Follow Us @soratemplates

Showing posts with label Resensi Buku. Show all posts
Showing posts with label Resensi Buku. Show all posts

Friday, July 3, 2020

The Road - Cormac McCarthy

July 03, 2020 0 Comments
The Road, Cormac McCarthy. 2006, New York: Knopf.

We wouldnt ever eat anybody, would we?
No. Of course not.
Even if we were starving?
We're starving now. (The Road, 128)

Fiksi bertema akhir dunia atau biasa dikenal dengan fiksi post-apocalyptic memang menarik untuk dibaca. Fiksi jenis ini membangkitkan pertanyaan-pertanyaan tentang apa yang akan terjadi selanjutnya setelah bencana besar menghancurkan dunia yang dikenal sekarang bersama seluruh sistemnya, tanpa pemerintah, hukum, dan peradaban tersisa. Kisah bencananya kadang tidak begitu menarik perhatian sebab justru manusia yang tersisa atau berhasil selamat dari bencana itu dan bagaimana mereka bertahan hidup lebih membuat pembaca penasaran.

Novel bertema post-apocalyptic ini bukanlah fenomena baru. Mary Shelley dengan novelnya The Last Man yang terbit pada 1826 termasuk salah satu novel post-apocalyptic lama yang cukup terkenal. Novel tersebut menceritakan tentang wabah yang membabat habis manusia dan di tengah chaos yang terjadi antara manusia-manusia yang berhasil selamat, muncul seorang tokoh utama dengan kualitas-kualitas pribadi berbeda dengan manusia lain dan menjadi penyelamat di tengah kekalutan-kekalutan chaos tersebut. Banyak novel dengan tema serupa yang terbit kemudian seperti I Am Legend karya Richard Matheson yang berkisah tentang pertarungan manusia dengan vampir setelah wabah besar yang memporak-porandakan sistem kehidupan manusia, kemudian novel-novel zombie atau fiksi sains seperti serial The Hunger Games, Maze Runner, Divergent dan lain sebagainya yang muncul beberapa waktu terakhir juga berkaitan dengan tema akhir dunia.

Berbicara tentang novel post-apocalyptic, kita tidak bisa melewatkan salah satu novel besutan Cormac McCarthy berjudul The Road. Novel ini terbit pada 2006 dan memperoleh penghargaan Pulitzer Prize pada 2007. Novel ini semakin ramai dibicarakan dan dibahas sampai akhirnya McCarthy berkenan tampil pertama kali di TV dalam wawancara bersama Oprah Winfrey dan secara khusus membahas novel The Road serta penghargaan Pulitzer yang diterimanya.

Novel-novel post-apocalyptic biasanya bercerita tentang bagaimana terjadinya bencana, bagaimana tokoh utama yang pada akhirnya menyelamatkan para survivor yang tersisa pasca bencana, atau menceritakan perkelahian antar tokoh atau kelompok demi bertahan hidup. Tetapi novel The Road ini berbeda. Novel ini berbicara tentang perjalanan yang sangat emosional antara ayah dan anak dalam melewati dunia pasca bencana demi mencari kehidupan yang lebih baik. Dunia yang digambarkan dalam novel The Road adalah lanskap dunia yang hancur, abu-abu dan gelap, penuh debu, tanah yang terbakar, pepohonan mati, ketiadaan tanda-tanda kehidupan, mobil-rumah-supermarket yang semua terbengkalai dan ditinggalkan.

Dalam narasinya, McCarthy menyebutkan para survivor dengan jumlah yang tidak banyak berkelana di dunia post-apocalyptic ini dengan mengenakan baju-baju ‘biohazard’ dan memakai masker serta kacamata seperti pilot. Meskipun tidak dijelaskan bencana apa yang menyebabkan hancurnya dunia tersebut, apakah holokaus nuklir atau jatuhnya meteor dari luar angkasa, tetapi narasi-narasi McCarthy di novel menunjukkan kondisi dunia yang semakin memburuk setelah bencana yang entah apa itu. Malam digambarkan lebih kelam dari biasanya, siang semakin kelabu, dan suhu udara semakin dingin sampai terasa beku.

Di halaman-halaman awal novelnya, dalam mimpi si tokoh ayah, McCarthy seperti menunjukkan bahwa kehancuran dunia ini sebenarnya didukung dan dimotori oleh manusia sendiri. Bagaimana peradaban dan etika hancur jauh sebelum struktur fisik dunia ini hancur. Jiwa-jiwa korup, yang berlomba-lomba meraih kuasa dan menempatkan kepentingannya di atas kebutuhan-kebutuhan manusia lain inilah yang mula-mula membawa kehancuran pada kemanusiaan

Detail lanskap dunia yang hancur secara fisik dan kemanusiaan ini digambarkan dengan begitu nyata untuk memberikan konteks pada dua tokoh utama yang menjadi sentral cerita; yaitu seorang ayah dan anaknya yang kurang lebih berusia 10 tahun. Tokoh anak ini lahir tak lama setelah bencana dan dibesarkan sendirian oleh ayahnya sebab sang ibu memilih untuk mati bunuh diri daripada hidup di dunia yang tidak lagi menjanjikan apa-apa. Setelah bencana besar dan kematian bagi sebagian besar orang, ayah dan anak ini melakukan perjalanan ke arah Selatan dengan harapan menemukan kehidupan yang lebih baik, yaitu tempat yang jauh lebih hangat dan tempat yang mungkin menyisakan orang baik sebagai teman bagi mereka. Sepanjang perjalanan itu, mereka harus bertahan dari udara dingin yang mencekam dan berhati-hati dari ancaman bertemu para survivor lain yang menjadi predator. Sebab, dengan hancurnya dunia yang tak lagi memungkinkan berjalannya proses produksi, proses konsumsi bagi sebagian orang yang masih bertahan hidup setelah bencana telah menciptakan banyak kanibal yang memangsa sesamanya untuk bertahan hidup.

Gambaran kanibalisme ini ditampilkan dengan begitu mengerikan dalam novel McCarthy. Tokoh ayah dan anak yang selalu kelaparan, kedinginan, dan letih ini terus berpindah dari satu tempat ke tempat lain untuk menuju Selatan, dan di tengah perjalanannya, mereka tak sengaja menemukan sekumpulan tahanan di ruang bawah tanah sebuah rumah di pinggiran kota yang menjadi sumber makanan bagi orang yang menahan mereka. Kemudian mereka juga menemukan jasad bayi yang siap dimakan oleh orang tuanya yang sudah putus asa dan menyaksikan bagaimana manusia ditangkap oleh sekelompok manusia lain untuk dimakan. Di sini, orang-orang jahat digambarkan sebagai orang yang hanya peduli untuk bertahan hidup dan melakukan apa saja demi itu termasuk memakan manusia lain.

Dan di tengah hancurnya nilai-nilai kemanusiaan ini, tokoh ayah berusaha untuk mewariskan nilai kemanusiaan itu pada sang anak yang tak pernah tahu seperti apa dunia sebelum kehancuran itu terjadi. Ia mengajari anaknya untuk menjadi orang baik, meskipun lapar tetapi tidak memakan manusia lain atau merampas hak milik orang lain. Sehingga ketika mereka menemukan sebuah bunker perlindungan berisi makanan, si anak berdoa sebelum menyantap makanannya seperti ini: "Dear people, thank you for all this food and stuff. We know that you saved it for yourself and if you were here we wouldnt eat it no matter how hungry we were and we're sorry that you didnt get to eat it and we hope that you're safe in heaven with God

Hal lain yang membedakan The Road dengan novel-novel post-apocalyptic lainnya adalah penulisannya yang sengaja menghilangkan tanda baca seperti apostrop dan tanda kutip penanda dialog. Penghilangan tanda baca ini seolah ingin menunjukkan bahwa bersamaan dengan hancurnya dunia, hancur pula sistem penanda kata-kata. Dialog-dialognya pun sangat singkat. Percakapan ayah dan anak sangat sedikit dan kebanyakan diisi oleh pertanyaan “ya atau tidak”. Hal terakhir yang membuat novel ini menarik adalah bahwa tokoh utama si ayah dan anak ini tidak memiliki nama, hanya disebut sebagai ‘father’ dan ‘son’ seolah ingin menjelmakan kedua tokoh ini pada semua orang. Bahwa tokoh ayah dan anak ini bisa siapa saja, bisa saya, bisa juga anda. Dan terlepas dari apapun yang terjadi, sehancur apapun dunia dengan segala ketiadaan sistem masyarakat, sumber makanan, bahkan kebaikan, perjuangan terberat yang harus dilakukan adalah tidak semata bertahan hidup tetapi juga bertahan untuk tetap menjadi manusia yang baik.

The Road muncul sebagai sebuah tawaran tema post-apocalyptic yang berbeda, yang tidak melulu berbicara tentang bencana dan perkelahian, tetapi tentang hubungan emosional keluarga dan upaya menjaga serta mempertahankan humanisme. Dan bagi siapa saja yang tertarik dengan tema-tema akhir dunia, novel ini sangat sayang untuk dilewatkan begitu saja.

Saturday, April 13, 2019

The Paris Vendetta: Manipulasi Ekonomi Global

April 13, 2019 0 Comments

Judul : The Paris Vendetta
Penulis : Steve Berry
Tahun/ Penerbit : 2010/ Ballantine Books New York
Genre/ Tebal : Fiksi, Thriller Sejarah/ 483 Hal.

"...but economics can be a powerful weapon. It could be argued that it is the ultimate weapon of mass destruction." (The Paris Vendetta, p. 78)

Terorisme baru muncul dengan wajah yang sama sekali baru dan dengan senjata yang tidak terbayangkan sebelumnya: manipulasi ekonomi global. Dalam The Paris Vendetta ini, dikisahkan sekelompok orang yang dikenal dengan nama The Paris Club, yang ingin 'memporak-porandakan' dunia dan menciptakan perang dengan menggunakan ekonomi sebagai senjatanya. Ketika negara-negara telah saling berperang, merekalah yang menikmati keuntungan-keuntungan ekonomi yang dihasilkan dari perang tersebut. Mereka mengatur perang tersebut, menyuplai kebutuhan-kebutuhannya, dan sendirian, mereka mengambil banyak keuntungan dari kekacauan yang mereka ciptakan.

Sunday, March 17, 2019

Jakarta Sebelum Pagi, Novel Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie

March 17, 2019 0 Comments

Judul Buku: Jakarta Sebelum Pagi

Pengarang: Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie
Penerbit: Grasindo
Tahun Terbit: 2016
Jumlah Halaman: 270
Genre: Fiksi
Pe-review: Iffah Hannah

"Tumbuh dewasa rasanya seperti itu. Waktu masih kecil, semua orang perhatian. Tapi, begitu dewasa, sedikit demi sedikit, kamu hilang dari pandangan. Makanya, orang dewasa pakai makeup, berdandan rapi, pakai baju bagus... Karena kalau nggak, nggak akan ada yang melihat mereka. Penampilan, bagi orang dewasa, itu seperti baju untuk manusia transparan-membuat orang sadar kalau mereka ada. Karena biasanya, di dunia orang dewasa, orang-orang nggak cukup punya perhatian untuk menunggu kamu bicara dan bilang kalau kamu ada." (hal 40-41)

Emina, gadis 25 tahun yang bekerja sebagai salah seorang sekretaris di suatu kantor mendapatkan kiriman mawar, hyacinth biru, melati yang dibawa oleh balon perak terbang hampir setiap hari di balkon apartemennya. Keingintahuannya terhadap stalker pengirim bunga itu membuat rekan sekantornya, Nissa, ngomel-ngomel. Menurut Nissa, stalker itu bisa berbahaya dan alih-alih mencari tahu identitas si stalker, Emina harusnya lapor polisi saja.

Tuesday, February 19, 2019

Sunnah Monogami - Buku Dr. Faqihuddin Abdul Kodir

February 19, 2019 0 Comments

Judul Buku: Sunnah Monogami - Mengaji Alquran dan Hadits

Pengarang: Dr. Faqihuddin Abdul Kodir
Penerbir dan Tahun Terbit: USM, 2017
Jumlah Halaman: 382
Genre: Nonfiksi

Selama ini kita kerap mendengar kata sunnah nabi sebagai justifikasi dan alasan untuk berpoligami. Tetapi, Dr. Faqihuddin mengajukan pendapat berbeda berdasarkan re-interpretasi ayat-ayat Alquran dan hadits; bahwa yang sunnah sebetulnya adalah monogami, bukan poligami. 

Tuesday, January 29, 2019

The Girl Who Played With Fire - Sebuah Review

January 29, 2019 0 Comments
Judul Buku: The Girl Who Play With Fire

Pengarang: Stieg Larsson

Penerbit: Random House

Tahun Terbit: 2009

Jumlah Halaman: 502 (versi elektronik)
Genre: Fiksi

Di prolog novel The Girl Who Played With Fire, digambarkan seorang perempuan berusia 12 tahun diikat di tempat tidur sebuah kamar rumah sakit jiwa dan sesekali seorang lelaki setengah baya mengunjunginya untuk sekadar mengencangkan ikatan atau memandangi gadis itu dengan tatapan yang susah digambarkan. Dalam keadaan terikat, gadis itu berkali-kali membayangkan membakar lelaki itu hidup-hidup.

Novel ini adalah seri kedua dari trilogi Millennium yang ditulis oleh Stieg Larsson. Diterbitkan pertama kali dalam bahasa Swedia pada 2006 dan versi terjemahan Inggrisnya terbit pada 2009. Di seri pertama, yaitu The Girl With The Dragon Tattoo (yang kebetulan saya belum sempat membaca novelnya tapi nonton filmnya, baik versi Swedia maupun versi Amerika yang ada Daniel Craig dan Rooney Mara-nya) menceritakan awal pertemuan Lisbeth Salander dengan Mikael Blomvkist, seorang jurnalis di Millennium. Singkatnya, dengan kemampuannya yang cukup mencengangkan dalam hal komputer-internet-hacking dan ingatan fotografik, Lisbeth Salander membantu Blomvkist menyelesaikan kasus menghilangnya Harriet Vanger saat masih remaja (yang ternyata sengaja menghilangkan diri karena menjadi objek seksual-perkosaan ayah dan saudara lelakinya.) Dan setelah kasus tersebut terungkap, Salander menghilang.

Tuesday, November 13, 2018

The Red Haired Woman - Orhan Pamuk, Sebuah Catatan Kecil

November 13, 2018 0 Comments

Judul Buku: The Red-Haired Woman
Penulis: Orhan Pamuk
Penerjemah: Rahmani Astuti
Penerbit: Bentang, Yogyakarta
Tahun Terbit: 2018
Genre: Fiksi
Jumlah Halaman: 341

Cem, seorang pemuda yang masih SMA, bercita-cita menjadi penulis. Setelah berkali-kali ditinggalkan ayahnya, seorang aktivis gerakan kiri yang berkali-kali diciduk dan dipenjara, Cem akhirnya tidak pernah lagi melihat ayahnya kembali. Mungkin bukan karena alasan yang sama seperti biasanya, tapi itu tak penting lagi. Ia sudah terbiasa kehilangan ayahnya. Pada musim panas 1985, Cem membantu di toko buku Deniz dan mulai serius dengan impiannya untuk menjadi penulis. 

Uang yang diterima Cem di toko buku sama sekali tidak cukup untuk membayar biaya bimbingan belajar demi persiapan ujian penerimaan universitas, sehingga ibunya memutuskan untuk pindah dari Istanbul ke Gebze dan tinggal bersama adik perempuannya sementara Cem bekerja sebagai penjaga kebun buah ceri dan persik milik suami dari adik perempuan ibunya. Di sana ia bertemu dengan para penggali sumur dan tertarik dengan pekerjaan itu karena teringat dengan novel Jules Verne "Journey To The Center Of The Earth" yang pernah dibacanya. Tuan Mahmut, si penggali sumur, menawarkan pada Cem untuk ikut menjadi asistennya sebagai penggali sumur di pinggiran kota Kucukcekmece. Ia bilang, pekerjaan sepuluh hari itu akan memberi Cem penghasilan 4x lebih banyak dari pengawas kebun buah.

To Kill A Mockingbird, Sebuah Catatan Pendek

November 13, 2018 0 Comments


Judul Buku : To Kill a Mockingbird
Pengarang : Harper Lee
Penerbir dan Tahun Terbit : Hachette Book Group New York, 2010
Jumlah Halaman : 376
Genre : Fiksi, American Literature

"...remember it’s a sin to kill a mockingbird. Mockingbirds don’t do one thing except make music for us to enjoy. They don’t eat up people’s gardens, don’t nest in corn cribs, they don’t do one thing but sing their hearts out for us. That’s why it’s a sin to kill a mockingbird.” (To Kill a Mockingbird, p. 119)

Novel ini mengisahkan sebuah masa di mana diskriminasi rasial menguasai sebuah kota dan mengalahkan akal sehat manusia. Dan semboyan bahwa 'semua manusia diciptakan setara' atau 'all men are created equal' tidaklah berarti apa-apa di sebuah kota yang sebagian besar penghuninya menganggap bahwa orang kulit putih adalah lebih mulia di atas orang kulit berwarna, dan bahwa orang kulit berwarna termasuk orang negro adalah orang jahat, pembohong, serta imoral sejak lahir. Seolah bisa dikatakan bahwa 'all (white men) are created equal' dan negro tidaklah masuk dalam kategori 'men' atau 'manusia'.

Monday, November 12, 2018

Shams Tabriz dan Rumi, Dalam The Forty Rules of Love, Elif Shafak

November 12, 2018 0 Comments
(Picture: courtesy of telegram @booksthief)
Judul Buku: The Forty Rules of Love 

Pengarang: Elif Shafak 

Penerbit dan Tahun Terbit: Viking, Penguin Group, England 2010 
Jumlah Halaman: 392 
Genre: Fiksi 

/Sufi mystics say the secret of the Qur’an lies in the verse Al-Fatiha, 
And the secret of Al-Fatiha lies in Bismillahirrahmanirrahim 
And the quintessence of Bismillah is the letter ba, And there is a dot below that letter.… 
The dot underneath the B embodies the entire universe… 

ب



The Mathnawi starts with B, 
Just like all the chapters in this novel…/ 

Adalah Eka Saputra, sahabat saya, kini tinggal di NTB bersama istri dan putri kesayangannya, yang pertama kali mengenalkan sosok Shams Tabriz kepada saya. Sebagai pengagum sufi dan jalan tasawuf, kekaguman terhadap Mawlana Jalaludin Rumi--filsuf agung, penyair, dan sufi-- juga membuat saya penasaran dengan sosok Shams Tabriz, yang disebut sebagai matahari bagi Rumi. Elif Shafak, novelis dan feminis Turki kelahiran Perancis mengisahkan pertemuan dan perpisahan Rumi-Shams dengan sangat menggetarkan. 

Aksara Amananunna, Sebuah Catatan Singkat

November 12, 2018 0 Comments



Judul Buku: Aksara Amananunna
Pengarang: Rio Johan
Penerbit dan Tahun Terbit: KPG, April 2014
Jumlah Halaman: 240
Genre: Fiksi

Di sebuah setting yang sangat dystopian, di masa depan pada tahun 21xx, wabah bunuh diri melanda negeri R. UU Anti Bunuh Diri yang disahkan kemudian ternyata tidak berefek apa-apa. Angka bunuh diri terus melejit serta menjadi penyebab kematian terganas mengalahkan genosida, HIV, dan penyakit kardiovaskular. Bunuh diri menjadi gaya hidup dan filosofi tentang bagaimana cara mati semakin berkemabang. Perdana Menteri negeri R, yang putus asa memikirkan cara menanggulangi wabah ini harus kecele setelah putrinya sendiri ikut serta dalam bunuh diri masal. Hingga kemudian, ia sendiri menimbang-nimbang untuk mengakhiri saja hidupnya.

"Undang-undang Anti Bunuh Diri" adalah cerpen pertama dari 12 cerpen dalam Aksara Amananunna karya Rio Johan. Buku kumpulan cerpen yang terbit 2014 lalu ini berisi kisah-kisah yang cukup mencengangkan dan beberapa bahkan membuat begidik ngeri. Ada yang ber-setting di masa depan, ada yang ber-setting di masa lalu.

Susah Sinyal, Novel Adaptasi dari Ika Natassa dan Ernest Prakasa

November 12, 2018 0 Comments

Judul Buku: Susah Sinyal
Penulis: Ika Natassa dan Ernest Prakasa
Penerbit, Tahun Terbit: Gramedia Pustaka Utama, 2018
Genre: Novel Fiksi
Jumlah Halaman: 264 hal


"Saya percaya setiap orang, entah itu perempuan atau laki-laki, menikah atau tidak, punya anak atau tidak, berstatus single parent atau tidak, berapapun usianya, pasti punya pergulatannya sendiri, punya perjuangannya sendiri, punya kesulitannya sendiri untuk mencapai apa yang bisa disebut kesuksesan. Bahwa saya perempuan yang berstatus single mother dan tetap bisa berkarier sebagai pengacara tidak menjadikan saya lebih istimewa daripada orang lain. Everyone has their own battle to fight, just like everyone has their own battle to lose, to win the war called life." (hal. 92)

Novel Susah Sinyal ini adalah adaptasi dari film berjudul sama yang skenarionya ditulis oleh Ernest Prakasa dan Meira Anastasia. Novel ini menceritakan tentang Ellen, seorang pengacara sukses dan single mother untuk Kiara, puterinya yang beranjak remaja. Ellen bercerai dengan ayah Kiara saat Kiara berumur 2 tahun.

Laut Bercerita, Bagaimana Kita Merawat Ingatan

November 12, 2018 0 Comments
 
Judul Buku: Laut Bercerita
Pengarang: Leila S. Chudori
Penerbit dan Tahun Terbit: KPG, Oktober 2017
Genre: fiksi/nonfiksi
Jumlah Halaman: 379


Novel ini dikisahkan melalui dua sudut pandang: yang pertama adalah sudut pandang Biru Laut, seorang mahasiswa dan aktivis 98 yang diculik dan dibunuh namun jasadnya tidak pernah ditemukan oleh keluarganya atau siapapun karena ada di dasar laut. Dari sana, ia mengisahkan cerita tentang kegiatannya bersama teman-teman aktivis lainnya semasa hidup sampai akhirnya ketika ia dan teman-temannya diculik, diinterogasi, disiksa, dan akhirnya dibunuh.

Sementara sudut pandang kedua, adalah penceritaan yang dilakukan oleh Asmara Jati, adik Biru Laut, yang kehilangan kakaknya juga sempat kehilangan kekasihnya (yang kemudian pulang dan menjadi berbeda setelah diculik). Asmara Jati mengisahkan bagaimana keluarga-keluarga aktivis 98 yang hilang (mereka tidak bilang mati, karena jasad para aktivis itu tidak pernah ditemukan sehingga mereka terus berharap bahwa para aktivis itu masih hidup meski entah dimana) terus berjuang untuk melawan kesedihan akibat kehilangan orang-orang terkasih mereka dan berusaha untuk terus mencari keadilan dengan berdemonstrasi setiap kamis di depan istana negara agar kasus penghilangan paksa ini dituntaskan.

Satu Dekade Rumpun Terasing, Sebuah Catatan

November 12, 2018 0 Comments
Judul Buku: Satu Dekade Rumpun Terasing; Narasi Identitas Jemaat Ahmadiyah Indonesia
Pengarang: Nur Hikmah
Penerbit: Makar
Tahun Terbit: 2016
Genre: nonfiksi
Jumlah Halaman: 170


Apakah perbedaan keyakinan bisa menjadi pembenaran untuk berlaku tidak adil dan melakukan kekerasan? Bukankah Islam, agama yang dibawa Muhammad SAW adalah agama pembebasan dan kasih sayang. Agama yang memanusiakan manusia. Agama yang memberikan rasa aman bagi orang-orang tertindas dan papa. Pantaskah agama kasih itu dijadikan pembenaran untuk merusak dan menjarah rumah? Untuk mengusir dan menganiaya?

Lebih dari sepuluh tahun, orang-orang Ahmadiyah di Lombok diusir dari tempat tinggalnya. Oleh orang-orang yang sayangnya adalah penganut agama Muhammad SAW. "Ahmadiyah bukan Islam, mereka sesat, mereka menistakan Islam!" begitu kata sebagian dari mereka. Seolah kalimat itu menjadi pembenaran untuk segala tindak kekerasan yang ditujukan pada jemaat Ahmadiyah.

Setelah terusir dari Lombok, jemaat Ahmadiyah ini terus berpindah-pindah mencari tempat tinggal. Sampai kemudian mereka terpaksa hidup dalam pengungsian yang sangat tidak memadai; sebuah gedung besar yang disebut asrama transito di kota Mataram, yang menampung puluhan keluarga dengan fasilitas kebersihan, kesehatan, dan pendidikan yang sangat ala kadarnya. Tak layak disebut rumah. Di sana, orang-orang mati dan bayi-bayi lahir sebagai pengungsi. Nasib mereka pun tidak jelas.

Buku ini sepertinya ditulis untuk mempertanyakan kembali makna keberagaman dan hak sebagai warga negara. Terlepas dari perdebatan sesat atau tidaknya Ahmadiyah sendiri, kekerasan yang dilakukan terhadap para penganutnya tidak bisa dibenarkan. Sebelum tinggal di asrama transito, mereka telah berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain sejak 1998. Alasan kepindahannya sama: adanya penyerangan, dimana mereka dipaksa untuk bertobat dari ke-Ahmadiyah-annya dan rumah dihancurkan serta dijarah.

Di buku ini, penulis memaparkan pengalamannya dalam berinteraksi dengan para pengungsi transito; kisah-kisah mereka, harapan-harapan mereka, dan klarifikasi-klarifikasi tentang apa-apa yang selama ini dituduhkan pada mereka, seperti apakah mereka mengimani Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi setelah Muhammad SAW, atau kitab Tadzkirah yang diisukan menjadi kitab suci mereka. Selama ini dialog-dialog yang dilakukan hanya berjalan satu arah, dimana pihak luar seperti berdakwah dan mengajak jemaat Ahmadiyah untuk kembali ke jalan yang lurus, tanpa mendengarkan apa yang sebenarnya jemaat Ahmadiyah ini inginkan.

Yang paling utama, para pengungsi itu sendiri berharap bahwa mereka bisa diperlakukan sama dengan warga lainnya, beribadah sesuai keyakinannya dengan tenang tanpa takut diserang atau dipaksa pindah keyakinan. 


(review ini pertama kali tayang di perempuanmembaca.com pada Desember 2017) 

"Al-Qur'an & Perempuan: Menuju Kesetaraan Gender dalam Penafsiran": Sebuah Catatan Kecil

November 12, 2018 0 Comments
Awalnya adalah sebuah kegelisahan yang tidak hanya menimpa saya, tetapi juga banyak ibu-ibu muda yang baru saja menikah atau baru punya anak tentang betapa susahnya untuk terus konsisten merawat hobi membaca di tengah kesibukan-kesibukan domestik. Memang tidak dipungkiri, upaya penyesuaian dari lajang lalu menjadi isteri sampai akhirnya menjadi ibu bukanlah hal yang mudah. Beban psikologis dan lain-lain cukup menyita tidak hanya waktu tapi juga emosi kita. Dan bagi beberapa orang yang awalnya gemar membaca, lalu dihadapkan dengan situasi baru seperti ini dan bisa meluangkan kembali waktu untuk membaca buku menjadi kemewahan yang tak terperi.

Karena ingin tetap merawat hobi membaca di tengah kesibukan pekerjaan domestik dan non-domestik inilah, saya dan teman-teman akhirnya membuat sebuah klub baca yang basis awalnya adalah teman-teman di jejaring sosial facebook dan berlanjut ke grup whatsapp. Targetnya tidak muluk-muluk, cukup dengan berhasil konsisten membaca satu judul buku saja setiap bulannya lalu membagikan isinya pada teman-teman yang lain. Dan bulan ini, Oktober adalah bulan pertama kami dengan program membaca satu buku sebulan. 

Salmon Fishing in the Yemen: Ikan Salmon, Politik, Kemungkinan, dan Ketidakmungkinan

November 12, 2018 0 Comments

Film: Salmon Fishing in the Yemen
Year: 2011
Directed by: Lasse Hallström
Screenplay: Simon Beaufoy
Story by: Paul Torday
Starring: Ewan McGregor, Emily Blunt, Kristin Scott Thomas and Amr Waked
Running time: 112 minutes
Genre: British-Romantic-Comedy


“The rich are frightened of the poor. The poor are frightened of the rich. And even your politicians, they try to sound like the people on the EastEnders... But fishermen, I have noticed, they don't care whether I'm brown or white, rich or poor, wearing robes or waders. All they care about is the fish, the river and the game we play. For fishermen, the only virtues are patience, tolerance and humility.” – Sheikh Muhammed

Film ini diadaptasi dari sebuah novel satir-politik karya Paul Torday dengan judul yang sama Salmon Fishing in the Yemen pada 2007 dan menjadi best-seller di Inggris. Sebagaimana novelnya, film ini berkisah tentang seorang ahli perikanan, Dr. Alfred Jones (Ewan McGregor) yang diminta untuk membantu proyek seorang Islam-progresif, Sheikh Muhammed (Amr Waked), seorang yang sangat kaya raya, dalam membangun sebuah surga memancing di tengah padang tandus dan gurun Timur-Tengah. Ia ingin membangun sebuah dam dan sungai di Yaman sebagai rumah ikan salmon untuk kegiatan memancing dan untuk mengembangbiakkannya dengan penuh keyakinan bahwa hal itu mungkin untuk direalisasikan.

Perempuan Asia: Antara Bekerja dan Menjadi Ibu*

November 12, 2018 0 Comments

Judul : Working and Mothering in Asia: Images, Ideologies, and Identities

Editor : Theresa Devasahayam & Brenda S.A. Yeoh

Tahun/ Penerbit : 2007/ NUS Press

Tebal : xiv & 256 halaman




Banyak perempuan di Asia bekerja di luar rumah. Beberapa di antaranya semata ingin menopang kebutuhan keluarganya, sebagian yang lain, terutama perempuan yang berpendidikan, memiliki harapan untuk mengembangkan kariernya. Banyak dari perempuan ini dibebani tanggung jawab norma sosial dan kultural, dan dalam upaya untuk menyeimbangkan perannya sebagai perempuan yang bekerja dan sebagai ibu, perempuan dengan berbagai latar belakang di Asia ini menegosiasikan, mempertentangkan, dan membentuk ulang definisi “motherhood” (peran keibuan).

Buku ini ditulis oleh tiga belas kontributor dengan pendekatan akademik meliputi antropologi, sosiologi, kajian gender, demografi, dan hukum tetapi memiliki tema yang hampir sama berkaitan dengan patriarki, buruh pekerja, peran ayah, definisi sosial mengenai “good mothering” dan lain sebagainya. Mereka adalah Daniele Belanger, Chen Xuan, Theresa W. Devasahayam, Arent Greeve, Keiko Hi-rao, Anne-Marie Hilsdon, Santosh Jatrana, Debbie Ong, Janet W. Salaff, Carolyn I. Sobritchea, Maila Stivens, Brenda S.A. Yeoh. Buku ini diedit oleh Theresa Devasahayam dan Brenda S.A. Yeoh.

Wadjda, Melawan Tradisi dengan Bersepeda*

November 12, 2018 0 Comments
Film: Wadjda
Year: 2012
Directed by:  Haifaa Al-Mansour
Screenplay:  Haifaa Al-Mansour
Starring: Waad MohammedReem AbdullahAbdullrahman Al Gohani
Running time: 98 minutes



"Arab Saudi adalah negara yang sangat tradisional dan konservatif, dengan masyarakatnya yang sangat tribal (kesukuan)," demikian Haifaa Al-Mansour, sutradara perempuan pertama Arab Saudi bertutur setelah filmnya, Wadjda, mendapatkan sambutan meriah di Festival Film Venesia pada akhir Agustus 2012. Film karya Haifaa ini menceritakan tentang seorang gadis berusia 11 tahun bernama Wadjda dan keinginannya untuk memiliki sepeda. Namun, di Riyadh, sebuah kota besar di Arab Saudi, perempuan tidak boleh memiliki kemewahan itu. Sepeda adalah dunia laki-laki, dan perempuan mestilah tinggal di dalam rumah. Wadjda ingin melawan tradisi itu. Dia ingin memiliki sepeda untuk berlomba dengan anak laki-laki dan membuktikan bahwa dia bisa menjadi pemenang. Namun ibunya berkata, "Perempuan tidak menaiki sepeda. Kamu tidak akan bisa mengandung dan mempunyai anak jika kau menaiki sepeda". Tapi Wadjda tetap pada keinginannya, dia bahkan mengikuti kompetisi membaca Al-Qur'an dan berencana untuk menggunakan uang hadiahnya untuk membeli sepeda yang harganya 800 Riyal.


Selain ingin bisa memiliki sepeda dan berlomba dengan teman-teman laki-lakinya, Wadjda juga senang mendengarkan lagu-lagu pop dan menyukai sepak bola. Dia bahkan memiliki beberapa kaset lagu pop dan gelang suporter sepak bola. Namun hal tersebut membuat Wadjda dimarahi di sekolah. Gurunya melarang Wadjda mendengarkan musik dan menyukai sepak bola.