Judul Buku: Aksara Amananunna
Pengarang: Rio Johan
Penerbit dan Tahun Terbit: KPG, April 2014
Jumlah Halaman: 240
Genre: Fiksi
Di
 sebuah setting yang sangat dystopian, di masa depan pada tahun 21xx, 
wabah bunuh diri melanda negeri R. UU Anti Bunuh Diri yang disahkan 
kemudian ternyata tidak berefek apa-apa. Angka bunuh diri terus melejit 
serta menjadi penyebab kematian terganas mengalahkan genosida, HIV, dan 
penyakit kardiovaskular. Bunuh diri menjadi gaya hidup dan filosofi 
tentang bagaimana cara mati semakin berkemabang. Perdana Menteri negeri 
R, yang putus asa memikirkan cara menanggulangi wabah ini harus kecele 
setelah putrinya sendiri ikut serta dalam bunuh diri masal. Hingga 
kemudian, ia sendiri menimbang-nimbang untuk mengakhiri saja hidupnya.
"Undang-undang
 Anti Bunuh Diri" adalah cerpen pertama dari 12 cerpen dalam Aksara 
Amananunna karya Rio Johan. Buku kumpulan cerpen yang terbit 2014 lalu 
ini berisi kisah-kisah yang cukup mencengangkan dan beberapa bahkan 
membuat begidik ngeri. Ada yang ber-setting di masa depan, ada yang 
ber-setting di masa lalu.
Salah satu cerpen ber-setting masa
 depan lagi dalam buku ini ada di cerpen kelima, tentang pemuda di 
Ginekopolis pada tahun 8475 yang disusupkan ke Ginekodistrik, kawasan 
mewah yang dikuasai kaum perempuan untuk membunuh tokoh kunci yang 
ternyata ibunya sendiri.
Sementara itu, cerpen kedua 
bercerita tentang tokoh 'aku' yang terjebak dalam komunitas sadomasokis.
 Awalnya tokoh tersebut hanya ingin mencari uang semata, namun lambat 
laun, ia tak tahan dengan pekerjaannya yang memuakkan itu. Ketika kabur 
dari komunitas, ia mendapati dirinya ditangkap dan dibawa kembali ke 
kehidupan yang ditinggalkannya. Ia seperti tak punya kuasa untuk lari.
Cerpen
 ketiga, mengisahkan tentang Amanunna di zaman Sumeria yang tak mengenal
 aksara dan bahasa, kemudian menciptakan aksaranya sendiri serta 
berusaha mewariskannya pada keturunannya. Sayang sekali, aksara tersebut
 tak berumur panjang, dan tak seperti yang dicita-citakan, anak yang 
digadang-gadang menjadi penerus pembawa aksara tersebut malah jatuh 
cinta dengan perempuan dengan bahasa berbeda lalu melupakan bahasa orang
 tuanya.
Dalam cerpen Kevalier d'Orange yang bersetting 
Perancis abad pertengahan, tokoh utamanya harus menghadapi sistem 
masyarakat yang begitu absurd dan tak henti mengusik perihal jenis 
kelaminnya. Masyarakat memaksanya menjadi lelaki kemudian menjadi 
perempuan, hanya berdasar asumsi-asumsi yang tidak jelas belaka. Ketika 
akhirnya Kevalier d'Orange ini mati demi harga dirinya, baru terbukalah 
identitasmya yang sebenarnya.
Cerpen keenam bercerita tentang
 Mubi, yang bermimpi menjadi Tuhan dan mengatur alam semesta dari dalam 
mimpi. Sementara cerpen ketujuh berkisah tentang buah pisang dari daerah
 tropis, dan perjalanannya sampai bisa tumbuh di atas tanah bersalju. 
Riwayat
 Benjamin, cerpen ketuju dalam buku ini mengisahkan perjalanan seorang 
pemuda yatim piatu yang menjadi pemuas seks bangsawan pengadopsinya pada
 tahun 1500-an di Eropa. Ia kemudian mati gantung diri setelah tuannya 
menemukan pemuda baru sebagai penggantinya dan ia sendiri terserang 
penyakit kelamin.
Pada cerpen kesembilan, Rio Johan 
menceritakan bullying yang diterima Mikhail sebagai salah seorang 
penghuni asrama di antara puluhan anak lainnya. 
Di cerpen 
kesepuluh, ada kisah tentang perekrutan pemuda di pusat kebugaran untuk 
diikutkan dalam gulat seksual yang cukup membuat pembaca bergidik ngeri. 
Cerpen kesebelas mengisahkan tentang kesaksian seseorang perihal hubungan Hitler, tentara Nazi, dan alien.
Sementara
 cerpen terakhir berkisah tentang perempuan yang terpaksa menyamar 
menjadi laki-laki supaya bisa bertahan hidup. Namun, perjalanan itu tak 
berakhir mulus. Ia menghadapi takdir mengerikan, yang membuatnya harus 
dijagal habis-habisan di tengah kota.
Kedua belas cerita ini 
memang mengisahkan tentang tokoh dan setting yang berbeda-beda, tokoh 
yang menghadapi hal-hal besar, mungkin jauh lebih besar dari apa yang 
bisa mereka hadapi.
(review ini sudah pernah dimuat di perempuanmembaca.com ) 
 

 
				 
						 
 
 
 
No comments:
Post a Comment