Follow Us @soratemplates

Monday, November 12, 2018

Perempuan dan Korupsi: Histeria Tubuh Perempuan yang Dilegalkan Patriarki*

Media Parahyangan, Jurnal Perempuan, dan Pusat Studi Ilmu Kemasyarakatan (PUSIK) Universitas Parahyangan mengadakan diskusi publik dengan tema Perempuan dan Korupsi pada 28 Juni 2012 di Universitas Parahyangan Bandung. Diskusi ini dibagi dalam dua sesi. Sesi pertama dengan subtema ‘Menolak Logika Koruptif dan Mengembalikan Akal Sehat: Peranan Kaum Perempuan’ dengan pembicara Rocky Gerung (Dewan Redaksi Jurnal Perempuan) dan Niken Savitri, (dosen Fakultas Hukum Universitas Parahyangan), dimoderatori oleh Lalola Easter. Sesi kedua dengan subtema ‘Perempuan dan Korupsi: Sebuah Permasalahan’ dengan pembicara Agustinus Pohan (dosen Fakultas Hukum Universitas Parahyangan) dan Jaleswari Pramodhawardani (peneliti dari LIPI), dimoderatori oleh Aquarini Prabasmoro.

Pembawa acara membuka diskusi ini dengan menghadirkan pertanyaan mengapa ada anggapan bahwa perempuan adalah biang korupsi dan mengapa laki-laki lebih dimaklumi saat melakukan korupsi karena dianggap melakukan korupsi demi keluarganya, sementara perempuan dihujat karena dianggap berkorupsi untuk membeli barang-barang mewah.

Perwakilan Media Parahyangan memberi sambutan bahwa setiap hari Kamis, selalu ada diskusi, yang salah satunya membahas tentang korupsi, tapi tidak pernah membahas mengenai logika koruptif. Harapannya diskusi ini tidak hanya berhenti di sini. Perwakilan PUSIK menegaskan bahwa korupsi adalah masalah mendasar dalam pemerintahan saat ini, dan beragam aspeknya, salah satunya adalah perempuan sebagaimana dibahas dalam Jurnal Perempuan edisi 72. Perwakilan Jurnal Perempuan mengenalkan mengenai Jurnal Perempuan, visi dan misi untuk pendidikan, pencerahan dan kesetaraan, serta harapan agar Jurnal Perempuan bisa kemudian digunakan sebagai referensi ilmiah untuk dunia akademik.

Sesi pertama, dibuka oleh Lalola Easter yang mengajukan premis yang banyak diamini oleh masyarakat umum, yaitu kalimat “You have to think like a man and act like a lady” yang langsung ditanggapi oleh pembicara. Rocky Gerung mengatakan bahwa mitos tersebut memang ditanamkan oleh kebudayaan untuk menegaskan bahwa passion itu di bawah reason padahal kenyataannya tidak demikian, Niken Savitri kemudian juga menolak premis tersebut dan mengatakan bahwa hal tersebut tidak bisa di-generalisasi ke setiap orang.

Selanjutnya Niken Savitri memaparkan presentasinya mengenai ‘Logika Koruptif dan Peranan Perempuan’. Niken mengungkapkan bahwa korupsi memang selalu disandingkan dengan kekuasaan. Sebabnya pun beragam, contohnya sifat mendua kita: menghujat korupsi di tingkat pemerintahan tapi mentoleransi korupsi di tingkat yang lebih rendah. Negara ini menurut Niken sangat kontradiktif, di satu sisi, negara ini dipenuhi ormas-ormas agama yang menegaskan ke-agamis-an, tapi di sisi lain, orang-orang kita sangat koruptif. Dan korban paling rentan dari segala tindak korupsi ini adalah perempuan. Orang lebih senang mendengarkan penampilan dan cerita mengenai perempuan yang korupsi, meliputi gaya hidup danfashion yang dikenakan tapi lupa dengan substansinya. Pun ketika koruptor itu adalah laki-laki, perempuan dituduhmenjadi pendorong mengapa laki-laki melakukan korupsi. Padahal kesemuanya itu adalah asumsi yang tidak didukung dengan survey ilmiah. Ketidak-adilan logika koruptif ini merugikan perempuan. Logika berpikir induktif yang mengatakan bahwa jika ada perempuan korupsi maka semua perempuan korupsi itu tidak mempunyai nilai validitas. Dalam logika berfikir tersebut, yang ada adalah probabilitas, yang artinya, tidak semua perempuan melakukan korupsi hanya karena satu-dua orang melakukan korupsi.

Fakta empiris menegaskan bahwa pada kenyataannya, korupsi dapat dilakukan oleh perempuan dan laki-laki, terutama mereka yang memiliki kekuasaan. Power tends to corrupt dan ketidakjujuran melekat sebagai nilai moral pada siapa saja. Namun, ternyata yang paling dirugikan dari korupsi ini memang perempuan. Sebagai perempuan yang berkorupsi, yang dibicarakan adalah gaya hidup dan penampilan, bukan esensi korupsinya. Sebagai korban tindak korupsi, banyak perempuan dan anak dirugikan, sebagaimana terjadi di Subang, Indramayu, dimana anak-anak perempuan berumur 14 tahun, dibuatkan KTP yang usianya ditulis menjadi 19 tahun untuk kemudian dijual di Batam, Pekanbaru dan lain-lain. Pemalsuan KTP dan akses keadilan yang susah diperoleh perempuan dan anak karena penegak hukumnya korup menyebabkan perdagangan perempuan merajalela dan tidak terkendali.

Sementara itu, Rocky Gerung, Dewan Redaksi Jurnal Perempuan, dengan singkat dan padat memaparkan presentasinya mengenai ‘Menolak Logika Korupsi’. Korupsi, adalah lawan dari integritas dan bukan konstruksi budaya. Logika korupsi diterangkan dalam konstruksi politik, tentang sistem keadilan sosial, ide kebebasan individu dan kultur politik yang mengasuhnya. Korban paling utama dari korupsi adalah perempuan. Perempuan sejak mula-mula disalahkan dan dijadikan korban oleh segala peradaban patriarki. Istilah justice atau keadilan, hanya dipahami oleh perempuan, melalui pengalaman hidupnya sehari-hari. Perempuan yang disiksa, tapi tidak bisa mengucapkan sesuatu, karena konstitusi berbicara dengan bahasa laki-laki. Perempuan bukan tidak memiliki kemampuan untuk menjadi subjek, hanya saja perempuan tidak mempunyai bahasa yang menjadi alat dia berbicara.

Stigma bahwa perempuan sebagai sumber kejahatan dirawat dalam kebudayaan seperti mitos Pandora. Larangan bagi perempuan untuk mengeluarkan kritik adalah seperti kotak pandora yang dikunci dan membuka kotak pandora artinya membuka kekuatan pikiran. Maka, perempuan harus ke ruang publik, bersuara dan meneriakkan pikirannya. Sebab perempuan bukan tidak mampu, dia hanya dipinggirkan karena dia bukan laki-laki. Di pemerintahan, di DPR misalnya, perempuan ada namun tidak bersuara dengan suaranya sendiri. Ia ada sebagai kendaraan fraksi.

Diskriminasi terhadap perempuan ini ditanamkan dalam peradaban yang memanipulasi dan dirawat melalui mitos. Sementara permainan politik sejak semula dikuasai laki-laki. Perempuan ingin berteriak mengenai ketidakadilan ini, tapi dia tidak bisa. Kemudian gerakan feminisme membuktikan bahwa perempuan mampu, bahwa perempuan bisa.

Kegaduhan politik kita adalah karena politik patriarki. Ada 20 puskesmas yang tidak mendapatkan suntikan dana, sehingga ada ratusan ibu tidak punya akses kesehatan reproduksi sebab aliran dana APBD dibelanjakan untuk membuat garasi mobil sang bupati dari pada dialirkan untuk puskesmas. Rocky Gerung menegaskan bahwa perjuangan feminisme adalah perjuangan keadilan, sebab feminism equals to justice, demikian Rocky menutup presentasinya.

Sesi kedua, dengan sub-tema ‘Perempuan dan Korupsi: Sebuah Permasalahan’ yang dimoderatori oleh Aquarini Prabasmoro bersama pembicara Agustinus Pohan, dosen Fakultas Hukum Universitas Parahyangan dan Jaleswari Pramodhawardani, peneliti dari LIPI, juga membahas mengenai pemberitaan koruptor perempuan seolah koruptor adalah perempuan semua. Ketidakadilan dalam pemberitaan media itu merugikan perempuan apalagi pemberitaan yang lebih membahas mengenai gaya hidup dan penampilan yang malah menenggelamkan isu delik korupsi itu sendiri.

Agustinus Pohan justru menghadirkan hasil riset dari Bank Dunia yang menyatakan bahwa partisipasi perempuan di politik tinggi sebanding dengan angka korupsi yang rendah. Namun di negara ini, perempuan yang berkorupsi meski jumlahnya sangat sedikit dibanding koruptor laki-laki selalu mendapat perspektif negatif dari media.

Jaleswari Pramodhawardani juga menyatakan bahwa konstruksi budaya di negara kita, hiruk pikuk pemerintahan didominasi oleh laki-laki. Ketika ada kasus korupsi yang dilakukan oleh perempuan, masyarakat tidak fokus pada kasus korupsinya, tapi lebih ke penampilannya/ dunia privatnya. Padahal data statistik menunjukkan bahwa 93,4 % korupsi dilakukan oleh laki-laki, namun pemberitaannya tidak pernah se-gegap gempita pemberitaan perempuan. Perempuan dieksploitasi dalam dua hal sekaligus, yaitu tindak korupsinya, kedua pencemaran nama baiknya melalui pemberitaan yang menunjukkan histeria pada tubuh perempuan, padahal tidak boleh ada siapapun, termasuk negara mengintervensi sampai ke ruang tidur mereka.

*dimuat di www.jurnalperempuan.org 29/6/2012

No comments:

Post a Comment