Follow Us @soratemplates

Monday, November 12, 2018

Sekilas Tentang Rendra, Pamflet, dan Keberpihakan Pada Rakyat

Senyata-nyata, pemerintah telah banyak linglung pada hal yang (semestinya) menjadi wewenangnya. Linglung yang telah menjamah-jamah nyaris seluruh kesadarannya, mengabaikan kewajibannya bahwa mereka mewakili jutaan kepala yang hidupnya ditangguhkan dalam tangan nya, wakil rakyat yang mestinya mewakili rakyat sebenar-benarnya. Namun, hidup di nyata, hukum-hukum dan kebijakan-kebijakan lebih berpihak atas nama kekuasaan, tiada keberpihakan pada jutaan kepala yang diwakilinya. 

Genderang sudah berbunyi sejak lama. Api memantik sudah lama. Suaranya memantul di segala penjuru, api membakar di segala penjuru, hingga nanti setiap lobang teling pengang oleh sebab dengungnya, dan setiap jiwa, akan nyala oleh cahaya api yang berkobar-kobar. 

Rendra adalah satu dari penabuh genderang dan pemantik api itu. Dia menabuh genderang untuk kita yang tuli, dan memantik api untuk kita yang buta. Dia menyuarakan keberpihakan kepada rakyat, lewat puisi-puisinya yang ia menolak menyebutnya puisi, tapi pamflet. “kutulis pamflet ini/ karena lembaga pendapat umum ditutupi jaring laba-laba./ Orang-orang berbicara dalam kasak-kusuk./ Dan ungkapan diri menjadi pengiyaan.”(1) 

Rendra menyebut puisinya pamflet karena puisinya ditulis dengan bahasa lugas keseharian, minus metafor kontemplatif, bergaya orasi dan sarat dengan kritik sosial. Kadang-kadang kritik sosial ini cenderung agitatif. Hal ini memang mirip dengan karya tulis yang disebut pamflet. Di kesempatan lain, dia berujar lantang, ”Saya tegaskan bahwa masalah politik serta ekonomi itu bukan monopoli persoalan para raja dan kelompok yang berkuasa saja seperti yang ada pada masyarakat feodal… Lha sekarang tiba-tiba kalau seniman melihat kepincangan dalam pembangunan dan merugikan rakyat jelata pada umumnya, lalu tak boleh berbicara, ditabukan bila hal tersebut dibicarakan dalam kesenian. Apakah seniman hanya boleh mengungkapkan masalah kejiwaan serta filsafat saja?” ujar Rendra.(2) 

Puisinya itu, Aku Tulis Pamflet Ini telah membuat Rendra dipenjara tanpa diadili pada tahun 1978, setelah tiga hari sebelumnya Rendra membacakan Pamflet-nya TIM dan diteror oleh sekelompok orang yang melemparkan gas amoniak. Namun Rendra tidak berhenti. Kritik sosialnya semakin keras membahana. Dalam acara pembacaan puisi pamflet-nya di Jogja, begitu dibebaskan dari penjara, Rendra berteriak: “Seniman harus masuk ke dalam kehidupan, merekam kehidupan, mengikuti perkembangan kehidupan. Seniman yang tidak peka terhadap itu semua, namanya seniman nggandul”.(3) 

Rendra bukanlah seniman “nggandul”. Dia adalah seniman yang peka dengan kehidupan. Dia menulis “pamflet”-nya berdasarkan kenyataan. Dia membela rakyat yang tak punya pembela. Pelacur, pencuri, pezina, pengemis, dan orang-orang lapar. Protesnya adalah bentuk kasih yang sumrabah ke setiap sendi-sendi kemanusiaan. 

Puisi, atau pamflet dalam bahasa Rendra, barangkali tidaklah serta merta merubah keadaan. Teriakan Rendra, se-melengking apapun, barangkali tidak bisa memberi makan orang-orang lapar. Tapi, pamflet, juga puisi-puisi dengan kritik sosial yang diusung oleh kebanyakan puisi Rendra (tidak semua tentunya, sebab, selain puisi-pamflet nya yang penuh kritik sosial, Rendra juga menulis sajak-sajak cinta yang tentu juga tak kalah indah) adalah sebagai pemantik kesadaran. Sebagaimana Milan Kundera berkata, perjuangan melawan kekuasaan adalah perjuangan melawan lupa maka, puisi-pamflet Rendra adalah suara-suara yang membangunkan kita dari lupa, dari keadaan ngglambyar dan tidak sadar, bahwa Delapan juta anak tanpa pendidikan (4) bahwa hiburan kota besar dalam semalam, sama dengan biaya pembangunan sepuluh desa (5) bahwa kita, tidak bisa abai terhadap hal-hal yang demikian. 

Demikianlah Rendra, dengan pamflet-nya, ia berteriak memprotes kesewenang-wenangan penguasa, dengan pamflet-nya ia memaparkan kenyataan-kenyataan kehidupan, dengan pamflet-nya ia berusaha memantik kesadaran-kesadaran manusia-manusia Indonesia. Dan ia tetap tegak berteriak tidak kepada penguasa dan ketidakadilan: Karena kami tidak boleh memilih,/ dan kamu bebas berencana./ Karena kami cuma bersandal,/ dan kamu bebas memakai senapan./ Karena kami harus sopan,/ dan kamu punya penjara./ Maka TIDAK dan TIDAK kepadamu.(6) 

*Cuplikan puisi (1) (4) (5) dan (6) dikutip dari kumpulan buku puisi Rendra Potret Pembangunan Dalam Puisi terbitan Pustaka Jaya tahun 1993. 

**Fakta dan kutipan pada (2) dan (3) dikutip dari buku Ketika Rendra Baca Sajak terbitan Kepel Press tahun 2004 (ed: Edi Haryono) 

***Pernah didiskusikan dalam kegiatan Legion of Arts, 2012


No comments:

Post a Comment