Follow Us @soratemplates

Monday, November 12, 2018

Kehilangan Tuhan

Betapa mudah, betapa mudah untuk berbicara dan berkhotbah seolah-olah kita adalah pembawa pesan suci Tuhan; orang-orang terpilih, yang membawa panji-panji ketuhanan dan kebenaran. Kita hanya tinggal berbicara, berapi-api, membawa nama-Nya, mengulang-ulang nama-Nya, dan serta merta, orang-orang akan percaya, kemudian lambat laun, kita pun akan ikut-ikut terpedaya. 

Kita tidak lagi mengenal mana ucapan-ucapan yang memang benar-benar kita maksudkan atau ucapan-ucapan yang kita ingin orang lain merasa kita maksudkan. Kita kehilangan diri kita dan juga kehilangan Tuhan dalam waktu bersamaan. Pada akhirnya, kita hanya berbicara, berbusa-busa, membawa-bawa nama-Nya, dan semua itu tidak lagi berarti apa-apa. Kita pun luput menyadari, bahwa kata-kata itu tidak pernah berarti apa-apa, sejak semula.


Barangkali, ini tidak hanya dialami sedikit dari kita, mungkin malah dialami oleh sebagian besar dari kita, atau bisa jadi hanya dialami oleh saya semata. Kesombongan dalam berpikir, berbicara, berlaku; seolah-olah apa yang sedang kita jalani adalah apa yang diinginkan Tuhan, padahal kita tidak pernah mengerti apa yang sebenarnya diinginkan Tuhan. Kita membuat batasan-batasan, tentang apa yang diinginkan Tuhan dan apa yang tidak diinginkan-Nya, dan kita lupa bahwa batasan-batasan yang kita buat sejatinya bukanlah sesuatu yang paripurna. Kita lupa bahwa kita tidak akan pernah sampai pada pemahaman tentang apa yang sebenarnya diinginkan Tuhan dan apa yang tidak. Dan kita tidak pernah akan sampai pada titik di mana kita berhasil men-sinkronkan keinginan-Nya dengan apa yang kita pikir adalah yang diinginkan-Nya.

Kita berjalan di muka bumi, membawa panji-panji-Nya, membawa nama-Nya, dan melukai orang-orang yang kita pikir berhak atas rasa sakit itu. Dan, di antara orang-orang yang kesakitan, yang luka, yang papa, kita berdiri tegap seolah-olah kita benar, seolah-olah kita sedang memperjuangkan ketegakkan nama-Nya. 

Kita tidak paham, bahwa kita mungkin telah luput dalam berprasangka tentang Tuhan, tetapi kita tidak berhenti, kita tidak berpikir. Sedikit demi sedikit, kita kehilangan Tuhan. Saat berteriak menyebut nama Tuhan, kita kehilangan Tuhan. Saat berusaha memperjuangkan apa yang kita pikir adalah keinginan Tuhan, kita kehilangan Tuhan. Demikian terus-menerus sampai kita berada di titik di mana kita merasa kita sudah sedemikian dekat dengan-Nya, namun sejatinya kita kehilangan-Nya.

Saat satu orang terluka, saat satu keluarga terluka, saat satu kampung terluka, karena kita merasa kita berhak atas orang-orang yang kita anggap berdosa, kita telah kehilangan Tuhan. Saat kita menghakimi, saat kita melabeli, saat kita meneriakkan: "kafir, pendosa, sesat" barangkali saat itulah kita kehilangan Tuhan. Saat kita kehilangan cinta pada sesama manusia, pada alam raya, pada mahluk semesta, karena menganggap kita telah berada di puncak cinta kepada Tuhan, barangkali saat itu kita sedang kehilangan Tuhan. Karena, jika Tuhan hidup di hati kita, kita akan dipenuhi cinta, dan mungkin saat itulah kita alpa dari kehilangan-Nya.

Purwokerto, 18 September 2013

No comments:

Post a Comment