Betapa
mudah, betapa mudah untuk berbicara dan berkhotbah seolah-olah kita
adalah pembawa pesan suci Tuhan; orang-orang terpilih, yang membawa
panji-panji ketuhanan dan kebenaran. Kita hanya tinggal berbicara,
berapi-api, membawa nama-Nya, mengulang-ulang nama-Nya, dan serta merta,
orang-orang akan percaya, kemudian lambat laun, kita pun akan ikut-ikut
terpedaya.
Kita
tidak lagi mengenal mana ucapan-ucapan yang memang benar-benar kita
maksudkan atau ucapan-ucapan yang kita ingin orang lain merasa kita
maksudkan. Kita kehilangan diri kita dan juga kehilangan Tuhan dalam
waktu bersamaan. Pada akhirnya, kita hanya berbicara, berbusa-busa,
membawa-bawa nama-Nya, dan semua itu tidak lagi berarti apa-apa. Kita
pun luput menyadari, bahwa kata-kata itu tidak pernah berarti apa-apa,
sejak semula.
Barangkali,
ini tidak hanya dialami sedikit dari kita, mungkin malah dialami oleh
sebagian besar dari kita, atau bisa jadi hanya dialami oleh saya semata.
Kesombongan dalam berpikir, berbicara, berlaku; seolah-olah apa yang
sedang kita jalani adalah apa yang diinginkan Tuhan, padahal kita tidak
pernah mengerti apa yang sebenarnya diinginkan Tuhan. Kita membuat
batasan-batasan, tentang apa yang diinginkan Tuhan dan apa yang tidak
diinginkan-Nya, dan kita lupa bahwa batasan-batasan yang kita buat
sejatinya bukanlah sesuatu yang paripurna. Kita lupa bahwa kita tidak
akan pernah sampai pada pemahaman tentang apa yang sebenarnya diinginkan
Tuhan dan apa yang tidak. Dan kita tidak pernah akan sampai pada titik
di mana kita berhasil men-sinkronkan keinginan-Nya dengan apa yang kita
pikir adalah yang diinginkan-Nya.
Kita
berjalan di muka bumi, membawa panji-panji-Nya, membawa nama-Nya, dan
melukai orang-orang yang kita pikir berhak atas rasa sakit itu. Dan, di
antara orang-orang yang kesakitan, yang luka, yang papa, kita berdiri
tegap seolah-olah kita benar, seolah-olah kita sedang memperjuangkan
ketegakkan nama-Nya.
Kita
tidak paham, bahwa kita mungkin telah luput dalam berprasangka tentang
Tuhan, tetapi kita tidak berhenti, kita tidak berpikir. Sedikit demi
sedikit, kita kehilangan Tuhan. Saat berteriak menyebut nama Tuhan, kita
kehilangan Tuhan. Saat berusaha memperjuangkan apa yang kita pikir
adalah keinginan Tuhan, kita kehilangan Tuhan. Demikian terus-menerus
sampai kita berada di titik di mana kita merasa kita sudah sedemikian
dekat dengan-Nya, namun sejatinya kita kehilangan-Nya.
Saat
satu orang terluka, saat satu keluarga terluka, saat satu kampung
terluka, karena kita merasa kita berhak atas orang-orang yang kita
anggap berdosa, kita telah kehilangan Tuhan. Saat kita menghakimi, saat
kita melabeli, saat kita meneriakkan: "kafir, pendosa, sesat" barangkali
saat itulah kita kehilangan Tuhan. Saat kita kehilangan cinta pada
sesama manusia, pada alam raya, pada mahluk semesta, karena menganggap
kita telah berada di puncak cinta kepada Tuhan, barangkali saat itu kita
sedang kehilangan Tuhan. Karena, jika Tuhan hidup di hati kita, kita
akan dipenuhi cinta, dan mungkin saat itulah kita alpa dari
kehilangan-Nya.
Purwokerto, 18 September 2013
No comments:
Post a Comment