Follow Us @soratemplates

Monday, November 12, 2018

Obituari: Abah Qamaruzzaman


Beberapa menit yang lalu, hp berdering; terbaca sebuah SMS yang mengabarkan kepulangan Kyai Qamaruzzaman Al Husaini, guru kami, ke hadirat Allah. Tangis pecah. Ada sesak dan sakit di dalam dada. Jantung seperti diremas-remas perih. Sedih dan sakit sekali. Terbayang wajah Abah yang tersenyum dan teduh. Dan tangis itupun kembali pecah. 



Saya jarang menangis saat mendengar berita kematian; tapi kali ini, mendengar Abah berpulang, rasanya sedih sekali. Sedih yang membikin sakit. Rasa-rasanya, masih susah percaya dan tidak terima, mengingat betapa rindu dan inginnya kembali duduk di hadapan beliau, mencium tangan beliau, dan mendengarkan cerita beliau tentang diri saya sendiri yang justru Abah lebih pirso dari pada saya yang mengalaminya. Tentu saja, pada suatu hari nanti, kamipun akan menyusul Abah. Semoga nanti, Allah mengumpulkan kami semua bersama dengan Abah dan para Kekasih-Nya. 


Ada sebuah tulisan dari Tri Wibowo B.S (yang biasa kami panggil dengan sebutan Mbah Kanyut) tentang guru kami, Abah Qamar. Tulisan ini diambil dari sini dan saya tuliskan ulang dalam suasana duka ini. Semoga dengan di-share nya tulisan ini, bisa bermanfaat bagi yang ingin mengenal guru kami, Abah Qamaruzzaman.

"Sempu, Klapa Endep, Serang, sekitar tahun 1920-an/1930-an, lahir bayi prematur putra pasangan Nyi Ratu Lam’ah dan Tubagus Muhammad As’ad. Kelahirannya diiringi oleh beberapa kyai sepuh yang sederhana, dipimpin oleh almarhum Kyai Tubagus Halimi, Pamindangan – Allahuyarham. Kepada beliaulah bayi itu dimintakan nama. Kyai Halimi menggendong sang bayi, namun entah mengapa beliau hanya diam saja. Beliau mengaku tak berani memberikan nama kepadanya – maka ditanyakanlah kepada para kyai yang lain. Tetapi jawaban mereka sama. Pada saat semua diam dan kebingungan, mendadak di antara hadirin, bernama Nyi Ratu Fatmah mendapat bisikan ruhani dari kakeknya, yang juga sekaligus kakek dari sang bayi, Kyai Asnawi Caringin, Banten. Pesannya jelas. Berilah nama bayi itu: ”Qamaruzzaman al-Husaini.” Berdasar silsilah keluarga, bayi ini adalah keturunan ke 26 dari Kanjeng Rasulullah.

Tak lama sesudah Kyai Qamaruzzaman lahir, kedua orang tuanya meninggal. Karena itu beliau diasuh oleh neneknya, Nyi Ratu Alfiyah, seorang wanita saleh, yang mendidiknya membaca al-Qur’an. Kyai Qamarruzzaman kecil tidak diperkenankan bermain seenaknya, tetapi ”dikurung” dalam kamar, hanya berteman al-Qur’an. Pada usia 13 tahun beliau telah hafal 30 juz al-Qur’an. Selanjutnya beliau belajarqira’at sab’ah kepada Kyai Tubagus Sayuti (murid dari Kyai Muhammad Sholeh Ma’mun, putra dari Kyai Haji Tubagus Ma’mun, seorang qira’at masyhur pada zamannya). Belakangan, pada masa remajanya beliau kerap diundang menjadi pembaca al-Qur’an bersama Kyai Tubagus Ma’mun Kasunyatan dan Tubagus Kuncung Banten (seorang sesepuh di Banten lama). Suara Kyai Qamaruzzaman yang indah menjadikannya terkenal - dan mereka bertiga berkeliling ke berbagai kota, dari Padang sampai Brebes.

Selain belajar mengaji sejak kecil, beliau juga belajar banyak ilmu agama kepada para kyai sepuh: Kyai Tohir di Pelamunan, Kyai Halimi Pamindangan, Kyai Mahfudz, Tipar, Sukabumi, Ajengan Kholil Ciapus, Bogor, Kyai Suja’i, Kyai Suhaimi Kampung Sawah, dan sebagainya. Kyai Tubagus Halimi secara khusus memperhatikan Qamaruzzaman muda, dan sering melarang santri-santri lainnya bertingkah sembarangan di hadapan Qamaruzzaman muda – dengan alasan yang sulit dikisahkan di sini. Yang jelas, Kyai Halimi sering mengeluarkan pernyataan ’khawariq” mengenai kyai Qamaruzzaman. Dalam mendalami qiroat dan tafsir pun kyai Qamaruzzaman sangat serius: Menurut keterangan, sebelum mendalami ilmu membaca dan tafsir Qur’an, Kyai Qamaruzzaman menyilet lidahnya untuk mengeluarkan darah kotor. Beliau juga mampu mengkhatamkan al-Qur’an dalam waktu semalam.

Salah satu keunikan lain dari cara belajar Kyai Qamaruzzaman tampak ketika beliau mengaji KitabFathul Mu’in kepada K.H. Suhaimi. Dengan telaten Abah Qamaruzzaman merekam semua pelajaran dalam kaset tape. Secara keseluruhan Abah Qamaruzzaman menghabiskan sekitar 600 buah kaset tape recorder. Selain itu, beliau juga merekam pelajaran Kitab al-Fiyah dari K.H. Sanja, dan menghabiskan sekitar 40 buah kaset (sebagian dari 640-an kaset itu sekarang masih tersimpan di almarinya). Proses perekaman berlangsung lebih dari satu tahun. Harga satu kaset pada saat itu sekitar Rp. 350,-. Santri yang ada di pesantren pada waktu itu berjumlah sekitar 370 orang. Salah satu pesan yang kelak sering disampaikan oleh Kyai Qamaruzzaman kepada santri dan tamu-tamunya adalah agar kita belajar dan berkhidmat kepada guru dengan totalitas yang paripurna. Terkadang beliau dawuh yang kira-kira artinya seperti ini: ”Seberapa besar perhatian dan kasih sayangmu pada guru, sebesar itu pula ilmu dan berkah yang kau dapatkan.” Jalan ruhani Kyai Qamaruzzaman adalah jalan khidmat dan cinta, yang dilandasi pengetahuan syariah. Seperti dikatakannya: ”Syariat dulu yang betul, nanti hakikat akan menyusul,” atau ”Cinta murid kepada guru mesti dibuktikan, sebagaimana cinta Wali Allah kepada Allah juga mesti dibuktikan”, yakni dengan kesabaran menanggung banyak ujian dan cobaan.

Ada kisah menarik tentang ajaran khidmat ini. Saat belajar kepada Ajengan Kholil Ciapus pada paruh pertama abad 20, suatu saat Ajengan berkenan berkunjung ke kediaman Kyai Qamaruzzaman di Serang. Saat hendak pulang, Kyai Qamaruzzaman ingin memberinya oleh-oleh, namun belum sempat menyiapkan. Maka ditawarkanlah semua ambal (karpet) yang ada di rumahnya kepada sang ajengan. Namun Ajengan Kholil menunjuk ke mobil milik Kyai Qamaruzzaman. Maka Abah Qamaruzzaman mempersilahkan Ajengan Kholil untuk memilih sendiri mobil mana yang hendak dibawa pulang. Saat mondok di tempat Ajengan, Kyai Qamaruzzaman setiap hari menyisihkan uang sakunya. Pada suatu saat Ajengan Kholil akan hajatan tetapi tak punya uang. Maka pada saat itulah Abah Qamaruzzaman menyerahkan semua simpanannya kepada sang guru. Karena khidmatnya ini, maka Ajengan Kholil (yang merupakan murid dari wali Allah masyhur Mama Bakri/ Ajengan Plered) mengijazahkan semua ilmunya kepada Kyai Qamaruzzaman.

Sebagaimana lazimnya kyai yang menekuni dunia tarekat dan tasawuf, Kyai Qamaruzzaman juga menjalankan khalwat, yakni di daerah Guha, sebuah kawasan hutan di kaki Gunung Karang, Banten, selama dua tahun. Ada masa-masa ketika beliau mengalami kesulitan secara sosial lantaran mengalami jadzab atau menampakkan khawariq al-adah. Tentu saja tak semua kisah karamah ini bisa dikabarkan, karenanya disini terpaksa kami sengaja membatasi diri untuk tidak banyak mengisahkan sejarah hidupnya yang berkaitan dengan kisah khawariq al-adah ini. Ada banyak cerita lisan dari saksi yang masih hidup, namun ada satu yang terkenal:

Kyai Qamaruzzaman terkenal karena saat membaca al-Qur’an, orang-orang yang mendengarnya sering ”terhipnotis” dan memasuki keadaan, yang dalam istilah psikologis disebut ”ekstase.” Pernah suatu ketika beliau membaca ayat-ayat al-Qur’an di masjid, dan akibatnya penduduk yang ada di sekitar masjid, dan semua orang yang mendengar bacaannya, semuanya keluar rumah dan duduk diam di pinggir jalan, seperti terbengong-bengong. Ketika menjadi imam shalat Jum’at di sebuah masjid di Bogor, shalat Jumatnya bubar, lantaran makmumnya seperti tersirap dan tak membaca al-Fatihah, bahkan sebagian besar menangis tersedu-sedu. Mungkin berikut ini kisah yang paling berkesan dan tak terlupakan bagi Abah Qamaruzzaman sendiri. Bertempat di desa Manggu Padarincang Serang. Abah Qamaruzzaman diundang oleh Kepala Desa Padarincang (Sawiri namanya, Alm.) untuk menghadiri acara resepsi pernikahan salah satu putri Lurah Sawiri. Dia meminta Abah Qamaruzzaman untuk menyumbangkan suaranya dan membacakan ayat suci al-Qur'an (surat ar-Rahman) sebagai tamu kehormatan. Pesta itu dihadiri banyak ulama, termasuk KH. Suhaimi Kampung Sawah Padarincang). Awalnya beliau enggan sebab takut terjadi sesuatu yang mengundang fitnah. Tetapi tuan rumah bersikeras. Dan setelah Abah Qamaruzzaman membaca, baru tiga ayat (yakni Surat ar-Rahman), terjadilah apa yang menjadi sebab kekhawatiran. Para pendengar sudah hiruk pikuk dengan suara tangisan. Lurah Sawiri sendiri saling berangkulan dengan istrinya, suasana tidak terkontrol. Orang-orang dari dalam rumah berhamburan keluar menangis bersama hadirin yang ada di luar. Dalam kegemparan ini terselip kejadian yang lucu – yakni Ibu Junah, seorang pimpinan juru masak, membawa pasukan dapurnya ikut berhamburan keluar, sementara di tangannya membawa kayu bakar yang sedang membara tanpa disadarinya. Akhirnya Ki Suhaimi sendirilah yang menghentikan lantunan suara Abah. Berawal dari peristiwa tersebut K.H.Suhaimi sebagai ulama ahli Fiqh mengeluaran fatwa unik khusus untuk Kyai Qamaruzzaman: Mengharamkan Abah untuk menjadi imam dan ma'mum dalam shalat berjamaah. Sebagai murid, beliau patuh, namun tentu saja masih ada orang yang nekat mengundang beliau menjadi imam atau membaca Qur’an di suatu acara. Agar punya alasan kuat untuk menolak mereka, maka Kyai Qamaruzzaman memutuskan untuk mencabut semua giginya yang masih utuh, sampai ompong, sehingga bacaannya tak fasih lagi. Selain itu, sebagian ulama ahl-kasyaf melarang Kyai Qamaruzzaman untuk meludah sembarangan. Pada masa dulu, adalah lazim seorang kyai memiliki “pangidon,” yakni tempat khusus untuk meludah. Namun Kyai Qamaruzzaman tak memilikinya, sebab sudah puluhan tahun beliau tidak pernah lagi meludah.

Sejak tahun paruh pertama 1960-an Kyai Qamaruzzaman mulai menampakkan hal-hal yang menyimpang dari hukum alam, dan karenanya sempat terkena fitnah, yang menyebabkan pihak pemerintah, dalam hal ini jajaran Muspika, turun tangan menyelesaikannya, karena kegemparannya sudah berpotensi menimbulkan kekisruhan.

Pada pertengahan 1970-an beliau mendirikan pesantren Bahrul Ulum di Padarincang. Pada masa-masa awal di pesantren ini Kyai Qamaruzzaman harus menghadapi banyak gangguan dari beberapa jawara yang tidak senang dengan kehadiran Kyai Qamaruzzaman. Setelah nama Kyai Qamaruzzaman makin terkenal, dan santrinya bertambah banyak, gangguan juga bertambah. Karena sering diganggu, akhirnya Kyai Qamaruzzaman mengundang tokoh jawara yang paling sakti dan disegani di seluruh Padarincang, dan berhasil menundukkannya. Sejak itu gangguan tak pernah lagi datang. Sejak 1972 dan seterusnya kehidupan Kyai Qamaruzzaman relatif tenang. Beliau selalu mengajarkan penekanan pada syariah, dan kesabaran, dalam perjalanan menuju Tuhan. Sering beliau mewanti-wanti agar orang tidak mengamalkan suatu wirid sembarangan, karena akibatnya bisa fatal. Beberapa santrinya pernah merasakan hal ini. Misalnya, santri bernama Ki Samhudi, pernah”heng” otaknya karena tak kuat lantaran terlalu banyak mewirid yang aneh-aneh. Tak jarang orang datang membawa suatu ijazah amalan/wirid dan diserahkan kepada Kyai Qamaruzzaman untuk diverifikasi. Tak jarang beliau melarang orang yang ingin mengamalkan sesuatu – bahkan pernah ada orang membawa catatan amalan untuk diverifikasi kepada beliau. Setelah membacanya, beliau langsung merobek-robek catatan itu karena menurut beliau sangat berbahaya bagi orang yang bersangkutan lantaran orang itu belum memiliki kesiapan mental, ruhani dan dasar syariatnya lemah. Beliau selalu menekankan kesabaran dalam perjalanan di jalan Tuhan. Tak boleh melompat-lompat atau terburu nafsu ingin cepat makrifat.

Pada 1982 santri-santrinya mulai berkurang. Namun pada periode ini beliau banyak menjalin persahabatan dengan beberapa kyai masyhur, termasuk kyai besar Abuya Dimyati Cidahu. Dua kyai ini bersahabat akrab dan biasa saling memuji – dalam beberapa kesempatan Kyai Qamaruzzaman menyebut Abuya Dimyati sebagai Qutb. Sebaliknya, almarhum Abuya Dimyati berpesan kepada santrinya bahwa ada ”mustika” yang terpendam di Padarincang. Sahabat lainnya adalah Habib Muhammad al-Atthas, yang memberi Kyai Qamaruzzaman julukan ”Syaikh as-Sayyid Qamarullah Badrulmukminin Musyawarat al-Hukuma.”




Pada tahun ini pula Kyai Qamaruzzaman mulai terkena sakit mag. Belakangan kegiatan Kyai Qamaruzzaman sehari-hari sudah banyak berkurang lantaran sudah sepuh dan kesehatan makin menurun. Selain menderita mag, beliau juga lemah paru-parunya, sehingga tidak bisa berjalan kaki jauh-jauh. Beliau hanya menerima tamu-tamu yang datang dengan berbagai keperluan, baik itu keperluan lahiriah maupun batiniah. Sejak awal tahun 2000 kondisi kesehatan Abah Qamaruzzaman semakin lemah, dan sehari-hari lebih banyak di kamar dan madrasah di sebelah kamarnya. Namun boleh dikatakan hampir lebih dari 10 tahun beliau sudah tak lagi pernah tidur sebagaimana orang tidur. Penampilannya kini sangat sederhana. Bajunya sederhana. Tangannya yang putih, kecil, begitu lembut, selembut kapas, seolah-olah tulangnya juga telah melunak. Lebih banyak dikamar atau duduk di tempat yang itu-itu saja selama lebih dari satu dasawarsa, meminum kopi, merokok, dan sesekali mengaji atau memberi pelajaran. Di tempat itu juga beliau menerima sedikit tamu dengan berbagai keperluan. Pengajaran santri-santrinya kini lebih banyak dilakukan oleh salah seorang putranya, Tubagus Habibillah."

No comments:

Post a Comment