dan dengan pulang-pergi sebulan sekali dari Yogyakarta ke Wonosari itu, Pariyem menegosiasikan peran motherhood-nya.

Berbeda dengan Pariyem, Nyai Ontosoroh sebagai gundik Tuan Mellema bisa tinggal bersama dengan anak-anaknya sejak usia mereka masih dini, mengasuhnya sembari mengurus perusahaan Mellema. Tetapi begitu Herman Mellema meninggal dan Robert Mellema, anak lelaki Nyai Ontosoroh tidak bisa ditemukan, hak kepengasuhan terhadap Annelies Mellema yang menurut hukum kolonial masih di bawah umur pun terlepas dari tangan Nyai Ontosoroh.

Hukum kolonial memang tidak pernah mengakui Robert dan Annelies sebagai anak Nyai Ontosoroh sebagaimana diungkapkannya “hukum tidak mengakui keibuanku, hanya karena aku pribumi dan tidak dikawin secara syah” (Toer, 2005: 112). Meski demikian, kedua anak Nyai Ontosoroh diakui sebagai anak Herman Mellema sehingga ketika sang ayah meninggal, hak kepengasuhan tersebut jatuh ke tangan Maurits Mellema, kakak tiri Annelies.

Berpisahnya Nyai Ontosoroh dengan Annelies juga bukan keinginan Nyai, meskipun pledoinya “Dia anakku… hanya aku yang berhak atas dirinya” (Toer, 2005: 488) itu tidak berarti di mata hukum kolonial. Meskipun menyadari bahwa posisinya lemah di depan hukum kolonial tidak mengurungkan tekad Nyai Ontosoroh untuk mempertahankan anaknya seperti yang ia ungkapkan: “Aku akan berkelahi untuk harga diri anakku. Ibuku dulu tak mampu mempertahankan aku, maka dia tak patut jadi ibuku” (Toer, 2005: 128). Sehingga bersama Minke yang menjadi suami Annelies, Nyai Ontosoroh berjuang melawan peradilan kolonial meskipun kalah. Di sinilah Nyai Ontosoroh menegosiasikan peran motherhood-nya.

Pariyem dan Nyai Ontosoroh sama-sama perempuan yang tidak dinikahi oleh pasangannya namun sama-sama memiliki anak dari hubungan di luar pernikahan tersebut. Dalam konteks masyarakat kolonial, identitas Nyai Ontosoroh sebagai gundik Tuan Mellema sekaligus perempuan pribumi, membuatnya berada dalam posisi yang selalu dikalahkan ketika berhadapan dengan hukum kolonial yang pada akhirnya merenggut dan memisahkan Annelies dari sisinya. Hukum kolonial yang memungkinkan terjadinya perbudakan dalam bentuk ‘nyai’ dan tidak mengakui keibuan seseorang terhadap anak indo-nya ini menjadi sebuah sistem patriarkal yang mensubordinasi Nyai Ontosoroh. 

Dalam konteks masyarakat feodal, identitas Pariyem sebagai seorang babu, golongan rakyat biasa dan bukan bangsawan, menempatkannya pada posisi yang tidak bisa menawar sabda Ndoro Kanjeng. Ada alasan kenapa Pariyem diminta untuk pulang, melahirkan anaknya, lalu kembali bekerja tanpa membawa serta anaknya ke Yogyakarta. Tentu saja sebab Endang, anak Pariyem bersama Den Bagus, adalah anak di luar pernikahan yang keberadaannya bisa mengancam wibawa kekuarga Cokro Sentono.

Menurut Rich (1996:42) pengalaman motherhood dan seksualitas pada perempuan hampir selalu ‘dipaksa menyerah’ pada kepentingan atau keinginan patriarki. Pariyem yang meninggalkan anaknya demi kepentingan Ndoro Kanjeng Cokro Sentono untuk menjaga wibawa keluarganya, Nyai Ontosoroh yang terpaksa berpisah dengan anaknya demi kepentingan Maurits Mellema lewat hukum kolonial. Latar belakang dan konteks masa kejadian dua teks ini berbeda tapi posisi perempuan sebagai ibu hampir sama. Keduanya bukan istri sah, tidak diikat perkawinan sah, dan yang berkuasa membuat keputusan tentang anaknya (peran motherhood) sama-sama keluarga laki-laki. 


Daftar Pustaka:

AG, Linus Suryadi. 2017. Pengakuan Pariyem. Jakarta: KPG.
Barry, Peter. 2002. Beginning Theory. Yogyakarta: Jalasutra.
Hayami, Y. 1998. Motherhood Redefined: Women's Choices on Family Rituals and Reproduction in the Peripheries of Thailand. Sojourn: Journal of Social Issues in Southeast Asia, 242-243. Diakses di https://www.jstor.org/stable/41056989 pada 12 Oktober 2019.
Rich, Adrienne. 1996. Of Woman Born, Motherhood as Experience and Institution. New York: W. W. Norton & Company.
Toer, Pramoedya Ananta. 2005. Bumi Manusia. Jakarta: Lentera Dipantara.

*Tulisan ini merupakan tugas yang diajukan dalam mata kuliah Teori Sastra yang diampu oleh Dr. Tommy Christomy 

Thursday, August 22, 2019

Perempuan dan Apa yang Ia Kenakan

August 22, 2019 0 Comments
Gambar diambil dari http://waterfordwhispersnews.com/2019/08/21/how-much-clothes-should-a-woman-wear/

Pagi tadi, saya berjalan kaki sekitar satu kilometer dari kos menuju pemberhentian bis kuning (bikun-transportasi umum yang melewati hampir semua fakultas di kampus) terdekat. Tak lama, bis yang saya tunggu tiba. Mungkin karena masa perkuliahan belum betul-betul dimulai, bis yang saya naiki tidak terlalu ramai. Setengah mengantuk, saya membuka gawai saya untuk membalas pesan-pesan di whatsapp dan aplikasi pesan lainnya. Beberapa halte sudah dilewati. Saya menoleh ke arah jendela, memastikan kampus yang saya tuju tidak terlewat karena sebelumnya saya dua kali nyasar naik bikun. Di halte RIK, bikun berhenti agak lama karena banyak yang turun sekaligus ada beberapa yang naik. Salah satunya seorang perempuan yang hampir jatuh tersandung roknya sendiri. Tepat di hadapan saya.

Saya sudah mau berdiri untuk mempersilakannya duduk tetapi kursi di hadapan saya sudah lebih dulu ditinggalkan penumpang sebelumnya, sehingga perempuan yang tadi nyaris jatuh itu duduk di sana. Saya menatapnya sekilas lalu tersenyum. Pandangan saya kembali terpaku ke gawai di tangan tetapi pikiran saya mengembara kemana-mana. Perempuan itu masih muda. Kukira umurnya terpaut jauh denganku. Mungkin 7-8 tahun lebih muda. Mungkin juga lebih. Sepertinya ia mahasiswa jenjang sarjana. Aku kembali melirik ke arahnya sedikit. Bajunya lusuh dan tampak kebesaran. Ia berkali-kali memperbaiki letak pinggang roknya supaya roknya sedikit terangkat ke atas. Mungkin supaya roknya tidak kepanjangan dan menyulitkan saat berjalan. Kuperhatikan roknya yang juga tampak kebesaran, warna hitamnya lusuh dan agak mengkilat, seperti terlalu sering dicuci dan disetrika. Mata kami bertemu. Aku merasa bersalah karena sudah memperhatikannya, sehingga aku tersenyum penuh permohonan maaf. Dan ia membalas senyumku dengan rasa malu yang tidak bisa disembunyikan oleh sepasang matanya. Tiba-tiba hatiku merasa nyeri.

Tak jarang kita melihat tulisan-tulisan yang membahas bagaimana perempuan seharusnya berpakaian. Ada yang mengkritik perempuan berbaju ketat, memakai celana, atau rok mini. Namun sering pula kita mendapati orang-orang yang mengkritik perempuan berbaju gamis, bercadar, berkaus tangan. "Mana yang lebih baik?" begitu orang terus memperdebatkan. Ada yang membandingkan perempuan tak berjilbab dengan permen loli dikerubungi semut dan ada yang mencela perempuan bercadar dengan mengatakan bahwa di sini bukan gurun pasir.

Perdebatan itu tidak pernah selesai. Tidak akan pernah.

Tetapi, apakah kita pernah berpikir bahwa bagi beberapa perempuan, memperoleh baju yang nyaman ia kenakan juga tidak mudah? Saya ingat bertahun-tahun lalu, kala masih mahasiswa jenjang sarjana. Saya hanya punya beberapa potong baju yang bisa dibilang bagus dan pantas dipakai kuliah. Kadang, saya bahkan memakai baju-baju bekas punya bulik yang diwariskan pada saya, karena usia kami tidak terpaut terlalu jauh dan ukuran badan kami nyaris sama. Untuk membeli baju yang sedikit agak bagus, saya harus berpikir puluhan kali karena uang tersebut bisa dialokasikan untuk membeli buku dan keperluan primer lainnya. Sehingga saya jarang sekali berganti-ganti baju karena stok baju kuliah saya memang itu-itu saja.

Dan perdebatan orang-orang tentang baju apa yang harus dikenakan perempuan itu begitu menyakitkan didengar karena mereka yang sibuk berdebat itu seolah tidak peduli dengan pendapat personal para perempuan. Beberapa perempuan nyaman memakai rok, beberapa merasa lebih nyaman memakai celana. Beberapa mungkin juga nyaman memakai cadar, beberapa yang lain mungkin tidak nyaman memakai kerudung. Pilihan-pilihan berpakaian itu adalah hal-hal yang sangat personal dan kompleks. Beberapa perempuan bahkan tidak punya terlalu banyak pilihan karena ketidakmampuan finansial dalam membeli baju-baju yang menurut mereka nyaman dikenakan. Alih-alih menghakimi pilihan perempuan dalam berpakaian, kenapa kita tidak belajar memahami dan menghormati pilihan-pilihan orang lain? 

Tentu saja, gaya berpakaian tidak bisa dilepaskan dengan konteks budaya, atau kalau mau merujuk kajian-kajian sosial budaya, model-model baju juga terkait erat dengan pertarungan identitas, kuasa, bahkan kapitalisme (kita tahu kan baju-baju tertentu harganya bisa sangat tidak masuk akal). Tetapi, maksud saya begini, kenapa kita harus selalu memperdebatkan cara berpakaian perempuan dan berusaha mengatur mereka sesuai norma agama atau apapun yang kita yakini? Merasa bahwa mengurusi pakaian perempuan adalah tugas dan kewajiban kita, tetapi abai dengan perasaan atau pilihan sadar mereka seolah itu tidak penting. Padahal yang terpenting tentang pakaian adalah kenyamanan bagi mereka yang mengenakannya. 



Depok, 23 Agustus 2019

Tuesday, February 19, 2019

Sunnah Monogami - Buku Dr. Faqihuddin Abdul Kodir

February 19, 2019 0 Comments

Judul Buku: Sunnah Monogami - Mengaji Alquran dan Hadits

Pengarang: Dr. Faqihuddin Abdul Kodir
Penerbir dan Tahun Terbit: USM, 2017
Jumlah Halaman: 382
Genre: Nonfiksi

Selama ini kita kerap mendengar kata sunnah nabi sebagai justifikasi dan alasan untuk berpoligami. Tetapi, Dr. Faqihuddin mengajukan pendapat berbeda berdasarkan re-interpretasi ayat-ayat Alquran dan hadits; bahwa yang sunnah sebetulnya adalah monogami, bukan poligami. 

Monday, November 12, 2018

Nyi Seppo, Sang Pendidik (Mengenal Nyai Siti Maryam, Bilapora Sumenep)*

November 12, 2018 0 Comments
Hampir setiap hari, selalu ada saja tamu yang berkunjung ke ndalem. Ada yang hanya ingin silaturahmi dengan Mbah Nyai Siti Maryam atau lebih dikenal sebagai Nyi Seppo yang artinya adalah Nyai Sepuh (sepeninggal almarhum Mbah Kyai Ahmad Jazuli, suaminya, tinggal Mbah Nyai satu-satunya sesepuh di Pondok), ada yang minta doa, ada yang meminta nasihat, ada yang mengantarkan santri mondok, dan ada yang memamitkan santri. Mbah Nyai selalu menerima semua tamu itu dengan gembira, betapapun banyaknya yang berkunjung, betapapun letihnya beliau, semua ditemui dengan wajah senyum dan keramahan yang tiada duanya. “Kaule sanausa gerre manabi bede tamoy pas sehat rassana. Kaule cek sennenga manggiin tamuy,” begitu tutur Mbah Nyai yang dalam bahasa Indonesia kurang lebih berarti: “Bahkan ketika saya sedang sakit, bila ada tamu rasanya saya langsung sembuh. Saya senang sekali menemani tamu.”

Mbah Nyai memang tidak pernah menolak siapa saja yang datang bertamu ke ndalem. Semua tamu yang sowan selalu beliau temui dan hormati, betapapun lelahnya atau betapapun sibuknya. Beliau juga tidak pernah membeda-bedakan siapa tamu yang datang. Tamu jauh, tamu dekat, kaya, miskin, laki-laki, perempuan, tua, muda, semuanya diterima dengan keramahan yang sama.

Dalam adat Madura, umumnya tamu yang sowan ke kyai biasanya dipisah. Tamu laki-laki ditemui oleh laki-laki dan tamu perempuan ditemui oleh perempuan. Tapi jika sowan ke Mbah Nyai, baik laki-laki atau perempuan, semua diterima oleh Mbah Nyai, tak dibeda-bedakan berdasarkan jenis kelaminnya. Ketika ditanya, mengapa Mbah Nyai juga menemui tamu lelaki dan bahkan bersalaman dengan tamu lelaki, Mbah Nyai menjawab bahwa semuanya sudah dianggap sebagai anaknya, sehingga tidaklah menjadi penghalang bagi beliau untuk menemui anak-anaknya sendiri.

Saya teringat betul sore itu. Cuaca begitu panas dan saya baru tiba di rumah suami di Sumenep (ujung timur pulau Madura) saat serombongan tamu tampak memasuki ndalem. Setelah ikut bersalaman sebentar, saya masuk ke dalam, tidak ikut menemani para tamu. Awalnya samar-samar terdengar obrolan ringan, saling menanyakan kabar dan lain sebagainya, sampai kemudian salah seorang dari para tamu itu berbicara dengan suara lirih pada Mbah. Karena belum begitu paham bahasa Madura, saya bertanya pada suami, apa yang dikatakan tamu itu. Suami menjawab, “Itu mau memamitkan santri.” Saya mengernyit, “Loh kenapa? Bukannya baru mau tahun ajaran baru?” saya bertanya. “Mau dinikahkan,” jawab suami singkat.

Saya terdiam. Suara dari ruang tamu terdengar kabur. Lalu perlahan sunyi. Detik selanjutnya, suara Mbah Nyai yang tegas terdengar, “Sudah mau nikah? Nanti, mondok dulu, selesaikan sekolah SMK-nya (maksudnya Sekolah Menengah Kejuruan, sederajat SMA) ya. Baru setelah itu nikah.” Rombongan tamu itu diam semua, tidak ada yang berani membantah. Semuanya sami’na wa atha’na atas dawuh Mbah Nyai.

Segera setelah tamu berpamitan, Mbah Nyai masuk ke dalam dan berkata pada suami saya, “Nanti kamu bikin perguruan tinggi ya Nak di sini, biar santri-santri puteri nikahnya nanti saja kalau sudah mondok dan lulus kuliah.”

*

Di Madura, pernikahan anak umum sekali terjadi bahkan sampai sekarang. Ada begitu banyak faktor yang menjadi latar belakangnya. Pertama, faktor ekonomi. Menikahkan anak perempuan sedini mungkin dianggap bisa meringankan beban ekonomi keluarga karena setelah menikah, anak perempuan menjadi tanggung jawab suaminya. Apalagi bagi keluarga yang memiliki banyak anak, lepasnya tanggung jawab finansial terhadap satu anak akan sangat menolong ekonomi keluarga. Menyekolahkan anak perempuan dianggap tidak memberikan banyak keuntungan berarti, karena toh dia akan menikah dan dibawa oleh suaminya selepas menikah, yang penting ia bisa membaca, menulis, berhitung, dan mengaji. Terlebih, bagi anak perempuan lulusan pondok, meskipun usianya baru lulus SMP tetapi sudah dianggap memiliki cukup bekal menjadi istri karena sudah mempelajari kitab-kitab fikih dasar seperti Fathul Qarib, Fathul Mu’in, dan juga sudah mempelajari Qurrotul Uyun sebagai bekal berumah tangga.

Beberapa keluarga merasa lebih penting untuk menyekolahkan anak laki-laki, karena semakin tinggi sekolahnya maka kemungkinan untuk memperoleh pekerjaan yang lebih baik pun semakin besar. Dengan itu, keluarga bisa ikut memperoleh keuntungan jika anak lelakinya memiliki penghasilan yang cukup. Sebab anak lelaki yang sudah bekerja pastilah akan membantu meringankan beban finansial keluarganya.

Kedua, faktor sosial. Dalam adat masyarakat Madura, ada kebiasaan antar keluarga yang ingin agar pertalian hubungannya selalu dekat dan salah satu pengikatnya adalah melalui pernikahan jika memiliki anak-anak yang berbeda jenis kelamin untuk dijodohkan (istilahnya du-jhudu dalam bahasa Madura). Seringkali perjodohan antar keluarga itu bahkan direncanakan jauh sejak anak masih sangat kecil atau bahkan masih dalam kandungan (istilahnya tok-ngatok dalam bahasa Madura).

Setelah perjodohan itu disepakati lalu dilakukanlah adat ngobu, yang mana pihak keluarga laki-laki bertanggung jawab sepenuhnya atas nafkah si perempuan walaupun si bayi masih merah sampai nanti hari pernikahan, dan apabila perjodohan itu gagal, maka adat ngobu dianggap batal. Jika batal, maka keluarga perempuan harus mengembalikan semua harta benda yang sudah diterimanya dari pihak keluarga laki-laki.

Oleh karena itu, biasanya begitu anak-anak tersebut lahir dan akhirnya menginjak balig, umumnya keluarga tidak menunggu lama untuk menikahkan mereka. Menunda pernikahan dari perjodohan semacam itu dianggap beresiko. Adanya ketakutan bahwa perjodohan itu akan gagal dan lain sebagainya turut menjadi alasan bagi para orang tua tersebut untuk bersegera menikahkan anak-anaknya.

Tentu saja ini tidak terjadi pada semua keluarga di Madura. Ada banyak keluarga yang sudah mulai memikirkan untuk memfasilitasi anak-anaknya sampai ke pendidikan tinggi, termasuk juga untuk anak-anaknya yang berjenis kelamin perempuan. Namun tak dipungkiri bahwa di kampung-kampung masih banyak sekali terjadi pernikahan anak. Bagi mereka, asalkan persyaratan secara agama sudah terpenuhi, maka pernikahan itu bisa dilangsungkan. Kasus pernikahan ini paling banyak menimpa anak perempuan. Bagi mereka, anak perempuan yang sudah menstruasi dan hatam mengaji Fathul Mu’in dan Qurrotul Uyun dianggap sudah saatnya dinikahkan.

Di desa Bilapora Timur, kecamatan Ganding, Sumenep, Nyai Siti Maryam menjadi salah satu pemuka agama yang selalu berusaha agar anak-anak perempuan memperoleh pendidikan sekolah formal dan keagamaan yang cukup sebelum akhirnya menikah dan mengasuh anak. Nyai Siti jugalah perempuan pertama yang berinisiatif membangun pondok puteri di daerah tersebut 41 tahun yang lalu. Mula-mula pada masa perintisannya santri puteri yang mondok di sana hanya sekitar sepuluh orang, tetapi saat ini justru jumlahnya menyalip jumlah santri pondok putera yang lebih dulu berdiri sejak periode kakek mertuanya.

Nyai Siti Maryam dilahirkan di desa Gadu Timur, kecamatan Ganding, kabupaten Sumenep, pada tanggal 15 Muharram 58 tahun yang lalu dari pasangan Kyai Jamaluddin dan Nyai Masrurah. Silsilah dari jalur ayah adalah sebagai berikut: Nyai Siti Maryam binti Jamaluddin bin Khazin/Abdul Mu’in bin Murtadho bin Mufid bin Sihhah bin Dzu Limah bin Abdul Karim bin Syish bin Ali Zainal Abidin (Sunan Cendana) bin Khatib bin Musa bin Qasim (Sunan Drajat) bin Raden Rahmat (Sunan Ampel). Sementara dari jalur ibu, silsilahnya adalah sebagai berikut: Nyai Siti Maryam binti Masrurah binti Tsuwaibah binti Khadijah binti Kyai Mohammad Syarqowi (Pendiri Pondok Pesantren Annuqayah Guluk-Guluk, Sumenep, atau yang lebih dikenal dengan nama Pesantren Guluk-Guluk saja).

Saat kelahirannya, ibunda Nyai Siti, Nyai Masrurah mengatakan bahwa kelak Nyai Siti akan kuat menjadi seorang pemimpin karena menurut kepercayaan orang Madura, anak yang dilahirkan pada bulan purnama di bulan Muharram akan dikuatkan menjadi seorang pemimpin. Dan sepertinya ucapan Nyai Masrurah memang menjadi kenyataan.

Nyai Siti sejak kecil dididik mengaji oleh kedua orang tuanya yang juga pengasuh pondok pesantren Jamalullail sebelum akhirnya mondok di pondok pesantren Al-Anwar Gadu yang diasuh oleh paman dan bibi Nyai Siti yaitu Kyai Anwar dan Nyai Arifah (Nyai Arifah adalah adik sepupu dari Kyai As’ad Syamsul Arifin Sukorejo, Situbondo, yang menjadi salah satu pendiri Nahdlatul Ulama) sejak usia 7 tahun sampai akhirnya Nyai Siti menikah.

Nyai Siti Maryam menikah dengan Kyai Ahmad Jazuli bin Thohiruddin pada usia 13 tahun, dan sejak saat itu ikut menetap di desa Bilapora Timur, kecamatan Ganding, kabupaten Sumenep serta membantu Kyai Jazuli mengasuh pondok pesantren Darussalam. Pondok Pesantren Darussalam sendiri berdiri sejak tahun 1800an, didirikan oleh Kyai Harru, kakek Kyai Jazuli. Dan sejak tahun 1961 Kyai Ahmad Jazuli lah yang mengasuh pondok pesantren tersebut.

Pada awalnya Pondok Pesantren Darussalam hanya menerima santri putera saja, baru pada tahun 1975, berkat inisiatif Nyai Siti Maryam, pondok pesantren puteri dibuka. Saat itu Mbah Nyai baru berusia 17 tahun. Dan pondok pesantren puteri tersebut menjadi satu-satunya pondok puteri di Bilapora.

Begitu pondok pesantren Darussalam membuka pondok puteri, lama kelamaan ada banyak sekali santri puteri yang akhirnya mondok di situ. Kebanyakan adalah anak-anak alumni pondok Darussalam periode sebelumnya yang berasal dari daerah Jawa Timur dan Madura serta masyarakat sekitar. Bahkan ada juga santri puteri dari Jawa Barat dan Kalimantan yang mondok di sana. Kurikulum pengajaran di pondok puteri fokus dalam pendidikan kitab kuning dan juga menekankan pada pendidikan adab serta akhlaqul karimah.

Meskipun dulunya Nyai Siti menikah di usia 13 tahun, namun beliau sama sekali tidak menginginkan santri-santri puteri yang mondok di pondok pesantren Darussalam menikah di usia terlampau belia. Apalagi sejak pondok pesantren Darussalam memiliki sekolah formal pasca tahun 90-an.

Mulai tahun 1993 sampai sekarang, pondok pesantren Darussalam telah membangun sekolah formal mulai dari PAUD, RA, MI, SMPi, dan SMK sehingga santri-santri yang mondok di pondok pesantren Darussalam umumnya juga bersekolah di sekolahan pondok. Sebelumnya, anak-anak yang mondok sekaligus sekolah formal lebih banyak didominasi oleh santri laki-laki, namun setelah dibangunnya sekolah formal sampai ke tingkat SMK, sekarang hampir semua santri puteri yang mondok di sana juga bersekolah formal.

Meskipun begitu, tetap ada beberapa wali santri yang menganggap bahwa anak-anaknya yang perempuan cukup sekolah sampai tingkat SMP saja. Bagi para orang tua itu, yang penting anak-anaknya sudah bisa ngaji kitab, sudah paham fikih. Begitu lulus SMP, mereka biasanya dipamitkan oleh orang tuanya untuk dinikahkan. Dulu, Nyai Siti sering kesulitan mencari alasan untuk menahan santri puteri yang mau dibawa pulang orang tuanya untuk dinikahkan. Namun setelah dibangunnya sekolah SMK, Nyai Siti biasanya menahan santri puteri yang masih baru lulus SMP dan mau dinikahkan oleh orang tuanya supaya melanjutkan sekolahnya sampai ke SMK dulu sebelum menikah. Alasan Nyai Siti, selain karena faktor usia yang masih terlalu muda kalau menikah selepas lulus SMP, Nyai Siti merasa bahwa anak perempuan juga perlu memiliki bekal pendidikan formal yang cukup sebelum menikah. Karena siapa tahu, anak tersebut juga ingin bekerja selain menjadi ibu rumah tangga. Dan jenjang pendidikan yang lebih tinggi akan lebih membantu anak tersebut untuk memiliki pilihan yang lebih banyak untuk masa depannya.

Meskipun biasanya para orang tua santri sebenarnya keberatan anaknya harus melanjutkan sekolah dan mondok lagi, namun mereka juga tidak berani menentang dawuh Nyi Seppo. Akhirnya mereka pun ‘terpaksa’ mengijinkan anaknya untuk tetap tinggal di pondok dan menunda pernikahannya.

Memang sebagai seorang pemuka agama, setiap dawuh Nyai Siti pasti selalu didengarkan oleh masyarakat. Sehingga ketika Nyai Siti meminta agar santri yang mau dinikahkan selepas SMP itu mondok lagi dan melanjutkan sekolah sampai SMK, maka orang tua santri pun akan menuruti. Hal tersebut menjadi keuntungan tersendiri bagi Nyai Siti. Bahwa kekuatan ucapannya beliau jadikan sarana untuk terus memperjuangkan pendidikan bagi anak-anak perempuan.

Namun perjuangan Nyai Siti dalam mengupayakan pendidikan anak-anak perempuan juga mengalami begitu banyak kendala. Terlebih sepeninggal Kyai Ahmad Jazuli, Nyai Siti harus berjuang keras untuk mengurus baik pondok putera dan juga pondok puteri. Dengan infrastruktur dan fasilitas yang masih sangat serba terbatas, Nyai Siti mau tidak mau harus sangat bekerja keras dalam melanjutkan perjuangan almarhum suaminya..

Beberapa impian Nyai Siti untuk pondok puteri yang sampai saat ini belum terlaksana antara lain adalah membangun mushola khusus santri puteri (karena selama ini santri puteri masih menggunakan sekolahan RA sebagai mushola sementara untuk kegiatan-kegiatannya) dan membekali santri-santri puteri dengan keterampilan-keterampilan misalnya menjahit, kursus bahasa, atau memasak (yang sampai saat ini masih dipikirkan dan diupayakan oleh Nyai Siti bagaimana menyediakan peralatan menjahit, laboratorium bahasa, dan peralatan memasak serta tenaga-tenaga yang bisa mengajar keterampilan-keterampilan tersebut.) Nyai Siti juga bermimpi suatu saat nanti pondok pesantren Darussalam punya perguruan tinggi sehingga santri-santri yang mondok di sana bisa sekaligus melanjutkan sampai ke tingkat perguruan tinggi juga. Terlebih bagi santri puteri yang kebanyakan tidak terlalu diperhatikan pendidikan formalnya oleh keluarga. Padahal dengan pendidikan yang lebih tinggi, santri-santri tersebut bisa memiliki lebih banyak pilihan di masa yang akan datang, misalnya jika ingin bekerja sebagai guru atau pegawai.

Selain memperjuangkan pendidikan untuk anak perempuan, terutama sekali anak-anak perempuan di sekitar daerah kecamatan Ganding dan kecamatan Lenteng, Nyai Siti juga merintis dan menghidupkan organisasi muslimat NU di desa Bilapora dan menjadi pelopor aktifnya kegiatan Muslimat NU di dua kecamatan yaitu kecamatan Ganding (bagian Timur) dan kecamatan Lenteng (bagian Barat). Nyai Siti mulai menjadi ketua Muslimat NU sejak usianya 14 tahun dan terus berupaya keras membesarkan organisasi tersebut hingga saat ini. Beliau berupaya mendidik ibu-ibu Muslimat NU untuk berani menyuarakan pendapatnya, untuk memimpin, dan untuk mandiri.

Nyai Siti juga sangat mendorong peran dan partisipasi aktif perempuan dalam kegiatan sosial, politik, dan kemasyarakatan. Salah satunya dengan mendorong dan mengupayakan terpilihnya kepala desa perempuan di Bilapora. Saat itu hampir sebagian besar warga menolak majunya Eni Setiasih, seorang aktivis Muslimat NU desa Bilapora bimbingan Nyai Siti menjadi calon kepala desa perempuan karena adanya keyakinan bahwa pemimpin perempuan tidaklah sesuai dengan syariat agama. Ada begitu banyak penentangan yang terjadi terkait majunya calon kepala desa perempuan di desa Bilapora tersebut. Apalagi sepanjang sejarah, tak pernah ada kepala desa perempuan sebelumnya di desa Bilapora.

Warga masyarakat pun dibuat bingung dengan kondisi tersebut. Namun, ketika mereka sowan dan bertanya pada Nyai Siti soal kepemimpinan perempuan, Nyai Siti justru memberikan pandangan bahwa yang terpenting adalah kemampuan memimpin dan membawa masyarakat ke dalam kondisi yang lebih baik, bukan apa jenis kelaminnya. Penjelasan Nyai Siti akhirnya cukup meredakan kebingungan yang terjadi dalam masyarakat.

Ketika akhirnya Eni Setiasih terpilih menjadi kepala desa, ketegangan bukannya mereda. Ada banyak pihak yang tidak suka dengan terpilihnya Eni Setiasih kemudian memprovokasi warga dan membawa masalah itu ke dalam perbincangan agama, bahwa pemimpin perempuan tidaklah sesuai dengan syariat agama. Namun lagi-lagi hal tersebut berhasil diredakan berkat ketegasan Nyai Siti dalam membela dan memperjuangkan posisi kepemimpinan perempuan.

Posisi perempuan, yang dalam beberapa daerah di Madura dinomorduakan tidak berlaku dalam kehidupan Nyai Siti. Meskipun beliau tidak mengenyam pendidikan formal hingga perguruan tinggi, dan kebanyakan hanya bergelut dengan kitab-kitab klasik, bahkan beliau kurang lancar berbahasa Indonesia namun cara pandang beliau bisa dibilang cukup progresif. Beliau menekankan bahwa Allah menciptakan manusia dengan sama, baik laki-laki dan perempuan, dan semuanya berhak atas hak-hak dasar yang sama tanpa adanya pengecualian. Itulah sebabnya, Nyai Siti sangat mendorong terpenuhinya hak pendidikan bagi anak-anak perempuan, sebagaimana pada anak laki-laki. Pun jika pada akhirnya anak-anak perempuan itu memilih menjadi ibu rumah tangga saja, setidaknya mereka menikah di usia dimana mereka sudah menamatkan sekolah menengah dan menyelesaikan mondoknya.

Meskipun alasan-alasan yang diungkapkan Nyai Siti perihal penolakannya pada pernikahan anak bisa dibilang termasuk sangat sederhana (beliau tidak mengenal persoalan-persoalan seperti kesehatan seksual dan reproduksi, dan dampak kesehatan yang bisa menimpa anak-anak perempuan yang menikah di usia belia) namun penolakan beliau terhadap pernikahan anak dalam kaitannya dengan pendidikan perempuan cukup membesarkan hati. Adanya kesadaran bahwa pendidikan bagi perempuan itu sama pentingnya dengan pendidikan bagi laki-laki telah meletupkan dan menciptakan harapan-harapan yang lebih besar, terutama sekali bagi masyarakat sekitar pondok pesantren Darussalam, Bilapora.

Tak bisa dipungkiri, berdirinya pondok puteri di desa Bilapora dan banyaknya anak-anak perempuan yang akhirnya mondok dan sekolah sampai ke jenjang SMK di daerah tersebut sedikit banyak adalah buah dari perjuangan Nyai Siti.

Nyai Siti sendiri bahkan bisa dibilang menjadi pelopor ulama perempuan pemimpin di desa Bilapora. Sepeninggal wafatnya Kyai Ahmad Jazuli di tahun 2004, kepengasuhan pondok pesantren Darussalam dipegang oleh Nyai Siti sampai sekarang. Beliau lah yang memimpin kepengurusan baik di pondok putera maupun pondok puteri. Dan kemungkinan beliau lah satu-satunya pengasuh perempuan di pondok pesantren di daerah tersebut. Dalam berbagai kesempatan, Nyai Siti juga kerap memimpin tahlil atau istighosah baik di Madura, Banyuwangi, Jember, Lumajang, Ponorogo, dengan jamaah tak hanya perempuan tetapi juga lelaki.

Meskipun Nyai Siti sudah semakin sepuh, namun aktivitas beliau sama sekali tidak berkurang. Selain terus mengurus santri pondok, beliau juga masih aktif mengurus organisasi Muslimat NU, dan sederet aktivitas lainnya. Beliau juga mendirikan organisasi ikatan alumni pondok pesantren Darussalam yang menjadi wadah seluruh alumni yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia dengan tujuan supaya antar alumni saling bersilaturahmi.

Bagi Nyai Siti, masyarakat, alumni, dan santri sudah seperti keluarganya sendiri. Semua dianggap sebagai anak yang perlu diayomi dan disayangi. Dan begitupun masyarakat sekitar memperlakukan Nyai Siti, seperti orang tua mereka sendiri. Mereka datang berbondong-bondong pada beliau untuk berbagi keluh kesah, masalah, dan apa saja. Mungkin inilah yang juga membuat Nyai Siti menjadi sangat memikirkan masyarakat, terutama sekali yang berkenaan dalam bidang pendidikan.

Keistiqomahan beliau dalam mendidik santri dan masyarakat menjadi inspirasi bagi banyak orang, termasuk beberapa alumni santri baik laki-laki maupun perempuan yang menjadikan Nyai Siti sebagai role model dalam kehidupan mereka. Banyak alumni-alumni santri yang akhirnya mendirikan pesantren dan mengasuh pondok pesantren tersebut mengikuti cara-cara yang secara tidak langsung dicontohkan oleh Nyai Siti. Pondok pesantren itu tersebar di sekitar Madura sampai Jawa Timur, terutama Jember dan Banyuwangi. Harapannya, perjuangan Nyai Siti dalam memperjuangkan pendidikan untuk semua orang, tak hanya bagi laki-laki namun juga bagi perempuan bisa ditiru oleh para keluarga, santri, alumni, dan masyarakat sekitar. Dan semoga Nyai Siti diberi kesehatan serta umur panjang yang penuh keberkahan, sehingga beliau bisa mewujudkan impian-impiannya dalam dunia pendidikan santri.

*Tulisan ini menjadi Juara 1 Lomba Karya Tulis Ulama Perempuan: Peran dan Kiprahnya di Masyarakat kategori Feature/Profil yang diselenggarakan oleh Rahima, Fahmina, dan Alimat dalam rangka Kongres Ulama Perempuan Indonesia tahun 2016

Feminisme: Sebuah Catatan

November 12, 2018 0 Comments
Sejarah ditulis di atas genangan darah kaum minoritas: mereka yang lemah, yang berjuang tapi dikalahkan oleh ketidakadilan dan kekuasaan. Jutaan manusia, termasuk di dalamnya perempuan dan anak-anak, menjadi korban genosida besar-besaran sebab identitas minoritas mereka: suku Indian, Gypsi, Yahudi pada era Hitler, kaum Syiah, Ahmadiyah, Homoseksual dan Lesbian serta kelas minoritas lainnya. Dan sejak mula-mula, feminisme adalah perjuangan pembelaan terhadap kelas minoritas yang ditindas dan diopresi, yang pada masa lahirnya feminisme, korbannya kebanyakan perempuan. Sebab, pada tubuh perempuanlah ketidakadilan dan penindasan itu bermula. Tulisan singkat ini akan memaparkan sekilas mengenai feminisme yang pada awalnya merupakan perjuangan perempuan sampai pada titik dimana feminisme kemudian menjadi perjuangan keadilan.


Feminisme: Perjuangan Perempuan 

Perjuangan feminisme berawal di Barat, ketika perempuan belum memperoleh hak pilih dalam politik, ketika kesempatan mendapatkan pendidikan untuk perempuan sangat terbatas dan hampir tidak ada, pun seandainya ada maka hanya bisa dinikmati oleh segelintir perempuan dari keluarga bangsawan. Lebih dari itu, perjuangan ini adalah penggugatan atas konstruksi ketubuhan yang menempatkan perempuan dalam kelas liyan, manusia kelas dua, kelas laki-laki yang tidak sempurna. 

Wajah Perempuan dalam Perkawinan dan Keluarga*

November 12, 2018 0 Comments
Setahun yang lalu, pada Jum’at, 3 Agustus 2012 pukul 15.00 WIB, Jurnal Perempuan bekerja sama dengan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Atma Jaya Yogyakarta menyelenggarakan pendidikan publik Jurnal Perempuan edisi 73 dengan tema “Perkawinan dan Keluarga” di auditorium FISIP Universitas Atma Jaya. Acara ini dibuka oleh Wakil Direktur Jurnal Perempuan Deedee Achriani dan sambutan dari Dekan FISIP Universitas Atma Jaya, Lukas Ispandriarno. Kemudian, pendidikan publik berupa diskusi dan tanya jawab dengan narasumber Gusti Kanjeng Ratu Hemas, Siti Ruhaini Dzuhayatin (Dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta), dan Elli Nurhayati (Direktur Rifka Annisa) dimoderatori oleh Dewi Candraningrum yang merupakan Dewan Redaksi Jurnal Perempuan. 



Dewi membuka diskusi ini dengan menjelaskan bahwa acara semacam ini adalah serupa sumur ilmu pengetahuan. Namun, sumur ilmu pengetahuan ini jangan dianggap sebagai sesuatu yang jauh sekali harus ditimba, harus kita renggut, sebab sumur ilmu pengetahuan ini seringkali berada sangat dekat dengan kita. Kita bisa belajar dari ibu kita, ayah kita, saudara perempuan kita, saudara laki-laki kita, teman-teman dan sahabat kita. Feminisme dan Jurnal Perempuan berangkat dari penghargaan semacam itu, sehingga merupakan sebuah pijakan awal yang salah kalau menganggap bahwa feminisme itu melawan laki-laki. Feminisme adalah penghargaan terhadap semua manusia. Selanjutnya Dewi juga memperkenalkan satu per satu pembicara kepada peserta acara ini, dilanjut dengan pemaparan-pemaparan dari narasumber.

Perempuan Asia: Antara Bekerja dan Menjadi Ibu*

November 12, 2018 0 Comments

Judul : Working and Mothering in Asia: Images, Ideologies, and Identities

Editor : Theresa Devasahayam & Brenda S.A. Yeoh

Tahun/ Penerbit : 2007/ NUS Press

Tebal : xiv & 256 halaman




Banyak perempuan di Asia bekerja di luar rumah. Beberapa di antaranya semata ingin menopang kebutuhan keluarganya, sebagian yang lain, terutama perempuan yang berpendidikan, memiliki harapan untuk mengembangkan kariernya. Banyak dari perempuan ini dibebani tanggung jawab norma sosial dan kultural, dan dalam upaya untuk menyeimbangkan perannya sebagai perempuan yang bekerja dan sebagai ibu, perempuan dengan berbagai latar belakang di Asia ini menegosiasikan, mempertentangkan, dan membentuk ulang definisi “motherhood” (peran keibuan).

Buku ini ditulis oleh tiga belas kontributor dengan pendekatan akademik meliputi antropologi, sosiologi, kajian gender, demografi, dan hukum tetapi memiliki tema yang hampir sama berkaitan dengan patriarki, buruh pekerja, peran ayah, definisi sosial mengenai “good mothering” dan lain sebagainya. Mereka adalah Daniele Belanger, Chen Xuan, Theresa W. Devasahayam, Arent Greeve, Keiko Hi-rao, Anne-Marie Hilsdon, Santosh Jatrana, Debbie Ong, Janet W. Salaff, Carolyn I. Sobritchea, Maila Stivens, Brenda S.A. Yeoh. Buku ini diedit oleh Theresa Devasahayam dan Brenda S.A. Yeoh.

Mustahil Ekonomi Tanpa Peran Perempuan*

November 12, 2018 0 Comments
Seringkali pembicaraan mengenai ekonomi dibonsai dalam dunia patriarki yang mengecilkan peran perempuan dalam perekonomian. Misalnya, banyak pekerjaan perempuan dalam sektor informal dianggap tidak bernilai ekonomi atau bernilai ekonomi sangat rendah karena perempuan yang bekerja dianggap sebatas pencari nafkah tambahan bukan pencari nafkah utama. Amartya Sen mengungkapkan bahwa ekonomi mustahil berkembang tanpa melibatkan perempuan sebagi agen atau sebagai bagian dalam perhitungan ekonomi. Edisi Jurnal Perempuan 74 “Siapakah Agen Ekonomi?” menunjukkan bahwa ekonomi tidak bisa berkembang tanpa perempuan, dan ekonomi perempuan sangat berperan dalam menumbuhkan keluarga, dan otomatis masyarakat.

Perempuan dan Korupsi: Histeria Tubuh Perempuan yang Dilegalkan Patriarki*

November 12, 2018 0 Comments
Media Parahyangan, Jurnal Perempuan, dan Pusat Studi Ilmu Kemasyarakatan (PUSIK) Universitas Parahyangan mengadakan diskusi publik dengan tema Perempuan dan Korupsi pada 28 Juni 2012 di Universitas Parahyangan Bandung. Diskusi ini dibagi dalam dua sesi. Sesi pertama dengan subtema ‘Menolak Logika Koruptif dan Mengembalikan Akal Sehat: Peranan Kaum Perempuan’ dengan pembicara Rocky Gerung (Dewan Redaksi Jurnal Perempuan) dan Niken Savitri, (dosen Fakultas Hukum Universitas Parahyangan), dimoderatori oleh Lalola Easter. Sesi kedua dengan subtema ‘Perempuan dan Korupsi: Sebuah Permasalahan’ dengan pembicara Agustinus Pohan (dosen Fakultas Hukum Universitas Parahyangan) dan Jaleswari Pramodhawardani (peneliti dari LIPI), dimoderatori oleh Aquarini Prabasmoro.

Wadjda, Melawan Tradisi dengan Bersepeda*

November 12, 2018 0 Comments
Film: Wadjda
Year: 2012
Directed by:  Haifaa Al-Mansour
Screenplay:  Haifaa Al-Mansour
Starring: Waad MohammedReem AbdullahAbdullrahman Al Gohani
Running time: 98 minutes



"Arab Saudi adalah negara yang sangat tradisional dan konservatif, dengan masyarakatnya yang sangat tribal (kesukuan)," demikian Haifaa Al-Mansour, sutradara perempuan pertama Arab Saudi bertutur setelah filmnya, Wadjda, mendapatkan sambutan meriah di Festival Film Venesia pada akhir Agustus 2012. Film karya Haifaa ini menceritakan tentang seorang gadis berusia 11 tahun bernama Wadjda dan keinginannya untuk memiliki sepeda. Namun, di Riyadh, sebuah kota besar di Arab Saudi, perempuan tidak boleh memiliki kemewahan itu. Sepeda adalah dunia laki-laki, dan perempuan mestilah tinggal di dalam rumah. Wadjda ingin melawan tradisi itu. Dia ingin memiliki sepeda untuk berlomba dengan anak laki-laki dan membuktikan bahwa dia bisa menjadi pemenang. Namun ibunya berkata, "Perempuan tidak menaiki sepeda. Kamu tidak akan bisa mengandung dan mempunyai anak jika kau menaiki sepeda". Tapi Wadjda tetap pada keinginannya, dia bahkan mengikuti kompetisi membaca Al-Qur'an dan berencana untuk menggunakan uang hadiahnya untuk membeli sepeda yang harganya 800 Riyal.


Selain ingin bisa memiliki sepeda dan berlomba dengan teman-teman laki-lakinya, Wadjda juga senang mendengarkan lagu-lagu pop dan menyukai sepak bola. Dia bahkan memiliki beberapa kaset lagu pop dan gelang suporter sepak bola. Namun hal tersebut membuat Wadjda dimarahi di sekolah. Gurunya melarang Wadjda mendengarkan musik dan menyukai sepak bola.



Re-thinking Feminism*

November 12, 2018 0 Comments
Dalam konteks Indonesia, feminisme sebagai sebuah pemikiran atau filsafat dan juga gerakan sosial menjadi sebuah topik yang selalu dibicarakan dalam berbagai diskursus keilmuan. Sebagai negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam, dan dengan semakin banyak dikenalnya reformis perempuan muslim yang memperjuangkan kesetaraan gender, perdebatan pandangan mengenai “penerimaan” diskursus feminisme dalam konteks masyarakat Islam Indonesia secara khusus semakin marak. Tulisan ini akan mencoba memberikan kontribusi pemikiran mengenai feminisme dalam konteks masyarakat Islam Indonesia. Pembahasan ini diawali dengan pemaparan singkat lahirnya feminisme secara umum, feminisme di Indonesia, dan feminisme kaitannya dengan pandangan masyarakat Islam di Indonesia.

*
I do not wish women to have power over men; but over themselves
--- Mary Wollstonecraft
*

1. Feminisme sebagai Perlawanan terhadap Ketidakadilan terhadap Perempuan

Perempuan Bekerja dan Tidak Bekerja: Mana Yang Lebih Berdaya?

November 12, 2018 0 Comments
The labor of women in the house, certainly, enables men to produce more than they otherwise could; and in this way women are economic factors in the society. But so are horses.” (Charlotte Perkins Gilman)

Kesselmen dkk (1999: 188) mengatakan bahwa pekerjaan rumah tangga yang dilakukan oleh perempuan sangat menguras tenaga dan waktu. Pekerjaan rumah tangga bahkan dilakukan sebelum matahari terbit . Ketika anak-anak pergi ke sekolah dan suami bekerja, perempuan kembali dihadapkan pada pekerjaan rumah tangga yang tak kunjung usai. Anak dan suami pulang, mereka perlu disiapkan makanan. Bahkan ketika malam, perempuan masih harus mendampingi anaknya belajar kemudian melayani suaminya. Pekerjaan perempuan di ranah domestik menguras tenaga, waktu dan membutuhkan keterampilan. Sementara itu, keterlibatan peran laki-laki dalam kegiatan domestik masih sangat jarang, sebab kebanyakan laki-laki diasosiasikan dalam peran mencari nafkah saja.

Charlotte Perkins Gilman (dalam Edles dan Scott, 2004: 204) menyatakan peran perempuan dalam ranah domestik sangat problematik, dan tidak ada jaminan serta penghargaan dalam bentuk materi. Perempuan memberikan kesempatan yang lebih kepada laki-laki dalam melakukan kegiatan ekonomi. Laki-laki menjadi satu-satunya agen ekonomi tempat perempuan bergantung secara finansial. Lebih lanjut, Gilman membandingkan posisi perempuan dalam relasi tersebut ibarat kuda dengan majikannya, yang keduanya sama-sama tidak merdeka. Perumpamaan kuda dan majikannya ini menggambarkan bagaimana perempuan dalam rumah tangga bekerja dari pagi sampai malam tetapi tidak dibayar, seperti peliharaan (kuda) di dalam rumah. Bahkan segala status sosial dan ekonominya selalu mengikuti suaminya, bukan pencapaian sendiri.


Perempuan Yang (Di)Kalah(kan)

November 12, 2018 0 Comments
Sebagian besar orang meyakini bahwa pernikahan sebagai ikatan sakral diharapkan berlangsung selamanya, sebagaimana setiap kalimat penutup dalam cerita dongeng. Namun, kehidupan nyata bukanlah dongeng. Pasangan pernikahan tidak semudah titik terakhir “happily ever after”. Pernikahan dalam beberapa perspektif melihat justru adalah starting point kehidupan. Segala janji sakral dalam pernikahan, taburan bunga, ucapan selamat dan binar-binar di dua pasang mata suami istri segera akan diuji dalam kehidupan rumah tangga. Persoalan tidak berhenti di titik “saya sudah menikah” tapi justru pada kehidupan pernikahan itulah segala persoalan bermunculan dan pada titik itulah perceraian kadang menjadi jalan akhir. Jurnal Perempuan telah mengumpulkan sejumlah data melalui beberapa media massa mengenai perceraian, dan menemukan bahwa semakin banyak perempuan yang melakukan gugat cerai.

Angka Perceraian yang Terus Meningkat
Dalam 4 tahun terakhir, angka perceraian di Indonesia mengalami peningkatan berdasarkan jumlah pengaduan, gugatan dan dikabulkannya gugatan perceraian. Dalam berita di website resmi Menkokesra (24 Januari 2012) dan Poskota (Minggu 5 Februari 2012) disebutkan bahwa perceraian di Indonesia tergolong paling tinggi. Pada tahun 2008 sebanyak 200 ribu kasus perceraian dan pada tahun 2009 meningkat sampai 250 ribu kasus. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Bimas Islam Kementerian Agama RI tahun 2010, dari dua juta orang yang menikah setiap tahun di Indonesia, ada 285.184 pasangan suami istri yang berakhir dengan perceraian.