“Di kota itu, kata orang, gerimis telah jadi logam. Di bawah cahaya hari pun bercadar, tapi aku tahu kita akan sampai ke sana. 
Dan
 kita bercinta tanpa batuk yang tersimpan. Membiarkan gumpal darah di 
gelas itu menghijau. Dan engkau bertanya mengapa udara berserbuk di 
antara kita?” 
-Goenawan Mohamad 
Ada
 aroma rokok yang khas setiap Mikail membuka pintu kamarnya; rokok yang 
ia hisap bersama Kayana, sambil menikmati berkaleng-kaleng minuman 
dingin dan kadang-kadang susu kotak rendah kalori yang menjadi kesukaan 
Kayana. Mikail sering bertanya mengapa Kayana begitu mencintai 
minuman-minuman hambar seperti susu putih yang tak ada manis-manisnya 
sama sekali itu, juga kopi yang sengaja diseduh dengan sesedikit mungkin
 gula, sampai nyaris rasa manisnya tak lagi bisa dikenali. Kayana cuma 
tersenyum dengan mata membulat yang lucu saat mendengar pertanyaan itu. 
Ekspresi yang lebih sering membuat Mikail gemas dari pada bernafsu 
menyetubuhinya. Dan setiap Mikail menuangkan bubuk kopi ke dalam cangkir
 yang baru, suara serak Kayana akan mengalun, “Jangan banyak-banyak 
gulanya…” lalu mereka akan menghabiskan malam bersama, dengan 
bercangkir-cangkir kopi pahit, rokok, dan percakapan-percakapan yang 
kerap berupa keresahan-keresahan dan luka. 
Mereka
 tahu, setiap orang mungkin menyimpan jejak luka dalam kenangan yang tak
 bisa lekang dari pikiran. Beberapa menyisakan trauma mendalam, beberapa
 yang lain menyisakan dendam. Ada satu hal yang menyatukan Mikail dan 
Kayana selama bertahun-tahun: jejak luka yang sama dan keinginan untuk 
saling menyembuhkan. Tapi, betapapun inginnya menyembuhkan luka yang 
tumbuh karena kebencian itu, selalu saja luka itu terbuka kembali saat 
melihat kebencian yang sama ternyata belum punah juga. 
“Yang hingar ialah yang luka,” ucap Kayana pada suatu malam, sambil menghembuskan asap rokok dari mulutnya. 
“Kadang,
 yang diam juga luka,” timpal Mikail sambil tersenyum. Senyuman yang 
menyimpan duka atas luka-luka yang membekas di beberapa bagian tubuhnya:
 di punggungnya, di betisnya, di pahanya, di kelaminnya, dan di 
hatinya. 
Kayana
 menatap Mikail sejenak dan kembali menghisap rokok di antara jepitan 
dua jarinya sambil membayangkan perempuan yang melahirkannya. Perempuan 
yang dipisahkan darinya ketika ia bahkan masih haus air susu ibu di 
usianya yang belum genap dua. Ia sering menebak-nebak seperti apa wajah 
perempuan itu sebab kenangan masa kecilnya tak menyisakan ingatan 
tentang seraut wajah perempuan yang mungkin bisa ia panggil ibu. Ia pun 
tak punya fotonya. Ia hanya tahu namanya, Siti Maryam. 
“Apa kau akan terus mencari ibumu Kay?” tanya Mikail. 
“Dan
 apa kau akan terus lari dari ayahmu?” Kayana balik bertanya. Mikail 
tertawa, sumbang. “Mungkin kita perlu bersitahan dengan perih, sampai 
lukanya mengering dan sembuh,” lanjut Kayana. Mikail mengangguk. 
* 
“Apa
 yang salah dengan menjadi homoseksual?” demikian Kay bertanya saat 
Mikail bercerita tentang ayahnya. Pertanyaan yang Mikail tahu dengan 
pasti jawabannya. 
“Tidak ada Kay, yang salah adalah menjadi pemerkosa,” jawab Mikail dengan suara parau. 
Kay
 membuka mulutnya sesaat dan mengatupkannya lagi. Ia tahu apa yang akan 
diceritakan oleh Mikail selanjutnya, cerita yang tidak ingin ia dengar. 
Namun terlambat. Sebelum ia meminta Mikail untuk tidak melanjutkan 
ceritanya, lelaki itu sudah lebih dahulu bertutur. Tentang ia dan 
ayahnya. Kay ingin menjerit dan melupakan kalimat-kalimat yang 
didengarnya. Sebab mendengar penuturan Mikail, adalah serupa mengingat 
kesakitannya sendiri yang kehilangan ibu kandungnya. 
“Apa
 semua ayah sejahat ayah-ayah kita?” gumam Kay perlahan. Mikail 
menggeleng. Bukan sebagai jawaban “tidak”, tetapi lebih pada jawaban 
“aku tidak tahu”. Merekapun termenung dalam. 
“Di otak para ayah yang jahat, lelehan darah anak dan istrinya adalah candu,” ucap Mikail lirih. Nyaris tak terdengar. 
Dan
 Kay teringat penuturan neneknya. Tentang bagaimana ayahnya menyiksa 
ibunya, menyuruhnya bekerja, dan menghabiskan pundi-pundi uangnya untuk 
pesta pora. “Ibumu begitu muda, begitu tak berdaya. Selepas kelahiranmu,
 ia menghilang selama-lamanya,” begitu neneknya mengisahkan. Kay lupa 
bertanya, menghilang yang diucapkan neneknya itu berarti apa ibunya 
pergi atau mati? 
“Selama tak kutemukan pusara atas nama ibuku, ia belum mati,” begitu Kay bersikukuh tentang pencariannya pada ibunya. 
“Selama
 ayahku belum terkubur di perut bumi, akupun tak akan berhenti berlari 
Kay,” timpal Mikail. Tapi sampai kapan sebuah hati sanggup menopang 
segala rasa sakit kehilangan yang begitu dalam? Kay yang kehilangan 
ibunya dan Mikail yang kehilangan seluruh harga dirinya. 
* 
Hujan
 menderas sejak semalam. Prakiraan cuaca mengabarkan bahwa akhir Januari
 ini musim hujan sedang di puncak-puncaknya. Kay tampak berlari kecil 
menghindari jalan-jalan berlubang yang penuh genangan air. Sepatunya 
yang terbuat dari bahan beludru tampak basah, begitupun baju dan 
celananya. Ia memaki lirih ketika tak sengaja kakinya menginjak genangan
 air dan mencipratkannya ke sepatu dan ujung celana jinsnya. Dalam hati 
ia menggerutu karena keluar dari rumah kontrakan begitu tergesa pagi 
tadi sehingga melupakan payung dan jaketnya. 
Tepat
 di depan pintu rumah kontrakannya yang mungil di gang Sawo itu, Kay 
mengetuk pintunya sambil memanggil nama Mikail. Namun nihil. Tak ada 
jawaban apapun. Sambil bersungut-sungut, Kay merogoh saku celana 
jinsnya, mencari-cari anak kunci. Ia semakin tak sabaran begitu 
mendengar suara gelegar petir dan hujan yang semakin deras. Begitu 
menemukan anak kuncinya, ia segera memasukkannya ke lubang kunci dan 
memutarnya. Dan ia baru sadar bahwa pintu itu tak terkunci. 
Sambil
 terus memanggil nama Mikail, Kay memutar kenop pintu dan masuk. Betapa 
sepi. Sementara di luar hujan terus menderas dan kilat sesekali terlihat
 bersusulan dengan suara petir. 
* 
“Kurasa
 tak semua ayah seperti ayah kita Kay. Kau ingat Diana? Ayahnya begitu 
baiknya, begitu lembutnya. Begitupun ayah Rama. Mungkin ayah kita ini, 
serupa nasib buruk yang kebetulan menimpa kita,” tutur Mikail sambil 
mematikan bara pada puntung rokoknya yang telah pendek ke asbak kaca di 
atas meja. 
“Mungkin
 ayahku, jika masih hidup, akan menyesali kekejamannya pada ibuku dan 
padaku. Mungkin ia akan merasa bersalah karena membiarkanku tumbuh tanpa
 ibuku.” 
“Mungkin juga tidak Kay. Mungkin ia akan seperti ayahku, yang tak pernah lelah memperkosaku dan ibuku.” 
Kay
 tampak menggeleng. Ia kelihatan tak ingin membayangkan ayahnya begitu 
jahatnya. Barangkali, membayangkan ayahnya berubah bisa sedikit 
menenangkannya. Meskipun ia tahu, Tuhan memberikan begitu banyak 
kesempatan bagi mendiang ayahnya untuk bisa mengasihinya. Kesempatan 
yang tak pernah diambilnya. 
Kay
 masih bisa mengingat dengan jelas wajah Mikail yang memandanginya 
dengan sepasang mata penuh kesedihan. Kesedihan yang sama ada pada 
dirinya. Dan keduanya sama-sama terdiam sambil saling menggenggam 
tangan, sama-sama berusaha menyalurkan kekuatan. 
* 
Hujan
 belum juga berhenti sejak dua hari yang lalu. Bahkan jauh lebih deras 
dari sebelumnya. Kayana meremas ujung gaun hitamnya dengan air muka 
begitu datar. Ia seperti mati rasa dan lupa bagaimana caranya menangis. 
Orang-orang yang turut datang ke pemakaman sudah mulai berlalu satu demi
 satu. Namun Kayana masih tinggal. Tangan kirinya memegang tangkai 
paying hitam dengan erat. Ia tak bisa berkata-kata. Ia hanya ingat 
ceceran darah di lantai rumah kontrakannya dan Mikail yang terengah 
dengan nafas satu-satu. 
“Ayahku menemukanku…” ucap Mikail saat itu dengan terbata-bata. 
Kayana
 memeluknya, berusaha menenangkannya, sambil tangan satunya sibuk 
mencari telepon genggam dari dalam tasnya. Ia panik menelpon 118, tapi 
saat ambulans datang, semua sudah begitu terlambat. 
Mikail
 pergi, seperti ibunya, bedanya ia punya pusara dan ibunya tidak. Dan 
hujan akan terus deras mengguyur selama beberapa hari ke depan, persis 
seperti kata prakiraan cuaca. 
Yogyakarta, 28 Januari 2015
*Cerpen ini sebelumnya sudah dimuat di web Komunitas Kembang Merak 
 
 
 
				 
						 
 
 
 
No comments:
Post a Comment