“The labor of women in the house,
certainly, enables men to produce more than they otherwise could; and in this
way women are economic factors in the society. But so are horses.”
(Charlotte Perkins Gilman)
Kesselmen dkk (1999: 188) mengatakan bahwa pekerjaan
rumah tangga yang dilakukan oleh perempuan sangat menguras tenaga dan waktu.
Pekerjaan rumah tangga bahkan dilakukan sebelum matahari terbit . Ketika
anak-anak pergi ke sekolah dan suami bekerja, perempuan kembali dihadapkan pada
pekerjaan rumah tangga yang tak kunjung usai. Anak dan suami pulang, mereka
perlu disiapkan makanan. Bahkan ketika malam, perempuan masih harus mendampingi
anaknya belajar kemudian melayani suaminya. Pekerjaan perempuan di ranah
domestik menguras tenaga, waktu dan membutuhkan keterampilan. Sementara itu,
keterlibatan peran laki-laki dalam kegiatan domestik masih sangat jarang, sebab
kebanyakan laki-laki diasosiasikan dalam peran mencari nafkah saja.
Charlotte Perkins Gilman (dalam Edles dan Scott, 2004: 204)
menyatakan peran perempuan dalam ranah domestik sangat problematik, dan tidak
ada jaminan serta penghargaan dalam bentuk materi. Perempuan memberikan
kesempatan yang lebih kepada laki-laki dalam melakukan kegiatan ekonomi.
Laki-laki menjadi satu-satunya agen ekonomi tempat perempuan bergantung secara
finansial. Lebih lanjut, Gilman membandingkan posisi perempuan dalam relasi
tersebut ibarat kuda dengan majikannya, yang keduanya sama-sama tidak merdeka.
Perumpamaan kuda dan majikannya ini menggambarkan bagaimana perempuan dalam
rumah tangga bekerja dari pagi sampai malam tetapi tidak dibayar, seperti
peliharaan (kuda) di dalam rumah. Bahkan segala status sosial dan ekonominya
selalu mengikuti suaminya, bukan pencapaian sendiri.
Padahal perempuan yang memiliki kesempatan bekerja di ruang publik faktanya berpotensi memberdayakan ekonomi keluarga. Tulisan ini bertujuan mengurai fakta-fakta tersebut dengan mengolah data yang berasal dari wawancara mendalam dengan perempuan-perempuan yang sudah menikah, yang bekerja dan yang tidak bekerja serta data yang bersumber dari surat kabar.
Perempuan
yang Bekerja, dan Perempuan Tidak Bekerja
Data Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2010 menunjukkan bahwa
terdapat lebih dari 31 juta jiwa penduduk miskin Indonesia termasuk perempuan
di dalamnya. Pun jika 31 juta jiwa tersebut adalah laki-laki, perempuan tetap
termasuk menjadi bagian yang ikut menanggung kemiskinan karena statusnya
sebagai istri atau anak perempuan yang bergantung pada laki-laki sebagai
pencari nafkah utama. Imam Cahyono (Jurnal Perempuan 42, 2005: 12) menyatakan
bahwa sebagian besar kemiskinan diisi oleh perempuan dan perempuan mengalami
kesulitan untuk mengakses ekonomi sebab perempuan seringkali terpinggirkan dan
tidak dihargai.
Sementara itu, ketergantungan ekonomi membuat perempuan tidak
dapat menentukan sendiri kualitas hidup dan status sosialnya. Dengan kondisi
ekonomi yang lemah, untuk mendapatkan tempat tinggal dan makan yang layakpun
mengalami kesulitan, apalagi akses kesehatan dan pendidikan. Dalam kondisi
semacam itu, perempuan sekaligus dituntut untuk turut bertanggung jawab atas
kelangsungan keluarga.
Suyatini (42), salah seorang responden yang tinggal di daerah
Jakarta Selatan sudah menikah selama 23 tahun memiliki dua orang anak. Anak
yang paling besar berusia 22 tahun dan anak keduanya kelas 1 SMP. Suyantini
hidup dalam kemiskinan yang berimbas pada rendahnya kualitas hidup keluarganya.
Kemiskinan membuatnya kurang gizi saat mengandung kedua anaknya, sehingga
anak-anaknya lahir dalam kondisi cacat. Suami Suyantini hanyalah seorang buruh
yang pendapatannya tidak lebih dari 1 juta rupiah per bulan, bekerja dari pagi
hingga malam, sementara tanggung jawab domestik sepenuhnya dilakukan oleh
Suyantini. Suyantini mengurus rumah tangga sejak pagi buta. Suyantini mengakui
keinginannya untuk bisa bekerja dan membantu perekonomian keluarganya, tapi
urusan rumah tidak ada habis-habisnya. Untungnya, Suryantini mempunyai kartu
Gakin, yaitu kartu jaminan pemeliharaan kesehatan bagi keluarga miskin dan
kurang mampu, sehingga untuk masalah kesehatan, dia tidak lagi kebingungan.
Yuni Mariani (32), salah seorang warga di kelurahan Manggarai
Selatan, juga hidup dalam kemiskinan. Yuni sudah menikah selama 13 tahun dan
memiliki dua orang anak, yang pertama sekolah di SMP dan yang kedua masih duduk
di SD. Seperti Suyantini, Yuni juga tidak bekerja karena harus mengurus urusan
rumah tangga. Suaminya bekerja sebagai seorang supir dan jarang pulang ke
rumah. Penghasilan per bulan pun tidak lebih dari 1 juta yang sangat tidak
mencukupi kebutuhan sehari-hari.
Berbeda dengan Suryantini, Yuni tidak mempunyai kartu Gakin maupun
kartu Asuransi Kesehatan Masyarakat Miskin (Askeskin) sehingga untuk kesehatan
terpaksa harus membayar atau terkadang berhutang. Begitu juga dengan
pendidikan, Yuni merasa hidup dalam kekurangan, belum lagi biaya sekolah anak
sangat mahal. Yuni pun menyampaikan harapannya untuk bisa bekerja, supaya bisa
mencukupi kebutuhan keluarganya.
Lain dengan Suyantini dan Yuni yang tidak bekerja, Lestari (33),
selain mengurus rumah tangga, juga bekerja. Lestari sudah menikah selama 10
tahun dan kini tinggal bersama suami dan anak-anaknya di Riau. Pekerjaan suami
Lestari adalah guru honorer, anaknya dua, SD dan TK. Lestari tidak mempunyai
ijazah SMA. Dulu pernah sekolah Madrasah Aliyah Negeri atau MAN (setara SMA)
tapi tidak selesai karena tidak ada biaya. Namun setelah menikah, Lestari
mengambil Kejar Paket C, dan kini sudah mengantongi ijazah setara SMA.
Lestari selain mengurus rumah tangga, juga bekerja sebagai guru
bantu di TK. Dari sanalah, Lestari mendapat tambahan penghasilan. Tambahan
penghasilan itu bisa membantu untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, bahkan
untuk sekolah lagi. Dari penghasilan itu, Lestari bisa ikut kuliah jarak jauh
dan kini sudah mendapatkan gelar sarjana. Kini, Lestari sedang menyicil
sebidang tanah dengan gajinya sebagai guru bantu di Riau. Lestari mengakui
bahwa suaminya juga sering membantu mengurus anak dan mencuci, terutama jika harus
pergi untuk sekolah yang biasanya dilakukan pada siang hingga sore hari.
Pendidikan
yang Berdampak Ekonomi
Di Ciamis-Tasikmalaya, Jawa Barat, ada sekelompok perempuan petani
terdiri dari 25 orang mengadakan “sekolah mandiri” bernama Kelompok Wanita Tani
Sri Mandiri, sebuah kegiatan non-formal tempat berdiskusi para perempuan istri
petani yang memiliki komitmen untuk turut bekerja karena tidak bisa hanya
mengandalakan pendapatan suami saja. Jauh sebelum kelompok ini terbentuk, para
perempuan istri petani itu hanya berpangku tangan pada penghasilan suami.
Padahal pendapatan suami mereka hanya sekitar Rp500.000 per bulan dan itu tidak
mencukupi kebutuhan sehari-hari.
Karena keadaan itulah mereka berinisatif mandiri dengan membentuk
pertemuan rutin dan belajar tentang menanam sayur sebagai pekerjaan alternatif.
Mereka menanam sayur di lahan milik desa yang hasilnya dibagi rata dengan semua
anggota. Selain sayur, mereka juga menanam kunyit, jahe dan pisang. Hasilnya
memuaskan, karena setiap bulan selalu ada sayur yang dipanen dan laku di jual
di pasar. Setiap bulan, kelompok petani perempuan ini mendapatkan keuntungan
bersih sekitar Rp200.000 dan mereka juga tidak lagi membeli sayur untuk
memasak, sebab tinggal memetik saja di pekarangan. (Kompas, Rabu 20 Juni 2012)
Rupanya kegiatan seperti ini tidak hanya di Ciamis. Di Desa
Beiwali, Kecamatan Bajawa, Ngada, Flores, Yustina Jut mengajak
perempuan-perempuan di desanya membentuk Perempuan Mandiri Desa (PMD) pada
2004. Hal ini dilatarbelakangi oleh kesulitan ekonomi keluarga karena suami
tidak jelas penghasilannya, sementara anak-anak kebutuhan. Jut memimpin para
perempuan yang berjumlah sekitar 15 orang untuk melakukan tindakan ekonomi yang
bisa menyelamatkan keluarga. Awalnya, mereka menanam jahe di area seluas 5.000
meter persegi karena mendapat informasi bahwa harga jahe mahal. Namun, ternyata
informasi tersebut tidak benar. Jahe yang diharapkan bisa laku Rp10.000 per
kilo ternyata hanya laku Rp3.000 saja.
Jut tidak patah semangat untuk terus meyakinkan anggota PMD agar
berdaya secara ekonomi dengan melakukan tindakan-tindakan ekonomi yang
menghasilkan uang. Setelah gagal dengan tanaman jahe, Jut mengajak
teman-temannya untuk menanam kentang, yang juga gagal total. Kemudian
ditanamlah kedelai dan kacang merah, namun ternyata harga jualnya sangat murah
sehingga tidak memberikan keuntungan yang berarti. Hingga kemudian,
terpikirkanlah untuk menanam kopi di bawah pembinaan Unit Pengolahan Hasil
(UPH) Fa Masa. Dari sinilah pelan-pelan perekonomian mereka terangkat. Dari
hasil penjualan kopi ini, perempuan anggota PMD dapat menyekolahkan anak,
menyediakan biaya kesehatan dan memenuhi kebutuhan ekonomi rumah tangga.
(Kompas, Senin, 16 Juli 2012)
Ekonomi
yang Berdampak Pada Kesehatan
Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia pada tahun 2007 mencatat,
angka kematian ibu di Indonesia mencapai 228 per 100.000 kelahiran. Angka
kematian ibu ini disebabkan oleh banyak hal, termasuk gizi buruk dan ketidakmampuan
ekonomi dalam membayar biaya persalinan lewat tenaga kesehatan yang
berpengalaman.
Selain angka kematian ibu yang tinggi, setiap tahun ada 500.000
perempuan Indonesia terdiagnosis terinfeksi kanker serviks dan terdapat 270.000
yang meninggal dunia. Dalam angka yang begitu tinggi ini, bila perempuan tidak
kuat secara ekonomi, tidak akan mampu merawat kesehatannya sendiri.
Keterbatasan dalam mengakses kesehatan bisa membunuh perempuan.
Kemampuan ekonomi perempuan akan mampu menentukan kualitas hidup dirinya
sebagai subjek masyarakat/warga negara yang mandiri atau tidak bergantung.
Seperti yang dialami oleh Lestari perempuan petani di Ciamis, bisa mendapatkan
pendidikan Kejar Paket C dan kuliah jarak jauh sampai mendapatkan gelar
sarjana, karena dia tidak hanya terbatas pada aktifitas domestik saja, namun
juga sektor ekonomi, yaitu dengan bekerja. Dan kelompok perempuan petani di
Ciamis, dengan mengadakan pertemuan kelompok secara rutin mampu untuk menyerap
banyak pengetahuan baru yang berguna dalam kegiatannya bercocok tanam sayuran.
Perempuan yang bekerja dan berdaya secara ekonomi juga akan mampu menyekolahkan
anaknya dan biaya kesehatan, sebagaimana yang terjadi pada PMD pimpinan Yustina
Jut di Flores.
Sementara Suryantini dan Yuni ingin sekali bisa bekerja, agar bisa
menaikkan taraf hidupnya menjadi lebih baik, tetapi merasa tidak bisa
melakukannya karena beban domestik yang tidak bisa ditinggalkan. Berbeda dengan
Lestari, yang dalam aktivitas domestiknya dibantu oleh suaminya, sehingga
memungkinkan Lestari untuk bisa beraktivitas di luar rumah, seperti bersekolah
lagi. Artinya bahwa penguatan ekonomi perempuan sangat dibutuhkan, sebab akan
berdampak pada penyelamatan kehidupan dirinya dan dengan sendirinya kepada
keluarga.
Daftar
Pustaka
Kesselmen,
Amy dkk. 1999. Women Images and Realities, A Multicultural Anthology (Second
Edition). California: Mayfield Publishing Company.
Edles,
Desfor Laura dan Appelrouth, Scott. Sociological Theory in The Classical Era.
Diunduh pada 1 Juni 2012 dari www.sagepub.com/upm-data/4942_Edles_Chapter_5.pdf
Cahyono,
Imam. “Wajah Kemiskinan, Wajah Perempuan”. Jurnal Perempuan Edisi 42, 2005.
Kompas,
Rabu 20 Juni 2012 dengan fokus: Pemberdayaan Perempuan: “Sekolah” Untuk
Mandiri.
Kompas,
Senin, 16 Juli 2012 dengan fokus: Penggagas Kelompok Perempuan Mandiri Desa.
Data
BPS mengenai angka kemiskinan di Indonesia, diakses pada 1 Juni 2012 dari http://www.bps.go.id/
Data
BPS mengenai angka buta huruf di Indonesia, diakses pada 1 Juni 2012 dari
http://www.bps.go.id/
Survei
Demografi dan Kesehatan Indonesia 2007, diunduh pada 1 Juni 2012 dari
http://www.scribd.com/doc/17909311/SURVEI-DEMOGRAFI-KESEHATAN-INDONESIA-2007
Wawancara
dengan Suyantini, Sabtu, 2 Juni 2012.
Wawancara
dengan Yuni Mariani, Minggu, 3 Juni 2012.
Wawancara
dengan Lestari, Sabtu, 9 Juni 2012.
(Dimuat dalam Jurnal Perempuan, edisi 74, Siapakah Agen Ekonomi?, Vol. 17 No. 3, September 2012)
No comments:
Post a Comment