Follow Us @soratemplates

Monday, November 12, 2018

Jelajah Negeri Tembakau; Sebuah Catatan Perjalanan

Semakin jauh kamu berjalan, semakin banyak tempat yang tidak kamu singgahi. (Dahri Dahlan)
Saya bertemu Nuran pertama kali pada 8 Juni 2015 di konser Silampukau, Kedai Tjikini. Adalah Pak Nabi yang memperkenalkan kami. Saat itu kami tak sempat berbincang banyak, hanya bertukar senyum dan Nuran kembali sibuk dengan alat tulis elektronik di hadapannya. Saya sendiri hanya sebentar mengobrol dengan Pak Nabi dan pamit pulang karena kelelahan setelah paginya baru tiba dari Makassar dan masih sempat ke Japan Foundation siangnya untuk ngapelin Satoshi Kitamura. Sampai kemudian, 18 September kemarin Nuran tiba-tiba menghubungi saya via whatsapp, menanyakan apakah tanggal 2-5 Oktober tidak sibuk karena ia mengajak saya untuk ikut jalan-jalan ke Lombok bersama 14 blogger lainnya dalam rangkaian kegiatan Jelajah Negeri Tembakau III.

Ya siapa yang nggak mau diajak jalan-jalan gratis ke Lombok coba? Awalnya saya agak curiga, ini beneran jalan-jalan apa disuruh liputan. Lalu Nuran meyakinkan saya bahwa ini beneran acara jalan-jalan dan senang-senang. Akhirnya saya pun menyanggupi. Ia pun memasukkan saya ke dalam grup whatsapp anggota Jelajah Negeri Tembakau III dan memperkenalkan saya ke 14 anggota lainnya.

Drama dimulai ketika Nuran mulai mengirimkan screen-shoot tiket perjalanan di grup whatsapp. Nama saya tidak ada di tiket Yogyakarta-Lombok Praya. Ternyata Nuran memesankan tiket untuk saya dengan rute penerbangan Jakarta-Lombok Praya. Matik! Ia tahunya saya tinggal di Jakarta karena di kota itulah kami pertama kali bertemu. Ia juga nampaknya tidak ngeh dengan obrolan di grup saat saya menanyakan siapa saja yang bareng dengan saya dari Jogja. Karena tiket sudah terlanjur terbeli, ya mau gimana lagi. Akhirnya saya (nggak terpaksa juga sih) harus berangkat ke Jakarta dulu dari Jogja.

Tanggal 1 Oktober malam rencananya saya berangkat ke Jakarta dari bandara Adi Soetjipto, Yogyakarta naik Batik Air pukul 20.20. Ternyata pesawatnya delay sodara-sodara. Saya menunggu cukup lama, mengobrol dengan seorang ibu yang menangis tak sudah-sudah. Sumiyati namanya. Ia sedang menunggu pesawat Lion Air tujuan Jakarta yang juga delay 2 jam, untuk kemudian pindah pesawat tujuan Singapura dan menuju Hongkong. Sebelumnya ia sudah pernah bekerja di Taiwan, tapi kali ini berbeda. Ia musti meninggalkan cucunya yang masih kecil, yang ia rawat dari bayi, dan tak mau ditinggal. Itu meremukkan hatinya. Selang tiga puluh menit kemudian, panggilan boarding pesawat Batik Air tujuan Jakarta membuat saya harus berpisah dengan ibu Sumiyati, juga seorang anak kecil entah siapa yang sempat meminta dibuatkan kapal-kapalan dari kertas.

Sekitar pukul 11 malam, saya tiba di Bandara Soekarno Hatta dan paman saya sudah menunggu di luar. Saya pun menginap di rumahnya yang berjarak sejam dari bandara.

Keesokan siangnya, saya kembali diantar paman ke terminal 2 Bandara Soekarno Hatta dan anggota pertama yang saya temui adalah Erika. Sejak pertama melihatnya, saya langsung teringat dengan sahabat saya Inez Kriya Janitra. Ternyata oh ternyata, keduanya juga memiliki zodiak yang sama; Leo. Setelah menunggu cukup lama, akhirnya Nuran, Viriya (yang awalnya saya dan Erika sangka perempuan), mas Joni (yang cara bicaranya mirip banget Pak Gery, teman saya di Jurnal Perempuan), Yandri, kak Miko datang. Kami langsung check-in dan di ruang tunggu ternyata sudah ada mas Dian (fyi, ternyata mas Dian ini senior saya di Jurnal Perempuan).

Begitu kami sampai di bandara Lombok Praya, drama selanjutnya dimulai. Yandri yang pertama-tama membaca obrolan di grup bilang kalau Mbak Pito ketinggalan pesawat dari bandara Ngurah Rai, Denpasar. Sambil menunggu bagasi, Nuran mengurus barang Mbak Pito yang datang duluan daripada orangnya ke petugas Lion Air. Tak berhenti di situ, drama berikutnya terjadi susul menyusul. Kartu ATM kak Miko (sumpah saya segan kalau nggak manggil kak ke beliau) tertelan di mesin ATM bandara Lombok Praya.

Setelah semua anggota yang berangkat dari Jakarta berkumpul, kami kemudian naik ke mobil yang membawa kami ke hotel Arianz yang letaknya di depan alun-alun kota Mataram. Perjalanan dari bandara Lombok Praya ke hotel lumayan lama, sekitar satu jam-an. Sepanjang perjalanan, saya, mas Dian dan Erika bertanya-tanya kenapa kanan kiri jalan sepi sekali, lalu merasa sedikit was-was kalau-kalau ternyata tidak ada minimarket dan tidak bisa beli jajanan (lebay yak). Sampai akhirnya kita tertawa begitu melihat penampakan indomaret di jalan yang kita lewati.

Sesampainya di hotel, saya kebagian kamar 307 bersama Erika. Kami beberes sebentar, cuci muka, sholat, dan kembali turun ke bawah untuk makan malam. Begitu rombongan dari Yogyakarta, Surabaya, Denpasar, dan Bandung tiba, kami mendengarkan briefing untuk kegiatan besok yang dilanjut dengan bagi-bagi kaos, tote bag, dan buku ensiklopedia kretek. Karena belum ngantuk, saya, Erika, Viriya, dan Yandri memutuskan untuk jalan-jalan ke alun-alun sambil nyari minimarket buat beli jajanan (pan siapa tahu malam-malam kebangun lapar). Tak lama kemudian Shellya dan Tiwi menyusul kami, foto-foto sebentar, jalan lagi, dan setelah belanja jajanan, kami para cewek kembali ke hotel untuk beristirahat. Sementara Yandri dan Viriya? Hanya Tuhan yang tahu apa yang mereka berdua lakukan di alun-alun sepeninggal kami.

Alun-alun kota Mataram: Erika, Yandri, saya (dok. Viriya Paramita)
**
“Petani adalah orang-orang yang tangguh. Mereka menanam berbulan-bulan dengan sabar, dengan segala resikonya; yang telah menjadi bagian hidupnya. Meskipun gagal, mereka akan terus menanam lagi di musim berikutnya.” (Pak Iskandar)
Hari kedua di lombok, kami berkunjung ke Djarum-Tobacco Station di Lombok Tengah. Di sana, kami bertemu pak Iskandar, lelaki berusia 60-an yang juga adalah Senior Manager Djarum di Lombok. Ia menjelaskan mengenai jenis tembakau Virginia FC (FC di sini kependekan dari Flue Cured yang merujuk pada metode pengeringan tembakau dengan mengalirkan udara panas melalui flue atau pipa) yang masuk ke Lombok sekitar tahun 1960-an. Menurut penuturan pak Iskandar, kontribusi tembakau Virginia FC Lombok terhadap produksi Virginia LC nasional mencapai 80-90%. 

Pak Iskandar sedang menjelaskan tentang tembakau Virginia FC (dok. Viriya Paramita)
Pak Iskandar juga menceritakan tentang kemitraan antara perusahaan rokok dengan petani tembakau di Lombok yang memungkinkan petani untuk mendapatkan pendampingan selama proses produksi, akses informasi (iklim, pasar, teknologi, inovasi), musyawarah biaya produksi dan harga, dan lain-lain. Setelah itu beliau mengajak kami untuk melihat langsung ke gudang penyimpanan tembakau.

Di salah satu sisi gudang, ada beberapa petani yang datang membawa tembakau hasil panennya. Tembakau yang dibungkus dengan anyaman tikar itu mula-mula ditimbang, disaksikan oleh petugas dan juga petani, lalu ada seorang grader yang menilai kualitas tembakau itu dari hanya dari warna dan baunya. Saya baru tahu ternyata bau tembakau itu begitu menusuk sekali ke hidung dan membuat kepala agak pusing. Untungnya ada Tiwi yang membawa banyak masker dan dengan sukarela membagikannya kepada teman-teman yang lain. 


Tembakau sedang dinilai oleh Grader (dok. Pribadi)
Kami lalu mengikuti langkah pak Iskandar yang menjelaskan tentang proses sortasi tembakau di gudang tersebut. Tembakau tersebut dipilah mana yang bagus dan mana yang tidak. Yang bagus nanti akan dikumpulkan dan dikemas untuk kemudian dikirim ke Kudus (di Lombok ini memang belum ada pabrik rokoknya, yang ada hanya gudang penyimpanan tembakau saja.) Sementara tembakau yang belum kering benar akan dikeringkan dalam oven raksasa di bagian belakang.

Kegiatan sortasi tembakau (dok. Pribadi)

Setelah berkeliling melihat proses sortasi tembakau, kami akan melanjutkan perjalanan menuju rumah petani tembakau dan juga lahan tembakau yang jaraknya tidak begitu jauh dari gudang tersebut.

Dalam perjalanan menuju ke rumah petani tembakau untuk makan siang dan berdiskusi dengan perwakilan petani, saya mengobrol ngalor-ngidul dengan Prima, peserta asal Yogyakarta. Ternyata oh ternyata, ternyata Prima ini anaknya guru SMA saya, pak Susilarto, yang juga Pembina OSIS dan Pembina Paskibra saya dulu. Ealah, tuhan maha bercanda memang!

Sebelum makan siang, kami sempat melihat oven milik warga yang digunakan untuk mengeringkan tembakau Virginia FC. Awalnya, mereka menggunakan minyak tanah sebagai bahan bakar oven tersebut. Begitu subsidi minyak tanah dicabut, mereka lalu beralih menggunakan kayu bakar. Karena penggunaan kayu bakar berarti menebangi pohon-pohon, mereka lalu mencari cara lain yaitu dengan menggunakan cangkang kemiri. Mereka biasanya membeli 1100kg cangkang kemiri dari Flores. Sampai sekarang, mereka menggunakan cangkang kemiri sebagai bahan bakar dan sesekali menggunakan cangkang kelapa sawit sebagai pengganti.

Setelah makan siang dengan menu khas Lombok, kami berdiskusi di salah satu rumah warga bersama H. Sukirman (50 tahun). Beliau adalah kepala Dusun Paok Rengge, Desa Waja Geseng, Lombok Tengah, dan juga seorang petani tembakau sejak 1988. Beliau menceritakan suka dukanya menjadi petani tembakau, yang sering untung dan rugi juga. Sebelum menjadi petani tembakau, beliau pernah bekerja di pertambangan di Kalimantan Timur, menjadi TKI di Malaysia, dan menjadi tukang ojek motor.
Tembakau telah mengubah hidup H. Sukirman. Ia bisa membangun rumah, naik haji pada 2002, menyekolahkan anaknya. Kedua anaknya kuliah. Anak pertamanya kuliah di jurusan kesehatan dan katanya suka menasehati bapaknya untuk berhenti merokok :D


Hamparan tanaman tembakau yang siap dipanen (dok. Pribadi)

Bunga tembakau (dok. Pribadi)

Setelah berdiskusi banyak dengan H. Sukirman, kami menuju ke ladang tembakau. Untuk pertama kalinya, saya melihat dan menyentuh tanaman tembakau; daunnya dan bunganya. Sepanjang mata memandang, tanaman tembakau dengan daun yang sudah mulai menguning siap panen terhampar dari ujung ke ujung.
 *
Bis yang kami naiki melaju menjauhi dusun Paok Rengge untuk menuju ke Senggigi. Di perjalanan menuju Senggigi, hujan turun cukup deras. Ini hujan pertama yang saya saksikan sejak kemarau panjang berbulan-bulan lalu. Entah mengapa, hujan ini mengingatkan saya pada penggalan puisi Palestina ini:
المطر يزيل كل شيئ الا حزنا

hujan menghapuskan segala… kecuali kepedihan
Dan tiba-tiba saya merasa melankolis dan di kepala saya langsung terputar Marooned-nya Pink Floyd.

Setelah menempuh perjalanana yang cukup jauh, kami pun tiba di pantai Senggigi. Tahu nggak, kapan pertama kali saya mendengar nama Senggigi? Selain Bobo, Trio Detektif-nya Alfred Hitchcock, Lima Sekawan-nya Enid Blyton, dan Goosebumps-nya R.L Stine, saya mulai baca teenlit dan majalah Horison saat SMP. Di salah satu teenlit favorit saya waktu itu, Fairish, dikisahkan si tokoh cowoknya suka berburu mata dewa (sunset), dan yang paling ia sukai adalah sunset di Senggigi. Itulah pertama-tama saya mendengar nama Senggigi. Tentu saat itu saya tidak tahu di mana Senggigi itu. Sekian tahun kemudian, saya ada di sana, menyaksikan mata dewa. 


Sunset di Senggigi (dok. Pribadi)


"It's the sound of water, and waves, and distant children playing on the beach... in early hours at sea you can hear the whole world like... like a symphony," Tewfiq Zacharya, tokoh fiksi dalam film Israel The Band's Visit yang disutradarai Eran Kolirin, seperti berbisik di telinga saya. Dan seperti seorang yang sedang jatuh cinta, saya tersenyum. Saya duduk cukup lama di bibir pantai; mendengarkan suara deburan ombak dan memandangi matahari pelan-pelan tenggelam.
*
Paox Iben, seorang budayawan Lombok asal Kaliwungu, Jawa Tengah, yang kami temui setelah perjalanan ke Senggigi menceritakan kondisi sosial budaya masyarakat Lombok sejak 1257, pasca letusan Rinjani dan pendudukan Bali Karangasem pada 1300-an. Ia menjelaskan bahwa secara georgafis Lombok terdiri dari lautan dan pegunungan, tetapi masyarakatnya lebih banyak yang bertani karena kondisi lautnya tidak cocok untuk menangkap ikan. Sementara itu, meskipun Lombok wilayahnya subur, tetapi kerap terjadi konflik agraria, penduduknya miskin, dan banyak yang menjadi buruh migran.

Pada 1790, Lombok dan Bima dikenal sebagai penyuplai budak terbesar di Batavia dan sampai sekarang Lombok dikenal sebagai penyuplai buruh migran terbesar no 2 di Indonesia. Ini kemudian mengingatkan saya pada kisah Nona, seorang perempuan Lombok berusia 15 tahun yang usia di KTP-nya dituakan sehingga ia bisa berangkat menjadi TKW. Tapi malangnya, ia malah terjerat perdagangan manusia, dijual ke seorang Malaysia, dan kerap disiksa majikannya.

Bersama Paox Iben, budayawan Lombok (dok. Andrey Gromico)
Ada harapan besar bahwa pertanian tembakau dan sektor pariwisata yang sedang mulai digarap bisa mengubah hidup banyak orang di Lombok. Meski begitu, Paox Iben mengungkapkan bahwa masyarakat Lombok butuh waktu lama untuk bisa beradaptasi dengan sektor pariwisata ini karena hal ini merupakan hal yang sangat baru bagi masyarakat yang sudah turun temurun ada dalam tradisi agraris.

*
Di hotel, sepulang jalan-jalan ke gudang tembakau, lahan tembakau, Senggigi, dan diskusi dengan Paox Iben, saya sempat meracuni Erika, teman sekamar saya dengan musik-musik Pink Floyd. Sebelum tidur, saya mengajak Erika menonton video lagu High Hopes dan Comfortably Numb-nya Pink Floyd, dan sesuai prediksi saya, dia jatuh cinta dengan solo-gitar David Gilmour. Iyalah, siapa yang nggak ngilu-ngilu denger petikan gitarnya Gilmour.
**
Hari ketiga, kami check-out dari hotel dan menuju ke Desa Karang Bajo, Kecamatan Bayan, Lombok Utara untuk mengenal budaya, tradisi, dan masyarakat adat Karang Bajo. Perjalanan dari hotel ke sana cukup jauh sekali. Begitu sampai, kami disambut secara adat, dan dikalungi selendang oleh perwakilan masyarakat adat Karang Bajo. Setelah meletakkan barang-barang kami di rumah adat yang akan menjadi tempat menginap malamnya, kami menuju ke bis untuk melanjutkan acara jalan-jalan ke air terjun Sendang Gile dan Tiu Kelep. Dari tempat parkir bis ke air terjun, kita harus berjalan kaki sekian kilometer (entah berapa tepatnya, pokoknya capek aja). Ada adegan jatuh dan kram pula, tapi semua terbayar lunas begitu sampai ke air terjunnya.
Air terjun Tiu Kelep (dok. Viriya Paramita)
Selepas jalan-jalan ke air terjun, kami mengunjungi toko oleh-oleh tradisional untuk membeli aneka cindera mata. Saya sendiri membeli beberapa buah gelang, selendang, dan kain tenun asli. Setelah itu kami berjalan kaki menuju masjid adat yang hanya digunakan saat ritual-ritual adat saja. Yang memasukinya pun hanya laki-laki, sementara perempuan hanya boleh sampai halaman saja.
*
Malam harinya, kami dijamu seperti dalam jamuan ritual adat. Kami duduk berpasang-pasangan, dengan dua piring nasi dan lima mangkok aneka lauk yang pastinya tidak akan habis dimakan berdua. Kata ibu-ibu yang mengantarkan makanan, jika tidak habis tidak apa-apa, nanti sisanya akan diberikan ke ayam-ayam peliharaan supaya beranak pinak banyak. Di desa saya, orang kalau makan harus habis dan jika bersisa mitosnya nanti ayam-ayamnya akan mati. Tapi di Karang Bajo ini sebaliknya, makanan sisa justru menjadi berkah karena akan membuat ayam-ayam beranak banyak.
Pemuda-pemudi Karang Bajo (dok. Andrey Gromico)
Setelah jamuan makan malam, kami menyaksikan tari Gegerok Tandak yang dimainkan oleh pemuda-pemuda Karang Bajo sambil menikmati minuman tradisional yang dikenal dengan jaket (jamu ketan) atau brem. Tarian Gegerok Tandak ini diartikan sebagai hiburan dengan perumpamaan binatang, karena sifat manusia yang selalu mengusik atau menggaggu merupakan sifat dari binatang, bukan sifat asli manusia. Tarian ini merupakan tarian yang pertama kali ada dalam wilayah Bayan tanpa menggunakan alat musik. Gegerok Tandak ini diperkirakan terbentuk sejak adanya islam di Bayan, hal ini disimpulkan dari fungsi Tarian Gegerok itu sendiri yang hanya digunakan untuk ritual khitanan.
Pemuda Karang Bajo dalam tari Gegerok Tandak (dok. Andrey Gromico)

Begitu pertunjukkan Gegerok Tandak usai, kami berkumpul di ruangan aula untuk mendengarkan penjelasan Mas Renaldi mengenai masyarakat adat Bayan. Acara itu juga dihadiri oleh kepala desa dan perwakilan tetua adat. Menurut Mas Renaldi, Adat Bayan terbentuk dari 4 komunitas atau kepembekelan Adat, yaitu Loloan, Timuq Orong (Bayan Timur), Bat Orong (Bayan Barat), dan Karang Bajo. Empat kepembekelan memiliki bagian adat dan koordinasi masing-masing, dimana Timuq Orong koordinasi atau rekan kerjanya adalah dengan Loloan yang tugasnya terkait dengan akhirat, dan Karang Bajo koordinasinya dengan Bat Orong terkait dengan ritual kehidupan (duniawi).

Mas Renaldi juga menjelaskan mengenai hutan dan sawah adat yang disakralkan oleh masyarakat adat. Hutan adat itu, pohon-pohonnya tidak boleh ada yang ditebang. Jikalau ada pohon yang roboh pun, hukum adat melarang masyarakat untuk memanfaatkan pohon tersebut. Biarlah ia kembali ke tanah, begitu katanya. Jika ada yang melanggar hukum adat tersebut, sanksi adat akan diberikan misalnya dengan membayar denda seekor kerbau untuk sebatang pohon. Hutan adat itu melindungi sebuah mata air yang dinikmati oleh 9 desa di kecamatan Bayan. Dan masyarakat adat telah menjaga hutan itu selama berabad-abad, guna melindungi tetap lestarinya mata air dan alam. Sementara sawah adat yang luasnya mencapai 21 hektar, pengolahannya tidak boleh menggunakan mesin, melainkan dengan kerbau dan bajak. 

Bersama tetua adat Karang Bajo (dok. Andrey Gromico)
**
5 Oktober 2015, kami berpamitan dan bertolak dari Karang Bajo menuju ke Bandara Lombok Praya. Penerbangan ke Jakarta delay. Tim Jogja akhirnya membatalkan tiket semula dan membeli tiket baru dengan tujuan Lombok Praya - Denpasar - Yogyakarta. Meski begitu, kami sempat menunggu berjam-jam di Solaria sambil menunggu waktu check-in. Saya sempat membeli 2 buku Yukio Mishima di Periplus bandara Lombok Praya sesaat sebelum check-in dan memamerkannya ke mbak Pito yang juga menunggu pesawat ke Denpasar :)
*
Yang selalu indah dalam perjalanan adalah kita bertemu dengan orang-orang baru dan hal-hal baru. Segalanya memperkaya diri kita; dalam satu dan lain hal. Ia mendewasakan kita, membantu kita melihat banyak hal dengan perspektif yang lebih luas. Terima kasih teman-teman Jelajah Negeri Tembakau, terima kasih Nuran. Sampai ketemu di perjalanan yang lain dan semoga bisa ke Lombok lagi nanti-nanti :)
kalau ada sumur di ladang, bolehlah kita menumpang mandi
kalau ada umur panjang, bolehlah kita menumpang mandi lagi (Anonim)

No comments:

Post a Comment