Follow Us @soratemplates

Monday, November 12, 2018

Re-thinking Feminism*

Dalam konteks Indonesia, feminisme sebagai sebuah pemikiran atau filsafat dan juga gerakan sosial menjadi sebuah topik yang selalu dibicarakan dalam berbagai diskursus keilmuan. Sebagai negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam, dan dengan semakin banyak dikenalnya reformis perempuan muslim yang memperjuangkan kesetaraan gender, perdebatan pandangan mengenai “penerimaan” diskursus feminisme dalam konteks masyarakat Islam Indonesia secara khusus semakin marak. Tulisan ini akan mencoba memberikan kontribusi pemikiran mengenai feminisme dalam konteks masyarakat Islam Indonesia. Pembahasan ini diawali dengan pemaparan singkat lahirnya feminisme secara umum, feminisme di Indonesia, dan feminisme kaitannya dengan pandangan masyarakat Islam di Indonesia.

*
I do not wish women to have power over men; but over themselves
--- Mary Wollstonecraft
*

1. Feminisme sebagai Perlawanan terhadap Ketidakadilan terhadap Perempuan

Kekerasan terhadap perempuan kerap terjadi dalam kehidupan sehari-hari, bahkan seringkali terjadi di dalam rumah di mana perempuan menjadi seorang ibu, istri, anak perempuan, saudara perempuan, atau sebagai seorang pengasuh. Rumah yang semestinya menjadi tempat tinggal yang aman, dalam beberapa kasus ternyata menjadi ladang pembantaian yang menjadikan perempuan dan anak sebagai korban. Hak hidup bagi perempuan, bahkan ketika masih berupa janin pun banyak yang tidak terpenuhi. Misalnya yang pernah terjadi di India dan China, ketika janin yang terdeteksi berjenis kelamin perempuan kemudian janin tersebut harus diaborsi karena adanya kebijakan family planning yang mengharuskan sebuah keluarga hanya mempunyai satu anak saja, dan diutamakan bukan perempuan yaitu laki-laki sebab dianggap lebih ‘bernilai’ secara ekonomi dan sosial di banding perempuan (Vlachova dan Biason, 2005: 11). 

Halaman-halaman surat kabar juga hampir setiap hari memberitakan kasus perempuan yang diperdagangkan via online, pemerkosaan, mutilasi, pelecehan seksual dan segala bentuk kejahatan terhadap perempuan dan anak. Masih segar dalam ingatan kita kisah seorang perempuan Afghanistan yang berusia 20 tahun, Mah Gul, yang dibunuh oleh keluarganya karena menolak masuk ke prostitusi. Kemudian Malala Yousafzai, perempuan muda berusia 14 tahun yang ditembak oleh Taliban karena mengkampanyekan pendidikan untuk perempuan sehingga dituduh sebagai perempuan kafir yang mengadopsi budaya Barat. Di Indonesia, kita dihadapkan pada kasus RI, anak berusia 11 tahun yang meninggal karena pemerkosaan yang dilakukan ayahnya telah meninggalkan infeksi pada alat kelamin RI yang berujung pada kematiannya. Dalam hal ini, dunia patriarkis kompak dalam berkontribusi menjadikan perempuan dan anak sebagai korban dari sistem yang tidak adil. 

Tidak hanya berupa kekerasan fisik dan mental, ketidaktersediaannya kesempatan pendidikan, lapangan pekerjaan, politik, dan lain sebagainya juga berkontribusi terhadap ketidakadilan dan ketidaksetaraan antara perempuan dan laki-laki. Ketidakadilan ini dirawat dalam peradaban patriarkis yang kemudian melahirkan stratifikasi jenis kelamin, kemudian stratifikasi sosial, sampai kemudian lahirlah stratifikasi ekonomi. Dalam stratifikasi ekonomi ini, lahirlah kelas, yang tentu saja menempatkan perempuan dalam kelas yang paling rendah (Ridgeway & Smith-Lovin, 1999). Bahkan ketika kita membicarakan kemiskinan, maka kita sebenarnya tengah membicarakan wajah perempuan di sana. Dalam jerat kemiskinan, perempuanlah yang paling menanggung resikonya. Uang yang seyogyanya bisa digunakan untuk pengecekan kesehatan kandungan ibu hamil, pembelian vitamin dan makanan bergizi untuk bayi, terpaksa dialokasikan untuk membeli bahan makanan seadanya agar seluruh anggota keluarga tidak kelaparan. Alhasil, banyak bayi terlahir cacat karena kurang gizi, tingginya angka kematian ibu melahirkan dan bayi karena komplikasi, dan karena tidak mampu membayar biaya persalinan dengan tenaga kesehatan yang profesional. 

Dari ketidakadilan, opresi, luka yang mendarah menanah dan ibu kesakitan itulah, feminisme lahir. Feminisme melawan distribusi keadilan yang tidak setara, perspektif keadilan yang timpang, yang melahirkan relasi kuasa yang menempatkan mereka yang lemah menjadi korban. 

Jauh sebelum kelahiran filsafat feminisme, Aristoteles mengklaim bahwa filsafat muncul karena adanya ketakjuban. Namun, sebagai sebuah filsafat sekaligus gerakan sosial, feminisme tidaklah muncul karena ketakjuban. Ia muncul sebagai respon langsung terhadap pergerakan sosial dan masalah politik: sebuah panggilan untuk perubahan (Cole, 1993: 1). Ia lahir pada situasi historis tertentu yang ditandai dengan adanya ketidakadilan atau opresi; dan memiliki tujuan yang jelas dan spesifik yaitu cita-cita keadilan.

Meskipun feminisme dianggap sebagai sebuah pemikiran yang modern dan kontemporer, sesungguhnya diskursus mengenai spirit keadilan dan kesetaraan ini dapat ditelusuri dari abad ke 18 di Barat. Esai dan tulisan-tulisan filosofis tersebut kemudian dikenal dengan sebutan tulisan-tulisan proto-feminis. 

Mary Wollstonecraft (1759-1797) dan Charlotte Perkins Gilman (1860-1935) yang dikenal dari masa awal kelahiran feminisme, telah merumuskan filsafat feminisme yang masih terus dipakai sampai sekarang. Wollstonecraft berbicara dalam kerangka hak asasi manusia yang universal: kebebasan sebagai hak setiap individu untuk melakukan apa saja yang secara etis dibatasi hanya dengan larangan mengintervensi kebebasan individu yang lain. Pandangan politis Wollstonecraft ini kemudian dikenal sebagai pandangan feminisme liberal yang direpresentasikan di Eropa dan Amerika sampai sekarang. Tujuan utama pandangan feminisme ini adalah kesempatan yang setara bagi perempuan dan laki-laki: dalam bidang pendidikan, ekonomi, dan hukum. Sementara Gilman, yang melahirkan tulisan-tulisan tentang feminis utopian yang memaparkan bahwa ketimpangan dan ketidakadilan yang terjadi ini berakar pada sistem ekonomi; kapitalisme yang menggerus perekonomian dan menjadikan perempuan dan segala yang dilakukannya terutama di dalam rumah bukanlah suatu tindakan ekonomi yang mempunyai nilai, sebab nilai ekonomi didefinisikan oleh para kapitalis dan sama sekali tidak memasukkan perempuan di dalamnya. Pandangan Gilman ini kemudian melahirkan feminisme sosialis yang mencita-citakan kemakmuran dan keadilan yang bisa dinikmati oleh semua manusia, termasuk perempuan (Cole, et al., Edles dan Scott, 2004: 204). Kelahiran feminisme ini menandai awal mula pemikiran dan gerakan sosial yang mencita-citakan keadilan dengan tujuan untuk tidak semata mengkritisi ketidakadilan yang terjadi tetapi juga melawannya agar perempuan tidak lagi menjadi korban dari tatanan masyarakat yang patriarkis. 

2. Feminisme Di Indonesia
Sebagaimana kelahiran feminisme di Barat, yang didorong oleh ketidakadilan atau opresi terhadap perempuan, gerakan perempuan yang lahir di Indonesia juga demikian. Dunia mengenal Raden Ajeng Kartini (1879-1904) sebagai pelopor pergerakan perempuan di Indonesia. Sejarah mencatat kegelisahan R.A. Kartini yang demikian mencita-citakan kesetaraan pendidikan bagi perempuan dan mengabadikan kisahnya untuk memberikan inspirasi serta teladan bagi perempuan-perempuan generasi sesudahnya. Kita juga tidak asing dengan nama-nama lain seperti Dewi Sartika dan perempuan-perempuan tatar Sunda lainnya yang membangun sekolah-sekolah perempuan. Perempuan pada masa itu dikisahkan begitu susah memperoleh pendidikan, karena perempuan lebih diidentikkan dengan pekerjaan rumah tangga sehingga pendidikan bukan suatu hal yang diprioritaskan. Selain perempuan-perempuan yang memperjuangkan pendidikan, kita juga mengenal nama-nama perempuan pejuang seperti Cut Nyak Dien dan Martha Christina Tiahahu yang akrab di telinga kita juga sederet nama yang lain yang turut terjun ke medan perang untuk membela tanah airnya dari penjajahan. Yang paling menakjubkan di antara semuanya adalah nama Laksmana Keumlahayati, laksmana perempuan pertama di dunia dari Aceh pada abad ke XV. 

Dalam konteks kekinian, kita mengenal Saparinah Sadli, Sjamsiah Ahmad, Kristi Poerwandari, Gadis Arivia, Marianne Katoppo dan sederet nama-nama perempuan Indonesia sebagai perempuan-perempuan yang terus konsisten dalam memperjuangkan kesetaraan dan keadilan gender. Setelah Orde Baru tumbang, berbagai organisasi perempuan pun banyak yang mulai terlihat kiprahnya, seperti Women Research Institute, Jurnal Perempuan, Rahima, Kapal Perempuan, dan juga lembaga seperti Komnas Perempuan serta KPPPA dan berbagai nama lainnya.

Era tahun 1990an menjadi sebuah era yang penting terutama bagi perempuan muslim Indonesia karena pada tahun-tahun tersebut, banyak lahir forum-forum baru, organisasi-organisasi baru, dan buku-buku Islam baru yang memiliki pandangan yang lebih “membebaskan”. Buku-buku dengan tema kesetaraan gender seperti Women in Islam yang ditulis Fateema Mernissi dan Women in the Qur’an yang ditulis Amina Wadud, diterbitkan dalam Bahasa Indonesia pada tahun 1994 oleh Pustaka Bandung. Pada tahun yang sama, sebuah jurnal islam di Indonesia, yaitu Ulumul Qur’an menerbitkan edisi khusus yang berisi isu-isu hak asasi perempuan, feminisme, feminisme Islam, dan anti-feminisme (Qibtiyah, 2010: 151).

Kelahiran organisasi Islam yang mengusung pembaharuan di awal 1900an seperti Nahdlatul Ulama pada tahun 1926 dan Muhammadiyah pada tahun 1912 nampaknya semakin mendukung gerakan perempuan muslim dalam merepresentasikan suaranya mengenai pendidikan dan hak asasi perempuan. Ini bisa dilihat dari berbagai aktivitas yang dinaungi baik oleh NU maupun Muhammadiyah. Misalnya dalam bidang pendidikan, telah didirikannya TK Diponegoro, TK Aisyiyah, Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah, dan lain sebagainya. Kemudian dalam lingkungan NU sendiri, ada organisasi IPPNU, Fatayat, dan Muslimat NU yang sangat mengusung pemberdayaan perempuan. 

Pemberdayaan perempuan, sebagai kunci perjuangan perempuan di Indonesia yang diwadahi organisasi-organisasi perempuan, sangat berkaitan dengan bagaimana cara dan strategi yang digunakan aktivis-akitivis perempuannya dalam mendekonstruksi relasi gender yang umumnya ada di dalam masyarakat dan dalam merevisi hirarki gender yang sudah ada (Parvanova, 2012). Hal ini tidak mudah, sebab pemberdayaan perempuan seringkali terbentur resistensi masyarakat yang belum terbuka pikirannya mengenai hak-hak perempuan. Pemberdayaan perempuan, kadang kala bahkan dianggap sebagai sesuatu yang menyalahi kodrat perempuan Indonesia; yang seyogyanya tinggal di rumah, memasak, melayani suami, melahirkan, dan mengasuh anak, bukannya sekolah tinggi-tinggi, kemudian bekerja dan mencari nafkah. 

Feminisme, sebagai sebuah istilah yang merujuk pada pemikiran filsafat dan gerakan sosial juga belum begitu dikenal luas. Penggunaan kata feminisme sendiri bahkan baru bisa dipergunakan secara luas setelah masa Orde Baru tumbang. Meskipun demikian, semangat feminisme, dalam artian dimanifestasikan dalam pemberdayaan perempuan dan gerakan perempuan yang memiliki semangat keadilan sudah berlangsung lama di Indonesia meskipun tidak secara spesifik menamakan itu sebagai feminisme. 

3. Feminisme dalam Pandangan Masyarakat Islam Indonesia

Di bagian ini, perlu sekali dijelaskan sebelumnya bahwa paparan yang diberikan adalah paparan yang sangat umum, sebab sangatlah tidak mungkin untuk merangkum pandangan masyarakat Islam Indonesia yang sangat majemuk ini secara menyeluruh dalam waktu yang sangat singkat. Akan sangat perlu dilakukan sebuah penelitian yang mendalam untuk bisa benar-benar memotret bagaimana masyarakat Islam Indonesia memandang feminisme, dengan sampel responden yang cukup mewakili sehingga penelitian bisa mencapai kesimpulan yang valid dan dapat dipertanggungjawabkan secara keilmuan. Sementara tulisan ini hanyalah berupa sebuah overview yang sangat terbatas sebagai sebuah wacana ringan yang memaparkan topik secara umum. 

Berbicara feminisme dalam pandangan masyarakat Islam Indonesia sebenarnya sangat menarik. Pertama, karena istilah feminisme itu sendiri sudah problematis. Selain dituduh Barat, membicarakan feminisme juga seringkali dituduh membicarakan hal-hal yang sebenarnya tidak dibutuhkan. Jarang sekali orang mau melihat feminisme sebagai perjuangan keadilan seperti: pembebasan dari kebodohan, dari diskriminasi, dari penindasan. Feminisme lebih dipandang sebagai anti laki-laki, anti keluarga, bukan perempuan baik-baik, bahkan lesbian. Suryakusuma, Wieringa, dan Doorn Harder (dalam Qibtiyah, 2010: 154) menjelaskan bahwa kata “feminis” bahkan distigmatisasi sebagai label yang dikaitkan dengan “kiri” (komunis) atau “liberal” yang mendukung individualisme, keegoisan, dan perilaku yang amoral seperti hubungan seks di luar pernikahan. Feminis juga dianggap sebagai seseorang yang melawan kodrat, prinsip-prinsip Islam (aqidah), dan hukum Islam (syariah). Karena stigma negatif ini, banyak sekali aktivis perempuan yang menolak disebut feminis. 

Kritik umat Islam Indonesia sendiri terhadap feminisme bahwa nilai-nilai feminisme dirasa sangat tidak sesuai dengan pandangan Islam, terutama jika melihat kritik-kritik yang dilontarkan feminisme perihal isu pemakaian hijab, poligami, perempuan karir, hukum waris, dan sunat perempuan. 

Padahal, secara umum, sebenarnya feminisme menentang segala bentuk kekerasan terhadap perempuan yang dikelompokkan sebagai berikut (Vlachova dan Biason, 2005):

1.) Kekerasan terhadap perempuan dalam kehidupan sehari-hari:

a) Pembunuhan terhadap bayi, janin, anak perempuan, dan perempuan
b) Kekerasan yang berbasis komunitas dan berakar dalam tradisi. Misalnya sunat perempuan, hukuman rajam dan cambuk, serta pelecehan di dalam tradisi sekte atau agama tertentu
c) Kekerasan berbasis gender dan kemiskinan
d) Kekerasan di dalam rumah tangga
e) Kekerasan dalam bentuk prostitusi
f) Perdagangan dan eksploitasi seksual terhadap perempuan 
g) Kekerasan terhadap perempuan di dalam penjara

2.) Kekerasan terhadap perempuan dalam konteks perang dan konflik bersenjata (termasuk di dalamnya pelecehan seksual, pemerkosaan, dan penyiksaan terhadap perempuan)

3.) Kekerasan terhadap perempuan dalam konteks paska-konflik

Kritik feminisme terhadap sunat perempuan dan pemaksaan atas pemakaian hijab misalnya, didasarkan pada sebuah premis my body is my right. Dalam The Second Sex (de Beauvoir, 1987) ditekankan bahwa tubuh perempuan adalah milik perempuan itu sendiri, sehingga segala pengaturan mengenai apa yang harus dikenakan oleh perempuan itu menyalahi hak perempuan. Itu menjadi salah satu kritik feminisme terhadap aturan yang memaksa perempuan untuk berhijab. Jika kita jeli melihat, kita akan menemukan bahwa sebenarnya yang dikritik oleh feminisme adalah pemaksaannya, bukan hijabnya. 

Sunat perempuan juga termasuk hal yang dikritik dalam feminisme. El Saadawi (2001: 62) mengkritik tradisi sunat perempuan pada masyarakat Arab, yang dipercaya perlu dilakukan untuk mengurangi hasrat seksual perempuan. WHO memperkirakan ada sekitar 6000 perempuan yang mengalami sunat perempuan setiap harinya. Kritik yang dilontarkan feminisme perihal sunat perempuan ini didasarkan pada fakta kesehatan yang menunjukkan bahwa sunat perempuan menyebabkan infeksi kronis, pendarahan, tumor, infeksi saluran kencing, kemandulan, dan dalam beberapa kasus bisa menyebabkan kematian (Vlachova dan Biason, 2005: 26). Selain itu, alasan ‘mengurangi hasrat seksual perempuan’ juga nampak absurd. Padahal hasrat seksual perempuan adalah hak perempuan itu sendiri, dan mestinya dijamin untuk tidak dicederai.

Kedua contoh kritik feminisme di atas, tak ayal lagi, pasti akan mengundang diskusi mendalam dan perdebatan-perdebatan baik dari kalangan yang pro-feminis maupun anti-feminis dari kalangan masyarakat Islam Indonesia. Secara umum, cara pandang masyarakat Islam Indonesia mengenai feminisme bisa dikelompokkan sebagai berikut:

1.) Kelompok pertama berpendapat bahwa Islam adalah suatu keimanan, sementara feminisme adalah suatu yang sekuler, sehingga keduanya tidak bisa disatukan. Istilah “Feminisme Islam” bahkan ditolak oleh kelompok pertama ini karena dianggap paradoks dalam dunia Islam. Lebih lanjut, kelompok ini berpendapat bahwa Muslim tidak membutuhkan nilai-nilai Barat untuk diaplikasikan dalam kehidupan umat Islam, sebab umat Islam sudah memiliki teks-teks agama sendiri yang lebih relevan dan tepat secara budaya dibandingkan dengan yang didapat dari Barat.

2.) Kelompok kedua berpendapat bahwa Islam dan feminisme adalah sesuatu yang harmonis. Akademisi yang menyepakati istilah “Feminisme Islam” antara lain Laila Ahmed, Riffat Hassan, Fatima Mernisi, Siti Musdah Mulia, Siti Ruhaini Dzuhayatin, Ratna Megawangi, dan Kyai Husein Muhammad yang berpendapat bahwa feminisme cocok dengan agama Islam. Islam sendiri mendorong kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, meskipun di dalam prakteknya, prinsip ini kemudian diselewengkan untuk menjustifikasi subordinasi terhadap perempuan. Majid (1998) juga mengamini bahwa Islam dan feminisme bukanlah dua hal yang bertentangan. Ia bahkan mengkritik mereka yang membatasi istilah “Islami” (Qibtiyah, 2010). Kelompok ini juga umumnya mempertanyakan kembali atau mengkritisi interpretasi yang patriarkis mengenai teks-teks Islam seperti Al-Qur’an dan Hadist. Sebab tidak mungkin Allah SWT yang mempunyai sifat Maha Adil kemudian memfirmankan sesuatu yang tidak adil bagi perempuan maupun laki-laki. 

*
Klaim bahwa feminisme lahir di Barat dan merupakan produk budaya Barat adalah kurang tepat. Feminisme lahir di setiap jengkal bumi ini: di mana ada ketidakadilan dan ada upaya untuk melawan ketidakadilan tersebut, di sanalah feminisme lahir. Feminisme sama sekali tidak mengajari perempuan untuk melawan laki-laki atau mengungguli laki-laki, sebaliknya, feminisme berangkat dari penghargaan atas manusia (termasuk di dalamnya perempuan dan laki-laki) yang semuanya setara dan memiliki hak-hak dasar yang sama. Sebagaimana dijelaskan di awal tulisan ini, yaitu bahwa semangat feminisme adalah semangat keadilan.

Allah SWT menciptakan manusia, baik perempuan maupun laki-laki dengan setara. Sejak lahir, perempuan adalah manusia yang kemanusiaannya diberikan oleh Allah SWT bukan oleh laki-laki atau sesama manusia. Semua manusia, termasuk perempuan di dalamnya, mempunyai akses yang sama kepada Allah SWT. 

Oleh karena itu, terlepas dari banyaknya orang yang menentang ide-ide feminisme ini karena menganggap tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam, feminis muslim di Indonesia, seperti Siti Musdah Mulia, Siti Ruhaini Dzuhayatin, Ratna Megawangi, dan Kyai Husein Muhammad terus mengadvokasi cita-cita feminisme yang sejalan dengan ajaran Islam yang rahmatan lil alamin ini sehingga baik perempuan maupun laki-laki menikmati kesetaraan dan keadilan. Sebab, pada akhirnya, bukanlah penaklukan terhadap laki-laki yang dicita-citakan oleh feminisme, namun keadilan yang di dalamnya mencakup hak-hak asasi perempuan, kesetaraan gender, dan keadilan sosial. 



Daftar Pustaka

Cole, Eve Browning. (1993). Philosophy and Feminist Criticism. New York: Paragon House.

de Beauvoir, Simone. (1987). The Second Sex. Middlesex, England: Penguin Books. 

Doorn-Harder, P. v. (2006). Women shaping Islam: Indonesian women reading the Qur’an. Urbana, IL: University of Illinois Press.

Edles, Desfor Laura dan Appelrouth, Scott. (2004). Sociological Theory in The Classical Era. Diunduh pada 1 Juni 2012 dari www.sagepub.com/upm-data/4942_Edles_Chapter_5.pdf

El Saadawi, Nawal. (2001). Perempuan dalam Budaya Patriarki (Penerjemah: Zulhilmiyasri). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Majid, A. (1998). The Politics of Feminism in Islam. Signs, 23(2), 322-361.

Parvanova, Dayana (2012). Islam und Macht in Südostasien: Islamic Feminist Activism in Indonesia. Austrian Studies in Anthropology Sondernummer, 1, 11-26.

Qibtiyah, A. (2010). Self-identified Feminists Among Gender Activists and Scholars at Indonesian Universities. ASEAS - Austrian Journal of South-East Asian Studies, 3(2), 151-174.

Ridgeway, Cecilia dan Lynn Smith-Lovin. (1999). “The Gender System and Interaction”. Annual Review of Sociology. 25, hal. 191-216.

Suryakusuma, J. I. (2004). Sex, power, and nation: an anthology of writings, 1979-2003. Jakarta, Indonesia: Metafor Pub.

Vlachova, Marie dan Biason, Lea. (2005). Women in an Insecure World: Violence Against Women Fact, Figure, and Analysis. Geneva: DCAF.

Wieringa, S. (2002). Sexual politics in Indonesia. New York: Palgrave Macmillan.



*Dimuat dalam rubrik dialektika majalah Hawa, Kairo, Mesir, edisi kedua, April 2013 bertema "Ulama/pemikir Nusantara Memandang Gerakan Perempuan"




No comments:

Post a Comment