Follow Us @soratemplates

Monday, November 12, 2018

Mikail dan Hujan yang Tak Kunjung Henti*

“Di kota itu, kata orang, gerimis telah jadi logam. Di bawah cahaya hari pun bercadar, tapi aku tahu kita akan sampai ke sana. 

Dan kita bercinta tanpa batuk yang tersimpan. Membiarkan gumpal darah di gelas itu menghijau. Dan engkau bertanya mengapa udara berserbuk di antara kita?” 

-Goenawan Mohamad 

Ada aroma rokok yang khas setiap Mikail membuka pintu kamarnya; rokok yang ia hisap bersama Kayana, sambil menikmati berkaleng-kaleng minuman dingin dan kadang-kadang susu kotak rendah kalori yang menjadi kesukaan Kayana. Mikail sering bertanya mengapa Kayana begitu mencintai minuman-minuman hambar seperti susu putih yang tak ada manis-manisnya sama sekali itu, juga kopi yang sengaja diseduh dengan sesedikit mungkin gula, sampai nyaris rasa manisnya tak lagi bisa dikenali. Kayana cuma tersenyum dengan mata membulat yang lucu saat mendengar pertanyaan itu. Ekspresi yang lebih sering membuat Mikail gemas dari pada bernafsu menyetubuhinya. Dan setiap Mikail menuangkan bubuk kopi ke dalam cangkir yang baru, suara serak Kayana akan mengalun, “Jangan banyak-banyak gulanya…” lalu mereka akan menghabiskan malam bersama, dengan bercangkir-cangkir kopi pahit, rokok, dan percakapan-percakapan yang kerap berupa keresahan-keresahan dan luka. 

Mereka tahu, setiap orang mungkin menyimpan jejak luka dalam kenangan yang tak bisa lekang dari pikiran. Beberapa menyisakan trauma mendalam, beberapa yang lain menyisakan dendam. Ada satu hal yang menyatukan Mikail dan Kayana selama bertahun-tahun: jejak luka yang sama dan keinginan untuk saling menyembuhkan. Tapi, betapapun inginnya menyembuhkan luka yang tumbuh karena kebencian itu, selalu saja luka itu terbuka kembali saat melihat kebencian yang sama ternyata belum punah juga. 

“Yang hingar ialah yang luka,” ucap Kayana pada suatu malam, sambil menghembuskan asap rokok dari mulutnya. 

“Kadang, yang diam juga luka,” timpal Mikail sambil tersenyum. Senyuman yang menyimpan duka atas luka-luka yang membekas di beberapa bagian tubuhnya: di punggungnya, di betisnya, di pahanya, di kelaminnya, dan di hatinya. 

Kayana menatap Mikail sejenak dan kembali menghisap rokok di antara jepitan dua jarinya sambil membayangkan perempuan yang melahirkannya. Perempuan yang dipisahkan darinya ketika ia bahkan masih haus air susu ibu di usianya yang belum genap dua. Ia sering menebak-nebak seperti apa wajah perempuan itu sebab kenangan masa kecilnya tak menyisakan ingatan tentang seraut wajah perempuan yang mungkin bisa ia panggil ibu. Ia pun tak punya fotonya. Ia hanya tahu namanya, Siti Maryam. 

“Apa kau akan terus mencari ibumu Kay?” tanya Mikail. 

“Dan apa kau akan terus lari dari ayahmu?” Kayana balik bertanya. Mikail tertawa, sumbang. “Mungkin kita perlu bersitahan dengan perih, sampai lukanya mengering dan sembuh,” lanjut Kayana. Mikail mengangguk. 


“Apa yang salah dengan menjadi homoseksual?” demikian Kay bertanya saat Mikail bercerita tentang ayahnya. Pertanyaan yang Mikail tahu dengan pasti jawabannya. 

“Tidak ada Kay, yang salah adalah menjadi pemerkosa,” jawab Mikail dengan suara parau. 

Kay membuka mulutnya sesaat dan mengatupkannya lagi. Ia tahu apa yang akan diceritakan oleh Mikail selanjutnya, cerita yang tidak ingin ia dengar. Namun terlambat. Sebelum ia meminta Mikail untuk tidak melanjutkan ceritanya, lelaki itu sudah lebih dahulu bertutur. Tentang ia dan ayahnya. Kay ingin menjerit dan melupakan kalimat-kalimat yang didengarnya. Sebab mendengar penuturan Mikail, adalah serupa mengingat kesakitannya sendiri yang kehilangan ibu kandungnya. 

“Apa semua ayah sejahat ayah-ayah kita?” gumam Kay perlahan. Mikail menggeleng. Bukan sebagai jawaban “tidak”, tetapi lebih pada jawaban “aku tidak tahu”. Merekapun termenung dalam. 

“Di otak para ayah yang jahat, lelehan darah anak dan istrinya adalah candu,” ucap Mikail lirih. Nyaris tak terdengar. 

Dan Kay teringat penuturan neneknya. Tentang bagaimana ayahnya menyiksa ibunya, menyuruhnya bekerja, dan menghabiskan pundi-pundi uangnya untuk pesta pora. “Ibumu begitu muda, begitu tak berdaya. Selepas kelahiranmu, ia menghilang selama-lamanya,” begitu neneknya mengisahkan. Kay lupa bertanya, menghilang yang diucapkan neneknya itu berarti apa ibunya pergi atau mati? 

“Selama tak kutemukan pusara atas nama ibuku, ia belum mati,” begitu Kay bersikukuh tentang pencariannya pada ibunya. 

“Selama ayahku belum terkubur di perut bumi, akupun tak akan berhenti berlari Kay,” timpal Mikail. Tapi sampai kapan sebuah hati sanggup menopang segala rasa sakit kehilangan yang begitu dalam? Kay yang kehilangan ibunya dan Mikail yang kehilangan seluruh harga dirinya. 


Hujan menderas sejak semalam. Prakiraan cuaca mengabarkan bahwa akhir Januari ini musim hujan sedang di puncak-puncaknya. Kay tampak berlari kecil menghindari jalan-jalan berlubang yang penuh genangan air. Sepatunya yang terbuat dari bahan beludru tampak basah, begitupun baju dan celananya. Ia memaki lirih ketika tak sengaja kakinya menginjak genangan air dan mencipratkannya ke sepatu dan ujung celana jinsnya. Dalam hati ia menggerutu karena keluar dari rumah kontrakan begitu tergesa pagi tadi sehingga melupakan payung dan jaketnya. 

Tepat di depan pintu rumah kontrakannya yang mungil di gang Sawo itu, Kay mengetuk pintunya sambil memanggil nama Mikail. Namun nihil. Tak ada jawaban apapun. Sambil bersungut-sungut, Kay merogoh saku celana jinsnya, mencari-cari anak kunci. Ia semakin tak sabaran begitu mendengar suara gelegar petir dan hujan yang semakin deras. Begitu menemukan anak kuncinya, ia segera memasukkannya ke lubang kunci dan memutarnya. Dan ia baru sadar bahwa pintu itu tak terkunci. 

Sambil terus memanggil nama Mikail, Kay memutar kenop pintu dan masuk. Betapa sepi. Sementara di luar hujan terus menderas dan kilat sesekali terlihat bersusulan dengan suara petir. 


“Kurasa tak semua ayah seperti ayah kita Kay. Kau ingat Diana? Ayahnya begitu baiknya, begitu lembutnya. Begitupun ayah Rama. Mungkin ayah kita ini, serupa nasib buruk yang kebetulan menimpa kita,” tutur Mikail sambil mematikan bara pada puntung rokoknya yang telah pendek ke asbak kaca di atas meja. 

“Mungkin ayahku, jika masih hidup, akan menyesali kekejamannya pada ibuku dan padaku. Mungkin ia akan merasa bersalah karena membiarkanku tumbuh tanpa ibuku.” 

“Mungkin juga tidak Kay. Mungkin ia akan seperti ayahku, yang tak pernah lelah memperkosaku dan ibuku.” 

Kay tampak menggeleng. Ia kelihatan tak ingin membayangkan ayahnya begitu jahatnya. Barangkali, membayangkan ayahnya berubah bisa sedikit menenangkannya. Meskipun ia tahu, Tuhan memberikan begitu banyak kesempatan bagi mendiang ayahnya untuk bisa mengasihinya. Kesempatan yang tak pernah diambilnya. 

Kay masih bisa mengingat dengan jelas wajah Mikail yang memandanginya dengan sepasang mata penuh kesedihan. Kesedihan yang sama ada pada dirinya. Dan keduanya sama-sama terdiam sambil saling menggenggam tangan, sama-sama berusaha menyalurkan kekuatan. 


Hujan belum juga berhenti sejak dua hari yang lalu. Bahkan jauh lebih deras dari sebelumnya. Kayana meremas ujung gaun hitamnya dengan air muka begitu datar. Ia seperti mati rasa dan lupa bagaimana caranya menangis. Orang-orang yang turut datang ke pemakaman sudah mulai berlalu satu demi satu. Namun Kayana masih tinggal. Tangan kirinya memegang tangkai paying hitam dengan erat. Ia tak bisa berkata-kata. Ia hanya ingat ceceran darah di lantai rumah kontrakannya dan Mikail yang terengah dengan nafas satu-satu. 

“Ayahku menemukanku…” ucap Mikail saat itu dengan terbata-bata. 

Kayana memeluknya, berusaha menenangkannya, sambil tangan satunya sibuk mencari telepon genggam dari dalam tasnya. Ia panik menelpon 118, tapi saat ambulans datang, semua sudah begitu terlambat. 

Mikail pergi, seperti ibunya, bedanya ia punya pusara dan ibunya tidak. Dan hujan akan terus deras mengguyur selama beberapa hari ke depan, persis seperti kata prakiraan cuaca. 

Yogyakarta, 28 Januari 2015





*Cerpen ini sebelumnya sudah dimuat di web Komunitas Kembang Merak 

No comments:

Post a Comment