Hari Penghakiman
Matahari
 bersinar terik, membakar. Percikan dan jilatan cahaya yang menyilaukan 
menyapu seantero lapangan tempat api berkobar. Ada yang teramat kering 
dalam panas matahari siang ini; kering yang mencekik, kering yang marah,
 kering yang memberontak. Ia menyengat tanpa ampun, seolah tak bisa 
memprotes dengan suara apapun kecuali dengan panasnya yang semakin 
melahap segala kobaran api di tengah tanah lapang itu. Barangkali, 
matahari itu ingin sekali memadamkan api, tapi memadamkan berarti 
menyakiti mereka yang telah setengah melepuh kepanasan. Maka, ia 
memutuskan untuk menyengat panas, agar kepedihan itu segera selesai, 
agar penderitaan itu segera usai.
Di
 langit biru itu, tak ada burung-burung yang dengan paruhnya membawa 
kerikil-kerikil atau sulfur panas dari neraka, sebab ini bukan hukuman 
dari neraka. Gustiyala berdiri di sana, bersama empat orang saudaranya, 
dikelilingi api. Tiada jerit, tiada perlawanan. Semua sudah menyerah 
untuk sekadar meminta pengampunan. Tiada lagi belas kasih di diri 
hakim-hakim yang mengaku menegakkan kebenaran Tuhan itu. Mereka 
nampaknya merasa menjelma Tuhan itu sendiri, tanpa mengadopsi sifat 
kasih yang menyatu dalam nama-Nya.
Samar,
 kudengar suara Gustiyala dalam kepalaku: “Manusia menghukum manusia 
lainnya dengan nama Tuhan. Mereka mengkambinghitamkan Tuhan dan mengaku 
beriman.” Air mataku jatuh menitik. Aku memandang Gustiyala dan keempat 
saudaranya dari jauh. Negeri Bayang-bayang yang kecil ini menjelma api, 
menjelma neraka. 
Aku
 menatap Gustiyala yang kulitnya mulai melepuh. Sepersekian detik 
kemudian, Gustiyala menatapku, tepat di manik mata. Matanya tersenyum, 
sampai kemudian api menggosongkan wajahnya, menyisakan sepasang bulatan 
menghitam, tempat mata indahnya dulunya berada. Mendadak, tenggorokanku 
terasa kering dan sakit, mataku terasa perih. Aku menangis.
Tiga Belas Hari Sebelumnya
Gustiyala.
 Ada yang aneh dengan namanya itu, nama yang familiar: nama yang 
nampaknya pernah kudengar sebelumnya. Tetapi, dalam bayanganku, namanya 
ini tidak laki-laki dan tidak perempuan. Tentu, tentu saja nama itu 
tidak berjenis kelamin. Hanya saja, konstruksi sosial kadang kala 
menyepakati apa-apa yang menjadi nama laki-laki dan apa-apa yang menjadi
 nama perempuan dan menjadikan nama sebagai penanda jenis kelamin. Siapa
 yang akan melarang dan mengatur nama-nama? Kelaziman tentu saja, 
sebagai sesuatu yang sudah mencengkeram erat ke setiap kepala yang 
memiliki ingatan peradaban: pengaturan nama-nama berdasarkan kelaminnya.
Tapi,
 pemilik nama satu itu, Gustiyala, sejak awal aku tak bisa menebak jenis
 kelaminnya, meski semua orang di Negeri Bayang-bayang ini bilang kalau 
itu nama laki-laki. Bagiku sendiri, nama itu maskulin sekaligus feminin 
sebagaimana si pemilik nama, yang berdiri di hadapanku dengan wajah 
tersenyum, wajah yang laki-laki sekaligus wajah perempuan. Ah, bagaimana
 mungkin kita membedakan wajah laki-laki dan perempuan, sedang wajah 
juga tak berkelamin? Dia, si Gustiyala itu, mengulurkan tangannya, 
tangan yang lembut dengan kulit kekuningan ke arahku. Aku menyambutnya 
dengan gamang, namun senyum yang tak pernah berhenti meninggalkan wajah 
itu membuatku menyambut uluran tangannya. Suaranya pelan, lembut, 
“Gustiyala. Gustiyala namaku.”
Aku menelan ludah, suaraku seperti menolak meninggalkan pita suara. Dengan lirih aku menyebutkan namaku, singkat, “Baruna.”
“Ah
 Baruna,” Gustiyala menggumam. “Agnum su tubhyam varuna svadhavo... 
yuyam pata svastibhih sada nah” (Semoga pujaan ini berkesan pada-Mu, O 
Varuna yang bebas... lindungilah kami dengan berkahmu) Gustiyala 
menundukkan kepalanya sambil merapal doa. Doa yang purba, barangkali. 
Doa yang tak kukenali. 
Gustiyala
 lalu mengajakku berkeliling rumahnya. Aku mengedarkan pandangan dengan 
tercengang-cengang. Bahkan di belakang rumahnya ada pohon trembesi, ada 
pohon meranti merah, ada pohon jelutung, dan berbagai jenis pohon yang 
tidak pernah kulihat sebelumnya, karena barangkali di tanahku mereka 
telah lama punah. Di halaman belakang itu, aku juga melihat berbagai 
jenis hewan yang selama ini hanya kulihat gambar-gambarnya di 
ensiklopedia anak-anak. Lalu aku bertanya lirih, “Hewan-hewan itu, apa 
mereka buas?” 
Gustiyala
 menggeleng. Aku mengangguk dengan ekspresi yang masih tidak percaya. 
Tempat itu serupa hutan terawat yang memeluk para hewan-hewan yang tak 
lagi memiliki tempat tinggal. Dia menyelamatkan pohon-pohon dan 
hewan-hewan di dalam rumahnya. Ia serupa Nuh, yang membawa 
makhluk-makhluk dalam bahteranya dan menyelamatkannya dari banjir besar 
yang berpotensi membawa kepunahan. 
Ia
 kemudian mengajakku ke ruangan sederhana di sudut rumahnya. Ia duduk di
 kursinya, kursi kayu yang sederhana, tak berpelitur, tak berwarna. Dia 
memintaku duduk dengan isyarat matanya. Orang ini masih sangat muda, 
demikian aku mengamati. Rambutnya panjang, terjurai, ikal, seperti 
gambaran mesiah-mesiah dalam cerita-cerita yang kubaca dalam buku-buku. 
Mungkin ia salah satunya. Tapi kita toh tidak pernah tahu. Para mesiah 
dalam cerita-cerita itu tidak pernah menyebut diri mereka sendiri 
sebagai mesiah bukan?
Aku
 duduk di hadapannya, sepi dan terasing. Dia masih menutup mata, seperti
 orang suci yang melihat bahkan ketika mata terpejam. Dan dengan mata 
terpejam itu, dia menceritakan kisah purba tentang Sodom-Gomora. Sodom 
berarti terbakar, Gomora berarti terkubur. Itu kisah mengenai negeri 
Luth yang dijungkir-balikkan; yang di atas ke bawah, yang di bawah ke 
atas, kemudian dihujani dengan batu dari tanah yang terbakar. Di akhir 
cerita, Gustiyala menatapku dengan pandangan lembut, “Tetapi ini bukan 
Sodom Gomora. Aku heran mengapa orang-orang kerap mengaitkan kami dengan
 kisah itu. Kau tahu sendiri, kami berlima kakak adik tinggal terasing 
di sini. Hanya berlima saja. Benar kami memang mencintai baik lelaki 
maupun perempuan. Tetapi bukankah kita memang harus demikian? Mencintai 
sesamanya. Dan kau lihat sendiri, tak seorangpun di rumah ini menikah 
sebab kami bahkan tiada berkelamin. Kau tahu itu Baruna? Orang-orang 
memusuhi kami sebab kami bukan laki-laki dan bukan pula perempuan. Apa 
itu kami yang meminta?”
Aku
 menelan ludah. Omong kosong macam apa ini? Tidak punya kelamin? Semua 
makhluk hidup punya kelamin! Teriakku dalam hati. Itu yang memungkinkan 
manusia untuk berkembang biak dan melanjutkan keturunan. Ini apa pula 
lima kakak beradik mengaku tak punya kelamin. Aku hampir meledak marah, 
tetapi ketika memandang sepasang mata yang sendu di hadapanku, kemarahan
 itu berangsur menghilang. Ada rasa iba yang tak bisa ditahan-tahan dan 
dengan suara yang kutahan-tahan agar tidak gemetar, aku berucap lirih, 
“Aku hanya melaksanakan tugasku. Menahanmu dan keempat saudaramu...”
Aku
 berdeham sebentar, ragu-ragu melanjutkan kalimatku, “...sebab kalian 
telah meresahkan masyarakat, dengan bertingkah-laku seperti para 
perempuan, padahal kalian laki-laki.”
Gustiyala
 menatapku dengan sedih, “Kami bahkan tidak memiliki kelamin, Baruna... 
dan apa salah kami dengan pakaian-pakaian yang kami kenakan, dengan 
rambut-rambut yang kami panjangkan, dengan bulu mata yang kami 
lentikkan?” ucapnya putus asa, membentur kekeraskepalaanku dan 
ketidakmampuanku dalam memahami hal-hal yang di luar jangkauan akalku. 
Sekian Bulan Setelahnya
Aku
 bahkan tidak pernah mencari tahu kebenarannya. Semua orang menganggap 
Gustiyala dan keempat saudaranya bersalah sebab mereka tidak memiliki 
identitas seksual yang jelas. Malam sebelum hari penghakiman itu, 
Gustiyala meminta aku datang ke sel tempat ia dikurung. Dia menatapku 
dengan putus asa, “Baruna, kami berlima memang tidak memiliki kelamin. 
Bagaimana mungkin kami dihukum karena kesalahan yang tidak kami 
lakukan?”
“Kalian
 memutilasinya,” tuduhku, tentu membeo segala tuduhan orang-orang dan 
hakim-hakim yang membuat Gustiyala terkurung di sini. Tuduhan-tuduhan 
yang lebih didasarkan pada ketakutan atas apa-apa yang luput dari 
pengetahuan akal kami sebagai manusia. Karena, bukankah kita memang 
selalu begitu? Takut dengan apa-apa yang tidak atau belum kita ketahui? 
Manusia tanpa kelamin, jelas itu adalah hal yang mustahil, kecuali 
mereka memutilasinya bukan? 
Gustiyala
 tidak berkata apa-apa lagi. Tapi matanya berbicara banyak. Keempat 
saudaranya pun terdiam. Dengan hati membatu, aku meninggalkan sel itu, 
untuk kemudian menyaksikan mereka terbakar habis keesokan harinya.
*
Aku
 duduk murung, di hadapanku ada lukisan Gustiyala yang belum selesai. 
Aku ragu-ragu menggoreskan warna-warna yang belum purna. Warna-warna 
kematian. Warna-warna kepedihan. Warna-warna Gustiyala. Kematian bukan 
akhir segala-gala, demikian aku mengenang Gustiyala. Tetapi, kemudian 
kematian merenggut ia dari sisiku. Ia serupa nabi perempuan dari Mars 
dalam Javid Namah karangan Muhammad Iqbal yang berucap “Aku telah turun 
dari langit ke sini; amanat yang kubawa ialah amanat zaman yang 
penghabisan”. Lalu, ia bercerita tentang perempuan dan laki-laki, dan 
tentang ia dan keempat saudaranya yang entah kenapa tidak berkelamin. 
Pada akhirnya, memang beginilah dunia ini berjalan. Dunia ini adalah 
dunia yang seksis. Setiap diri mesti memiliki kelamin, jika tidak, ia 
seperti Gustiyala, tertolak di mana-mana. Dan di sini aku menangis, 
teringat ketidakmampuanku melindunginya dan keempat saudaranya; bahwa 
terlepas dari apapun, mereka berhak atas hidupnya, hak yang tak bisa 
direnggut dengan alasan apapun. 
Purwokerto, 1 November 2013
*Cerpen ini dimuat di Harian SatelitPost edisi Minggu Legi, 3 November 2013
(Untuk
 Walang Gustiyala, beribu maaf karena tidak sempat meminta ijin untuk 
menyomot namanya. Pencomotan nama ini tidak berhubungan sama sekali 
dengan isi cerita, hanya sebatas penokohan semata.)
 
 
 
				 
						 
 
 
 
No comments:
Post a Comment