Follow Us @soratemplates

Monday, November 12, 2018

Gustiyala


“Adalah terlarang untuk melakukan pembunuhan; oleh karena itu semua pembunuh akan dihukum kecuali mereka membunuh dalam jumlah besar dan dengan suara terompet” ― Voltaire



Hari Penghakiman

Matahari bersinar terik, membakar. Percikan dan jilatan cahaya yang menyilaukan menyapu seantero lapangan tempat api berkobar. Ada yang teramat kering dalam panas matahari siang ini; kering yang mencekik, kering yang marah, kering yang memberontak. Ia menyengat tanpa ampun, seolah tak bisa memprotes dengan suara apapun kecuali dengan panasnya yang semakin melahap segala kobaran api di tengah tanah lapang itu. Barangkali, matahari itu ingin sekali memadamkan api, tapi memadamkan berarti menyakiti mereka yang telah setengah melepuh kepanasan. Maka, ia memutuskan untuk menyengat panas, agar kepedihan itu segera selesai, agar penderitaan itu segera usai.





Di langit biru itu, tak ada burung-burung yang dengan paruhnya membawa kerikil-kerikil atau sulfur panas dari neraka, sebab ini bukan hukuman dari neraka. Gustiyala berdiri di sana, bersama empat orang saudaranya, dikelilingi api. Tiada jerit, tiada perlawanan. Semua sudah menyerah untuk sekadar meminta pengampunan. Tiada lagi belas kasih di diri hakim-hakim yang mengaku menegakkan kebenaran Tuhan itu. Mereka nampaknya merasa menjelma Tuhan itu sendiri, tanpa mengadopsi sifat kasih yang menyatu dalam nama-Nya.

Samar, kudengar suara Gustiyala dalam kepalaku: “Manusia menghukum manusia lainnya dengan nama Tuhan. Mereka mengkambinghitamkan Tuhan dan mengaku beriman.” Air mataku jatuh menitik. Aku memandang Gustiyala dan keempat saudaranya dari jauh. Negeri Bayang-bayang yang kecil ini menjelma api, menjelma neraka. 

Aku menatap Gustiyala yang kulitnya mulai melepuh. Sepersekian detik kemudian, Gustiyala menatapku, tepat di manik mata. Matanya tersenyum, sampai kemudian api menggosongkan wajahnya, menyisakan sepasang bulatan menghitam, tempat mata indahnya dulunya berada. Mendadak, tenggorokanku terasa kering dan sakit, mataku terasa perih. Aku menangis.

Tiga Belas Hari Sebelumnya
Gustiyala. Ada yang aneh dengan namanya itu, nama yang familiar: nama yang nampaknya pernah kudengar sebelumnya. Tetapi, dalam bayanganku, namanya ini tidak laki-laki dan tidak perempuan. Tentu, tentu saja nama itu tidak berjenis kelamin. Hanya saja, konstruksi sosial kadang kala menyepakati apa-apa yang menjadi nama laki-laki dan apa-apa yang menjadi nama perempuan dan menjadikan nama sebagai penanda jenis kelamin. Siapa yang akan melarang dan mengatur nama-nama? Kelaziman tentu saja, sebagai sesuatu yang sudah mencengkeram erat ke setiap kepala yang memiliki ingatan peradaban: pengaturan nama-nama berdasarkan kelaminnya.

Tapi, pemilik nama satu itu, Gustiyala, sejak awal aku tak bisa menebak jenis kelaminnya, meski semua orang di Negeri Bayang-bayang ini bilang kalau itu nama laki-laki. Bagiku sendiri, nama itu maskulin sekaligus feminin sebagaimana si pemilik nama, yang berdiri di hadapanku dengan wajah tersenyum, wajah yang laki-laki sekaligus wajah perempuan. Ah, bagaimana mungkin kita membedakan wajah laki-laki dan perempuan, sedang wajah juga tak berkelamin? Dia, si Gustiyala itu, mengulurkan tangannya, tangan yang lembut dengan kulit kekuningan ke arahku. Aku menyambutnya dengan gamang, namun senyum yang tak pernah berhenti meninggalkan wajah itu membuatku menyambut uluran tangannya. Suaranya pelan, lembut, “Gustiyala. Gustiyala namaku.”

Aku menelan ludah, suaraku seperti menolak meninggalkan pita suara. Dengan lirih aku menyebutkan namaku, singkat, “Baruna.”

“Ah Baruna,” Gustiyala menggumam. “Agnum su tubhyam varuna svadhavo... yuyam pata svastibhih sada nah” (Semoga pujaan ini berkesan pada-Mu, O Varuna yang bebas... lindungilah kami dengan berkahmu) Gustiyala menundukkan kepalanya sambil merapal doa. Doa yang purba, barangkali. Doa yang tak kukenali. 

Gustiyala lalu mengajakku berkeliling rumahnya. Aku mengedarkan pandangan dengan tercengang-cengang. Bahkan di belakang rumahnya ada pohon trembesi, ada pohon meranti merah, ada pohon jelutung, dan berbagai jenis pohon yang tidak pernah kulihat sebelumnya, karena barangkali di tanahku mereka telah lama punah. Di halaman belakang itu, aku juga melihat berbagai jenis hewan yang selama ini hanya kulihat gambar-gambarnya di ensiklopedia anak-anak. Lalu aku bertanya lirih, “Hewan-hewan itu, apa mereka buas?” 

Gustiyala menggeleng. Aku mengangguk dengan ekspresi yang masih tidak percaya. Tempat itu serupa hutan terawat yang memeluk para hewan-hewan yang tak lagi memiliki tempat tinggal. Dia menyelamatkan pohon-pohon dan hewan-hewan di dalam rumahnya. Ia serupa Nuh, yang membawa makhluk-makhluk dalam bahteranya dan menyelamatkannya dari banjir besar yang berpotensi membawa kepunahan. 

Ia kemudian mengajakku ke ruangan sederhana di sudut rumahnya. Ia duduk di kursinya, kursi kayu yang sederhana, tak berpelitur, tak berwarna. Dia memintaku duduk dengan isyarat matanya. Orang ini masih sangat muda, demikian aku mengamati. Rambutnya panjang, terjurai, ikal, seperti gambaran mesiah-mesiah dalam cerita-cerita yang kubaca dalam buku-buku. Mungkin ia salah satunya. Tapi kita toh tidak pernah tahu. Para mesiah dalam cerita-cerita itu tidak pernah menyebut diri mereka sendiri sebagai mesiah bukan?

Aku duduk di hadapannya, sepi dan terasing. Dia masih menutup mata, seperti orang suci yang melihat bahkan ketika mata terpejam. Dan dengan mata terpejam itu, dia menceritakan kisah purba tentang Sodom-Gomora. Sodom berarti terbakar, Gomora berarti terkubur. Itu kisah mengenai negeri Luth yang dijungkir-balikkan; yang di atas ke bawah, yang di bawah ke atas, kemudian dihujani dengan batu dari tanah yang terbakar. Di akhir cerita, Gustiyala menatapku dengan pandangan lembut, “Tetapi ini bukan Sodom Gomora. Aku heran mengapa orang-orang kerap mengaitkan kami dengan kisah itu. Kau tahu sendiri, kami berlima kakak adik tinggal terasing di sini. Hanya berlima saja. Benar kami memang mencintai baik lelaki maupun perempuan. Tetapi bukankah kita memang harus demikian? Mencintai sesamanya. Dan kau lihat sendiri, tak seorangpun di rumah ini menikah sebab kami bahkan tiada berkelamin. Kau tahu itu Baruna? Orang-orang memusuhi kami sebab kami bukan laki-laki dan bukan pula perempuan. Apa itu kami yang meminta?”

Aku menelan ludah. Omong kosong macam apa ini? Tidak punya kelamin? Semua makhluk hidup punya kelamin! Teriakku dalam hati. Itu yang memungkinkan manusia untuk berkembang biak dan melanjutkan keturunan. Ini apa pula lima kakak beradik mengaku tak punya kelamin. Aku hampir meledak marah, tetapi ketika memandang sepasang mata yang sendu di hadapanku, kemarahan itu berangsur menghilang. Ada rasa iba yang tak bisa ditahan-tahan dan dengan suara yang kutahan-tahan agar tidak gemetar, aku berucap lirih, “Aku hanya melaksanakan tugasku. Menahanmu dan keempat saudaramu...”

Aku berdeham sebentar, ragu-ragu melanjutkan kalimatku, “...sebab kalian telah meresahkan masyarakat, dengan bertingkah-laku seperti para perempuan, padahal kalian laki-laki.”

Gustiyala menatapku dengan sedih, “Kami bahkan tidak memiliki kelamin, Baruna... dan apa salah kami dengan pakaian-pakaian yang kami kenakan, dengan rambut-rambut yang kami panjangkan, dengan bulu mata yang kami lentikkan?” ucapnya putus asa, membentur kekeraskepalaanku dan ketidakmampuanku dalam memahami hal-hal yang di luar jangkauan akalku. 

Sekian Bulan Setelahnya
Aku bahkan tidak pernah mencari tahu kebenarannya. Semua orang menganggap Gustiyala dan keempat saudaranya bersalah sebab mereka tidak memiliki identitas seksual yang jelas. Malam sebelum hari penghakiman itu, Gustiyala meminta aku datang ke sel tempat ia dikurung. Dia menatapku dengan putus asa, “Baruna, kami berlima memang tidak memiliki kelamin. Bagaimana mungkin kami dihukum karena kesalahan yang tidak kami lakukan?”

“Kalian memutilasinya,” tuduhku, tentu membeo segala tuduhan orang-orang dan hakim-hakim yang membuat Gustiyala terkurung di sini. Tuduhan-tuduhan yang lebih didasarkan pada ketakutan atas apa-apa yang luput dari pengetahuan akal kami sebagai manusia. Karena, bukankah kita memang selalu begitu? Takut dengan apa-apa yang tidak atau belum kita ketahui? Manusia tanpa kelamin, jelas itu adalah hal yang mustahil, kecuali mereka memutilasinya bukan? 

Gustiyala tidak berkata apa-apa lagi. Tapi matanya berbicara banyak. Keempat saudaranya pun terdiam. Dengan hati membatu, aku meninggalkan sel itu, untuk kemudian menyaksikan mereka terbakar habis keesokan harinya.

*
Aku duduk murung, di hadapanku ada lukisan Gustiyala yang belum selesai. Aku ragu-ragu menggoreskan warna-warna yang belum purna. Warna-warna kematian. Warna-warna kepedihan. Warna-warna Gustiyala. Kematian bukan akhir segala-gala, demikian aku mengenang Gustiyala. Tetapi, kemudian kematian merenggut ia dari sisiku. Ia serupa nabi perempuan dari Mars dalam Javid Namah karangan Muhammad Iqbal yang berucap “Aku telah turun dari langit ke sini; amanat yang kubawa ialah amanat zaman yang penghabisan”. Lalu, ia bercerita tentang perempuan dan laki-laki, dan tentang ia dan keempat saudaranya yang entah kenapa tidak berkelamin. Pada akhirnya, memang beginilah dunia ini berjalan. Dunia ini adalah dunia yang seksis. Setiap diri mesti memiliki kelamin, jika tidak, ia seperti Gustiyala, tertolak di mana-mana. Dan di sini aku menangis, teringat ketidakmampuanku melindunginya dan keempat saudaranya; bahwa terlepas dari apapun, mereka berhak atas hidupnya, hak yang tak bisa direnggut dengan alasan apapun. 

Purwokerto, 1 November 2013



*Cerpen ini dimuat di Harian SatelitPost edisi Minggu Legi, 3 November 2013





(Untuk Walang Gustiyala, beribu maaf karena tidak sempat meminta ijin untuk menyomot namanya. Pencomotan nama ini tidak berhubungan sama sekali dengan isi cerita, hanya sebatas penokohan semata.)

No comments:

Post a Comment