Follow Us @soratemplates

Wednesday, September 25, 2019

Menafsir 'Ayam'; Melacak Genealogi, Membaca Ulang Ingatan*


Dalam salah satu perkuliahan Pemetaan Cultural Studies, dosen kami meminta mahasiswa untuk menggambar ayam. Setelah gambar-gambar itu dikumpulkan dan diperlihatkan kembali, tampaklah kecenderungan yang nyaris sama di semua gambar: ayam itu menghadap ke kiri. Kenyataan tersebut membuat para mahasiswa tersentak dan mulai bertanya-tanya. Pada awalnya kita tidak menyadari sejak kapan konsep gambar ayam menghadap ke kiri itu terbentuk dalam benak kita. Kita tidak ingat siapa yang mengajarkan kita cara menggambar dan mengapa kita menggambar seperti itu. Begitu terbiasanya kita dengan hal ini sehingga luput mengajukan pertanyaan-pertanyaan dari mana gambar ayam menghadap kiri itu berasal. 

Sebagai sebuah produk budaya, gambar menjadi teks visual yang dapat dianalisis dan ditafsirkan. Ia berkomunikasi melalui tanda yang memiliki beragam arti. Menurut teori semiotik Peirce, tanda adalah sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain, dimana proses pemaknaannya mengaitkan antara ‘realitas’ dan ‘apa yang ada dalam kognisi manusia’ (Hoed, 2014: 9). Asumsi dasarnya, gambar ayam yang hampir seluruhnya menghadap ke kiri itu berusaha mengungkapkan hal lain, seperti fenomena kekuasaan apakah yang mendasari ketidaksadaran masyarakat dalam menggambar seperti itu.

Konsep sintagmatik-paradigmatik dalam semiotik berusaha mencari oposisi-oposisi yang tersembunyi dan bagaimana urutan suatu teks menghasilkan makna (Ida, 2014: 30). Dengan konsep ini, dapat dilihat bagaimana masyarakat Indonesia pada umumnya melihat sesuatu dengan paradigma kiri ke kanan, atas ke bawah. Paradigma ini terlihat dari cara membaca dan menulis orang Indonesia. Kebiasaan lainnya seperti berjalan harus di sebelah kiri sebab menyetir dilakukan dari sebelah kanan juga membentuk paradigma yang dominan kiri. Beberapa data tambahan yang diperoleh dari gambar-gambar ayam dari responden lain menunjukkan bahwa kecenderungan gambar menengok ke kanan sangat sedikit, salah satu diantara penggambar ayam menghadap ke kanan itu karena ia kidal. Beberapa responden mengakui bahwa menggambar ayam yang menghadap ke kiri lebih mudah karena menggunakan tangan kanan. Sementara penggambar kidal mengakui bahwa menggambar ayam menghadap ke kanan cenderung lebih mudah karena menggunakan tangan kiri.

Kebiasaan menggunakan tangan kanan ini bahkan dikukuhkan dalam dalil-dalil agama yang menyitir hadits nabi bahwa tangan kanan itu lebih baik disbanding tangan kiri. Juga dalam pendidikan, bahwa menggunakan tangan kanan selalu lebih sopan. Secara kultur agama dan pendidikan, masyarakat Indonesia nyaris sepakat untuk menolak dominansi penggunaan tangan kiri/kidal. Struktur paradigmatik kiri-kanan dalam menulis dan membaca, serta keharusan untuk selalu berjalan di sebelah kiri juga dilanggengkan melalui konsep pendidikan. Di sini terlihat bagaimana aparatus negara ideologis (Althusser, 2008: 18-22) seperti agama dan pendidikan melakukan hegemoni.

Hegemoni pendidikan yang dilakukan selama bertahun-tahun berhasil membentuk memori kolektif masyarakat yang membentuk nyaris seragamnya gambar ayam mereka. Dalam istilah Gramsci, hegemoni budaya ini memungkinkan seseorang untuk berpandangan sesuai yang diinginkan oleh kekuasaan secara suka rela tanpa paksaan (Lears, 1985). Tentu saja kekuasaan ini bisa apa saja, bisa pendidikan, bisa Negara. Pendapat tentang memori kolektif sendiri berakar dari pemikiran Durkheim dan Halbwahs yang kemudian Olick menjelaskan salah satu konsep memori kolektif dimana kita memandang ingatan sebagai residu otentik tentang masa lalu (Olick, 1999). Ini menjelaskan perbedaan yang cukup mencolok antara gambaran ayam yang digambar oleh orang dewasa dan anak-anak. Orang-orang dewasa memiliki ingatan kolektif hasil hegemoni pendidikan selama bertahun-tahun sejak masa lalu yang diwariskan dari orang tua-orang tua dan guru-guru mereka, sementara anak-anak tidak atau belum.

Data tambahan yang diperoleh dari anak-anak yang belum sekolah atau baru memasuki tahap sekolah dasar menampakkan perbedaan hasil cukup signifikan. Beberapa responden anak-anak yang diminta untuk menggambarkan ayam memperlihatkan gambar yang tidak dominan menghadap ke kiri, tetapi ke depan juga ke kanan. Sangat jarang didapati anak menggambar ayam menghadap ke kiri. Berkebalikan dengan hasil gambar yang diterima dari responden orang dewasa.








Ini disebabkan juga barangkali oleh masih singkatnya pendidikan yang diperoleh anak-anak sehingga konsep-konsep paradigmatik kiri-kanan, menulis-membaca dari kiri, berjalan selalu di sebelah kiri, belum betul-betul tertanam dalam ingatan anak-anak.

Ada satu data yang cukup menarik dari responden anak berusia 3.5 tahun (perempuan). Awalnya ia menggambar ayam menghadap ke kiri, ketika ditanya apa dia diajari menggambar seperti itu, ibunya (30 tahun) mengaku bahwa sang ibu memberi contoh terlebih dahulu dengan menggambar ayam menghadap kiri. Ketika anak tersebut diminta kembali untuk menggambar ayam sesuka hatinya, hasilnya ternyata menghadap ke kanan. Bahkan gambar yang sebelah kanan terlihat lebih natural dibanding yang di sebelah kiri.



(Gambar kiri dengan arahan ibunya, gambar kanan sesuai kebebasan anak) 

Dari analisis-analisis di atas, dapat disimpulkan bahwa gambar ayam menghadap ke kiri dominan terjadi pada orang-orang yang sudah dewasa dan mengenyam pendidikan selama bertahun-tahun, sementara untuk anak-anak kecil yang belum sekolah atau baru memasuki tahapan sekolah dasar, gambar ayamnya lebih variatif. Jika ditelusuri kembali, penggambaran yang dominan menghadap ke kiri berawal dari masa sekolah dan berlangsung terus menerus selama bertahun-tahun sebagai imbas dari hegemoni kekuasaan Negara dalam bidang pendidikan, yang tujuan utamanya menciptakan masyarakat yang seragam; seragam dalam menulis dengan tangan kanan, seragam berjalan di sisi sebelah kiri, hingga akhirnya seragam dalam menggambar hewan ayam menghadap ke kiri secara tidak sadar dan tidak lagi mempertanyakan karena itu dianggap sebagai sebuah kelaziman belaka.



Daftar Pustaka

Althusser, Louis. 2008. Tentang Ideologi: Marxisme Strukturalis, Psikoanalisis, Cultural Studies.Yogyakarta: Jalasutra
Hoed, Benny H. 2014. Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya. Depok: Komunitas Bambu.
Ida, Rachmah. 2014. Metode Penelitian Studi Media dan Kajian Budaya. Jakarta: Kencana.
Lears, T. J. Jackson. 1985. The Concept of Cultural Hegemony: Problems and Possibilities. The American Historical Review, Vol. 90, No. 3 (Jun., 1985), pp. 567-593. (diakses di http://www.jstor.org/stable/1860957 pada 23 September 2019)
Olick, Jeffrey K. 1999. The Two Cultures. Sociological Theory, Vol. 17, No. 3 (Nov., 1999), pp. 333-348 (diakses di https://www.jstor.org/stable/370189 pada 23 September 2019)


*Tulisan ini dibuat untuk tugas kelas Pemetaan Cultural Studies yang diampu oleh Dr. Risa Permanadeli. 

No comments:

Post a Comment