Semakin jauh kamu berjalan, semakin banyak tempat yang tidak kamu singgahi. (Dahri Dahlan)Saya bertemu Nuran pertama kali pada 8 Juni 2015 di konser Silampukau, Kedai Tjikini. Adalah Pak Nabi yang memperkenalkan kami. Saat itu kami tak sempat berbincang banyak, hanya bertukar senyum dan Nuran kembali sibuk dengan alat tulis elektronik di hadapannya. Saya sendiri hanya sebentar mengobrol dengan Pak Nabi dan pamit pulang karena kelelahan setelah paginya baru tiba dari Makassar dan masih sempat ke Japan Foundation siangnya untuk ngapelin Satoshi Kitamura. Sampai kemudian, 18 September kemarin Nuran tiba-tiba menghubungi saya via whatsapp, menanyakan apakah tanggal 2-5 Oktober tidak sibuk karena ia mengajak saya untuk ikut jalan-jalan ke Lombok bersama 14 blogger lainnya dalam rangkaian kegiatan Jelajah Negeri Tembakau III.
Ya siapa yang nggak mau diajak jalan-jalan gratis ke Lombok coba? Awalnya saya agak curiga, ini beneran jalan-jalan apa disuruh liputan. Lalu Nuran meyakinkan saya bahwa ini beneran acara jalan-jalan dan senang-senang. Akhirnya saya pun menyanggupi. Ia pun memasukkan saya ke dalam grup whatsapp anggota Jelajah Negeri Tembakau III dan memperkenalkan saya ke 14 anggota lainnya.
Drama dimulai ketika Nuran mulai mengirimkan screen-shoot tiket perjalanan di grup whatsapp. Nama saya tidak ada di tiket Yogyakarta-Lombok Praya. Ternyata Nuran memesankan tiket untuk saya dengan rute penerbangan Jakarta-Lombok Praya. Matik! Ia tahunya saya tinggal di Jakarta karena di kota itulah kami pertama kali bertemu. Ia juga nampaknya tidak ngeh dengan obrolan di grup saat saya menanyakan siapa saja yang bareng dengan saya dari Jogja. Karena tiket sudah terlanjur terbeli, ya mau gimana lagi. Akhirnya saya (nggak terpaksa juga sih) harus berangkat ke Jakarta dulu dari Jogja.
Tanggal 1 Oktober malam rencananya saya berangkat ke Jakarta dari bandara Adi Soetjipto, Yogyakarta naik Batik Air pukul 20.20. Ternyata pesawatnya delay sodara-sodara. Saya menunggu cukup lama, mengobrol dengan seorang ibu yang menangis tak sudah-sudah. Sumiyati namanya. Ia sedang menunggu pesawat Lion Air tujuan Jakarta yang juga delay 2 jam, untuk kemudian pindah pesawat tujuan Singapura dan menuju Hongkong. Sebelumnya ia sudah pernah bekerja di Taiwan, tapi kali ini berbeda. Ia musti meninggalkan cucunya yang masih kecil, yang ia rawat dari bayi, dan tak mau ditinggal. Itu meremukkan hatinya. Selang tiga puluh menit kemudian, panggilan boarding pesawat Batik Air tujuan Jakarta membuat saya harus berpisah dengan ibu Sumiyati, juga seorang anak kecil entah siapa yang sempat meminta dibuatkan kapal-kapalan dari kertas.
Sekitar pukul 11 malam, saya tiba di Bandara Soekarno Hatta dan paman saya sudah menunggu di luar. Saya pun menginap di rumahnya yang berjarak sejam dari bandara.
Keesokan siangnya, saya kembali diantar paman ke terminal 2 Bandara Soekarno Hatta dan anggota pertama yang saya temui adalah Erika. Sejak pertama melihatnya, saya langsung teringat dengan sahabat saya Inez Kriya Janitra. Ternyata oh ternyata, keduanya juga memiliki zodiak yang sama; Leo. Setelah menunggu cukup lama, akhirnya Nuran, Viriya (yang awalnya saya dan Erika sangka perempuan), mas Joni (yang cara bicaranya mirip banget Pak Gery, teman saya di Jurnal Perempuan), Yandri, kak Miko datang. Kami langsung check-in dan di ruang tunggu ternyata sudah ada mas Dian (fyi, ternyata mas Dian ini senior saya di Jurnal Perempuan).
Begitu kami sampai di bandara Lombok Praya, drama selanjutnya dimulai. Yandri yang pertama-tama membaca obrolan di grup bilang kalau Mbak Pito ketinggalan pesawat dari bandara Ngurah Rai, Denpasar. Sambil menunggu bagasi, Nuran mengurus barang Mbak Pito yang datang duluan daripada orangnya ke petugas Lion Air. Tak berhenti di situ, drama berikutnya terjadi susul menyusul. Kartu ATM kak Miko (sumpah saya segan kalau nggak manggil kak ke beliau) tertelan di mesin ATM bandara Lombok Praya.
Setelah semua anggota yang berangkat dari Jakarta berkumpul, kami kemudian naik ke mobil yang membawa kami ke hotel Arianz yang letaknya di depan alun-alun kota Mataram. Perjalanan dari bandara Lombok Praya ke hotel lumayan lama, sekitar satu jam-an. Sepanjang perjalanan, saya, mas Dian dan Erika bertanya-tanya kenapa kanan kiri jalan sepi sekali, lalu merasa sedikit was-was kalau-kalau ternyata tidak ada minimarket dan tidak bisa beli jajanan (lebay yak). Sampai akhirnya kita tertawa begitu melihat penampakan indomaret di jalan yang kita lewati.
Sesampainya di hotel, saya kebagian kamar 307 bersama Erika. Kami beberes sebentar, cuci muka, sholat, dan kembali turun ke bawah untuk makan malam. Begitu rombongan dari Yogyakarta, Surabaya, Denpasar, dan Bandung tiba, kami mendengarkan briefing untuk kegiatan besok yang dilanjut dengan bagi-bagi kaos, tote bag, dan buku ensiklopedia kretek. Karena belum ngantuk, saya, Erika, Viriya, dan Yandri memutuskan untuk jalan-jalan ke alun-alun sambil nyari minimarket buat beli jajanan (pan siapa tahu malam-malam kebangun lapar). Tak lama kemudian Shellya dan Tiwi menyusul kami, foto-foto sebentar, jalan lagi, dan setelah belanja jajanan, kami para cewek kembali ke hotel untuk beristirahat. Sementara Yandri dan Viriya? Hanya Tuhan yang tahu apa yang mereka berdua lakukan di alun-alun sepeninggal kami.
Alun-alun kota Mataram: Erika, Yandri, saya (dok. Viriya Paramita) |
**
“Petani adalah orang-orang yang tangguh. Mereka menanam berbulan-bulan dengan sabar, dengan segala resikonya; yang telah menjadi bagian hidupnya. Meskipun gagal, mereka akan terus menanam lagi di musim berikutnya.” (Pak Iskandar)Hari kedua di lombok, kami berkunjung ke Djarum-Tobacco Station di Lombok Tengah. Di sana, kami bertemu pak Iskandar, lelaki berusia 60-an yang juga adalah Senior Manager Djarum di Lombok. Ia menjelaskan mengenai jenis tembakau Virginia FC (FC di sini kependekan dari Flue Cured yang merujuk pada metode pengeringan tembakau dengan mengalirkan udara panas melalui flue atau pipa) yang masuk ke Lombok sekitar tahun 1960-an. Menurut penuturan pak Iskandar, kontribusi tembakau Virginia FC Lombok terhadap produksi Virginia LC nasional mencapai 80-90%.
Pak Iskandar sedang menjelaskan tentang tembakau Virginia FC (dok. Viriya Paramita) |
Di salah satu sisi gudang, ada beberapa petani yang datang membawa tembakau hasil panennya. Tembakau yang dibungkus dengan anyaman tikar itu mula-mula ditimbang, disaksikan oleh petugas dan juga petani, lalu ada seorang grader yang menilai kualitas tembakau itu dari hanya dari warna dan baunya. Saya baru tahu ternyata bau tembakau itu begitu menusuk sekali ke hidung dan membuat kepala agak pusing. Untungnya ada Tiwi yang membawa banyak masker dan dengan sukarela membagikannya kepada teman-teman yang lain.
Tembakau sedang dinilai oleh Grader (dok. Pribadi) |
Kegiatan sortasi tembakau (dok. Pribadi) |
Setelah berkeliling melihat proses sortasi tembakau, kami akan melanjutkan perjalanan menuju rumah petani tembakau dan juga lahan tembakau yang jaraknya tidak begitu jauh dari gudang tersebut.
Dalam perjalanan menuju ke rumah petani tembakau untuk makan siang dan berdiskusi dengan perwakilan petani, saya mengobrol ngalor-ngidul dengan Prima, peserta asal Yogyakarta. Ternyata oh ternyata, ternyata Prima ini anaknya guru SMA saya, pak Susilarto, yang juga Pembina OSIS dan Pembina Paskibra saya dulu. Ealah, tuhan maha bercanda memang!
Sebelum makan siang, kami sempat melihat oven milik warga yang digunakan untuk mengeringkan tembakau Virginia FC. Awalnya, mereka menggunakan minyak tanah sebagai bahan bakar oven tersebut. Begitu subsidi minyak tanah dicabut, mereka lalu beralih menggunakan kayu bakar. Karena penggunaan kayu bakar berarti menebangi pohon-pohon, mereka lalu mencari cara lain yaitu dengan menggunakan cangkang kemiri. Mereka biasanya membeli 1100kg cangkang kemiri dari Flores. Sampai sekarang, mereka menggunakan cangkang kemiri sebagai bahan bakar dan sesekali menggunakan cangkang kelapa sawit sebagai pengganti.
Setelah makan siang dengan menu khas Lombok, kami berdiskusi di salah satu rumah warga bersama H. Sukirman (50 tahun). Beliau adalah kepala Dusun Paok Rengge, Desa Waja Geseng, Lombok Tengah, dan juga seorang petani tembakau sejak 1988. Beliau menceritakan suka dukanya menjadi petani tembakau, yang sering untung dan rugi juga. Sebelum menjadi petani tembakau, beliau pernah bekerja di pertambangan di Kalimantan Timur, menjadi TKI di Malaysia, dan menjadi tukang ojek motor. Tembakau telah mengubah hidup H. Sukirman. Ia bisa membangun rumah, naik haji pada 2002, menyekolahkan anaknya. Kedua anaknya kuliah. Anak pertamanya kuliah di jurusan kesehatan dan katanya suka menasehati bapaknya untuk berhenti merokok :D
Hamparan tanaman tembakau yang siap dipanen (dok. Pribadi) |
Bunga tembakau (dok. Pribadi) |
Setelah berdiskusi banyak dengan H. Sukirman, kami menuju ke ladang tembakau. Untuk pertama kalinya, saya melihat dan menyentuh tanaman tembakau; daunnya dan bunganya. Sepanjang mata memandang, tanaman tembakau dengan daun yang sudah mulai menguning siap panen terhampar dari ujung ke ujung.
*
Bis
yang kami naiki melaju menjauhi dusun Paok Rengge untuk menuju ke
Senggigi. Di perjalanan menuju Senggigi, hujan turun cukup deras. Ini
hujan pertama yang saya saksikan sejak kemarau panjang berbulan-bulan
lalu. Entah mengapa, hujan ini mengingatkan saya pada penggalan puisi
Palestina ini: المطر يزيل كل شيئ الا ØزناDan tiba-tiba saya merasa melankolis dan di kepala saya langsung terputar Marooned-nya Pink Floyd.
hujan menghapuskan segala… kecuali kepedihan
Setelah menempuh perjalanana yang cukup jauh, kami pun tiba di pantai Senggigi. Tahu nggak, kapan pertama kali saya mendengar nama Senggigi? Selain Bobo, Trio Detektif-nya Alfred Hitchcock, Lima Sekawan-nya Enid Blyton, dan Goosebumps-nya R.L Stine, saya mulai baca teenlit dan majalah Horison saat SMP. Di salah satu teenlit favorit saya waktu itu, Fairish, dikisahkan si tokoh cowoknya suka berburu mata dewa (sunset), dan yang paling ia sukai adalah sunset di Senggigi. Itulah pertama-tama saya mendengar nama Senggigi. Tentu saat itu saya tidak tahu di mana Senggigi itu. Sekian tahun kemudian, saya ada di sana, menyaksikan mata dewa.
Sunset di Senggigi (dok. Pribadi) |
"It's the sound of water, and waves, and distant children playing on the beach... in early hours at sea you can hear the whole world like... like a symphony," Tewfiq Zacharya, tokoh fiksi dalam film Israel The Band's Visit yang disutradarai Eran Kolirin, seperti berbisik di telinga saya. Dan seperti seorang yang sedang jatuh cinta, saya tersenyum. Saya duduk cukup lama di bibir pantai; mendengarkan suara deburan ombak dan memandangi matahari pelan-pelan tenggelam.
*
Pada 1790, Lombok dan Bima dikenal sebagai penyuplai budak terbesar di Batavia dan sampai sekarang Lombok dikenal sebagai penyuplai buruh migran terbesar no 2 di Indonesia. Ini kemudian mengingatkan saya pada kisah Nona, seorang perempuan Lombok berusia 15 tahun yang usia di KTP-nya dituakan sehingga ia bisa berangkat menjadi TKW. Tapi malangnya, ia malah terjerat perdagangan manusia, dijual ke seorang Malaysia, dan kerap disiksa majikannya.
Bersama Paox Iben, budayawan Lombok (dok. Andrey Gromico) |
*
**
Air terjun Tiu Kelep (dok. Viriya Paramita) |
*
Pemuda-pemudi Karang Bajo (dok. Andrey Gromico) |
Pemuda Karang Bajo dalam tari Gegerok Tandak (dok. Andrey Gromico) |
Begitu pertunjukkan Gegerok Tandak usai, kami berkumpul di ruangan aula untuk mendengarkan penjelasan Mas Renaldi mengenai masyarakat adat Bayan. Acara itu juga dihadiri oleh kepala desa dan perwakilan tetua adat. Menurut Mas Renaldi, Adat Bayan terbentuk dari 4 komunitas atau kepembekelan Adat, yaitu Loloan, Timuq Orong (Bayan Timur), Bat Orong (Bayan Barat), dan Karang Bajo. Empat kepembekelan memiliki bagian adat dan koordinasi masing-masing, dimana Timuq Orong koordinasi atau rekan kerjanya adalah dengan Loloan yang tugasnya terkait dengan akhirat, dan Karang Bajo koordinasinya dengan Bat Orong terkait dengan ritual kehidupan (duniawi).
Mas Renaldi juga menjelaskan mengenai hutan dan sawah adat yang disakralkan oleh masyarakat adat. Hutan adat itu, pohon-pohonnya tidak boleh ada yang ditebang. Jikalau ada pohon yang roboh pun, hukum adat melarang masyarakat untuk memanfaatkan pohon tersebut. Biarlah ia kembali ke tanah, begitu katanya. Jika ada yang melanggar hukum adat tersebut, sanksi adat akan diberikan misalnya dengan membayar denda seekor kerbau untuk sebatang pohon. Hutan adat itu melindungi sebuah mata air yang dinikmati oleh 9 desa di kecamatan Bayan. Dan masyarakat adat telah menjaga hutan itu selama berabad-abad, guna melindungi tetap lestarinya mata air dan alam. Sementara sawah adat yang luasnya mencapai 21 hektar, pengolahannya tidak boleh menggunakan mesin, melainkan dengan kerbau dan bajak.
Bersama tetua adat Karang Bajo (dok. Andrey Gromico) |
**
*
Yang
selalu indah dalam perjalanan adalah kita bertemu dengan orang-orang
baru dan hal-hal baru. Segalanya memperkaya diri kita; dalam satu dan
lain hal. Ia mendewasakan kita, membantu kita melihat banyak hal dengan
perspektif yang lebih luas. Terima kasih teman-teman Jelajah Negeri
Tembakau, terima kasih Nuran. Sampai ketemu di perjalanan yang lain dan
semoga bisa ke Lombok lagi nanti-nanti :)kalau ada sumur di ladang, bolehlah kita menumpang mandi
kalau ada umur panjang, bolehlah kita menumpang mandi lagi (Anonim)
Yogyakarta, 16 Oktober 2015
Tulisan teman-teman lainnya:
Viriya: Simalakama Tembakau Nusantara
Yandri: Para Petarung dari Lombok
Mas Diyan: Gemah Ripah Mako Lombok
Mbak Pito: One Trip, Helluva Lessons
No comments:
Post a Comment