Follow Us @soratemplates

Thursday, August 29, 2019

Mothering and Studying





Tentu saja, semua ibu pasti ingin selalu dekat dengan anaknya. Jadi, ketika saya kemudian memutuskan untuk melanjutkan sekolah lagi, setelah punya anak, saya tahu pilihan yang saya buat ini bukanlah sebuah pilihan yang mudah. Saya berusaha untuk mengabaikan segala penghakiman orang-orang yang kurang lebih mempertanyakan keibuan saya serta keegoisan saya memilih lanjut sekolah timbang mengurusi anak.

Di sisi lain, ada pula yang mengatakan betapa enaknya menjadi saya, bisa sekolah lagi, ninggalin anak, berasa masih gadis, bebas kemana-mana. Yang begini ini, ya mari kita tertawakan saja, sambil berdoa semoga hidup kita dipenuhi keselamatan, kebahagiaan, dan keberkahan.

Dan karena ada beberapa teman-teman saya, ibu-ibu muda juga yang kebanyakan sudah punya anak namun ingin lanjut sekolah lagi, bertanya tentang bagaimana proses jungkir balik saya untuk bisa sekolah lagi, tulisan saya ini dipersembahkan khusus untuk mereka.

Sejak dulu, jauh sebelum menikah dan punya anak, saya punya mimpi untuk bisa melanjutkan sekolah sampai jenjang yang paling tinggi seandainya memungkinkan dan ada kesempatan. Kalau ditanya apa cita-cita saya, ya cita-cita saya sederhana sih, muda kaya raya, mati masuk surga. Namun, sebagai seorang hamba yang bersyukur dianugerahi akal dan pikiran juga kesadaran bahwa awak kulo niki bodo, tekad untuk sekolah lagi itu terus saya pelihara sampai sekarang.

Saya sadar, sekolah lagi itu butuh biaya yang tidak sedikit, makanya saya berusaha nyari beasiswa. Dan nyari beasiswa ini juga ternyata tidak mudah. Saya beberapa kali daftar beasiswa, dari Australia Awards sampai LPDP. Tahun 2015, sebelum menikah dan punya anak, saya daftar beasiswa LPDP dan tidak lolos. Ceritanya bisa dibaca di sini ya. Dan ndilalah saya dapat beasiswa-nya malah ketika sudah menikah dan sudah punya anak.

Jadi, kalau anda seorang perempuan, sudah menikah, sudah punya anak, bertanya kepada saya, apa mungkin bisa lanjut sekolah lagi? Maka jawabannya adalah sangat mungkin. Tetapi keputusan itu membutuhkan banyak kompromi dan saya berterima kasih banyak kepada suami serta anak yang mendukung kekeras-kepalaan saya habis-habisan.

Saya mulai mengajukan aplikasi beasiswa LPDP setahun yang lalu, ketika anak saya belum genap dua tahun dan masih butuh ASI. Seleksi LPDP tidak hanya berhenti di tahap administrasi karena saat lolos di tahap tersebut, kita harus mengikuti tahap selanjutnya yaitu seleksi berbasis komputer (SBK). Begitu membulatkan tekad untuk sekolah lagi, kita harus siap dengan segala resikonya. Termasuk kompromi waktu dan lain-lain dengan keluarga. Tes-tes seleksi yang saya ikuti mengharuskan saya untuk melakukan perjalanan bolak-balik Sumenep-Surabaya (karena lokasi tes saya waktu itu di Surabaya), bawa anak yang masih ASI dan sedang aktif-aktifnya. Ketika saya ujian di lokasi tes, anak saya titipkan ke suami di hotel. Bagi perempuan yang tidak pernah lama-lama meninggalkan anak, karena anak selalu nempel kemana-mana, seleksi beasiswa ini beratnya jadi berlipat-lipat karena selain harus konsentrasi ke tes juga sambil kepikiran anak nangis apa nggak, rewel apa nggak, minta minum ASI apa nggak dan lain-lain. Nah, waktu saya tes SBK itu malah anak sakit karena masuk angin di perjalanan Sumenep-Surabaya. Jadi makin nggak konsen lah ngerjain tesnya.

Persiapan ujiannya juga tidak kalah berat. Saya belajar TPA dari buku-buku milik suami. Kadang baru buka satu halaman, anak sudah nangis minta main. Akhirnya belajarnya nunggu pas anak tidur, kadang sampai begadang malam-malam. Jadi, tidak jarang kalau pagi dan siang saya nguap-nguap melulu karena ngantuk dan kecapekan.

Belum lagi setelah lulus semua tesnya dan dinyatakan jadi penerima beasiswa, saya harus ikut PK (Persiapan Keberangkatan) selama nyaris seminggu di Jakarta. Itu kali pertama saya jauh-jauhan sama anak dalam waktu yang cukup lama. Apalagi anak masih ASI jadi bisa dibayangkan bagaimana sakitnya payudara yang tidak disusu oleh anaknya. Meskipun sudah dipompa, tetap saja rasanya nggak karu-karuan. 


Karena saya lolos beasiswa tahun lalu, perkuliahan saya dimulai tahun ini. Dan inilah ujian kesabaran yang sebenar-benarnya. Saya sadar, proses adaptasi di tempat baru tidak mudah, oleh karena itu sampai sekarang, di bulan-bulan pertama kepindahan saya dari Sumenep ke Depok, anak belum saya ajak. Sementara anak saya titipkan di rumah eyangnya. Dan saya tinggal sendirian di kos. Sesekali suami tinggal di sini satu-dua minggu. Kalau sedang tidak terlalu banyak tugas, rencananya juga saya pulang menengok anak di rumah eyangnya barang dua-tiga hari.

Memang tidak mudah, tapi kita pasti bisa melewatinya. Buat teman-teman kesayanganku, ibu-ibu muda yang ingin segera lanjut sekolah, ayo semangat. Diskusikan semua dengan suami dan keluarga. Saling berbagi peran dan ketika merasa down atau tidak semangat, segera cerita dengan teman-teman terdekat, biar saling memberi kekuatan dan dukungan. Dari pada mendengarkan omongan nyinyir orang-orang, yang bahkan sama sekali tidak berkontribusi apapun bagi kita, lebih baik mengelilingi diri dengan orang-orang berenergi positif, orang-orang yang bersedia mendengarkan keluh kesah kita dan memeluk kita untuk memberikan kekuatan. Dan dari pengalaman saya, apa yang saya capai tidak lepas dari orang-orang baik yang selalu mendengarkan dan mendukung saya, memberikan kekuatan di tengah gempuran kenyinyiran dan kejulidan orang-orang. Kalau saya bisa, teman-teman juga pasti bisa :*



Depok, 29 Agustus 2019

No comments:

Post a Comment