Pengarang: Nur Hikmah
Penerbit: Makar
Tahun Terbit: 2016
Genre: nonfiksi
Jumlah Halaman: 170
Apakah perbedaan keyakinan bisa menjadi pembenaran untuk berlaku tidak adil dan melakukan kekerasan? Bukankah Islam, agama yang dibawa Muhammad SAW adalah agama pembebasan dan kasih sayang. Agama yang memanusiakan manusia. Agama yang memberikan rasa aman bagi orang-orang tertindas dan papa. Pantaskah agama kasih itu dijadikan pembenaran untuk merusak dan menjarah rumah? Untuk mengusir dan menganiaya?
Lebih dari sepuluh tahun, orang-orang Ahmadiyah di Lombok diusir dari tempat tinggalnya. Oleh orang-orang yang sayangnya adalah penganut agama Muhammad SAW. "Ahmadiyah bukan Islam, mereka sesat, mereka menistakan Islam!" begitu kata sebagian dari mereka. Seolah kalimat itu menjadi pembenaran untuk segala tindak kekerasan yang ditujukan pada jemaat Ahmadiyah.
Setelah terusir dari Lombok, jemaat Ahmadiyah ini terus berpindah-pindah mencari tempat tinggal. Sampai kemudian mereka terpaksa hidup dalam pengungsian yang sangat tidak memadai; sebuah gedung besar yang disebut asrama transito di kota Mataram, yang menampung puluhan keluarga dengan fasilitas kebersihan, kesehatan, dan pendidikan yang sangat ala kadarnya. Tak layak disebut rumah. Di sana, orang-orang mati dan bayi-bayi lahir sebagai pengungsi. Nasib mereka pun tidak jelas.
Buku ini sepertinya ditulis untuk mempertanyakan kembali makna keberagaman dan hak sebagai warga negara. Terlepas dari perdebatan sesat atau tidaknya Ahmadiyah sendiri, kekerasan yang dilakukan terhadap para penganutnya tidak bisa dibenarkan. Sebelum tinggal di asrama transito, mereka telah berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain sejak 1998. Alasan kepindahannya sama: adanya penyerangan, dimana mereka dipaksa untuk bertobat dari ke-Ahmadiyah-annya dan rumah dihancurkan serta dijarah.
Di buku ini, penulis memaparkan pengalamannya dalam berinteraksi dengan para pengungsi transito; kisah-kisah mereka, harapan-harapan mereka, dan klarifikasi-klarifikasi tentang apa-apa yang selama ini dituduhkan pada mereka, seperti apakah mereka mengimani Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi setelah Muhammad SAW, atau kitab Tadzkirah yang diisukan menjadi kitab suci mereka. Selama ini dialog-dialog yang dilakukan hanya berjalan satu arah, dimana pihak luar seperti berdakwah dan mengajak jemaat Ahmadiyah untuk kembali ke jalan yang lurus, tanpa mendengarkan apa yang sebenarnya jemaat Ahmadiyah ini inginkan.
Yang paling utama, para pengungsi itu sendiri berharap bahwa mereka bisa diperlakukan sama dengan warga lainnya, beribadah sesuai keyakinannya dengan tenang tanpa takut diserang atau dipaksa pindah keyakinan.
(review ini pertama kali tayang di perempuanmembaca.com pada Desember 2017)
No comments:
Post a Comment