Follow Us @soratemplates

Showing posts with label pendidikan. Show all posts
Showing posts with label pendidikan. Show all posts

Wednesday, September 25, 2019

Menafsir 'Ayam'; Melacak Genealogi, Membaca Ulang Ingatan*

September 25, 2019 0 Comments

Dalam salah satu perkuliahan Pemetaan Cultural Studies, dosen kami meminta mahasiswa untuk menggambar ayam. Setelah gambar-gambar itu dikumpulkan dan diperlihatkan kembali, tampaklah kecenderungan yang nyaris sama di semua gambar: ayam itu menghadap ke kiri. Kenyataan tersebut membuat para mahasiswa tersentak dan mulai bertanya-tanya. Pada awalnya kita tidak menyadari sejak kapan konsep gambar ayam menghadap ke kiri itu terbentuk dalam benak kita. Kita tidak ingat siapa yang mengajarkan kita cara menggambar dan mengapa kita menggambar seperti itu. Begitu terbiasanya kita dengan hal ini sehingga luput mengajukan pertanyaan-pertanyaan dari mana gambar ayam menghadap kiri itu berasal. 

Sebagai sebuah produk budaya, gambar menjadi teks visual yang dapat dianalisis dan ditafsirkan. Ia berkomunikasi melalui tanda yang memiliki beragam arti. Menurut teori semiotik Peirce, tanda adalah sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain, dimana proses pemaknaannya mengaitkan antara ‘realitas’ dan ‘apa yang ada dalam kognisi manusia’ (Hoed, 2014: 9). Asumsi dasarnya, gambar ayam yang hampir seluruhnya menghadap ke kiri itu berusaha mengungkapkan hal lain, seperti fenomena kekuasaan apakah yang mendasari ketidaksadaran masyarakat dalam menggambar seperti itu.

Konsep sintagmatik-paradigmatik dalam semiotik berusaha mencari oposisi-oposisi yang tersembunyi dan bagaimana urutan suatu teks menghasilkan makna (Ida, 2014: 30). Dengan konsep ini, dapat dilihat bagaimana masyarakat Indonesia pada umumnya melihat sesuatu dengan paradigma kiri ke kanan, atas ke bawah. Paradigma ini terlihat dari cara membaca dan menulis orang Indonesia. Kebiasaan lainnya seperti berjalan harus di sebelah kiri sebab menyetir dilakukan dari sebelah kanan juga membentuk paradigma yang dominan kiri. Beberapa data tambahan yang diperoleh dari gambar-gambar ayam dari responden lain menunjukkan bahwa kecenderungan gambar menengok ke kanan sangat sedikit, salah satu diantara penggambar ayam menghadap ke kanan itu karena ia kidal. Beberapa responden mengakui bahwa menggambar ayam yang menghadap ke kiri lebih mudah karena menggunakan tangan kanan. Sementara penggambar kidal mengakui bahwa menggambar ayam menghadap ke kanan cenderung lebih mudah karena menggunakan tangan kiri.

Kebiasaan menggunakan tangan kanan ini bahkan dikukuhkan dalam dalil-dalil agama yang menyitir hadits nabi bahwa tangan kanan itu lebih baik disbanding tangan kiri. Juga dalam pendidikan, bahwa menggunakan tangan kanan selalu lebih sopan. Secara kultur agama dan pendidikan, masyarakat Indonesia nyaris sepakat untuk menolak dominansi penggunaan tangan kiri/kidal. Struktur paradigmatik kiri-kanan dalam menulis dan membaca, serta keharusan untuk selalu berjalan di sebelah kiri juga dilanggengkan melalui konsep pendidikan. Di sini terlihat bagaimana aparatus negara ideologis (Althusser, 2008: 18-22) seperti agama dan pendidikan melakukan hegemoni.

Hegemoni pendidikan yang dilakukan selama bertahun-tahun berhasil membentuk memori kolektif masyarakat yang membentuk nyaris seragamnya gambar ayam mereka. Dalam istilah Gramsci, hegemoni budaya ini memungkinkan seseorang untuk berpandangan sesuai yang diinginkan oleh kekuasaan secara suka rela tanpa paksaan (Lears, 1985). Tentu saja kekuasaan ini bisa apa saja, bisa pendidikan, bisa Negara. Pendapat tentang memori kolektif sendiri berakar dari pemikiran Durkheim dan Halbwahs yang kemudian Olick menjelaskan salah satu konsep memori kolektif dimana kita memandang ingatan sebagai residu otentik tentang masa lalu (Olick, 1999). Ini menjelaskan perbedaan yang cukup mencolok antara gambaran ayam yang digambar oleh orang dewasa dan anak-anak. Orang-orang dewasa memiliki ingatan kolektif hasil hegemoni pendidikan selama bertahun-tahun sejak masa lalu yang diwariskan dari orang tua-orang tua dan guru-guru mereka, sementara anak-anak tidak atau belum.

Data tambahan yang diperoleh dari anak-anak yang belum sekolah atau baru memasuki tahap sekolah dasar menampakkan perbedaan hasil cukup signifikan. Beberapa responden anak-anak yang diminta untuk menggambarkan ayam memperlihatkan gambar yang tidak dominan menghadap ke kiri, tetapi ke depan juga ke kanan. Sangat jarang didapati anak menggambar ayam menghadap ke kiri. Berkebalikan dengan hasil gambar yang diterima dari responden orang dewasa.








Ini disebabkan juga barangkali oleh masih singkatnya pendidikan yang diperoleh anak-anak sehingga konsep-konsep paradigmatik kiri-kanan, menulis-membaca dari kiri, berjalan selalu di sebelah kiri, belum betul-betul tertanam dalam ingatan anak-anak.

Ada satu data yang cukup menarik dari responden anak berusia 3.5 tahun (perempuan). Awalnya ia menggambar ayam menghadap ke kiri, ketika ditanya apa dia diajari menggambar seperti itu, ibunya (30 tahun) mengaku bahwa sang ibu memberi contoh terlebih dahulu dengan menggambar ayam menghadap kiri. Ketika anak tersebut diminta kembali untuk menggambar ayam sesuka hatinya, hasilnya ternyata menghadap ke kanan. Bahkan gambar yang sebelah kanan terlihat lebih natural dibanding yang di sebelah kiri.



(Gambar kiri dengan arahan ibunya, gambar kanan sesuai kebebasan anak) 

Dari analisis-analisis di atas, dapat disimpulkan bahwa gambar ayam menghadap ke kiri dominan terjadi pada orang-orang yang sudah dewasa dan mengenyam pendidikan selama bertahun-tahun, sementara untuk anak-anak kecil yang belum sekolah atau baru memasuki tahapan sekolah dasar, gambar ayamnya lebih variatif. Jika ditelusuri kembali, penggambaran yang dominan menghadap ke kiri berawal dari masa sekolah dan berlangsung terus menerus selama bertahun-tahun sebagai imbas dari hegemoni kekuasaan Negara dalam bidang pendidikan, yang tujuan utamanya menciptakan masyarakat yang seragam; seragam dalam menulis dengan tangan kanan, seragam berjalan di sisi sebelah kiri, hingga akhirnya seragam dalam menggambar hewan ayam menghadap ke kiri secara tidak sadar dan tidak lagi mempertanyakan karena itu dianggap sebagai sebuah kelaziman belaka.



Daftar Pustaka

Althusser, Louis. 2008. Tentang Ideologi: Marxisme Strukturalis, Psikoanalisis, Cultural Studies.Yogyakarta: Jalasutra
Hoed, Benny H. 2014. Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya. Depok: Komunitas Bambu.
Ida, Rachmah. 2014. Metode Penelitian Studi Media dan Kajian Budaya. Jakarta: Kencana.
Lears, T. J. Jackson. 1985. The Concept of Cultural Hegemony: Problems and Possibilities. The American Historical Review, Vol. 90, No. 3 (Jun., 1985), pp. 567-593. (diakses di http://www.jstor.org/stable/1860957 pada 23 September 2019)
Olick, Jeffrey K. 1999. The Two Cultures. Sociological Theory, Vol. 17, No. 3 (Nov., 1999), pp. 333-348 (diakses di https://www.jstor.org/stable/370189 pada 23 September 2019)


*Tulisan ini dibuat untuk tugas kelas Pemetaan Cultural Studies yang diampu oleh Dr. Risa Permanadeli. 

Thursday, August 29, 2019

Mothering and Studying

August 29, 2019 0 Comments




Tentu saja, semua ibu pasti ingin selalu dekat dengan anaknya. Jadi, ketika saya kemudian memutuskan untuk melanjutkan sekolah lagi, setelah punya anak, saya tahu pilihan yang saya buat ini bukanlah sebuah pilihan yang mudah. Saya berusaha untuk mengabaikan segala penghakiman orang-orang yang kurang lebih mempertanyakan keibuan saya serta keegoisan saya memilih lanjut sekolah timbang mengurusi anak.

Di sisi lain, ada pula yang mengatakan betapa enaknya menjadi saya, bisa sekolah lagi, ninggalin anak, berasa masih gadis, bebas kemana-mana. Yang begini ini, ya mari kita tertawakan saja, sambil berdoa semoga hidup kita dipenuhi keselamatan, kebahagiaan, dan keberkahan.

Dan karena ada beberapa teman-teman saya, ibu-ibu muda juga yang kebanyakan sudah punya anak namun ingin lanjut sekolah lagi, bertanya tentang bagaimana proses jungkir balik saya untuk bisa sekolah lagi, tulisan saya ini dipersembahkan khusus untuk mereka.

Sejak dulu, jauh sebelum menikah dan punya anak, saya punya mimpi untuk bisa melanjutkan sekolah sampai jenjang yang paling tinggi seandainya memungkinkan dan ada kesempatan. Kalau ditanya apa cita-cita saya, ya cita-cita saya sederhana sih, muda kaya raya, mati masuk surga. Namun, sebagai seorang hamba yang bersyukur dianugerahi akal dan pikiran juga kesadaran bahwa awak kulo niki bodo, tekad untuk sekolah lagi itu terus saya pelihara sampai sekarang.

Saya sadar, sekolah lagi itu butuh biaya yang tidak sedikit, makanya saya berusaha nyari beasiswa. Dan nyari beasiswa ini juga ternyata tidak mudah. Saya beberapa kali daftar beasiswa, dari Australia Awards sampai LPDP. Tahun 2015, sebelum menikah dan punya anak, saya daftar beasiswa LPDP dan tidak lolos. Ceritanya bisa dibaca di sini ya. Dan ndilalah saya dapat beasiswa-nya malah ketika sudah menikah dan sudah punya anak.

Jadi, kalau anda seorang perempuan, sudah menikah, sudah punya anak, bertanya kepada saya, apa mungkin bisa lanjut sekolah lagi? Maka jawabannya adalah sangat mungkin. Tetapi keputusan itu membutuhkan banyak kompromi dan saya berterima kasih banyak kepada suami serta anak yang mendukung kekeras-kepalaan saya habis-habisan.

Saya mulai mengajukan aplikasi beasiswa LPDP setahun yang lalu, ketika anak saya belum genap dua tahun dan masih butuh ASI. Seleksi LPDP tidak hanya berhenti di tahap administrasi karena saat lolos di tahap tersebut, kita harus mengikuti tahap selanjutnya yaitu seleksi berbasis komputer (SBK). Begitu membulatkan tekad untuk sekolah lagi, kita harus siap dengan segala resikonya. Termasuk kompromi waktu dan lain-lain dengan keluarga. Tes-tes seleksi yang saya ikuti mengharuskan saya untuk melakukan perjalanan bolak-balik Sumenep-Surabaya (karena lokasi tes saya waktu itu di Surabaya), bawa anak yang masih ASI dan sedang aktif-aktifnya. Ketika saya ujian di lokasi tes, anak saya titipkan ke suami di hotel. Bagi perempuan yang tidak pernah lama-lama meninggalkan anak, karena anak selalu nempel kemana-mana, seleksi beasiswa ini beratnya jadi berlipat-lipat karena selain harus konsentrasi ke tes juga sambil kepikiran anak nangis apa nggak, rewel apa nggak, minta minum ASI apa nggak dan lain-lain. Nah, waktu saya tes SBK itu malah anak sakit karena masuk angin di perjalanan Sumenep-Surabaya. Jadi makin nggak konsen lah ngerjain tesnya.

Persiapan ujiannya juga tidak kalah berat. Saya belajar TPA dari buku-buku milik suami. Kadang baru buka satu halaman, anak sudah nangis minta main. Akhirnya belajarnya nunggu pas anak tidur, kadang sampai begadang malam-malam. Jadi, tidak jarang kalau pagi dan siang saya nguap-nguap melulu karena ngantuk dan kecapekan.

Belum lagi setelah lulus semua tesnya dan dinyatakan jadi penerima beasiswa, saya harus ikut PK (Persiapan Keberangkatan) selama nyaris seminggu di Jakarta. Itu kali pertama saya jauh-jauhan sama anak dalam waktu yang cukup lama. Apalagi anak masih ASI jadi bisa dibayangkan bagaimana sakitnya payudara yang tidak disusu oleh anaknya. Meskipun sudah dipompa, tetap saja rasanya nggak karu-karuan. 


Karena saya lolos beasiswa tahun lalu, perkuliahan saya dimulai tahun ini. Dan inilah ujian kesabaran yang sebenar-benarnya. Saya sadar, proses adaptasi di tempat baru tidak mudah, oleh karena itu sampai sekarang, di bulan-bulan pertama kepindahan saya dari Sumenep ke Depok, anak belum saya ajak. Sementara anak saya titipkan di rumah eyangnya. Dan saya tinggal sendirian di kos. Sesekali suami tinggal di sini satu-dua minggu. Kalau sedang tidak terlalu banyak tugas, rencananya juga saya pulang menengok anak di rumah eyangnya barang dua-tiga hari.

Memang tidak mudah, tapi kita pasti bisa melewatinya. Buat teman-teman kesayanganku, ibu-ibu muda yang ingin segera lanjut sekolah, ayo semangat. Diskusikan semua dengan suami dan keluarga. Saling berbagi peran dan ketika merasa down atau tidak semangat, segera cerita dengan teman-teman terdekat, biar saling memberi kekuatan dan dukungan. Dari pada mendengarkan omongan nyinyir orang-orang, yang bahkan sama sekali tidak berkontribusi apapun bagi kita, lebih baik mengelilingi diri dengan orang-orang berenergi positif, orang-orang yang bersedia mendengarkan keluh kesah kita dan memeluk kita untuk memberikan kekuatan. Dan dari pengalaman saya, apa yang saya capai tidak lepas dari orang-orang baik yang selalu mendengarkan dan mendukung saya, memberikan kekuatan di tengah gempuran kenyinyiran dan kejulidan orang-orang. Kalau saya bisa, teman-teman juga pasti bisa :*



Depok, 29 Agustus 2019

Tuesday, April 9, 2019

Pengalaman Mengikuti SIMAK UI 2019

April 09, 2019 16 Comments

Setelah mengikuti PK (Persiapan Keberangkatan) LPDP, semua awardee wajib memperoleh LOA selambat-lambatnya setahun sejak diterima beasiswa. Karena sejak pendaftaran beasiswa LPDP, kampus tujuan saya adalah UI, maka begitu selesai PK saya langsung mencari info perihal pembukaan pendaftaraan pasca-sarjana di UI. Sebulan setelah PK, sekitar bulan November 2018, SIMAK Genap dibuka, sayangnya jurusan yang saya tuju tidak buka saat itu, akhirnya saya pun daftar SIMAK Gasal Gelombang 1 yang dibuka 4 Februari - 15 Maret 2019.

Jadi, untuk program S2, SIMAK buka sebanyak 3 gelombang: SIMAK Gasal Gelombang 1 (4 Februari - 15 Maret 2019), SIMAK Gasal Gelombang 2 (10 Juni - 10 Juli 2019), dan SIMAK Genap (1 Oktober - 1 November 2019).

Untuk pendaftaran SIMAK sendiri sangat mudah. Jadi, kita tinggal masuk ke web penerimaan.ui.ac.id lalu membuat akun, upload foto, isi identitas diri, dan jurusan yang dituju. Saya kemarin memilih jurusan Ilmu Susastra dengan peminatan Studi Kultural dan tahu nggak sih, kuota jurusan tujuan saya untuk SIMAK Gasal Gel I hanya 5 orang saja 😟. Baru ngisi form pendaftaran aja udah deg-degan yekan? Nah setelah pengisian identitas, lanjut dengan upload dokumen seperti ijazah, transkrip nilai, dan sertifikat TOEFL. Kemudian lanjut dengan pembayaran biaya pendaftaran sebesar 1 juta rupiah di bank yang sudah ditentukan (saya kemarin melakukan pembayaran di teller BNI).


Setelah semua proses administrasi selesai, tinggal tunggu tes SIMAK aja. Kebetulan jadwal tes saya 24 Maret 2019 di Fak Teknik UI Depok dari pukul 07.00 sampai 12.00. Semua peserta tes harus sudah berada di lokasi minimal 30 menit dari jadwal. Jadi kebayang kan gimana riwehnya pagi-pagi buta udah harus siap-siap berangkat ke lokasi. Saran saya, kalau yang tempat asalnya jauh, sebaiknya nyari penginapan dekat-dekat lokasi tes. 

Nah untuk tesnya sendiri terdiri dari dua sesi: 
  1. Tes Potensi Akademik (TPA) selama 120 menit yang terdiri dari kemampuan verbal (analogi, pemahaman teks) 40 soal dalam waktu 40 menit, kemampuan numerik (aljabar, soal jual beli, deret bilangan, bilangan berpola dll) 35 soal dalam waktu 50 menit, dan penalaran (silogisme, penalaran analitis) 25 soal dalam waktu 30 menit. Oh iya untuk soal TPA ini menggunakan sistem benar 4 dan salah -1. Jadi sebaiknya kerjakan soal yang betul-betul yakin dulu ya dan dimulai dari mengerjakan soal-soal yang mudah. Harus diingat juga, kalau di tes TPA ini setiap bagian soal punya durasi waktu sendiri dan kalau durasi tersebut habis, harus segera melanjutkan ke bagian selanjutnya meskipun bagian sebelumnya belum selesai. Dan ketika soal bagian selanjutnya sudah selesai tetap tidak boleh kembali ke bagian sebelumnya yang belum selesai. Misalnya waktu mengerjakan soal kemampuan verbal sudah selesai dan masih ada 10 soal yang belum kita jawab, tetapi waktu sudah mulai memasuki pengerjaan soal kemampuan numerik, maka kita tetap tidak boleh membuka kembali soal kemampuan verbal yang belum selesai meskipun jika soal kemampuan numerik kita selesai lebih dulu, 
  2. Tes Bahasa Inggris selama 90 menit yang terdiri dari 40 soal structure dan 50 soal reading. Berbeda dengan tes TPA, di bagian ini, kita diperbolehkan untuk kembali lagi ke soal structure misalnya ketika sudah mengerjakan soal reading dan ada soal structure yang terlewat.
Khusus untuk jurusan saya, harus mengirimkan karya tulis sepanjang 3000-5000 kata yang berkaitan dengan topik kajian yang kita minati dan dikirimkan paling lambat dua hari sebelum tes SIMAK ke email Ketua Prodi Pascasarjana Ilmu Susastra. Untuk contoh tulisan yang saya sertakan sebagai persyaratan ini bisa dilihat di sini ya.

Jujur saja, soal-soal ujian SIMAK ini susah-susah sekali. Sekitar sebulan sebelum tes, saya sempat belajar TPA dari 3 buku berbeda dan menurut saya, semua soal di buku-buku yang saya pelajari tidak ada yang sesusah soal SIMAK. Bahkan soal Bahasa Inggris-nya pun menurut saya lebih susah dari soal-soal TOEFL ITP. Tetapi, belajar dari buku-buku TPA yang tersedia di pasaran lumayan membantu kita supaya familiar dengan model-model soalnya sih. Jadi tetap saja, persiapan dengan mengerjakan soal-soal TPA akan sangat membantu kita di hari ujian sih, terutama sekali untuk soal kemampuan verbal supaya kita familiar dengan kosa kata yang jarang dipakai dalam kehidupan sehari-hari dan juga soal kemampuan numerik yang biasanya dalam buku-buku latihan TPA disertakan cara singkat penyelesaiannya.

Berhubung saya merasa soal-soal SIMAK susahnya minta ampun dan kenyataan bahwa kuota jurusan saya yang diterima di SIMAK Gel 1 ini cuma 5 orang, saya agak pesimis apakah lolos atau nggak. Jadi ketika pengumuman tanggal 8 April 2019 kemarin saya dinyatakan keterima, senengnya luar biasa sih. Oh iya jangan lupa, kartu ujian yang sudah ditandatangi harap disimpan ya. Soalnya kartu tersebut jadi salah satu syarat dalam dokumen daftar ulang loh.

Setelah ini, tinggal proses daftar ulang kemudian lanjut perkuliahan yang akan dimulai awal September 2019 nanti. Doakan ya, semoga semua lancar!

Purwokerto, 9 April 2019


Tuesday, January 15, 2019

Hello 2019!

January 15, 2019 0 Comments
Haiii halooo, happy new year 2019 yaaaa! Maafkan telat banget, hehehe. Jadi, sebenarnya saya sudah lama merencanakan untuk menulis banyak hal di awal tahun ini. Tapi oh tapi, beberapa hari terakhir ini supeeeer hectic dan mager banget yang mau buka laptop dan ngetik-ngetik (padahal salah satu resolusi 2019 adalah mengurangi sifat malas, hiks).

Ada beberapa tulisan yang rencananya akan saya bagikan dalam beberapa hari ini, antara lain tentang Travelling with Baby Under 6-Month-Old dan Travelling with Baby Under 2-Year-Old (yang didasarkan atas pengalaman pribadi berpergian bersama dek Elnaz), kemudian beberapa review buku, cerita pendek, dan artikel pendek. 

Saya bersyukur sekali dengan capaian-capaian 2018 saya dan berharap tahun ini bisa jauh lebih baik lagi, membaca lebih banyak buku, menulis lebih banyak, bersyukur lebih banyak, semakin sabar, semakin hari semakin baik. Aamiin.

Salah satu hal terbaik di 2018 adalah lolos beasiswa LPDP. Ini adalah kali kedua saya mendaftar LPDP, setelah gagal di percobaan pertama bertahun lalu. Buat teman-teman yang pengen sharing tentang LPDP, feel free to contact me yaaaa... Keberhasilan saya menjadi awardee ini pun tidak lepas dari bantuan teman-teman yang lain, yang sudah lebih dulu lolos menjadi awardee dan berkenan berbagi banyak informasi tentang seleksi LPDP pada saya.

Semoga harapan-harapan terbaik kita di tahun ini terwujud ya teman-teman. Salam sayang dari saya, Mama-nya Elnaz ❤❤❤


Sumenep, 15 Januari 2019

Saturday, November 24, 2018

LPDP - Journey Part III: Wawancara dan LGD

November 24, 2018 0 Comments
Tahap ketiga dalam seleksi beasiswa LPDP adalah Wawancara dan LGD. Di tahap ini, kita juga harus memastikan bahwa semua dokumen atau berkas yang diunggah saat pendaftaran terverifikasi sehingga kita bisa mengikuti wawancara. Secara keseluruhan, di tahap ini kita harus mengikuti 3 langkah: verifikasi dokumen, LGD, dan wawancara. Ketiganya bisa saja tidak berurutan, tetapi wawancara hanya bisa dilakukan setelah verifikasi dokumen. Pengalaman saya kemarin, saya mendapatkan jadwal LGD dulu di hari pertama kemudian verifikasi dokumen dan wawancara di hari kedua. 

LGD sendiri adalah kependekan dari Leaderless Group Discussion yang secara singkat berarti bahwa diskusi ini berlangsung tanpa adanya pemimpin diskusi. Setiap kelompok LGD terdiri dari sekitar 6-8 orang yang sudah ditentukan anggotanya oleh pihak LPDP. Biasanya sekian menit sebelum LGD dimulai, kelompok LGD dipanggil oleh panitia dan dipersilakan untuk menunggu di luar ruangan. Nah, di saat ini kita harus memanfaatkan waktu untuk berkenalan secara singkat dengan teman-teman yang akan menjadi anggota kelompok LGD kita. Paling tidak kita tahu siapa namanya dan apa background pendidikannya. Kita juga bisa berdiskusi kira-kira siapa yang akan bicara dulu, siapa yang akan membuka, dan siapa yang akan membuat kesimpulan. 

Kemudian saat kita dipanggil masuk, kita akan bertemu dengan dua orang psikolog (?) yang berperan sebagai observer. Semua tas dan handphone dikumpulkan di kursi paling belakang dan kita hanya diperbolehkan membawa bolpen atau pensil untuk mencatat. Observer menjelaskan pada kita beberapa hal penting seperti berapa lama LGD berlangsung dsb. Setelah itu beliau meminta kami membaca selembar kertas berisi topik masalah yang sudah disiapkan di hadapan kami dan memperbolehkan kami membuat catatan di selembar kertas yang juga sudah disiapkan. Waktu itu saya mendapatkan topik mengenai sistem zonasi PPDB. 

Friday, November 23, 2018

LPDP - Journey Part II: Seleksi Berbasis Komputer

November 23, 2018 2 Comments
Berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, mulai tahun ini ada tahapan baru di seleksi LPDP yaitu seleksi berbasis komputer (SBK). Tes ini bertempat di kantor BKN di beberapa kota besar di Indonesia dan kita bisa memilih lokasi BKN di kota yang terdekat dari tempat tinggal kita. Pemilihan kota ini kita lakukan saat mendaftar secara online di seleksi administrasi. Karena saat ini saya tinggal di Sumenep, maka saya memilih kota Surabaya sebagai tempat seleksi SBK dan wawancara.

Jadi, setelah pengumuman seleksi administrasi, semua pendaftar beasiswa LPDP akan memperoleh pemberitahuan mengenai jadwal dilaksanakannya tahapan seleksi SBK. Pertama, jadwal yang diterima adalah jadwal global per kota. Misalnya Medan tanggal sekian sampai tanggal sekian, Yogyakarta tanggal sekian sampai sekian, Jakarta tanggal sekian sampai sekian dst. Untuk jadwal individu sendiri, menurut pengalaman saya, keluarnya sangat mepet. Bahkan bisa sampai H-2 atau H-1 tes. Bagi mereka yang rumahnya jauh dari lokasi tes, sebaiknya mempersiapkan segalanya lebih awal sebelum jadwal individu keluar.

Saat saya mendapat pengumuman lolos administrasi, hal pertama yang saya lakukan adalah segera mencari informasi tentang materi tes SBK. Berdasarkan buku panduan LPDP, tes SBK meliputi Tes Potensi Akademik (TPA), soft competency, dan essay on the spot writing. Untuk persiapan TPA, saya sempat sedikit latihan soal-soal dari buku. Untuk essay on the spot writing, saya mempersiapkannya dengan membaca berita-berita nasional setiap pagi.

Wednesday, November 21, 2018

LPDP - Journey Part I: Seleksi Administrasi

November 21, 2018 6 Comments
Saya memutuskan untuk menulis sedikit pengalaman saya mengikuti seleksi beasiswa LPDP di tahun 2018 ini begitu selesai mengikuti PK (Persiapan Keberangkatan). Untuk detail tentang PK sendiri akan saya tulis di postingan berbeda. Ini adalah kedua kalinya saya mengikuti seleksi LPDP dan alhamdulillah di kesempatan ini saya berhasil lolos menjadi awardee. Postingan ini sangat subyektif karena betul-betul saya tulis murni berdasarkan pengalaman pribadi. Semoga pengalaman saya bisa bermanfaat bagi siapa saja yang membacanya, terutama sekali bagi teman-teman yang juga berniat untuk mendaftar beasiswa LPDP.

Okay, mari kita mulai!

Pada 2015, saya pernah mengikuti seleksi LPDP dengan pilihan kota seleksi Yogyakarta. Di tahun tersebut, tahapan seleksinya hanya dua: seleksi administrasi dan seleksi wawancara serta LGD. Setelah diumumkan lolos seleksi administrasi, saya pun mengikuti seleksi wawancara dan LGD di GKN Yogyakarta. Sayangnya, saya gagal di tahap kedua itu. Setelah sekian lama skeptis dan sedikit putus asa, tiga tahun kemudian saya memutuskan untuk mendaftar LPDP lagi. Kali ini semua tahapannya berbeda dan rasanya kok jauh lebih berat dari sebelumnya. Tapi, kalau sudah punya tekad, ya jalani saja!