Follow Us @soratemplates

Monday, November 12, 2018

Perempuan Bekerja dan Tidak Bekerja: Mana Yang Lebih Berdaya?

The labor of women in the house, certainly, enables men to produce more than they otherwise could; and in this way women are economic factors in the society. But so are horses.” (Charlotte Perkins Gilman)

Kesselmen dkk (1999: 188) mengatakan bahwa pekerjaan rumah tangga yang dilakukan oleh perempuan sangat menguras tenaga dan waktu. Pekerjaan rumah tangga bahkan dilakukan sebelum matahari terbit . Ketika anak-anak pergi ke sekolah dan suami bekerja, perempuan kembali dihadapkan pada pekerjaan rumah tangga yang tak kunjung usai. Anak dan suami pulang, mereka perlu disiapkan makanan. Bahkan ketika malam, perempuan masih harus mendampingi anaknya belajar kemudian melayani suaminya. Pekerjaan perempuan di ranah domestik menguras tenaga, waktu dan membutuhkan keterampilan. Sementara itu, keterlibatan peran laki-laki dalam kegiatan domestik masih sangat jarang, sebab kebanyakan laki-laki diasosiasikan dalam peran mencari nafkah saja.

Charlotte Perkins Gilman (dalam Edles dan Scott, 2004: 204) menyatakan peran perempuan dalam ranah domestik sangat problematik, dan tidak ada jaminan serta penghargaan dalam bentuk materi. Perempuan memberikan kesempatan yang lebih kepada laki-laki dalam melakukan kegiatan ekonomi. Laki-laki menjadi satu-satunya agen ekonomi tempat perempuan bergantung secara finansial. Lebih lanjut, Gilman membandingkan posisi perempuan dalam relasi tersebut ibarat kuda dengan majikannya, yang keduanya sama-sama tidak merdeka. Perumpamaan kuda dan majikannya ini menggambarkan bagaimana perempuan dalam rumah tangga bekerja dari pagi sampai malam tetapi tidak dibayar, seperti peliharaan (kuda) di dalam rumah. Bahkan segala status sosial dan ekonominya selalu mengikuti suaminya, bukan pencapaian sendiri.


Padahal perempuan yang memiliki kesempatan bekerja di ruang publik faktanya berpotensi memberdayakan ekonomi keluarga. Tulisan ini bertujuan mengurai fakta-fakta tersebut dengan mengolah data yang berasal dari wawancara mendalam dengan perempuan-perempuan yang sudah menikah, yang bekerja dan yang tidak bekerja serta data yang bersumber dari surat kabar.

Perempuan yang Bekerja, dan Perempuan Tidak Bekerja
Data Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2010 menunjukkan bahwa terdapat lebih dari 31 juta jiwa penduduk miskin Indonesia termasuk perempuan di dalamnya. Pun jika 31 juta jiwa tersebut adalah laki-laki, perempuan tetap termasuk menjadi bagian yang ikut menanggung kemiskinan karena statusnya sebagai istri atau anak perempuan yang bergantung pada laki-laki sebagai pencari nafkah utama. Imam Cahyono (Jurnal Perempuan 42, 2005: 12) menyatakan bahwa sebagian besar kemiskinan diisi oleh perempuan dan perempuan mengalami kesulitan untuk mengakses ekonomi sebab perempuan seringkali terpinggirkan dan tidak dihargai.

Sementara itu, ketergantungan ekonomi membuat perempuan tidak dapat menentukan sendiri kualitas hidup dan status sosialnya. Dengan kondisi ekonomi yang lemah, untuk mendapatkan tempat tinggal dan makan yang layakpun mengalami kesulitan, apalagi akses kesehatan dan pendidikan. Dalam kondisi semacam itu, perempuan sekaligus dituntut untuk turut bertanggung jawab atas kelangsungan keluarga.

Suyatini (42), salah seorang responden yang tinggal di daerah Jakarta Selatan sudah menikah selama 23 tahun memiliki dua orang anak. Anak yang paling besar berusia 22 tahun dan anak keduanya kelas 1 SMP. Suyantini hidup dalam kemiskinan yang berimbas pada rendahnya kualitas hidup keluarganya. Kemiskinan membuatnya kurang gizi saat mengandung kedua anaknya, sehingga anak-anaknya lahir dalam kondisi cacat. Suami Suyantini hanyalah seorang buruh yang pendapatannya tidak lebih dari 1 juta rupiah per bulan, bekerja dari pagi hingga malam, sementara tanggung jawab domestik sepenuhnya dilakukan oleh Suyantini. Suyantini mengurus rumah tangga sejak pagi buta. Suyantini mengakui keinginannya untuk bisa bekerja dan membantu perekonomian keluarganya, tapi urusan rumah tidak ada habis-habisnya. Untungnya, Suryantini mempunyai kartu Gakin, yaitu kartu jaminan pemeliharaan kesehatan bagi keluarga miskin dan kurang mampu, sehingga untuk masalah kesehatan, dia tidak lagi kebingungan.

Yuni Mariani (32), salah seorang warga di kelurahan Manggarai Selatan, juga hidup dalam kemiskinan. Yuni sudah menikah selama 13 tahun dan memiliki dua orang anak, yang pertama sekolah di SMP dan yang kedua masih duduk di SD. Seperti Suyantini, Yuni juga tidak bekerja karena harus mengurus urusan rumah tangga. Suaminya bekerja sebagai seorang supir dan jarang pulang ke rumah. Penghasilan per bulan pun tidak lebih dari 1 juta yang sangat tidak mencukupi kebutuhan sehari-hari.

Berbeda dengan Suryantini, Yuni tidak mempunyai kartu Gakin maupun kartu Asuransi Kesehatan Masyarakat Miskin (Askeskin) sehingga untuk kesehatan terpaksa harus membayar atau terkadang berhutang. Begitu juga dengan pendidikan, Yuni merasa hidup dalam kekurangan, belum lagi biaya sekolah anak sangat mahal. Yuni pun menyampaikan harapannya untuk bisa bekerja, supaya bisa mencukupi kebutuhan keluarganya.

Lain dengan Suyantini dan Yuni yang tidak bekerja, Lestari (33), selain mengurus rumah tangga, juga bekerja. Lestari sudah menikah selama 10 tahun dan kini tinggal bersama suami dan anak-anaknya di Riau. Pekerjaan suami Lestari adalah guru honorer, anaknya dua, SD dan TK. Lestari tidak mempunyai ijazah SMA. Dulu pernah sekolah Madrasah Aliyah Negeri atau MAN (setara SMA) tapi tidak selesai karena tidak ada biaya. Namun setelah menikah, Lestari mengambil Kejar Paket C, dan kini sudah mengantongi ijazah setara SMA.

Lestari selain mengurus rumah tangga, juga bekerja sebagai guru bantu di TK. Dari sanalah, Lestari mendapat tambahan penghasilan. Tambahan penghasilan itu bisa membantu untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, bahkan untuk sekolah lagi. Dari penghasilan itu, Lestari bisa ikut kuliah jarak jauh dan kini sudah mendapatkan gelar sarjana. Kini, Lestari sedang menyicil sebidang tanah dengan gajinya sebagai guru bantu di Riau. Lestari mengakui bahwa suaminya juga sering membantu mengurus anak dan mencuci, terutama jika harus pergi untuk sekolah yang biasanya dilakukan pada siang hingga sore hari.

Pendidikan yang Berdampak Ekonomi
Di Ciamis-Tasikmalaya, Jawa Barat, ada sekelompok perempuan petani terdiri dari 25 orang mengadakan “sekolah mandiri” bernama Kelompok Wanita Tani Sri Mandiri, sebuah kegiatan non-formal tempat berdiskusi para perempuan istri petani yang memiliki komitmen untuk turut bekerja karena tidak bisa hanya mengandalakan pendapatan suami saja. Jauh sebelum kelompok ini terbentuk, para perempuan istri petani itu hanya berpangku tangan pada penghasilan suami. Padahal pendapatan suami mereka hanya sekitar Rp500.000 per bulan dan itu tidak mencukupi kebutuhan sehari-hari.

Karena keadaan itulah mereka berinisatif mandiri dengan membentuk pertemuan rutin dan belajar tentang menanam sayur sebagai pekerjaan alternatif. Mereka menanam sayur di lahan milik desa yang hasilnya dibagi rata dengan semua anggota. Selain sayur, mereka juga menanam kunyit, jahe dan pisang. Hasilnya memuaskan, karena setiap bulan selalu ada sayur yang dipanen dan laku di jual di pasar. Setiap bulan, kelompok petani perempuan ini mendapatkan keuntungan bersih sekitar Rp200.000 dan mereka juga tidak lagi membeli sayur untuk memasak, sebab tinggal memetik saja di pekarangan. (Kompas, Rabu 20 Juni 2012)
Rupanya kegiatan seperti ini tidak hanya di Ciamis. Di Desa Beiwali, Kecamatan Bajawa, Ngada, Flores, Yustina Jut mengajak perempuan-perempuan di desanya membentuk Perempuan Mandiri Desa (PMD) pada 2004. Hal ini dilatarbelakangi oleh kesulitan ekonomi keluarga karena suami tidak jelas penghasilannya, sementara anak-anak kebutuhan. Jut memimpin para perempuan yang berjumlah sekitar 15 orang untuk melakukan tindakan ekonomi yang bisa menyelamatkan keluarga. Awalnya, mereka menanam jahe di area seluas 5.000 meter persegi karena mendapat informasi bahwa harga jahe mahal. Namun, ternyata informasi tersebut tidak benar. Jahe yang diharapkan bisa laku Rp10.000 per kilo ternyata hanya laku Rp3.000 saja.

Jut tidak patah semangat untuk terus meyakinkan anggota PMD agar berdaya secara ekonomi dengan melakukan tindakan-tindakan ekonomi yang menghasilkan uang. Setelah gagal dengan tanaman jahe, Jut mengajak teman-temannya untuk menanam kentang, yang juga gagal total. Kemudian ditanamlah kedelai dan kacang merah, namun ternyata harga jualnya sangat murah sehingga tidak memberikan keuntungan yang berarti. Hingga kemudian, terpikirkanlah untuk menanam kopi di bawah pembinaan Unit Pengolahan Hasil (UPH) Fa Masa. Dari sinilah pelan-pelan perekonomian mereka terangkat. Dari hasil penjualan kopi ini, perempuan anggota PMD dapat menyekolahkan anak, menyediakan biaya kesehatan dan memenuhi kebutuhan ekonomi rumah tangga. (Kompas, Senin, 16 Juli 2012)

Ekonomi yang Berdampak Pada Kesehatan
Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia pada tahun 2007 mencatat, angka kematian ibu di Indonesia mencapai 228 per 100.000 kelahiran. Angka kematian ibu ini disebabkan oleh banyak hal, termasuk gizi buruk dan ketidakmampuan ekonomi dalam membayar biaya persalinan lewat tenaga kesehatan yang berpengalaman.

Selain angka kematian ibu yang tinggi, setiap tahun ada 500.000 perempuan Indonesia terdiagnosis terinfeksi kanker serviks dan terdapat 270.000 yang meninggal dunia. Dalam angka yang begitu tinggi ini, bila perempuan tidak kuat secara ekonomi, tidak akan mampu merawat kesehatannya sendiri. Keterbatasan dalam mengakses kesehatan bisa membunuh perempuan.

Kemampuan ekonomi perempuan akan mampu menentukan kualitas hidup dirinya sebagai subjek masyarakat/warga negara yang mandiri atau tidak bergantung. Seperti yang dialami oleh Lestari perempuan petani di Ciamis, bisa mendapatkan pendidikan Kejar Paket C dan kuliah jarak jauh sampai mendapatkan gelar sarjana, karena dia tidak hanya terbatas pada aktifitas domestik saja, namun juga sektor ekonomi, yaitu dengan bekerja. Dan kelompok perempuan petani di Ciamis, dengan mengadakan pertemuan kelompok secara rutin mampu untuk menyerap banyak pengetahuan baru yang berguna dalam kegiatannya bercocok tanam sayuran. Perempuan yang bekerja dan berdaya secara ekonomi juga akan mampu menyekolahkan anaknya dan biaya kesehatan, sebagaimana yang terjadi pada PMD pimpinan Yustina Jut di Flores.

Sementara Suryantini dan Yuni ingin sekali bisa bekerja, agar bisa menaikkan taraf hidupnya menjadi lebih baik, tetapi merasa tidak bisa melakukannya karena beban domestik yang tidak bisa ditinggalkan. Berbeda dengan Lestari, yang dalam aktivitas domestiknya dibantu oleh suaminya, sehingga memungkinkan Lestari untuk bisa beraktivitas di luar rumah, seperti bersekolah lagi. Artinya bahwa penguatan ekonomi perempuan sangat dibutuhkan, sebab akan berdampak pada penyelamatan kehidupan dirinya dan dengan sendirinya kepada keluarga.

Daftar Pustaka
Kesselmen, Amy dkk. 1999. Women Images and Realities, A Multicultural Anthology (Second Edition). California: Mayfield Publishing Company.
Edles, Desfor Laura dan Appelrouth, Scott. Sociological Theory in The Classical Era. Diunduh pada 1 Juni 2012 dari www.sagepub.com/upm-data/4942_Edles_Chapter_5.pdf
Cahyono, Imam. “Wajah Kemiskinan, Wajah Perempuan”. Jurnal Perempuan Edisi 42, 2005.
Kompas, Rabu 20 Juni 2012 dengan fokus: Pemberdayaan Perempuan: “Sekolah” Untuk Mandiri.
Kompas, Senin, 16 Juli 2012 dengan fokus: Penggagas Kelompok Perempuan Mandiri Desa.
Data BPS mengenai angka kemiskinan di Indonesia, diakses pada 1 Juni 2012 dari http://www.bps.go.id/
Data BPS mengenai angka buta huruf di Indonesia, diakses pada 1 Juni 2012 dari http://www.bps.go.id/
Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2007, diunduh pada 1 Juni 2012 dari http://www.scribd.com/doc/17909311/SURVEI-DEMOGRAFI-KESEHATAN-INDONESIA-2007
Wawancara dengan Suyantini, Sabtu, 2 Juni 2012.
Wawancara dengan Yuni Mariani, Minggu, 3 Juni 2012.
Wawancara dengan Lestari, Sabtu, 9 Juni 2012.

(Dimuat dalam Jurnal Perempuan, edisi 74, Siapakah Agen Ekonomi?, Vol. 17 No. 3, September 2012) 

No comments:

Post a Comment