Beberapa
 menit yang lalu, hp berdering; terbaca sebuah SMS yang mengabarkan 
kepulangan Kyai Qamaruzzaman Al Husaini, guru kami, ke hadirat Allah. 
Tangis pecah. Ada sesak dan sakit di dalam dada. Jantung seperti 
diremas-remas perih. Sedih dan sakit sekali. Terbayang wajah Abah yang 
tersenyum dan teduh. Dan tangis itupun kembali pecah. 
Saya
 jarang menangis saat mendengar berita kematian; tapi kali ini, 
mendengar Abah berpulang, rasanya sedih sekali. Sedih yang membikin 
sakit. Rasa-rasanya, masih susah percaya dan tidak terima, mengingat 
betapa rindu dan inginnya kembali duduk di hadapan beliau, mencium 
tangan beliau, dan mendengarkan cerita beliau tentang diri saya sendiri 
yang justru Abah lebih pirso dari pada saya yang mengalaminya. 
Tentu saja, pada suatu hari nanti, kamipun akan menyusul Abah. Semoga 
nanti, Allah mengumpulkan kami semua bersama dengan Abah dan para 
Kekasih-Nya. 
Ada
 sebuah tulisan dari Tri Wibowo B.S (yang biasa kami panggil dengan 
sebutan Mbah Kanyut) tentang guru kami, Abah Qamar. Tulisan ini diambil 
dari sini  dan saya tuliskan ulang dalam suasana duka ini. Semoga dengan di-share nya tulisan ini, bisa bermanfaat bagi yang ingin mengenal guru kami, Abah Qamaruzzaman.
"Sempu,
 Klapa Endep, Serang, sekitar tahun 1920-an/1930-an, lahir bayi prematur
 putra pasangan Nyi Ratu Lam’ah dan Tubagus Muhammad As’ad. Kelahirannya
 diiringi oleh beberapa kyai sepuh yang sederhana, dipimpin oleh 
almarhum Kyai Tubagus Halimi, Pamindangan – Allahuyarham. Kepada 
beliaulah bayi itu dimintakan nama. Kyai Halimi menggendong sang bayi, 
namun entah mengapa beliau hanya diam saja. Beliau mengaku tak berani 
memberikan nama kepadanya – maka ditanyakanlah kepada para kyai yang 
lain. Tetapi jawaban mereka sama. Pada saat semua diam dan kebingungan, 
mendadak di antara hadirin, bernama Nyi Ratu Fatmah mendapat bisikan 
ruhani dari kakeknya, yang juga sekaligus kakek dari sang bayi, Kyai 
Asnawi Caringin, Banten. Pesannya jelas. Berilah nama bayi itu: 
”Qamaruzzaman al-Husaini.” Berdasar silsilah keluarga, bayi ini adalah 
keturunan ke 26 dari Kanjeng Rasulullah.
Tak
 lama sesudah Kyai Qamaruzzaman lahir, kedua orang tuanya meninggal. 
Karena itu beliau diasuh oleh neneknya, Nyi Ratu Alfiyah, seorang wanita
 saleh, yang mendidiknya membaca al-Qur’an. Kyai Qamarruzzaman kecil 
tidak diperkenankan bermain seenaknya, tetapi ”dikurung” dalam kamar, 
hanya berteman al-Qur’an. Pada usia 13 tahun beliau telah hafal 30 juz 
al-Qur’an. Selanjutnya beliau belajarqira’at sab’ah kepada Kyai Tubagus 
Sayuti (murid dari Kyai Muhammad Sholeh Ma’mun, putra dari Kyai Haji 
Tubagus Ma’mun, seorang qira’at masyhur pada zamannya). Belakangan, pada
 masa remajanya beliau kerap diundang menjadi pembaca al-Qur’an bersama 
Kyai Tubagus Ma’mun Kasunyatan dan Tubagus Kuncung Banten (seorang 
sesepuh di Banten lama). Suara Kyai Qamaruzzaman yang indah 
menjadikannya terkenal  - dan mereka bertiga berkeliling ke berbagai 
kota, dari Padang sampai Brebes.
Selain
 belajar mengaji sejak kecil, beliau juga belajar banyak ilmu agama 
kepada para kyai sepuh: Kyai Tohir di Pelamunan, Kyai Halimi 
Pamindangan, Kyai Mahfudz, Tipar, Sukabumi, Ajengan Kholil Ciapus, 
Bogor, Kyai Suja’i, Kyai Suhaimi Kampung Sawah, dan sebagainya. Kyai 
Tubagus Halimi secara khusus memperhatikan Qamaruzzaman muda, dan sering
 melarang santri-santri lainnya bertingkah sembarangan di hadapan 
Qamaruzzaman muda – dengan alasan yang sulit dikisahkan di sini. Yang 
jelas, Kyai Halimi sering mengeluarkan pernyataan ’khawariq” mengenai 
kyai Qamaruzzaman. Dalam mendalami qiroat dan tafsir pun kyai 
Qamaruzzaman sangat serius: Menurut keterangan, sebelum mendalami ilmu 
membaca dan tafsir Qur’an, Kyai Qamaruzzaman menyilet lidahnya untuk 
mengeluarkan darah kotor. Beliau juga mampu mengkhatamkan al-Qur’an 
dalam waktu semalam.
Salah
 satu keunikan lain dari cara belajar Kyai Qamaruzzaman tampak ketika 
beliau mengaji KitabFathul Mu’in kepada K.H. Suhaimi. Dengan telaten 
Abah Qamaruzzaman merekam semua pelajaran dalam kaset tape. Secara 
keseluruhan Abah Qamaruzzaman menghabiskan sekitar 600 buah kaset tape 
recorder. Selain itu, beliau juga merekam pelajaran Kitab al-Fiyah dari 
K.H. Sanja, dan menghabiskan sekitar 40 buah kaset (sebagian dari 640-an
 kaset itu sekarang masih tersimpan di almarinya). Proses perekaman 
berlangsung lebih dari satu tahun. Harga satu kaset pada saat itu 
sekitar Rp. 350,-. Santri yang ada di pesantren pada waktu itu berjumlah
 sekitar 370 orang. Salah satu pesan yang kelak sering disampaikan oleh 
Kyai Qamaruzzaman kepada santri dan tamu-tamunya adalah agar kita 
belajar dan berkhidmat kepada guru dengan totalitas yang paripurna. 
Terkadang beliau dawuh yang kira-kira artinya seperti ini: ”Seberapa 
besar perhatian dan kasih sayangmu pada guru, sebesar itu pula ilmu dan 
berkah yang kau dapatkan.” Jalan ruhani Kyai Qamaruzzaman adalah jalan 
khidmat dan cinta, yang dilandasi pengetahuan syariah. Seperti 
dikatakannya: ”Syariat dulu yang betul, nanti hakikat akan menyusul,” 
atau ”Cinta murid kepada guru mesti dibuktikan, sebagaimana cinta Wali 
Allah kepada Allah juga mesti dibuktikan”, yakni dengan kesabaran 
menanggung banyak ujian dan cobaan.
Ada
 kisah menarik tentang ajaran khidmat ini. Saat belajar kepada Ajengan 
Kholil Ciapus pada paruh pertama abad 20, suatu saat Ajengan berkenan 
berkunjung ke kediaman Kyai Qamaruzzaman di Serang. Saat hendak pulang, 
Kyai Qamaruzzaman ingin memberinya oleh-oleh, namun belum sempat 
menyiapkan. Maka ditawarkanlah semua ambal (karpet) yang ada di rumahnya
 kepada sang ajengan. Namun Ajengan Kholil menunjuk ke mobil milik Kyai 
Qamaruzzaman. Maka Abah Qamaruzzaman mempersilahkan Ajengan Kholil untuk
 memilih sendiri mobil mana yang hendak dibawa pulang. Saat mondok di 
tempat Ajengan, Kyai Qamaruzzaman setiap hari menyisihkan uang sakunya. 
Pada suatu saat Ajengan Kholil akan hajatan tetapi tak punya uang. Maka 
pada saat itulah Abah Qamaruzzaman menyerahkan semua simpanannya kepada 
sang guru. Karena khidmatnya ini, maka Ajengan Kholil (yang merupakan 
murid dari wali Allah masyhur Mama Bakri/ Ajengan Plered) mengijazahkan 
semua ilmunya kepada Kyai Qamaruzzaman.
Sebagaimana
 lazimnya kyai yang menekuni dunia tarekat dan tasawuf, Kyai 
Qamaruzzaman juga menjalankan khalwat, yakni di daerah Guha, sebuah 
kawasan hutan di kaki Gunung Karang, Banten, selama dua tahun. Ada 
masa-masa ketika beliau mengalami kesulitan secara sosial lantaran 
mengalami jadzab atau menampakkan khawariq al-adah. Tentu saja tak semua
 kisah karamah ini bisa dikabarkan, karenanya disini terpaksa kami 
sengaja membatasi diri untuk tidak banyak mengisahkan sejarah hidupnya 
yang berkaitan dengan kisah khawariq al-adah ini. Ada banyak cerita 
lisan dari saksi yang masih hidup, namun ada satu yang terkenal:
Kyai
 Qamaruzzaman terkenal karena saat membaca al-Qur’an, orang-orang yang 
mendengarnya sering ”terhipnotis” dan memasuki keadaan, yang dalam 
istilah psikologis disebut ”ekstase.” Pernah suatu ketika beliau membaca
 ayat-ayat al-Qur’an di masjid, dan akibatnya penduduk yang ada di 
sekitar masjid, dan semua orang yang mendengar bacaannya, semuanya 
keluar rumah dan duduk diam di pinggir jalan, seperti 
terbengong-bengong. Ketika menjadi imam shalat Jum’at di sebuah masjid 
di Bogor, shalat Jumatnya bubar, lantaran makmumnya seperti tersirap dan
 tak membaca al-Fatihah, bahkan sebagian besar menangis tersedu-sedu. 
Mungkin berikut ini kisah yang paling berkesan dan tak terlupakan bagi 
Abah Qamaruzzaman sendiri. Bertempat di desa Manggu Padarincang Serang. 
Abah Qamaruzzaman diundang oleh Kepala Desa Padarincang (Sawiri namanya,
 Alm.) untuk menghadiri acara resepsi pernikahan salah satu putri Lurah 
Sawiri. Dia meminta Abah Qamaruzzaman untuk menyumbangkan suaranya  dan 
membacakan ayat suci al-Qur'an (surat ar-Rahman) sebagai tamu 
kehormatan. Pesta itu dihadiri banyak ulama, termasuk KH. Suhaimi 
Kampung Sawah Padarincang). Awalnya beliau enggan sebab takut terjadi 
sesuatu yang  mengundang fitnah. Tetapi tuan rumah bersikeras. Dan 
setelah Abah Qamaruzzaman membaca, baru tiga ayat (yakni Surat 
ar-Rahman), terjadilah apa yang menjadi sebab kekhawatiran. Para 
pendengar sudah hiruk pikuk dengan suara tangisan. Lurah Sawiri sendiri 
saling berangkulan dengan istrinya, suasana tidak terkontrol. 
Orang-orang dari dalam rumah berhamburan keluar menangis bersama hadirin
 yang ada di luar. Dalam kegemparan ini terselip kejadian yang lucu – 
yakni Ibu Junah, seorang pimpinan juru masak, membawa pasukan dapurnya 
ikut berhamburan keluar, sementara di tangannya membawa kayu bakar yang 
sedang membara tanpa disadarinya. Akhirnya Ki Suhaimi sendirilah yang 
menghentikan lantunan suara Abah. Berawal dari peristiwa tersebut 
K.H.Suhaimi sebagai ulama ahli Fiqh mengeluaran fatwa unik khusus untuk 
Kyai Qamaruzzaman: Mengharamkan Abah untuk menjadi imam dan ma'mum dalam
 shalat berjamaah. Sebagai murid, beliau patuh, namun tentu saja masih 
ada orang yang nekat mengundang beliau menjadi imam atau membaca Qur’an 
di suatu acara. Agar punya alasan kuat untuk menolak mereka, maka Kyai 
Qamaruzzaman memutuskan untuk mencabut semua giginya yang masih utuh, 
sampai ompong, sehingga bacaannya tak fasih lagi. Selain itu, sebagian 
ulama ahl-kasyaf melarang Kyai Qamaruzzaman untuk meludah sembarangan. 
Pada masa dulu, adalah lazim seorang kyai memiliki “pangidon,” yakni 
tempat khusus untuk meludah. Namun Kyai Qamaruzzaman tak memilikinya, 
sebab sudah puluhan tahun beliau tidak pernah lagi meludah.
Sejak
 tahun paruh pertama 1960-an Kyai Qamaruzzaman mulai menampakkan hal-hal
 yang menyimpang dari hukum alam, dan karenanya sempat terkena fitnah, 
yang menyebabkan pihak pemerintah, dalam hal ini jajaran Muspika, turun 
tangan menyelesaikannya, karena kegemparannya sudah berpotensi 
menimbulkan kekisruhan.
Pada
 pertengahan 1970-an beliau mendirikan pesantren Bahrul Ulum di 
Padarincang. Pada masa-masa awal di pesantren ini Kyai Qamaruzzaman 
harus menghadapi banyak gangguan dari beberapa jawara yang tidak senang 
dengan kehadiran Kyai Qamaruzzaman. Setelah nama Kyai Qamaruzzaman makin
 terkenal, dan santrinya bertambah banyak, gangguan juga bertambah. 
Karena sering diganggu, akhirnya Kyai Qamaruzzaman mengundang tokoh 
jawara yang paling sakti dan disegani di seluruh Padarincang, dan 
berhasil menundukkannya. Sejak itu gangguan tak pernah lagi datang.  
Sejak 1972 dan seterusnya kehidupan Kyai Qamaruzzaman relatif tenang. 
Beliau selalu mengajarkan penekanan pada syariah, dan kesabaran, dalam 
perjalanan menuju Tuhan. Sering beliau mewanti-wanti agar orang tidak 
mengamalkan suatu wirid sembarangan, karena akibatnya bisa fatal. 
Beberapa santrinya pernah merasakan hal ini. Misalnya, santri bernama Ki
 Samhudi, pernah”heng” otaknya karena tak kuat lantaran terlalu banyak 
mewirid yang aneh-aneh. Tak jarang orang datang membawa suatu ijazah 
amalan/wirid dan diserahkan kepada Kyai Qamaruzzaman untuk diverifikasi.
 Tak jarang beliau melarang orang yang ingin mengamalkan sesuatu – 
bahkan pernah ada orang membawa catatan amalan untuk diverifikasi kepada
 beliau. Setelah membacanya, beliau langsung merobek-robek catatan itu 
karena menurut beliau sangat berbahaya bagi orang yang bersangkutan 
lantaran orang itu belum memiliki kesiapan mental, ruhani dan dasar 
syariatnya lemah. Beliau selalu menekankan kesabaran dalam perjalanan di
 jalan Tuhan. Tak boleh melompat-lompat atau terburu nafsu ingin cepat 
makrifat.
Pada
 1982 santri-santrinya mulai berkurang. Namun pada periode ini beliau 
banyak menjalin persahabatan dengan beberapa kyai masyhur, termasuk kyai
 besar Abuya Dimyati Cidahu. Dua kyai ini bersahabat akrab dan biasa 
saling memuji – dalam beberapa kesempatan Kyai Qamaruzzaman menyebut 
Abuya Dimyati sebagai Qutb. Sebaliknya, almarhum Abuya Dimyati berpesan 
kepada santrinya bahwa ada ”mustika” yang terpendam di Padarincang. 
Sahabat lainnya adalah Habib Muhammad al-Atthas, yang memberi Kyai 
Qamaruzzaman julukan ”Syaikh as-Sayyid Qamarullah Badrulmukminin 
Musyawarat al-Hukuma.”
Pada
 tahun ini pula Kyai Qamaruzzaman mulai terkena sakit mag. Belakangan 
kegiatan Kyai Qamaruzzaman sehari-hari sudah banyak berkurang lantaran 
sudah sepuh dan kesehatan makin menurun. Selain menderita mag, beliau 
juga lemah paru-parunya, sehingga tidak bisa berjalan kaki jauh-jauh. 
Beliau hanya menerima tamu-tamu yang datang dengan berbagai keperluan, 
baik itu keperluan lahiriah maupun batiniah. Sejak awal tahun 2000 
kondisi kesehatan Abah Qamaruzzaman semakin lemah, dan sehari-hari lebih
 banyak di kamar dan madrasah di sebelah kamarnya. Namun boleh dikatakan
 hampir lebih dari 10 tahun beliau sudah tak lagi pernah tidur 
sebagaimana orang tidur. Penampilannya kini sangat sederhana. Bajunya 
sederhana. Tangannya yang putih, kecil, begitu lembut, selembut kapas, 
seolah-olah tulangnya juga telah melunak. Lebih banyak dikamar atau 
duduk di tempat yang itu-itu saja selama lebih dari satu dasawarsa, 
meminum kopi, merokok, dan sesekali mengaji atau memberi pelajaran. Di 
tempat itu juga beliau menerima sedikit tamu dengan berbagai keperluan. 
Pengajaran santri-santrinya kini lebih banyak dilakukan oleh salah 
seorang putranya, Tubagus Habibillah."
 

 
 
				 
						 
 
 
 
No comments:
Post a Comment