Sejarah
ditulis di atas genangan darah kaum minoritas: mereka yang lemah, yang
berjuang tapi dikalahkan oleh ketidakadilan dan kekuasaan. Jutaan
manusia, termasuk di dalamnya perempuan dan anak-anak, menjadi korban
genosida besar-besaran sebab identitas minoritas mereka: suku Indian,
Gypsi, Yahudi pada era Hitler, kaum Syiah, Ahmadiyah, Homoseksual dan
Lesbian serta kelas minoritas lainnya. Dan sejak mula-mula, feminisme
adalah perjuangan pembelaan terhadap kelas minoritas yang ditindas dan
diopresi, yang pada masa lahirnya feminisme, korbannya kebanyakan
perempuan. Sebab, pada tubuh perempuanlah ketidakadilan dan penindasan
itu bermula. Tulisan singkat ini akan memaparkan sekilas mengenai
feminisme yang pada awalnya merupakan perjuangan perempuan sampai pada
titik dimana feminisme kemudian menjadi perjuangan keadilan.
Feminisme: Perjuangan Perempuan
Perjuangan
feminisme berawal di Barat, ketika perempuan belum memperoleh hak pilih
dalam politik, ketika kesempatan mendapatkan pendidikan untuk perempuan
sangat terbatas dan hampir tidak ada, pun seandainya ada maka hanya
bisa dinikmati oleh segelintir perempuan dari keluarga bangsawan. Lebih
dari itu, perjuangan ini adalah penggugatan atas konstruksi ketubuhan
yang menempatkan perempuan dalam kelas liyan, manusia kelas dua, kelas
laki-laki yang tidak sempurna.
Politik
ketubuhan sebagai opresi ideologis ini adalah sebuah konstruksi yang
menempatkan perempuan sebagai binari oposisi dari laki-laki sehingga
kemudian muncul apa yang dikenal dengan sifat feminin-maskulin.
Perempuan didefinisikan sebagai kelas yang lemah, lembut, santun,
sensitif dan anggun sementara laki-laki adalah kebalikannya. Opresi
ideologis tentang ketubuhan ini kemudian digugat oleh feminisme sejak
era 1900an oleh Simone de Beauvoir. Dalam The Second Sex, de
Beauvoir menolak eksistensi sifat alami perempuan dan laki-laki.
Menurutnya, perempuan secara kultural diperlakukan sebagai kelas kedua
yang tugasnya mengasuh keluarga dan anaknya serta memelihara lingkungan
hidup padahal peran tersebut bukan sifat alami perempuan, melainkan
norma feminin yang dikulturkan oleh sistem patriarki. Kulturisasi nilai
feminin ini dilanggengkan oleh budaya patriarki agar perempuan dapat
terus diopresi.
Opresi
ideologis ini terus menerus diadopsi dan dilegalisasi oleh mitos serta
konstitusi. Padahal perbedaan perempuan dan laki-laki hanyalah soal sex
atau kelamin, di luar koridor tersebut, perempuan dan laki-laki adalah
sama manusia. Namun opresi ini ditanamkan perlahan dalam peradaban
patriarki, sehingga perempuan selain dibonsai dalam konstruksi sosial
dengan sifat-sifat yang bukan milik laki-laki: lemah, lembut, santun,
sensitif dan anggun, terkadang juga disalahkan dan dijadikan korban
dalam peradaban patriarki tersebut.
Perempuan
yang disiksa dan diperkosa di dalam rumahnya sendiri -rumah yang
semestinya menjadi tempat berlindung paling aman- kemudian tidak bisa
berteriak atau mengucapkan apa-apa sebab konstitusi berbicara dengan
bahasa laki-laki. Perempuan dikonstruksi untuk kalah dan di segala
bidang yang dikuasai patriarki, perempuan hanya menjadi objek semata.
Stigmatisasi dan diskriminasi terhadap perempuan sebagai kelas yang
lemah dan sumber kejahatan ditanamkan dalam peradaban yang memanipulasi
dan dirawat dalam kebudayaan seperti mitos dan dongeng seperti
Cinderella, Medusa, Adam-Hawa dan Pandora. Sementara permainan politik
sejak semula dikuasai laki-laki. Padahal, perempuan bukan tidak memiliki
kemampuan untuk menjadi subjek, hanya saja perempuan tidak mempunyai
bahasa yang menjadi alat dia berbicara karena bahasa hanya milik mereka
yang berkelamin laki-laki, yang superior dan berkuasa. Perempuan ingin
berteriak mengenai ketidakadilan ini, tapi dia tidak bisa. Sampai
kemudian gerakan feminisme membuktikan bahwa perempuan mampu, bahwa
perempuan bisa. Hasil perjuangan feminisme bisa terlihat dari terbukanya
kesempatan pendidikan, partisipasi politik dan ekonomi, meskipun
kesetaraan itu sendiri masih jauh, jauh sekali.
Pada
awal kelahirannya, perjuangan feminisme memang diwarnai tuntutan
kebebasan dan persamaan hak agar perempuan dapat setara dengan laki-laki
dalam bidang sosial, ekonomi, partisipasi politik dan pendidikan yang
merupakan inti dari pencerdasan kaum perempuan yang dipelopori antara
lain oleh Mary Wollstonescraft, Virginia Wolf, Kartini hingga Roehana
Koedoes mengenai ide sekolah untuk perempuan.
Feminisme: Perspektif Keadilan
Sejak
semula, feminisme adalah perjuangan keadilan melawan penindasan. Sejak
kelahiran feminisme, penindasan bermuara di tubuh perempuan. Maka,
feminisme pada mulanya adalah perjuangan keadilan melawan penindasan
atas perempuan. Lebih lanjut, feminisme kemudian menjadi semakin luas
namun tetap dalam koridor perjuangan melawan penindasan, berawal dari
ekofeminisme yang menggugat betapa peradaban modern ini sudah sangat
tidak seimbang karena kualitas maskulin terlalu besar. Maskulinitas ini
diadopsi dalam peradaban modern sehingga sifat menguasai, mendominasi,
mengeksplorasi kemudian berimbas pada kerusakan dimana-mana, polusi,
perkosaan terhadap bumi, kriminalitas dan menurunnya solidaritas sosial.
Ekofeminisme menggugat betapa manusia kini begitu memuja maskulinitas
dan melupakan feminitas, sehingga gerakan kembali pada feminitas adalah
sebuah usaha untuk mengembalikan bumi sebagai surga tempat kehidupan
manusia yang bersahabat dan nyaman ditinggali.
Feminisme
lalu kembali pada masa awal kelahirannya, berangkat dari penghargaan
dan semangat kemerdekaan dari segala penindasan, maka feminisme terus
berkembang untuk mempromosikan keadilan yang berwajah pencerahan dan
kesetaraan untuk seluruh manusia dan alam. Maka, salah jika disebutkan
bahwa feminisme adalah gerakan perempuan untuk melawan laki-laki atau
gerakan perempuan untuk menindas laki-laki. Sebab feminisme berangkat
dari penghargaan atas seluruh manusia, maka dalam feminisme, tidak ada
yang lebih tinggi atau lebih rendah. Segala manusia, dengan identitasnya
masing-masing adalah setara, dan memiliki hak serta kewajiban yang
sama.
Adopsi
dari feminisme ini kemudian dimanifestasi dalam segala bentuk
perjuangan keadilan yang dipelopori oleh tidak saja perempuan tapi juga
laki-laki dengan cita-cita keadilan. Maka dalam setiap ketidakadilan
atau penindasan yang terjadi dengan segala bentuknya: kekerasan dalam
rumah tangga, perkosaan, pembatasan menganut agama atau kepercayaan,
dengan korban baik perempuan, laki-laki, atau alam, maka perjuangan
feminisme ada di sana.
Sejarah
sejak lama, ditulis di atas genangan darah kaum minoritas: mereka yang
lemah, yang berjuang tapi dikalahkan oleh ketidakadilan dan kekuasaan.
Feminisme mengenang kesakitan itu dengan perjuangan untuk pencerahan dan
kesetaraan, dengan harapan semua manusia bisa setara, saling mencintai,
saling menghargai dan sama-sama merdeka sejak dalam benak dan hati.
(Artikel ini pernah didiskusikan dalam diskusi Ramadan di Pondok Pesantren Al Munawir Ajibarang 2013)
(Artikel ini pernah didiskusikan dalam diskusi Ramadan di Pondok Pesantren Al Munawir Ajibarang 2013)
No comments:
Post a Comment