Follow Us @soratemplates

Showing posts with label Artikel. Show all posts
Showing posts with label Artikel. Show all posts

Tuesday, November 26, 2019

Cultural Identity and Diaspora – Stuart Hall*

November 26, 2019 0 Comments
Gambar dari Centre for Research in Cultural Studies

Hall merumuskan identitas budaya melalui definisi identitas sebagai sebuah ‘produk’ yang tidak pernah selesai, selalu berproses, dan selalu menjadi bagian di dalam representasi. Artikulasi representasi ini tidak bisa dilepaskan dari konteks diposisikan (being positioned) atau memposisikan (positioning). Diaspora sebagai model untuk membicarakan identitas budaya berawal dari festival film Karibia yang membuat Hall mempertanyakan identitas orang kulit hitam dalam film tersebut, siapa subjek yang muncul di layar itu dan dari mana ia berbicara. Diaspora menjadi model untuk membicarakan identitas budaya karena pengalaman diaspora didefinisikan tidak semata melalui esensinya tetapi juga dalam pengakuan heteroginitas dan keanekaragaman (konsep identitas yang hidup dalam dan melalui perbedaan; yaitu melalui hibriditas). Identitas diaspora ini sendiri terus bereproduksi melalui transformasi dan perbedaan. 


Hall mengungkapkan bahwa ada setidaknya dua cara berbeda dalam merumuskan identitas budaya. Yang pertama, identitas budaya diterjemahkan ke dalam satu identitas yang dimiliki secara kolektif dan biasanya dimiliki oleh sekelompok orang dari latar belakang sejarah dan nenek moyang yang sama karena adanya kepentingan untuk menyatukan masyarakat dalam satu kesatuan atau ‘oneness’. Hall mencontohkan orang-orang kulit hitam Karibia dan bagaimana diaspora kulit hitam ditemukan, dieksakavasi, dan diekspresikan melalui representasi sinematik. Konsepsi ini memainkan peran penting di semua perjuangan post-kolonial yang membentuk kembali dunia kita. Contohnya adalah puisi-puisi ‘negritude’ yang merepresentasikan masyarakat-masyarakat Afrika yang marjinal dan foto Francis ‘The Black Triangle’ yang menunjukkan bahwa identitas budaya orang kulit hitam diaspora berakar dari Afrika. 

Cara kedua dalam merumuskan identitas budaya adalah menerjemahkannya sebagai ‘proses menjadi’ sekaligus ‘proses mengada’. Identitas ini adalah bagian dari masa depan sekaligus masa lalu, bukan sesuatu yang sudah ada, tetapi melampaui tempat, waktu, sejarah dan budaya. Karena adanya intervensi sejarah, pertanyaan ‘siapa sesungguhnya kita’ berubah menjadi ‘telah menjadi siapa kita’. Di sini Hall menjelaskan identitas budaya sebagai suatu penempatan (positioning), bukan esensi; bagaimana menempatkan diri dalam narasi masa lalu, dan bagaimana narasi masa lalu memposisikan diri. Hall mencontohkan identitas kulit hitam Karibia yang merupakan hasil dialogis antara kontinuitas masa lalu dan diskontinuitas pengalaman: bagaimana orang kulit hitam Afrika ditarik ke dalam perbudakan, transportasi, penjajahan, migrasi dari Afrika. 

Penjelasan Hall mengenai identitas budaya dan diaspora sangat membantu dalam memahami fenomena sosial yang terjadi di sekitar kita, bahwa identitas budaya datang dari suatu tempat, memiliki sejarah, namun tidak selalu tetap melainkan cair dan terus berkembang. Dalam penelitian saya mengenai kampanye pernikahan muda di sosial media instagram, melihat pandangan Hall, saya menyadari bahwa identitas-identitas dari subjek yang saya teliti tidak tunggal namun sangat cair, dan bagaimana para pengkampanye atau pendukung kampanye tersebut membentuk identitas budaya mereka masing-masing meskipun sama-sama orang Indonesia dan beragama Islam.


*Tulisan ini merangkum bacaan Cultural Identity and Diaspora Stuart Hall yang menjadi salah satu tugas Pemetaan Cultural Studies yang diampu Prof. Melani Budianta.

Wednesday, September 25, 2019

Menafsir 'Ayam'; Melacak Genealogi, Membaca Ulang Ingatan*

September 25, 2019 0 Comments

Dalam salah satu perkuliahan Pemetaan Cultural Studies, dosen kami meminta mahasiswa untuk menggambar ayam. Setelah gambar-gambar itu dikumpulkan dan diperlihatkan kembali, tampaklah kecenderungan yang nyaris sama di semua gambar: ayam itu menghadap ke kiri. Kenyataan tersebut membuat para mahasiswa tersentak dan mulai bertanya-tanya. Pada awalnya kita tidak menyadari sejak kapan konsep gambar ayam menghadap ke kiri itu terbentuk dalam benak kita. Kita tidak ingat siapa yang mengajarkan kita cara menggambar dan mengapa kita menggambar seperti itu. Begitu terbiasanya kita dengan hal ini sehingga luput mengajukan pertanyaan-pertanyaan dari mana gambar ayam menghadap kiri itu berasal. 

Sebagai sebuah produk budaya, gambar menjadi teks visual yang dapat dianalisis dan ditafsirkan. Ia berkomunikasi melalui tanda yang memiliki beragam arti. Menurut teori semiotik Peirce, tanda adalah sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain, dimana proses pemaknaannya mengaitkan antara ‘realitas’ dan ‘apa yang ada dalam kognisi manusia’ (Hoed, 2014: 9). Asumsi dasarnya, gambar ayam yang hampir seluruhnya menghadap ke kiri itu berusaha mengungkapkan hal lain, seperti fenomena kekuasaan apakah yang mendasari ketidaksadaran masyarakat dalam menggambar seperti itu.

Konsep sintagmatik-paradigmatik dalam semiotik berusaha mencari oposisi-oposisi yang tersembunyi dan bagaimana urutan suatu teks menghasilkan makna (Ida, 2014: 30). Dengan konsep ini, dapat dilihat bagaimana masyarakat Indonesia pada umumnya melihat sesuatu dengan paradigma kiri ke kanan, atas ke bawah. Paradigma ini terlihat dari cara membaca dan menulis orang Indonesia. Kebiasaan lainnya seperti berjalan harus di sebelah kiri sebab menyetir dilakukan dari sebelah kanan juga membentuk paradigma yang dominan kiri. Beberapa data tambahan yang diperoleh dari gambar-gambar ayam dari responden lain menunjukkan bahwa kecenderungan gambar menengok ke kanan sangat sedikit, salah satu diantara penggambar ayam menghadap ke kanan itu karena ia kidal. Beberapa responden mengakui bahwa menggambar ayam yang menghadap ke kiri lebih mudah karena menggunakan tangan kanan. Sementara penggambar kidal mengakui bahwa menggambar ayam menghadap ke kanan cenderung lebih mudah karena menggunakan tangan kiri.

Kebiasaan menggunakan tangan kanan ini bahkan dikukuhkan dalam dalil-dalil agama yang menyitir hadits nabi bahwa tangan kanan itu lebih baik disbanding tangan kiri. Juga dalam pendidikan, bahwa menggunakan tangan kanan selalu lebih sopan. Secara kultur agama dan pendidikan, masyarakat Indonesia nyaris sepakat untuk menolak dominansi penggunaan tangan kiri/kidal. Struktur paradigmatik kiri-kanan dalam menulis dan membaca, serta keharusan untuk selalu berjalan di sebelah kiri juga dilanggengkan melalui konsep pendidikan. Di sini terlihat bagaimana aparatus negara ideologis (Althusser, 2008: 18-22) seperti agama dan pendidikan melakukan hegemoni.

Hegemoni pendidikan yang dilakukan selama bertahun-tahun berhasil membentuk memori kolektif masyarakat yang membentuk nyaris seragamnya gambar ayam mereka. Dalam istilah Gramsci, hegemoni budaya ini memungkinkan seseorang untuk berpandangan sesuai yang diinginkan oleh kekuasaan secara suka rela tanpa paksaan (Lears, 1985). Tentu saja kekuasaan ini bisa apa saja, bisa pendidikan, bisa Negara. Pendapat tentang memori kolektif sendiri berakar dari pemikiran Durkheim dan Halbwahs yang kemudian Olick menjelaskan salah satu konsep memori kolektif dimana kita memandang ingatan sebagai residu otentik tentang masa lalu (Olick, 1999). Ini menjelaskan perbedaan yang cukup mencolok antara gambaran ayam yang digambar oleh orang dewasa dan anak-anak. Orang-orang dewasa memiliki ingatan kolektif hasil hegemoni pendidikan selama bertahun-tahun sejak masa lalu yang diwariskan dari orang tua-orang tua dan guru-guru mereka, sementara anak-anak tidak atau belum.

Data tambahan yang diperoleh dari anak-anak yang belum sekolah atau baru memasuki tahap sekolah dasar menampakkan perbedaan hasil cukup signifikan. Beberapa responden anak-anak yang diminta untuk menggambarkan ayam memperlihatkan gambar yang tidak dominan menghadap ke kiri, tetapi ke depan juga ke kanan. Sangat jarang didapati anak menggambar ayam menghadap ke kiri. Berkebalikan dengan hasil gambar yang diterima dari responden orang dewasa.








Ini disebabkan juga barangkali oleh masih singkatnya pendidikan yang diperoleh anak-anak sehingga konsep-konsep paradigmatik kiri-kanan, menulis-membaca dari kiri, berjalan selalu di sebelah kiri, belum betul-betul tertanam dalam ingatan anak-anak.

Ada satu data yang cukup menarik dari responden anak berusia 3.5 tahun (perempuan). Awalnya ia menggambar ayam menghadap ke kiri, ketika ditanya apa dia diajari menggambar seperti itu, ibunya (30 tahun) mengaku bahwa sang ibu memberi contoh terlebih dahulu dengan menggambar ayam menghadap kiri. Ketika anak tersebut diminta kembali untuk menggambar ayam sesuka hatinya, hasilnya ternyata menghadap ke kanan. Bahkan gambar yang sebelah kanan terlihat lebih natural dibanding yang di sebelah kiri.



(Gambar kiri dengan arahan ibunya, gambar kanan sesuai kebebasan anak) 

Dari analisis-analisis di atas, dapat disimpulkan bahwa gambar ayam menghadap ke kiri dominan terjadi pada orang-orang yang sudah dewasa dan mengenyam pendidikan selama bertahun-tahun, sementara untuk anak-anak kecil yang belum sekolah atau baru memasuki tahapan sekolah dasar, gambar ayamnya lebih variatif. Jika ditelusuri kembali, penggambaran yang dominan menghadap ke kiri berawal dari masa sekolah dan berlangsung terus menerus selama bertahun-tahun sebagai imbas dari hegemoni kekuasaan Negara dalam bidang pendidikan, yang tujuan utamanya menciptakan masyarakat yang seragam; seragam dalam menulis dengan tangan kanan, seragam berjalan di sisi sebelah kiri, hingga akhirnya seragam dalam menggambar hewan ayam menghadap ke kiri secara tidak sadar dan tidak lagi mempertanyakan karena itu dianggap sebagai sebuah kelaziman belaka.



Daftar Pustaka

Althusser, Louis. 2008. Tentang Ideologi: Marxisme Strukturalis, Psikoanalisis, Cultural Studies.Yogyakarta: Jalasutra
Hoed, Benny H. 2014. Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya. Depok: Komunitas Bambu.
Ida, Rachmah. 2014. Metode Penelitian Studi Media dan Kajian Budaya. Jakarta: Kencana.
Lears, T. J. Jackson. 1985. The Concept of Cultural Hegemony: Problems and Possibilities. The American Historical Review, Vol. 90, No. 3 (Jun., 1985), pp. 567-593. (diakses di http://www.jstor.org/stable/1860957 pada 23 September 2019)
Olick, Jeffrey K. 1999. The Two Cultures. Sociological Theory, Vol. 17, No. 3 (Nov., 1999), pp. 333-348 (diakses di https://www.jstor.org/stable/370189 pada 23 September 2019)


*Tulisan ini dibuat untuk tugas kelas Pemetaan Cultural Studies yang diampu oleh Dr. Risa Permanadeli. 

Thursday, August 22, 2019

Perempuan dan Apa yang Ia Kenakan

August 22, 2019 0 Comments
Gambar diambil dari http://waterfordwhispersnews.com/2019/08/21/how-much-clothes-should-a-woman-wear/

Pagi tadi, saya berjalan kaki sekitar satu kilometer dari kos menuju pemberhentian bis kuning (bikun-transportasi umum yang melewati hampir semua fakultas di kampus) terdekat. Tak lama, bis yang saya tunggu tiba. Mungkin karena masa perkuliahan belum betul-betul dimulai, bis yang saya naiki tidak terlalu ramai. Setengah mengantuk, saya membuka gawai saya untuk membalas pesan-pesan di whatsapp dan aplikasi pesan lainnya. Beberapa halte sudah dilewati. Saya menoleh ke arah jendela, memastikan kampus yang saya tuju tidak terlewat karena sebelumnya saya dua kali nyasar naik bikun. Di halte RIK, bikun berhenti agak lama karena banyak yang turun sekaligus ada beberapa yang naik. Salah satunya seorang perempuan yang hampir jatuh tersandung roknya sendiri. Tepat di hadapan saya.

Saya sudah mau berdiri untuk mempersilakannya duduk tetapi kursi di hadapan saya sudah lebih dulu ditinggalkan penumpang sebelumnya, sehingga perempuan yang tadi nyaris jatuh itu duduk di sana. Saya menatapnya sekilas lalu tersenyum. Pandangan saya kembali terpaku ke gawai di tangan tetapi pikiran saya mengembara kemana-mana. Perempuan itu masih muda. Kukira umurnya terpaut jauh denganku. Mungkin 7-8 tahun lebih muda. Mungkin juga lebih. Sepertinya ia mahasiswa jenjang sarjana. Aku kembali melirik ke arahnya sedikit. Bajunya lusuh dan tampak kebesaran. Ia berkali-kali memperbaiki letak pinggang roknya supaya roknya sedikit terangkat ke atas. Mungkin supaya roknya tidak kepanjangan dan menyulitkan saat berjalan. Kuperhatikan roknya yang juga tampak kebesaran, warna hitamnya lusuh dan agak mengkilat, seperti terlalu sering dicuci dan disetrika. Mata kami bertemu. Aku merasa bersalah karena sudah memperhatikannya, sehingga aku tersenyum penuh permohonan maaf. Dan ia membalas senyumku dengan rasa malu yang tidak bisa disembunyikan oleh sepasang matanya. Tiba-tiba hatiku merasa nyeri.

Tak jarang kita melihat tulisan-tulisan yang membahas bagaimana perempuan seharusnya berpakaian. Ada yang mengkritik perempuan berbaju ketat, memakai celana, atau rok mini. Namun sering pula kita mendapati orang-orang yang mengkritik perempuan berbaju gamis, bercadar, berkaus tangan. "Mana yang lebih baik?" begitu orang terus memperdebatkan. Ada yang membandingkan perempuan tak berjilbab dengan permen loli dikerubungi semut dan ada yang mencela perempuan bercadar dengan mengatakan bahwa di sini bukan gurun pasir.

Perdebatan itu tidak pernah selesai. Tidak akan pernah.

Tetapi, apakah kita pernah berpikir bahwa bagi beberapa perempuan, memperoleh baju yang nyaman ia kenakan juga tidak mudah? Saya ingat bertahun-tahun lalu, kala masih mahasiswa jenjang sarjana. Saya hanya punya beberapa potong baju yang bisa dibilang bagus dan pantas dipakai kuliah. Kadang, saya bahkan memakai baju-baju bekas punya bulik yang diwariskan pada saya, karena usia kami tidak terpaut terlalu jauh dan ukuran badan kami nyaris sama. Untuk membeli baju yang sedikit agak bagus, saya harus berpikir puluhan kali karena uang tersebut bisa dialokasikan untuk membeli buku dan keperluan primer lainnya. Sehingga saya jarang sekali berganti-ganti baju karena stok baju kuliah saya memang itu-itu saja.

Dan perdebatan orang-orang tentang baju apa yang harus dikenakan perempuan itu begitu menyakitkan didengar karena mereka yang sibuk berdebat itu seolah tidak peduli dengan pendapat personal para perempuan. Beberapa perempuan nyaman memakai rok, beberapa merasa lebih nyaman memakai celana. Beberapa mungkin juga nyaman memakai cadar, beberapa yang lain mungkin tidak nyaman memakai kerudung. Pilihan-pilihan berpakaian itu adalah hal-hal yang sangat personal dan kompleks. Beberapa perempuan bahkan tidak punya terlalu banyak pilihan karena ketidakmampuan finansial dalam membeli baju-baju yang menurut mereka nyaman dikenakan. Alih-alih menghakimi pilihan perempuan dalam berpakaian, kenapa kita tidak belajar memahami dan menghormati pilihan-pilihan orang lain? 

Tentu saja, gaya berpakaian tidak bisa dilepaskan dengan konteks budaya, atau kalau mau merujuk kajian-kajian sosial budaya, model-model baju juga terkait erat dengan pertarungan identitas, kuasa, bahkan kapitalisme (kita tahu kan baju-baju tertentu harganya bisa sangat tidak masuk akal). Tetapi, maksud saya begini, kenapa kita harus selalu memperdebatkan cara berpakaian perempuan dan berusaha mengatur mereka sesuai norma agama atau apapun yang kita yakini? Merasa bahwa mengurusi pakaian perempuan adalah tugas dan kewajiban kita, tetapi abai dengan perasaan atau pilihan sadar mereka seolah itu tidak penting. Padahal yang terpenting tentang pakaian adalah kenyamanan bagi mereka yang mengenakannya. 



Depok, 23 Agustus 2019

Saturday, November 24, 2018

LPDP - Journey Part III: Wawancara dan LGD

November 24, 2018 0 Comments
Tahap ketiga dalam seleksi beasiswa LPDP adalah Wawancara dan LGD. Di tahap ini, kita juga harus memastikan bahwa semua dokumen atau berkas yang diunggah saat pendaftaran terverifikasi sehingga kita bisa mengikuti wawancara. Secara keseluruhan, di tahap ini kita harus mengikuti 3 langkah: verifikasi dokumen, LGD, dan wawancara. Ketiganya bisa saja tidak berurutan, tetapi wawancara hanya bisa dilakukan setelah verifikasi dokumen. Pengalaman saya kemarin, saya mendapatkan jadwal LGD dulu di hari pertama kemudian verifikasi dokumen dan wawancara di hari kedua. 

LGD sendiri adalah kependekan dari Leaderless Group Discussion yang secara singkat berarti bahwa diskusi ini berlangsung tanpa adanya pemimpin diskusi. Setiap kelompok LGD terdiri dari sekitar 6-8 orang yang sudah ditentukan anggotanya oleh pihak LPDP. Biasanya sekian menit sebelum LGD dimulai, kelompok LGD dipanggil oleh panitia dan dipersilakan untuk menunggu di luar ruangan. Nah, di saat ini kita harus memanfaatkan waktu untuk berkenalan secara singkat dengan teman-teman yang akan menjadi anggota kelompok LGD kita. Paling tidak kita tahu siapa namanya dan apa background pendidikannya. Kita juga bisa berdiskusi kira-kira siapa yang akan bicara dulu, siapa yang akan membuka, dan siapa yang akan membuat kesimpulan. 

Kemudian saat kita dipanggil masuk, kita akan bertemu dengan dua orang psikolog (?) yang berperan sebagai observer. Semua tas dan handphone dikumpulkan di kursi paling belakang dan kita hanya diperbolehkan membawa bolpen atau pensil untuk mencatat. Observer menjelaskan pada kita beberapa hal penting seperti berapa lama LGD berlangsung dsb. Setelah itu beliau meminta kami membaca selembar kertas berisi topik masalah yang sudah disiapkan di hadapan kami dan memperbolehkan kami membuat catatan di selembar kertas yang juga sudah disiapkan. Waktu itu saya mendapatkan topik mengenai sistem zonasi PPDB. 

Friday, November 23, 2018

LPDP - Journey Part II: Seleksi Berbasis Komputer

November 23, 2018 2 Comments
Berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, mulai tahun ini ada tahapan baru di seleksi LPDP yaitu seleksi berbasis komputer (SBK). Tes ini bertempat di kantor BKN di beberapa kota besar di Indonesia dan kita bisa memilih lokasi BKN di kota yang terdekat dari tempat tinggal kita. Pemilihan kota ini kita lakukan saat mendaftar secara online di seleksi administrasi. Karena saat ini saya tinggal di Sumenep, maka saya memilih kota Surabaya sebagai tempat seleksi SBK dan wawancara.

Jadi, setelah pengumuman seleksi administrasi, semua pendaftar beasiswa LPDP akan memperoleh pemberitahuan mengenai jadwal dilaksanakannya tahapan seleksi SBK. Pertama, jadwal yang diterima adalah jadwal global per kota. Misalnya Medan tanggal sekian sampai tanggal sekian, Yogyakarta tanggal sekian sampai sekian, Jakarta tanggal sekian sampai sekian dst. Untuk jadwal individu sendiri, menurut pengalaman saya, keluarnya sangat mepet. Bahkan bisa sampai H-2 atau H-1 tes. Bagi mereka yang rumahnya jauh dari lokasi tes, sebaiknya mempersiapkan segalanya lebih awal sebelum jadwal individu keluar.

Saat saya mendapat pengumuman lolos administrasi, hal pertama yang saya lakukan adalah segera mencari informasi tentang materi tes SBK. Berdasarkan buku panduan LPDP, tes SBK meliputi Tes Potensi Akademik (TPA), soft competency, dan essay on the spot writing. Untuk persiapan TPA, saya sempat sedikit latihan soal-soal dari buku. Untuk essay on the spot writing, saya mempersiapkannya dengan membaca berita-berita nasional setiap pagi.

Wednesday, November 21, 2018

LPDP - Journey Part I: Seleksi Administrasi

November 21, 2018 6 Comments
Saya memutuskan untuk menulis sedikit pengalaman saya mengikuti seleksi beasiswa LPDP di tahun 2018 ini begitu selesai mengikuti PK (Persiapan Keberangkatan). Untuk detail tentang PK sendiri akan saya tulis di postingan berbeda. Ini adalah kedua kalinya saya mengikuti seleksi LPDP dan alhamdulillah di kesempatan ini saya berhasil lolos menjadi awardee. Postingan ini sangat subyektif karena betul-betul saya tulis murni berdasarkan pengalaman pribadi. Semoga pengalaman saya bisa bermanfaat bagi siapa saja yang membacanya, terutama sekali bagi teman-teman yang juga berniat untuk mendaftar beasiswa LPDP.

Okay, mari kita mulai!

Pada 2015, saya pernah mengikuti seleksi LPDP dengan pilihan kota seleksi Yogyakarta. Di tahun tersebut, tahapan seleksinya hanya dua: seleksi administrasi dan seleksi wawancara serta LGD. Setelah diumumkan lolos seleksi administrasi, saya pun mengikuti seleksi wawancara dan LGD di GKN Yogyakarta. Sayangnya, saya gagal di tahap kedua itu. Setelah sekian lama skeptis dan sedikit putus asa, tiga tahun kemudian saya memutuskan untuk mendaftar LPDP lagi. Kali ini semua tahapannya berbeda dan rasanya kok jauh lebih berat dari sebelumnya. Tapi, kalau sudah punya tekad, ya jalani saja!

Monday, November 12, 2018

Nyi Seppo, Sang Pendidik (Mengenal Nyai Siti Maryam, Bilapora Sumenep)*

November 12, 2018 0 Comments
Hampir setiap hari, selalu ada saja tamu yang berkunjung ke ndalem. Ada yang hanya ingin silaturahmi dengan Mbah Nyai Siti Maryam atau lebih dikenal sebagai Nyi Seppo yang artinya adalah Nyai Sepuh (sepeninggal almarhum Mbah Kyai Ahmad Jazuli, suaminya, tinggal Mbah Nyai satu-satunya sesepuh di Pondok), ada yang minta doa, ada yang meminta nasihat, ada yang mengantarkan santri mondok, dan ada yang memamitkan santri. Mbah Nyai selalu menerima semua tamu itu dengan gembira, betapapun banyaknya yang berkunjung, betapapun letihnya beliau, semua ditemui dengan wajah senyum dan keramahan yang tiada duanya. “Kaule sanausa gerre manabi bede tamoy pas sehat rassana. Kaule cek sennenga manggiin tamuy,” begitu tutur Mbah Nyai yang dalam bahasa Indonesia kurang lebih berarti: “Bahkan ketika saya sedang sakit, bila ada tamu rasanya saya langsung sembuh. Saya senang sekali menemani tamu.”

Mbah Nyai memang tidak pernah menolak siapa saja yang datang bertamu ke ndalem. Semua tamu yang sowan selalu beliau temui dan hormati, betapapun lelahnya atau betapapun sibuknya. Beliau juga tidak pernah membeda-bedakan siapa tamu yang datang. Tamu jauh, tamu dekat, kaya, miskin, laki-laki, perempuan, tua, muda, semuanya diterima dengan keramahan yang sama.

Dalam adat Madura, umumnya tamu yang sowan ke kyai biasanya dipisah. Tamu laki-laki ditemui oleh laki-laki dan tamu perempuan ditemui oleh perempuan. Tapi jika sowan ke Mbah Nyai, baik laki-laki atau perempuan, semua diterima oleh Mbah Nyai, tak dibeda-bedakan berdasarkan jenis kelaminnya. Ketika ditanya, mengapa Mbah Nyai juga menemui tamu lelaki dan bahkan bersalaman dengan tamu lelaki, Mbah Nyai menjawab bahwa semuanya sudah dianggap sebagai anaknya, sehingga tidaklah menjadi penghalang bagi beliau untuk menemui anak-anaknya sendiri.

Saya teringat betul sore itu. Cuaca begitu panas dan saya baru tiba di rumah suami di Sumenep (ujung timur pulau Madura) saat serombongan tamu tampak memasuki ndalem. Setelah ikut bersalaman sebentar, saya masuk ke dalam, tidak ikut menemani para tamu. Awalnya samar-samar terdengar obrolan ringan, saling menanyakan kabar dan lain sebagainya, sampai kemudian salah seorang dari para tamu itu berbicara dengan suara lirih pada Mbah. Karena belum begitu paham bahasa Madura, saya bertanya pada suami, apa yang dikatakan tamu itu. Suami menjawab, “Itu mau memamitkan santri.” Saya mengernyit, “Loh kenapa? Bukannya baru mau tahun ajaran baru?” saya bertanya. “Mau dinikahkan,” jawab suami singkat.

Saya terdiam. Suara dari ruang tamu terdengar kabur. Lalu perlahan sunyi. Detik selanjutnya, suara Mbah Nyai yang tegas terdengar, “Sudah mau nikah? Nanti, mondok dulu, selesaikan sekolah SMK-nya (maksudnya Sekolah Menengah Kejuruan, sederajat SMA) ya. Baru setelah itu nikah.” Rombongan tamu itu diam semua, tidak ada yang berani membantah. Semuanya sami’na wa atha’na atas dawuh Mbah Nyai.

Segera setelah tamu berpamitan, Mbah Nyai masuk ke dalam dan berkata pada suami saya, “Nanti kamu bikin perguruan tinggi ya Nak di sini, biar santri-santri puteri nikahnya nanti saja kalau sudah mondok dan lulus kuliah.”

*

Di Madura, pernikahan anak umum sekali terjadi bahkan sampai sekarang. Ada begitu banyak faktor yang menjadi latar belakangnya. Pertama, faktor ekonomi. Menikahkan anak perempuan sedini mungkin dianggap bisa meringankan beban ekonomi keluarga karena setelah menikah, anak perempuan menjadi tanggung jawab suaminya. Apalagi bagi keluarga yang memiliki banyak anak, lepasnya tanggung jawab finansial terhadap satu anak akan sangat menolong ekonomi keluarga. Menyekolahkan anak perempuan dianggap tidak memberikan banyak keuntungan berarti, karena toh dia akan menikah dan dibawa oleh suaminya selepas menikah, yang penting ia bisa membaca, menulis, berhitung, dan mengaji. Terlebih, bagi anak perempuan lulusan pondok, meskipun usianya baru lulus SMP tetapi sudah dianggap memiliki cukup bekal menjadi istri karena sudah mempelajari kitab-kitab fikih dasar seperti Fathul Qarib, Fathul Mu’in, dan juga sudah mempelajari Qurrotul Uyun sebagai bekal berumah tangga.

Beberapa keluarga merasa lebih penting untuk menyekolahkan anak laki-laki, karena semakin tinggi sekolahnya maka kemungkinan untuk memperoleh pekerjaan yang lebih baik pun semakin besar. Dengan itu, keluarga bisa ikut memperoleh keuntungan jika anak lelakinya memiliki penghasilan yang cukup. Sebab anak lelaki yang sudah bekerja pastilah akan membantu meringankan beban finansial keluarganya.

Kedua, faktor sosial. Dalam adat masyarakat Madura, ada kebiasaan antar keluarga yang ingin agar pertalian hubungannya selalu dekat dan salah satu pengikatnya adalah melalui pernikahan jika memiliki anak-anak yang berbeda jenis kelamin untuk dijodohkan (istilahnya du-jhudu dalam bahasa Madura). Seringkali perjodohan antar keluarga itu bahkan direncanakan jauh sejak anak masih sangat kecil atau bahkan masih dalam kandungan (istilahnya tok-ngatok dalam bahasa Madura).

Setelah perjodohan itu disepakati lalu dilakukanlah adat ngobu, yang mana pihak keluarga laki-laki bertanggung jawab sepenuhnya atas nafkah si perempuan walaupun si bayi masih merah sampai nanti hari pernikahan, dan apabila perjodohan itu gagal, maka adat ngobu dianggap batal. Jika batal, maka keluarga perempuan harus mengembalikan semua harta benda yang sudah diterimanya dari pihak keluarga laki-laki.

Oleh karena itu, biasanya begitu anak-anak tersebut lahir dan akhirnya menginjak balig, umumnya keluarga tidak menunggu lama untuk menikahkan mereka. Menunda pernikahan dari perjodohan semacam itu dianggap beresiko. Adanya ketakutan bahwa perjodohan itu akan gagal dan lain sebagainya turut menjadi alasan bagi para orang tua tersebut untuk bersegera menikahkan anak-anaknya.

Tentu saja ini tidak terjadi pada semua keluarga di Madura. Ada banyak keluarga yang sudah mulai memikirkan untuk memfasilitasi anak-anaknya sampai ke pendidikan tinggi, termasuk juga untuk anak-anaknya yang berjenis kelamin perempuan. Namun tak dipungkiri bahwa di kampung-kampung masih banyak sekali terjadi pernikahan anak. Bagi mereka, asalkan persyaratan secara agama sudah terpenuhi, maka pernikahan itu bisa dilangsungkan. Kasus pernikahan ini paling banyak menimpa anak perempuan. Bagi mereka, anak perempuan yang sudah menstruasi dan hatam mengaji Fathul Mu’in dan Qurrotul Uyun dianggap sudah saatnya dinikahkan.

Di desa Bilapora Timur, kecamatan Ganding, Sumenep, Nyai Siti Maryam menjadi salah satu pemuka agama yang selalu berusaha agar anak-anak perempuan memperoleh pendidikan sekolah formal dan keagamaan yang cukup sebelum akhirnya menikah dan mengasuh anak. Nyai Siti jugalah perempuan pertama yang berinisiatif membangun pondok puteri di daerah tersebut 41 tahun yang lalu. Mula-mula pada masa perintisannya santri puteri yang mondok di sana hanya sekitar sepuluh orang, tetapi saat ini justru jumlahnya menyalip jumlah santri pondok putera yang lebih dulu berdiri sejak periode kakek mertuanya.

Nyai Siti Maryam dilahirkan di desa Gadu Timur, kecamatan Ganding, kabupaten Sumenep, pada tanggal 15 Muharram 58 tahun yang lalu dari pasangan Kyai Jamaluddin dan Nyai Masrurah. Silsilah dari jalur ayah adalah sebagai berikut: Nyai Siti Maryam binti Jamaluddin bin Khazin/Abdul Mu’in bin Murtadho bin Mufid bin Sihhah bin Dzu Limah bin Abdul Karim bin Syish bin Ali Zainal Abidin (Sunan Cendana) bin Khatib bin Musa bin Qasim (Sunan Drajat) bin Raden Rahmat (Sunan Ampel). Sementara dari jalur ibu, silsilahnya adalah sebagai berikut: Nyai Siti Maryam binti Masrurah binti Tsuwaibah binti Khadijah binti Kyai Mohammad Syarqowi (Pendiri Pondok Pesantren Annuqayah Guluk-Guluk, Sumenep, atau yang lebih dikenal dengan nama Pesantren Guluk-Guluk saja).

Saat kelahirannya, ibunda Nyai Siti, Nyai Masrurah mengatakan bahwa kelak Nyai Siti akan kuat menjadi seorang pemimpin karena menurut kepercayaan orang Madura, anak yang dilahirkan pada bulan purnama di bulan Muharram akan dikuatkan menjadi seorang pemimpin. Dan sepertinya ucapan Nyai Masrurah memang menjadi kenyataan.

Nyai Siti sejak kecil dididik mengaji oleh kedua orang tuanya yang juga pengasuh pondok pesantren Jamalullail sebelum akhirnya mondok di pondok pesantren Al-Anwar Gadu yang diasuh oleh paman dan bibi Nyai Siti yaitu Kyai Anwar dan Nyai Arifah (Nyai Arifah adalah adik sepupu dari Kyai As’ad Syamsul Arifin Sukorejo, Situbondo, yang menjadi salah satu pendiri Nahdlatul Ulama) sejak usia 7 tahun sampai akhirnya Nyai Siti menikah.

Nyai Siti Maryam menikah dengan Kyai Ahmad Jazuli bin Thohiruddin pada usia 13 tahun, dan sejak saat itu ikut menetap di desa Bilapora Timur, kecamatan Ganding, kabupaten Sumenep serta membantu Kyai Jazuli mengasuh pondok pesantren Darussalam. Pondok Pesantren Darussalam sendiri berdiri sejak tahun 1800an, didirikan oleh Kyai Harru, kakek Kyai Jazuli. Dan sejak tahun 1961 Kyai Ahmad Jazuli lah yang mengasuh pondok pesantren tersebut.

Pada awalnya Pondok Pesantren Darussalam hanya menerima santri putera saja, baru pada tahun 1975, berkat inisiatif Nyai Siti Maryam, pondok pesantren puteri dibuka. Saat itu Mbah Nyai baru berusia 17 tahun. Dan pondok pesantren puteri tersebut menjadi satu-satunya pondok puteri di Bilapora.

Begitu pondok pesantren Darussalam membuka pondok puteri, lama kelamaan ada banyak sekali santri puteri yang akhirnya mondok di situ. Kebanyakan adalah anak-anak alumni pondok Darussalam periode sebelumnya yang berasal dari daerah Jawa Timur dan Madura serta masyarakat sekitar. Bahkan ada juga santri puteri dari Jawa Barat dan Kalimantan yang mondok di sana. Kurikulum pengajaran di pondok puteri fokus dalam pendidikan kitab kuning dan juga menekankan pada pendidikan adab serta akhlaqul karimah.

Meskipun dulunya Nyai Siti menikah di usia 13 tahun, namun beliau sama sekali tidak menginginkan santri-santri puteri yang mondok di pondok pesantren Darussalam menikah di usia terlampau belia. Apalagi sejak pondok pesantren Darussalam memiliki sekolah formal pasca tahun 90-an.

Mulai tahun 1993 sampai sekarang, pondok pesantren Darussalam telah membangun sekolah formal mulai dari PAUD, RA, MI, SMPi, dan SMK sehingga santri-santri yang mondok di pondok pesantren Darussalam umumnya juga bersekolah di sekolahan pondok. Sebelumnya, anak-anak yang mondok sekaligus sekolah formal lebih banyak didominasi oleh santri laki-laki, namun setelah dibangunnya sekolah formal sampai ke tingkat SMK, sekarang hampir semua santri puteri yang mondok di sana juga bersekolah formal.

Meskipun begitu, tetap ada beberapa wali santri yang menganggap bahwa anak-anaknya yang perempuan cukup sekolah sampai tingkat SMP saja. Bagi para orang tua itu, yang penting anak-anaknya sudah bisa ngaji kitab, sudah paham fikih. Begitu lulus SMP, mereka biasanya dipamitkan oleh orang tuanya untuk dinikahkan. Dulu, Nyai Siti sering kesulitan mencari alasan untuk menahan santri puteri yang mau dibawa pulang orang tuanya untuk dinikahkan. Namun setelah dibangunnya sekolah SMK, Nyai Siti biasanya menahan santri puteri yang masih baru lulus SMP dan mau dinikahkan oleh orang tuanya supaya melanjutkan sekolahnya sampai ke SMK dulu sebelum menikah. Alasan Nyai Siti, selain karena faktor usia yang masih terlalu muda kalau menikah selepas lulus SMP, Nyai Siti merasa bahwa anak perempuan juga perlu memiliki bekal pendidikan formal yang cukup sebelum menikah. Karena siapa tahu, anak tersebut juga ingin bekerja selain menjadi ibu rumah tangga. Dan jenjang pendidikan yang lebih tinggi akan lebih membantu anak tersebut untuk memiliki pilihan yang lebih banyak untuk masa depannya.

Meskipun biasanya para orang tua santri sebenarnya keberatan anaknya harus melanjutkan sekolah dan mondok lagi, namun mereka juga tidak berani menentang dawuh Nyi Seppo. Akhirnya mereka pun ‘terpaksa’ mengijinkan anaknya untuk tetap tinggal di pondok dan menunda pernikahannya.

Memang sebagai seorang pemuka agama, setiap dawuh Nyai Siti pasti selalu didengarkan oleh masyarakat. Sehingga ketika Nyai Siti meminta agar santri yang mau dinikahkan selepas SMP itu mondok lagi dan melanjutkan sekolah sampai SMK, maka orang tua santri pun akan menuruti. Hal tersebut menjadi keuntungan tersendiri bagi Nyai Siti. Bahwa kekuatan ucapannya beliau jadikan sarana untuk terus memperjuangkan pendidikan bagi anak-anak perempuan.

Namun perjuangan Nyai Siti dalam mengupayakan pendidikan anak-anak perempuan juga mengalami begitu banyak kendala. Terlebih sepeninggal Kyai Ahmad Jazuli, Nyai Siti harus berjuang keras untuk mengurus baik pondok putera dan juga pondok puteri. Dengan infrastruktur dan fasilitas yang masih sangat serba terbatas, Nyai Siti mau tidak mau harus sangat bekerja keras dalam melanjutkan perjuangan almarhum suaminya..

Beberapa impian Nyai Siti untuk pondok puteri yang sampai saat ini belum terlaksana antara lain adalah membangun mushola khusus santri puteri (karena selama ini santri puteri masih menggunakan sekolahan RA sebagai mushola sementara untuk kegiatan-kegiatannya) dan membekali santri-santri puteri dengan keterampilan-keterampilan misalnya menjahit, kursus bahasa, atau memasak (yang sampai saat ini masih dipikirkan dan diupayakan oleh Nyai Siti bagaimana menyediakan peralatan menjahit, laboratorium bahasa, dan peralatan memasak serta tenaga-tenaga yang bisa mengajar keterampilan-keterampilan tersebut.) Nyai Siti juga bermimpi suatu saat nanti pondok pesantren Darussalam punya perguruan tinggi sehingga santri-santri yang mondok di sana bisa sekaligus melanjutkan sampai ke tingkat perguruan tinggi juga. Terlebih bagi santri puteri yang kebanyakan tidak terlalu diperhatikan pendidikan formalnya oleh keluarga. Padahal dengan pendidikan yang lebih tinggi, santri-santri tersebut bisa memiliki lebih banyak pilihan di masa yang akan datang, misalnya jika ingin bekerja sebagai guru atau pegawai.

Selain memperjuangkan pendidikan untuk anak perempuan, terutama sekali anak-anak perempuan di sekitar daerah kecamatan Ganding dan kecamatan Lenteng, Nyai Siti juga merintis dan menghidupkan organisasi muslimat NU di desa Bilapora dan menjadi pelopor aktifnya kegiatan Muslimat NU di dua kecamatan yaitu kecamatan Ganding (bagian Timur) dan kecamatan Lenteng (bagian Barat). Nyai Siti mulai menjadi ketua Muslimat NU sejak usianya 14 tahun dan terus berupaya keras membesarkan organisasi tersebut hingga saat ini. Beliau berupaya mendidik ibu-ibu Muslimat NU untuk berani menyuarakan pendapatnya, untuk memimpin, dan untuk mandiri.

Nyai Siti juga sangat mendorong peran dan partisipasi aktif perempuan dalam kegiatan sosial, politik, dan kemasyarakatan. Salah satunya dengan mendorong dan mengupayakan terpilihnya kepala desa perempuan di Bilapora. Saat itu hampir sebagian besar warga menolak majunya Eni Setiasih, seorang aktivis Muslimat NU desa Bilapora bimbingan Nyai Siti menjadi calon kepala desa perempuan karena adanya keyakinan bahwa pemimpin perempuan tidaklah sesuai dengan syariat agama. Ada begitu banyak penentangan yang terjadi terkait majunya calon kepala desa perempuan di desa Bilapora tersebut. Apalagi sepanjang sejarah, tak pernah ada kepala desa perempuan sebelumnya di desa Bilapora.

Warga masyarakat pun dibuat bingung dengan kondisi tersebut. Namun, ketika mereka sowan dan bertanya pada Nyai Siti soal kepemimpinan perempuan, Nyai Siti justru memberikan pandangan bahwa yang terpenting adalah kemampuan memimpin dan membawa masyarakat ke dalam kondisi yang lebih baik, bukan apa jenis kelaminnya. Penjelasan Nyai Siti akhirnya cukup meredakan kebingungan yang terjadi dalam masyarakat.

Ketika akhirnya Eni Setiasih terpilih menjadi kepala desa, ketegangan bukannya mereda. Ada banyak pihak yang tidak suka dengan terpilihnya Eni Setiasih kemudian memprovokasi warga dan membawa masalah itu ke dalam perbincangan agama, bahwa pemimpin perempuan tidaklah sesuai dengan syariat agama. Namun lagi-lagi hal tersebut berhasil diredakan berkat ketegasan Nyai Siti dalam membela dan memperjuangkan posisi kepemimpinan perempuan.

Posisi perempuan, yang dalam beberapa daerah di Madura dinomorduakan tidak berlaku dalam kehidupan Nyai Siti. Meskipun beliau tidak mengenyam pendidikan formal hingga perguruan tinggi, dan kebanyakan hanya bergelut dengan kitab-kitab klasik, bahkan beliau kurang lancar berbahasa Indonesia namun cara pandang beliau bisa dibilang cukup progresif. Beliau menekankan bahwa Allah menciptakan manusia dengan sama, baik laki-laki dan perempuan, dan semuanya berhak atas hak-hak dasar yang sama tanpa adanya pengecualian. Itulah sebabnya, Nyai Siti sangat mendorong terpenuhinya hak pendidikan bagi anak-anak perempuan, sebagaimana pada anak laki-laki. Pun jika pada akhirnya anak-anak perempuan itu memilih menjadi ibu rumah tangga saja, setidaknya mereka menikah di usia dimana mereka sudah menamatkan sekolah menengah dan menyelesaikan mondoknya.

Meskipun alasan-alasan yang diungkapkan Nyai Siti perihal penolakannya pada pernikahan anak bisa dibilang termasuk sangat sederhana (beliau tidak mengenal persoalan-persoalan seperti kesehatan seksual dan reproduksi, dan dampak kesehatan yang bisa menimpa anak-anak perempuan yang menikah di usia belia) namun penolakan beliau terhadap pernikahan anak dalam kaitannya dengan pendidikan perempuan cukup membesarkan hati. Adanya kesadaran bahwa pendidikan bagi perempuan itu sama pentingnya dengan pendidikan bagi laki-laki telah meletupkan dan menciptakan harapan-harapan yang lebih besar, terutama sekali bagi masyarakat sekitar pondok pesantren Darussalam, Bilapora.

Tak bisa dipungkiri, berdirinya pondok puteri di desa Bilapora dan banyaknya anak-anak perempuan yang akhirnya mondok dan sekolah sampai ke jenjang SMK di daerah tersebut sedikit banyak adalah buah dari perjuangan Nyai Siti.

Nyai Siti sendiri bahkan bisa dibilang menjadi pelopor ulama perempuan pemimpin di desa Bilapora. Sepeninggal wafatnya Kyai Ahmad Jazuli di tahun 2004, kepengasuhan pondok pesantren Darussalam dipegang oleh Nyai Siti sampai sekarang. Beliau lah yang memimpin kepengurusan baik di pondok putera maupun pondok puteri. Dan kemungkinan beliau lah satu-satunya pengasuh perempuan di pondok pesantren di daerah tersebut. Dalam berbagai kesempatan, Nyai Siti juga kerap memimpin tahlil atau istighosah baik di Madura, Banyuwangi, Jember, Lumajang, Ponorogo, dengan jamaah tak hanya perempuan tetapi juga lelaki.

Meskipun Nyai Siti sudah semakin sepuh, namun aktivitas beliau sama sekali tidak berkurang. Selain terus mengurus santri pondok, beliau juga masih aktif mengurus organisasi Muslimat NU, dan sederet aktivitas lainnya. Beliau juga mendirikan organisasi ikatan alumni pondok pesantren Darussalam yang menjadi wadah seluruh alumni yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia dengan tujuan supaya antar alumni saling bersilaturahmi.

Bagi Nyai Siti, masyarakat, alumni, dan santri sudah seperti keluarganya sendiri. Semua dianggap sebagai anak yang perlu diayomi dan disayangi. Dan begitupun masyarakat sekitar memperlakukan Nyai Siti, seperti orang tua mereka sendiri. Mereka datang berbondong-bondong pada beliau untuk berbagi keluh kesah, masalah, dan apa saja. Mungkin inilah yang juga membuat Nyai Siti menjadi sangat memikirkan masyarakat, terutama sekali yang berkenaan dalam bidang pendidikan.

Keistiqomahan beliau dalam mendidik santri dan masyarakat menjadi inspirasi bagi banyak orang, termasuk beberapa alumni santri baik laki-laki maupun perempuan yang menjadikan Nyai Siti sebagai role model dalam kehidupan mereka. Banyak alumni-alumni santri yang akhirnya mendirikan pesantren dan mengasuh pondok pesantren tersebut mengikuti cara-cara yang secara tidak langsung dicontohkan oleh Nyai Siti. Pondok pesantren itu tersebar di sekitar Madura sampai Jawa Timur, terutama Jember dan Banyuwangi. Harapannya, perjuangan Nyai Siti dalam memperjuangkan pendidikan untuk semua orang, tak hanya bagi laki-laki namun juga bagi perempuan bisa ditiru oleh para keluarga, santri, alumni, dan masyarakat sekitar. Dan semoga Nyai Siti diberi kesehatan serta umur panjang yang penuh keberkahan, sehingga beliau bisa mewujudkan impian-impiannya dalam dunia pendidikan santri.

*Tulisan ini menjadi Juara 1 Lomba Karya Tulis Ulama Perempuan: Peran dan Kiprahnya di Masyarakat kategori Feature/Profil yang diselenggarakan oleh Rahima, Fahmina, dan Alimat dalam rangka Kongres Ulama Perempuan Indonesia tahun 2016

Feminisme: Sebuah Catatan

November 12, 2018 0 Comments
Sejarah ditulis di atas genangan darah kaum minoritas: mereka yang lemah, yang berjuang tapi dikalahkan oleh ketidakadilan dan kekuasaan. Jutaan manusia, termasuk di dalamnya perempuan dan anak-anak, menjadi korban genosida besar-besaran sebab identitas minoritas mereka: suku Indian, Gypsi, Yahudi pada era Hitler, kaum Syiah, Ahmadiyah, Homoseksual dan Lesbian serta kelas minoritas lainnya. Dan sejak mula-mula, feminisme adalah perjuangan pembelaan terhadap kelas minoritas yang ditindas dan diopresi, yang pada masa lahirnya feminisme, korbannya kebanyakan perempuan. Sebab, pada tubuh perempuanlah ketidakadilan dan penindasan itu bermula. Tulisan singkat ini akan memaparkan sekilas mengenai feminisme yang pada awalnya merupakan perjuangan perempuan sampai pada titik dimana feminisme kemudian menjadi perjuangan keadilan.


Feminisme: Perjuangan Perempuan 

Perjuangan feminisme berawal di Barat, ketika perempuan belum memperoleh hak pilih dalam politik, ketika kesempatan mendapatkan pendidikan untuk perempuan sangat terbatas dan hampir tidak ada, pun seandainya ada maka hanya bisa dinikmati oleh segelintir perempuan dari keluarga bangsawan. Lebih dari itu, perjuangan ini adalah penggugatan atas konstruksi ketubuhan yang menempatkan perempuan dalam kelas liyan, manusia kelas dua, kelas laki-laki yang tidak sempurna. 

Appreciation, Interpretation and Criticism in Literary Works: A Short Introduction

November 12, 2018 0 Comments
People read book, enjoy the narratives and then the query arises: can we simply enjoy a book, let say, a fiction, without considering its interpretation?


When people read a certain fiction, for example, Shakespeare’s Othello, one person may have different opinion with others. Somehow, since Shakespeare’s now dead and he did not write a paper entitled “What ‘Othello’ Really Means” so we will not be able to know about Shakespeare’s opinion of his work, Othello. Ten different opinions about Shakespeare’s Othello are possible to happen. So, can a story have more than one interpretation? If yes, which one that can be considered as the most valid interpretation?

In a broad sense, interpretation can mean all the action involved in our reading from apprehension, appreciation to analysis. Here I will define it more in terms of "text analysis": that is, to interpret is to "explain and clarify the meaning of" a text so that its rich meanings can be understood. 

Literary works, some of them are in form of letter. It can be fictions, poems, and dramas but the form is clear: words, sentences or we can say it as text. Since we are dealing with text, we can use literary device to gain meaning from the text.

Sekilas Tentang Rendra, Pamflet, dan Keberpihakan Pada Rakyat

November 12, 2018 0 Comments
Senyata-nyata, pemerintah telah banyak linglung pada hal yang (semestinya) menjadi wewenangnya. Linglung yang telah menjamah-jamah nyaris seluruh kesadarannya, mengabaikan kewajibannya bahwa mereka mewakili jutaan kepala yang hidupnya ditangguhkan dalam tangan nya, wakil rakyat yang mestinya mewakili rakyat sebenar-benarnya. Namun, hidup di nyata, hukum-hukum dan kebijakan-kebijakan lebih berpihak atas nama kekuasaan, tiada keberpihakan pada jutaan kepala yang diwakilinya. 

Genderang sudah berbunyi sejak lama. Api memantik sudah lama. Suaranya memantul di segala penjuru, api membakar di segala penjuru, hingga nanti setiap lobang teling pengang oleh sebab dengungnya, dan setiap jiwa, akan nyala oleh cahaya api yang berkobar-kobar. 

Wajah Perempuan dalam Perkawinan dan Keluarga*

November 12, 2018 0 Comments
Setahun yang lalu, pada Jum’at, 3 Agustus 2012 pukul 15.00 WIB, Jurnal Perempuan bekerja sama dengan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Atma Jaya Yogyakarta menyelenggarakan pendidikan publik Jurnal Perempuan edisi 73 dengan tema “Perkawinan dan Keluarga” di auditorium FISIP Universitas Atma Jaya. Acara ini dibuka oleh Wakil Direktur Jurnal Perempuan Deedee Achriani dan sambutan dari Dekan FISIP Universitas Atma Jaya, Lukas Ispandriarno. Kemudian, pendidikan publik berupa diskusi dan tanya jawab dengan narasumber Gusti Kanjeng Ratu Hemas, Siti Ruhaini Dzuhayatin (Dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta), dan Elli Nurhayati (Direktur Rifka Annisa) dimoderatori oleh Dewi Candraningrum yang merupakan Dewan Redaksi Jurnal Perempuan. 



Dewi membuka diskusi ini dengan menjelaskan bahwa acara semacam ini adalah serupa sumur ilmu pengetahuan. Namun, sumur ilmu pengetahuan ini jangan dianggap sebagai sesuatu yang jauh sekali harus ditimba, harus kita renggut, sebab sumur ilmu pengetahuan ini seringkali berada sangat dekat dengan kita. Kita bisa belajar dari ibu kita, ayah kita, saudara perempuan kita, saudara laki-laki kita, teman-teman dan sahabat kita. Feminisme dan Jurnal Perempuan berangkat dari penghargaan semacam itu, sehingga merupakan sebuah pijakan awal yang salah kalau menganggap bahwa feminisme itu melawan laki-laki. Feminisme adalah penghargaan terhadap semua manusia. Selanjutnya Dewi juga memperkenalkan satu per satu pembicara kepada peserta acara ini, dilanjut dengan pemaparan-pemaparan dari narasumber.

Mustahil Ekonomi Tanpa Peran Perempuan*

November 12, 2018 0 Comments
Seringkali pembicaraan mengenai ekonomi dibonsai dalam dunia patriarki yang mengecilkan peran perempuan dalam perekonomian. Misalnya, banyak pekerjaan perempuan dalam sektor informal dianggap tidak bernilai ekonomi atau bernilai ekonomi sangat rendah karena perempuan yang bekerja dianggap sebatas pencari nafkah tambahan bukan pencari nafkah utama. Amartya Sen mengungkapkan bahwa ekonomi mustahil berkembang tanpa melibatkan perempuan sebagi agen atau sebagai bagian dalam perhitungan ekonomi. Edisi Jurnal Perempuan 74 “Siapakah Agen Ekonomi?” menunjukkan bahwa ekonomi tidak bisa berkembang tanpa perempuan, dan ekonomi perempuan sangat berperan dalam menumbuhkan keluarga, dan otomatis masyarakat.

Perempuan dan Korupsi: Histeria Tubuh Perempuan yang Dilegalkan Patriarki*

November 12, 2018 0 Comments
Media Parahyangan, Jurnal Perempuan, dan Pusat Studi Ilmu Kemasyarakatan (PUSIK) Universitas Parahyangan mengadakan diskusi publik dengan tema Perempuan dan Korupsi pada 28 Juni 2012 di Universitas Parahyangan Bandung. Diskusi ini dibagi dalam dua sesi. Sesi pertama dengan subtema ‘Menolak Logika Koruptif dan Mengembalikan Akal Sehat: Peranan Kaum Perempuan’ dengan pembicara Rocky Gerung (Dewan Redaksi Jurnal Perempuan) dan Niken Savitri, (dosen Fakultas Hukum Universitas Parahyangan), dimoderatori oleh Lalola Easter. Sesi kedua dengan subtema ‘Perempuan dan Korupsi: Sebuah Permasalahan’ dengan pembicara Agustinus Pohan (dosen Fakultas Hukum Universitas Parahyangan) dan Jaleswari Pramodhawardani (peneliti dari LIPI), dimoderatori oleh Aquarini Prabasmoro.