Follow Us @soratemplates

Wednesday, November 6, 2019

Asia as Method: Toward Deimperialization, Kuan Hsing Chen*


Buku Asia as Method tulisan dari Kuan Hsing Chen ini menawarkan sebuah kerangka kerja analisis berbasis materialisme geokolonial historis untuk mengembangkan pemahaman baru terhadap kajian budaya di negara terjajah khususnya wilayah regional Asia dalam upayanya untuk memahami bentuk, praktek, dan institusi budaya populer dengan lebih baik. Penulis juga mengkritik kajian budaya postkolonialis yang dianggap mandeg sebab adanya kritik berlebihan terhadap Barat serta berusaha menempatkan sejarah kolonialisme dan imperialisme kembali dalam kajian globalisasi. Hal lain yang dibahas adalah mengenai bidang kajian Asia, yang selama ini didominasi oleh kajian-kajian yang dilakukan di luar ruang geografis Asia. 

Di sinilah potensi ‘Asia sebagai Metode’, bahwa kajian kritis terhadap pengalaman-pengalaman di Asia menawarkan sebuah paradigma baru dalam memandang sejarah dunia dan juga dalam mengajukan serangkaian pertanyaan-pertanyaan yang berbeda. Selama ini, para intelektual berpandangan subjektif mengkritik pandangan objektif yang menempatkan Barat sebagai pusat dan selain Barat sebagai pinggiran (periferi) sehingga ‘Asia sebagai Metode’ berupaya untuk mengatasi perdebatan ini dengan berupaya menempatkan Asia sebagai pusat. 

Mundurnya upaya deimperialisasi yang menjadi faktor pendukung terjadinya konflik lokal, regional, dan global di seluruh dunia berhubungan dengan kondisi terkini produksi pengetahuan. Perspektif ‘Asia sebagai Metode’ muncul di persimpangan antara kritik postkolonialisme, kajian globalisasi, dan Kajian Asia di Asia sebagai metode yang menciptakan kemungkinan-kemungkinan baru dalam kerja intelektual dan menjawab masalah produksi pengetahuan tersebut. Ia berupaya mentransformasikan struktur pengetahuan yang sudah ada sekaligus mentransformasikan diri kita. Implikasinya adalah menggunakan Asia sebagai ‘imaginary anchoring point’ yang memungkinkan masyarakat di Asia menjadi titik rujukan masing-masing sehingga pemahaman pada diri bisa ditransformasi dan subjektifitas bisa dibangun ulang. Pengalaman-pengalaman dan praktek historis di Asia bisa dikembangkan sebagai cakrawala, pandangan, atau metode alternatif untuk memunculkan serangkaian pertanyaan-pertanyaan yang berbeda tentang sejarah dunia. Dengan menggunakan perspektif ‘Asia sebagai Metode’, masyarakat di Asia bisa saling terinspirasi bagaimana masyarakat di negara-negara Asia yang lain menyelesaikan masalah-masalah serupa. 

Sebagai persoalan teoritis, ‘Asia sebagai Metode’ merupakan hasil dari praktek-praktek yang berkembang dari Inter-Asia Cultural Studies, sebuah jurnal pergerakan yang berjalan sejak 1990an dan dianggap sebagai gerakan ‘self-reflexive’. Metode ini juga mengkritisi diskusi paradigma dikotomi: Timur versus Barat, Cina versus Barat, Korea Selatan versus Barat, Jepang versus Barat, India versus Barat yang menunjukkan bahwa selama ini subjek wacana nasionalis selalu Barat dengan menawarkan empat strategi sebagai berikut: 

Pertama, melakukan disrupsi ‘the Other’ melalui dekonstruksi, bahwa Barat tidak bisa menjadi ‘our Other’. Kedua, membatasi bahwa pengalaman Barat hanya di satu bagian dunia saja, sehingga meskipun berpengaruh dan menjadi bagian sumber kultural di Asia namun sebagai bagian lain dari dunia serta sebuah produk sejarah, ia tidak bisa mengklaim universalitas. Strategi ketiga dari Ashis Nandy yang mengungkapkan bahwa hal-hal yang kelihatannya berasal dari Barat sebenarnya sudah ada menjadi bagian dari kebudayaan masyarakat non-Barat, dalam hal ini India. Strategi keempat yaitu nativisme dunia ketiga melalui internasionalisasi lokalitas. Persoalan sosial budaya di Asia diungkapkan melalui fenomena lokal dan dikenalkan ke dunia internasional. 

Strategi tersebut sejalan dengan pandangan Partha Chatterje yang mengungkapkan bahwa fenomena yang terjadi di India memiliki kesamaan dengan apa yang terjadi di Taiwan. Tentu saja fenomena itu terjadi di tempat lain secara global, tetapi dengan memahami struktur lokasi, proses modernisasi, serta pengalaman-pengalaman historis yang serupa di Asia Dunia Ketiga memungkinkan fenomena-fenomena ini bisa ‘terlihat’. Sehingga kajian komparatif perlu dilakukan. Hal ini pernah dilakukan sebelumnya, tetapi dengan membandingkan teori Eropa-Amerika dengan pengalaman lokal kita yang tidak begitu membantu upaya kita dalam memahami kondisi dan praktek di masyarakat Asia. Perbandingan sesama negara Asia justru lebih membantu dibandingkan dengan perbandingan antara Barat dan fenomena lokal kita. Chatterje juga mengungkapkan bahwa masyarakat politis adalah kekuatan perubahan sosial di ruang postkolonial. 

Penulis juga meminjam pandangan-pandangan Mizoguchi tentang ‘Cina sebagai Metode’ untuk melihat fenomena-fenomena di Jepang melalui Cina. Namun ada perbedaan ‘Cina sebagai Metode’ dengan ‘Asia sebagai Metode’ yang terletak pada pilihan-pilihan penekanannya. Pertama, objek dialog ‘Asia sebagai Metode’ adalah lokal (Seoul, Tokyo, Shanghai, atau Taipei misalnya) tetapi juga lintas-batas, regional, dan bahkan interkontinental. Kedua, pandangan ini mengakui elemen-elemen Barat sudah ada secara internal di Asia. Ketiga, pandangan ini membuat perubahan pada Asia, dari Asia Timur ke bagian lain Asia, dengan harapan pandangan dunia kita akan meliputi cakrawala yang beragam ini. Keempat, pandangan ini secara sadar menekankan pada praktek-praktek yang dalam upaya menyibak modernitas, pikiran intelektual hanya satu saja dari praktek historis lainnya. Terakhir, inti agenda teoritis dan politis ‘Asia sebagai Metode’ adalah untuk mentransformasi subjektifitas kita.

*Tulisan ini adalah laporan bacaan buku 'Asia as Method: Toward Deimperialization' karya Kuan Hsing Chen sebagai tugas mata kuliah Pemetaan Cultural Studies yang diampu Prof. Melani Budianta dan mendapatkan predikat laporan bacaan terbaik dengan nilai tertinggi di kelas.

No comments:

Post a Comment