Senyata-nyata,
 pemerintah telah banyak linglung pada hal yang (semestinya) menjadi 
wewenangnya. Linglung yang telah menjamah-jamah nyaris seluruh 
kesadarannya, mengabaikan kewajibannya bahwa mereka mewakili jutaan 
kepala yang hidupnya ditangguhkan dalam tangan nya, wakil rakyat yang 
mestinya mewakili rakyat sebenar-benarnya. Namun, hidup di nyata, 
hukum-hukum dan kebijakan-kebijakan lebih berpihak atas nama kekuasaan, 
tiada keberpihakan pada jutaan kepala yang diwakilinya. 
Genderang
 sudah berbunyi sejak lama. Api memantik sudah lama. Suaranya memantul 
di segala penjuru, api membakar di segala penjuru, hingga nanti setiap 
lobang teling pengang oleh sebab dengungnya, dan setiap jiwa, akan nyala
 oleh cahaya api yang berkobar-kobar. 
Rendra
 adalah satu dari penabuh genderang dan pemantik api itu. Dia menabuh 
genderang untuk kita yang tuli, dan memantik api untuk kita yang buta. 
Dia menyuarakan keberpihakan kepada rakyat, lewat puisi-puisinya yang ia
 menolak menyebutnya puisi, tapi pamflet. “kutulis pamflet ini/ 
karena lembaga pendapat umum ditutupi jaring laba-laba./ Orang-orang 
berbicara dalam kasak-kusuk./ Dan ungkapan diri menjadi pengiyaan.”(1) 
Rendra
 menyebut puisinya pamflet karena puisinya ditulis dengan bahasa lugas 
keseharian, minus metafor kontemplatif, bergaya orasi dan sarat dengan 
kritik sosial. Kadang-kadang kritik sosial ini cenderung agitatif. Hal 
ini memang mirip dengan karya tulis yang disebut pamflet. Di kesempatan 
lain, dia berujar lantang, ”Saya tegaskan bahwa masalah politik serta
 ekonomi itu bukan monopoli persoalan para raja dan kelompok yang 
berkuasa saja seperti yang ada pada masyarakat feodal… Lha sekarang 
tiba-tiba kalau seniman melihat kepincangan dalam pembangunan dan 
merugikan rakyat jelata pada umumnya, lalu tak boleh berbicara, 
ditabukan bila hal tersebut dibicarakan dalam kesenian. Apakah seniman 
hanya boleh mengungkapkan masalah kejiwaan serta filsafat saja?” ujar Rendra.(2) 
Puisinya
 itu, Aku Tulis Pamflet Ini telah membuat Rendra dipenjara tanpa diadili
 pada tahun 1978, setelah tiga hari sebelumnya Rendra membacakan 
Pamflet-nya TIM dan diteror oleh sekelompok orang yang melemparkan gas 
amoniak. Namun Rendra tidak berhenti. Kritik sosialnya semakin keras 
membahana. Dalam acara pembacaan puisi pamflet-nya di Jogja, begitu 
dibebaskan dari penjara, Rendra berteriak: “Seniman harus masuk ke 
dalam kehidupan, merekam kehidupan, mengikuti perkembangan kehidupan. 
Seniman yang tidak peka terhadap itu semua, namanya seniman nggandul”.(3) 
Rendra
 bukanlah seniman “nggandul”. Dia adalah seniman yang peka dengan 
kehidupan. Dia menulis “pamflet”-nya berdasarkan kenyataan. Dia membela 
rakyat yang tak punya pembela. Pelacur, pencuri, pezina, pengemis, dan 
orang-orang lapar. Protesnya adalah bentuk kasih yang sumrabah ke setiap
 sendi-sendi kemanusiaan. 
Puisi,
 atau pamflet dalam bahasa Rendra, barangkali tidaklah serta merta 
merubah keadaan. Teriakan Rendra, se-melengking apapun, barangkali tidak
 bisa memberi makan orang-orang lapar. Tapi, pamflet, juga puisi-puisi 
dengan kritik sosial yang diusung oleh kebanyakan puisi Rendra (tidak 
semua tentunya, sebab, selain puisi-pamflet nya yang penuh kritik 
sosial, Rendra juga menulis sajak-sajak cinta yang tentu juga tak kalah 
indah) adalah sebagai pemantik kesadaran. Sebagaimana Milan Kundera 
berkata, perjuangan melawan kekuasaan adalah perjuangan melawan lupa 
maka, puisi-pamflet Rendra adalah suara-suara yang membangunkan kita 
dari lupa, dari keadaan ngglambyar dan tidak sadar, bahwa Delapan juta anak tanpa pendidikan (4) bahwa hiburan kota besar dalam semalam, sama dengan biaya pembangunan sepuluh desa (5) bahwa kita, tidak bisa abai terhadap hal-hal yang demikian. 
Demikianlah
 Rendra, dengan pamflet-nya, ia berteriak memprotes kesewenang-wenangan 
penguasa, dengan pamflet-nya ia memaparkan kenyataan-kenyataan 
kehidupan, dengan pamflet-nya ia berusaha memantik kesadaran-kesadaran 
manusia-manusia Indonesia. Dan ia tetap tegak berteriak tidak kepada 
penguasa dan ketidakadilan: Karena kami tidak boleh memilih,/ dan 
kamu bebas berencana./ Karena kami cuma bersandal,/ dan kamu bebas 
memakai senapan./ Karena kami harus sopan,/ dan kamu punya penjara./ 
Maka TIDAK dan TIDAK kepadamu.(6) 
*Cuplikan
 puisi (1) (4) (5) dan (6) dikutip dari kumpulan buku puisi Rendra 
Potret Pembangunan Dalam Puisi terbitan Pustaka Jaya tahun 1993. 
**Fakta
 dan kutipan pada (2) dan (3) dikutip dari buku Ketika Rendra Baca Sajak
 terbitan Kepel Press tahun 2004 (ed: Edi Haryono) 
***Pernah didiskusikan dalam kegiatan Legion of Arts, 2012
 
 
 
				 
						 
 
 
 
No comments:
Post a Comment