(Picture: courtesy of telegram @booksthief) |
Judul Buku: The Forty Rules of Love
Pengarang: Elif Shafak
Penerbit dan Tahun Terbit: Viking, Penguin Group, England 2010
Jumlah Halaman: 392
Genre: Fiksi
/Sufi mystics say the secret of the Qur’an lies in the verse Al-Fatiha,
And the secret of Al-Fatiha lies in Bismillahirrahmanirrahim
And the quintessence of Bismillah is the letter ba, And there is a dot below that letter.…
The dot underneath the B embodies the entire universe…
ب
The Mathnawi starts with B,
Just like all the chapters in this novel…/
Adalah
Eka Saputra, sahabat saya, kini tinggal di NTB bersama istri dan putri
kesayangannya, yang pertama kali mengenalkan sosok Shams Tabriz kepada
saya. Sebagai pengagum sufi dan jalan tasawuf, kekaguman terhadap
Mawlana Jalaludin Rumi--filsuf agung, penyair, dan sufi-- juga membuat
saya penasaran dengan sosok Shams Tabriz, yang disebut sebagai matahari
bagi Rumi. Elif Shafak, novelis dan feminis Turki kelahiran Perancis
mengisahkan pertemuan dan perpisahan Rumi-Shams dengan sangat
menggetarkan.
The Forty Rules of Love diawali dengan kisah
Ella, perempuan Yahudi empat puluh tahun di Northampton Massachusets,
ibu dari tiga anak dan istri dari suami yang diam-diam melakukan affair
di luar sana. Bukannya Ella tidak tahu dengan perilaku suaminya, ia
sendiri memilih diam. Di tengah kebosanan, ketidakbahagiaan, dan konflik
dengan anak pertamanya, pekerjaannya sebagai reviewer sebuah agensi
sastra mempertemukannya dengan naskah novel 'Sweet Blasphemy' karya Aziz
Zahara yang mengisahkan seorang darwis pengembara bernama Shams Tabriz
di abad 13.
Shams tahu akan seperti apa kelak kematiannya, dan
bahwa ia harus mencari seorang teman yang kepadanya Shams meneruskan
pengetahuannya. Untuk itulah ia berkelana dari Samarkand ke Baghdad dan
bertemu Rumi. Meskipun ia tahu, harga yang harus ia bayar untuk
pertemuan itu adalah nyawanya, sebagaimana para wali di Baghdad
memperingatinya sesaat sebelum Shams menginjakkan kaki ke sana: kau
hanya akan mendapati cinta yang tulus dan kebencian yang paripurna, dan
tidak di tengah-tengahnya.
Perjalanan Shams menuju Konya,
tempat Rumi, diceritakan dalam narasi aku dari beragam sudut pandang,
termasuk Shams dan orang-orang yang ditemuinya: pengemis, pemabuk,
pelacur, anak angkat Rumi, kedua anak lelaki Rumi, istri Rumi, Rumi,
mereka yang kelak menjadi pengikut Shams, pembunuh Shams Tabriz, dan
beberapa tokoh lainnya. Dan dalam narasi tersebut, ditunjukkan bagaimana
orang-orang mengagumi dan membenci Shams dan bagaimana Rumi begitu
mencintai Shams.
Empat puluh poin kaidah cinta pun
dijabarkan satu persatu bersama beragam kisah-kisah yang dituturkan oleh
Shams dengan berbagai setting.
Pembacaan Ella terhadap
naskah Sweet Blasphemy ini membawa perubahan besar pada dirinya dalam
memandang hidup dan cinta. Bagaimana ia akhirnya memilih meninggalkan
hidupnya yang membosankan dan tidak bahagia untuk melihat dunia yang
lebih luas bersama Aziz Zahara, sampai detik kematian Aziz dan
pemakamannya di Konya.
Meskipun penceritaan dalam narasi Sweet
Blasphemy sangat apik karena tokoh Shams diceritakan dengan perspektif
banyak tokoh: baik yang mengaguminya maupun yang membencinya, narasi
Ella menurut saya memiliki kelemahan karena hanya dikisahkan dari sudut
pandang Ella, tidak juga dari anak, suaminya atau bahkan Aziz. Namun,
secara keseluruhan, novel ini sangat enak dinikmati, ia memberikan
pemahaman dan pandangan yang lebih universal tentang cinta. Cinta yang
juga universal.
(Tulisan ini pertama dimuat di perempuanmembaca.com )
No comments:
Post a Comment