Follow Us @soratemplates

Monday, November 12, 2018

Feminisme: Sebuah Catatan

Sejarah ditulis di atas genangan darah kaum minoritas: mereka yang lemah, yang berjuang tapi dikalahkan oleh ketidakadilan dan kekuasaan. Jutaan manusia, termasuk di dalamnya perempuan dan anak-anak, menjadi korban genosida besar-besaran sebab identitas minoritas mereka: suku Indian, Gypsi, Yahudi pada era Hitler, kaum Syiah, Ahmadiyah, Homoseksual dan Lesbian serta kelas minoritas lainnya. Dan sejak mula-mula, feminisme adalah perjuangan pembelaan terhadap kelas minoritas yang ditindas dan diopresi, yang pada masa lahirnya feminisme, korbannya kebanyakan perempuan. Sebab, pada tubuh perempuanlah ketidakadilan dan penindasan itu bermula. Tulisan singkat ini akan memaparkan sekilas mengenai feminisme yang pada awalnya merupakan perjuangan perempuan sampai pada titik dimana feminisme kemudian menjadi perjuangan keadilan.


Feminisme: Perjuangan Perempuan 

Perjuangan feminisme berawal di Barat, ketika perempuan belum memperoleh hak pilih dalam politik, ketika kesempatan mendapatkan pendidikan untuk perempuan sangat terbatas dan hampir tidak ada, pun seandainya ada maka hanya bisa dinikmati oleh segelintir perempuan dari keluarga bangsawan. Lebih dari itu, perjuangan ini adalah penggugatan atas konstruksi ketubuhan yang menempatkan perempuan dalam kelas liyan, manusia kelas dua, kelas laki-laki yang tidak sempurna. 
Politik ketubuhan sebagai opresi ideologis ini adalah sebuah konstruksi yang menempatkan perempuan sebagai binari oposisi dari laki-laki sehingga kemudian muncul apa yang dikenal dengan sifat feminin-maskulin. Perempuan didefinisikan sebagai kelas yang lemah, lembut, santun, sensitif dan anggun sementara laki-laki adalah kebalikannya. Opresi ideologis tentang ketubuhan ini kemudian digugat oleh feminisme sejak era 1900an oleh Simone de Beauvoir. Dalam The Second Sex, de Beauvoir menolak eksistensi sifat alami perempuan dan laki-laki. Menurutnya, perempuan secara kultural diperlakukan sebagai kelas kedua yang tugasnya mengasuh keluarga dan anaknya serta memelihara lingkungan hidup padahal peran tersebut bukan sifat alami perempuan, melainkan norma feminin yang dikulturkan oleh sistem patriarki. Kulturisasi nilai feminin ini dilanggengkan oleh budaya patriarki agar perempuan dapat terus diopresi.

Opresi ideologis ini terus menerus diadopsi dan dilegalisasi oleh mitos serta konstitusi. Padahal perbedaan perempuan dan laki-laki hanyalah soal sex atau kelamin, di luar koridor tersebut, perempuan dan laki-laki adalah sama manusia. Namun opresi ini ditanamkan perlahan dalam peradaban patriarki, sehingga perempuan selain dibonsai dalam konstruksi sosial dengan sifat-sifat yang bukan milik laki-laki: lemah, lembut, santun, sensitif dan anggun, terkadang juga disalahkan dan dijadikan korban dalam peradaban patriarki tersebut. 

Perempuan yang disiksa dan diperkosa di dalam rumahnya sendiri -rumah yang semestinya menjadi tempat berlindung paling aman- kemudian tidak bisa berteriak atau mengucapkan apa-apa sebab konstitusi berbicara dengan bahasa laki-laki. Perempuan dikonstruksi untuk kalah dan di segala bidang yang dikuasai patriarki, perempuan hanya menjadi objek semata. Stigmatisasi dan diskriminasi terhadap perempuan sebagai kelas yang lemah dan sumber kejahatan ditanamkan dalam peradaban yang memanipulasi dan dirawat dalam kebudayaan seperti mitos dan dongeng seperti Cinderella, Medusa, Adam-Hawa dan Pandora. Sementara permainan politik sejak semula dikuasai laki-laki. Padahal, perempuan bukan tidak memiliki kemampuan untuk menjadi subjek, hanya saja perempuan tidak mempunyai bahasa yang menjadi alat dia berbicara karena bahasa hanya milik mereka yang berkelamin laki-laki, yang superior dan berkuasa. Perempuan ingin berteriak mengenai ketidakadilan ini, tapi dia tidak bisa. Sampai kemudian gerakan feminisme membuktikan bahwa perempuan mampu, bahwa perempuan bisa. Hasil perjuangan feminisme bisa terlihat dari terbukanya kesempatan pendidikan, partisipasi politik dan ekonomi, meskipun kesetaraan itu sendiri masih jauh, jauh sekali. 

Pada awal kelahirannya, perjuangan feminisme memang diwarnai tuntutan kebebasan dan persamaan hak agar perempuan dapat setara dengan laki-laki dalam bidang sosial, ekonomi, partisipasi politik dan pendidikan yang merupakan inti dari pencerdasan kaum perempuan yang dipelopori antara lain oleh Mary Wollstonescraft, Virginia Wolf, Kartini hingga Roehana Koedoes mengenai ide sekolah untuk perempuan.

Feminisme: Perspektif Keadilan

Sejak semula, feminisme adalah perjuangan keadilan melawan penindasan. Sejak kelahiran feminisme, penindasan bermuara di tubuh perempuan. Maka, feminisme pada mulanya adalah perjuangan keadilan melawan penindasan atas perempuan. Lebih lanjut, feminisme kemudian menjadi semakin luas namun tetap dalam koridor perjuangan melawan penindasan, berawal dari ekofeminisme yang menggugat betapa peradaban modern ini sudah sangat tidak seimbang karena kualitas maskulin terlalu besar. Maskulinitas ini diadopsi dalam peradaban modern sehingga sifat menguasai, mendominasi, mengeksplorasi kemudian berimbas pada kerusakan dimana-mana, polusi, perkosaan terhadap bumi, kriminalitas dan menurunnya solidaritas sosial. Ekofeminisme menggugat betapa manusia kini begitu memuja maskulinitas dan melupakan feminitas, sehingga gerakan kembali pada feminitas adalah sebuah usaha untuk mengembalikan bumi sebagai surga tempat kehidupan manusia yang bersahabat dan nyaman ditinggali.

Feminisme lalu kembali pada masa awal kelahirannya, berangkat dari penghargaan dan semangat kemerdekaan dari segala penindasan, maka feminisme terus berkembang untuk mempromosikan keadilan yang berwajah pencerahan dan kesetaraan untuk seluruh manusia dan alam. Maka, salah jika disebutkan bahwa feminisme adalah gerakan perempuan untuk melawan laki-laki atau gerakan perempuan untuk menindas laki-laki. Sebab feminisme berangkat dari penghargaan atas seluruh manusia, maka dalam feminisme, tidak ada yang lebih tinggi atau lebih rendah. Segala manusia, dengan identitasnya masing-masing adalah setara, dan memiliki hak serta kewajiban yang sama.

Adopsi dari feminisme ini kemudian dimanifestasi dalam segala bentuk perjuangan keadilan yang dipelopori oleh tidak saja perempuan tapi juga laki-laki dengan cita-cita keadilan. Maka dalam setiap ketidakadilan atau penindasan yang terjadi dengan segala bentuknya: kekerasan dalam rumah tangga, perkosaan, pembatasan menganut agama atau kepercayaan, dengan korban baik perempuan, laki-laki, atau alam, maka perjuangan feminisme ada di sana. 




Sejarah sejak lama, ditulis di atas genangan darah kaum minoritas: mereka yang lemah, yang berjuang tapi dikalahkan oleh ketidakadilan dan kekuasaan. Feminisme mengenang kesakitan itu dengan perjuangan untuk pencerahan dan kesetaraan, dengan harapan semua manusia bisa setara, saling mencintai, saling menghargai dan sama-sama merdeka sejak dalam benak dan hati.

(Artikel ini pernah didiskusikan dalam diskusi Ramadan di Pondok Pesantren Al Munawir Ajibarang 2013)

No comments:

Post a Comment