Gambar diambil dari http://waterfordwhispersnews.com/2019/08/21/how-much-clothes-should-a-woman-wear/ |
Pagi tadi, saya berjalan kaki sekitar satu kilometer dari kos menuju pemberhentian bis kuning (bikun-transportasi umum yang melewati hampir semua fakultas di kampus) terdekat. Tak lama, bis yang saya tunggu tiba. Mungkin karena masa perkuliahan belum betul-betul dimulai, bis yang saya naiki tidak terlalu ramai. Setengah mengantuk, saya membuka gawai saya untuk membalas pesan-pesan di whatsapp dan aplikasi pesan lainnya. Beberapa halte sudah dilewati. Saya menoleh ke arah jendela, memastikan kampus yang saya tuju tidak terlewat karena sebelumnya saya dua kali nyasar naik bikun. Di halte RIK, bikun berhenti agak lama karena banyak yang turun sekaligus ada beberapa yang naik. Salah satunya seorang perempuan yang hampir jatuh tersandung roknya sendiri. Tepat di hadapan saya.
Saya sudah mau berdiri untuk mempersilakannya duduk tetapi kursi di hadapan saya sudah lebih dulu ditinggalkan penumpang sebelumnya, sehingga perempuan yang tadi nyaris jatuh itu duduk di sana. Saya menatapnya sekilas lalu tersenyum. Pandangan saya kembali terpaku ke gawai di tangan tetapi pikiran saya mengembara kemana-mana. Perempuan itu masih muda. Kukira umurnya terpaut jauh denganku. Mungkin 7-8 tahun lebih muda. Mungkin juga lebih. Sepertinya ia mahasiswa jenjang sarjana. Aku kembali melirik ke arahnya sedikit. Bajunya lusuh dan tampak kebesaran. Ia berkali-kali memperbaiki letak pinggang roknya supaya roknya sedikit terangkat ke atas. Mungkin supaya roknya tidak kepanjangan dan menyulitkan saat berjalan. Kuperhatikan roknya yang juga tampak kebesaran, warna hitamnya lusuh dan agak mengkilat, seperti terlalu sering dicuci dan disetrika. Mata kami bertemu. Aku merasa bersalah karena sudah memperhatikannya, sehingga aku tersenyum penuh permohonan maaf. Dan ia membalas senyumku dengan rasa malu yang tidak bisa disembunyikan oleh sepasang matanya. Tiba-tiba hatiku merasa nyeri.
Tak jarang kita melihat tulisan-tulisan yang membahas bagaimana perempuan seharusnya berpakaian. Ada yang mengkritik perempuan berbaju ketat, memakai celana, atau rok mini. Namun sering pula kita mendapati orang-orang yang mengkritik perempuan berbaju gamis, bercadar, berkaus tangan. "Mana yang lebih baik?" begitu orang terus memperdebatkan. Ada yang membandingkan perempuan tak berjilbab dengan permen loli dikerubungi semut dan ada yang mencela perempuan bercadar dengan mengatakan bahwa di sini bukan gurun pasir.
Perdebatan itu tidak pernah selesai. Tidak akan pernah.
Tetapi, apakah kita pernah berpikir bahwa bagi beberapa perempuan, memperoleh baju yang nyaman ia kenakan juga tidak mudah? Saya ingat bertahun-tahun lalu, kala masih mahasiswa jenjang sarjana. Saya hanya punya beberapa potong baju yang bisa dibilang bagus dan pantas dipakai kuliah. Kadang, saya bahkan memakai baju-baju bekas punya bulik yang diwariskan pada saya, karena usia kami tidak terpaut terlalu jauh dan ukuran badan kami nyaris sama. Untuk membeli baju yang sedikit agak bagus, saya harus berpikir puluhan kali karena uang tersebut bisa dialokasikan untuk membeli buku dan keperluan primer lainnya. Sehingga saya jarang sekali berganti-ganti baju karena stok baju kuliah saya memang itu-itu saja.
Dan perdebatan orang-orang tentang baju apa yang harus dikenakan perempuan itu begitu menyakitkan didengar karena mereka yang sibuk berdebat itu seolah tidak peduli dengan pendapat personal para perempuan. Beberapa perempuan nyaman memakai rok, beberapa merasa lebih nyaman memakai celana. Beberapa mungkin juga nyaman memakai cadar, beberapa yang lain mungkin tidak nyaman memakai kerudung. Pilihan-pilihan berpakaian itu adalah hal-hal yang sangat personal dan kompleks. Beberapa perempuan bahkan tidak punya terlalu banyak pilihan karena ketidakmampuan finansial dalam membeli baju-baju yang menurut mereka nyaman dikenakan. Alih-alih menghakimi pilihan perempuan dalam berpakaian, kenapa kita tidak belajar memahami dan menghormati pilihan-pilihan orang lain?
Tentu saja, gaya berpakaian tidak bisa dilepaskan dengan konteks budaya, atau kalau mau merujuk kajian-kajian sosial budaya, model-model baju juga terkait erat dengan pertarungan identitas, kuasa, bahkan kapitalisme (kita tahu kan baju-baju tertentu harganya bisa sangat tidak masuk akal). Tetapi, maksud saya begini, kenapa kita harus selalu memperdebatkan cara berpakaian perempuan dan berusaha mengatur mereka sesuai norma agama atau apapun yang kita yakini? Merasa bahwa mengurusi pakaian perempuan adalah tugas dan kewajiban kita, tetapi abai dengan perasaan atau pilihan sadar mereka seolah itu tidak penting. Padahal yang terpenting tentang pakaian adalah kenyamanan bagi mereka yang mengenakannya.
Depok, 23 Agustus 2019
No comments:
Post a Comment