Musim penghujan sudah mulai sejak penghujung Oktober yang lalu. Dan awal November ini, hujan hampir tak henti-hentinya menderas setiap harinya. Tentu saja kemarau yang lalu membikin sumur-sumur tanah menjadi kerontang, parit-parit kering, dan tanah-tanah tandus menjadi sedemikian berdebu telah membuat orang-orang di dusun ini begitu rindu akan hujan. Tetapi hujan menderas setiap hari seperti ini, ya kadang kala membikin nelangsa juga. Betapa tidak? Sebagian besar penduduk di desa ini adalah penyadap nira. Bayangkan saja betapa nelangsanya ketika pagi subuh dan senja mereka memanjat pohon kelapa yang licin karena air hujan, dan menemukan pongkornya2 bukannya penuh nira, tetapi penuh air hujan. Dan nyaris pasti, hasil gula kelapa dari nira-nira yang kebanyakan campuran air hujannya ini biasanya tidak terlalu bagus kualitasnya.
“Gulanya gemblung lagi Nang...” si Mbok mendesah memandangi sewajan besar gula kelapa yang baru saja matang. Yang ia maksud sebagai gula gemblung adalah gula kelapanya tak mau mengeras.
Biasanya, untuk membuat gula kelapa, nira dari pohon kelapa itu dimasak di wajan besar sampai menjadi cairan kental kecoklatan untuk kemudian dituangkan ke dalam cetakan-cetakan dari pohon bambu yang dipotong sepanjang 5cm. Begitu mendingin, cairan kental kecoklatan itu berubah menjadi gula kelapa yang padat berukuran silinder dan siap dijual ke tengkulak. Namun musim penghujan yang begini ini seringkali menyebabkan gula jadi gemblung, sebutan untuk gula-gula yang benyek3, yang tak mau mengeras dan memadat. Suka tidak suka, gula gemblung semacam ini pasti akan dibeli dengan harga sangat murah oleh para tengkulak.
Tentu saja itu malapetaka. Gula yang baguspun, sekilonya paling-paling dibeli dengan harga lima ribu rupiah oleh tengkulak, apalagi gula gemblung begini, pasti mentok setengah harga gula yang bagus. Padahal di luar sana, di pasar dan toko-toko, apalagi di supermarket, gula-gula kelapa semacam ini harganya bisa sampai sepuluh ribu per kilonya. Pernah kuusulkan pada si Mbok untuk menjual gula ini langsung ke pasar, tapi tentu saja usul itu ditolak oleh si Mbok karena saking mustahilnya.
“Kau sudah hilang akal Nang!” hardik si Mbok waktu itu. “Bagaimana mungkin gula ini kita jual sendiri ke pasar? Kamu mau bikin juragan Dahrun murka? Kalau juragan murka bagaimana kita bisa makan nanti? Mau cari uang ke mana untuk bayar biaya sekolahnya si Sutri?”
Dan aku cuma bisa terdiam. Tak tahu harus menjawab apa. Aku tahu kalau keluargaku sudah terlalu banyak hutang pada juragan, sebutan si Mbok untuk tengkulak yang menampung gula kami dan juga gula kelapa sebagian besar penyadap nira di dusun kami. Kalau kami tak bisa bayar uang sekolah Sutri, si Mbok akan meminjam uang ke juragan Dahrun, dan setiap hari pasaran4 legi, saat kami datang menjual gula kelapa kami yang telah kami kumpulkan dalam lima hari, juragan akan memotong uang hasil jualan gula kelapa itu untuk menyicil hutang si Mbok beserta bunganya. Tentu saja kami tak bisa menjual gula kami ke selain juragan Dahrun karena kami telah terikat hutang dengannya. Baru setelah hutang dan bunganya kami lunasi, kami mungkin akan bisa bebas menjual gula kelapa kami ke sesiapa saja yang kami mau.
Aku sudah tahu, kalau terus begini, sampai kiamatpun kami tak akan mampu melunasi hutang dan bunganya itu. Setiap hari, jumlah hutang dan bunga yang harus kami bayar terus meningkat, dan menyicilnya dalam lima hari sekali jelas tidak mencukupi. Belum lagi kalau tiba-tiba adikku, Sutri harus bayaran sekolah, dan uang hasil menjual gula kelapa yang sudah dipotong menyicil hutang itu sudah habis untuk membeli beras, dengan terpaksa si Mbok akan datang ke juragan Dahrun untuk menambah pinjaman. Tambahan pinjaman dan hutang serta bunganya kemudian membengkak semakin besar dari hari ke hari. Dan kami semakin tergantung dengan juragan Dahrun, semakin sengsara, semakin tak punya apa-apa.
Itulah sebabnya, sore ini, aku mengajak Bapa dan si Mbok berbicara, tentang apa yang sebaiknya kami lakukan supaya terlepas dari jeratan tengkulak begini. Aku berdeham, agak ragu-ragu memulainya.
“Begini,” aku berhenti untuk memandang wajah Bapa dan si Mbok sekilas sebelum akhirnya melanjutkan, “...anu Pa, Mbok, saya mau minta ijin buat ikut kerja ke kota. Saya kemarin ketemu Pak Narsim, katanya lagi ada kerjaan di proyek gitu, mbangun itu apa ya, mall, di Bekasi. Uangnya lumayan Pa, Mbok... nanti bisa buat bayaran sekolahnya Sutri, trus bisa buat nyicil hutang di tempat juragan Dahrun. Nanti kalau sudah lunas hutangnya, saya balik lagi ke rumah. Biarlah saya nanti gantiin Bapa nderes5 pohon kelapa. Nanti kita jual sendiri saja gulanya ke pasar Mbok, nggak usah ke juragan. Yang penting sekarang saya cari uang dulu buat ngelunasi hutang. Gimana?”
Kulihat Bapa dan si Mbok saling berpandangan dalam diam. Aku tahu, mereka tak suka aku kerja jauh dari rumah, apalagi di Bekasi yang jauh dari Baturaden. Tapi toh, ini mungkin adalah jalan terbaik. Mereka juga telah lelah dengan hutang yang menumpuk. Bapa juga telah lelah setiap hari harus nderes pohon kelapa, apalagi di musim hujan begini. Kalau tak hati-hati, bisa terpeleset dan terlempar dari ketinggian 15meter ke tanah. Kalau sudah begitu, cuma keajaiban yang membuat kita tetap selamat dari maut. Ya bayangkan saja betapa tingginya pohon kelapa di dusun-dusun, apa kira-kira orang masih bisa selamat setelah terjatuh dari ketinggian segitu?
Bapa dan si Mbok paham dengan situasi itu. Makanya, mereka pun akhirnya mengangguk, dengan berat hati mengijinkan anak lelaki satu-satunya merantau ke kota. Setidak-tidaknya, kami melihat ada harapan.
“Nang, pangapura sing gedhe6 Bapa tak mampu menyekolahkanmu sampai SMA. Mungkin kalau dulu kau tamat SMA, kau bisa dapat pekerjaan yang lebih baik dari sekadar ikut proyek bangunan. Sebenarnya, di sini pun tak apa. Tapi mungkin kau tak betah ya mencangkul di sawah pak haji?” tanya Bapa.
“Bukan begitu Pa,” aku menggeleng. “Aku suka membantu di tempat pak haji, tapi bagaimana ya... uangnya tak cukup buat bantu-bantu Bapa dan si Mbok,” aku menjawab dengan sedih.
Bapa mengangguk-angguk. Kulihat ada tangis di pelupuk matanya. Dan aku memalingkan muka, enggan menyaksikan kepedihan itu.
**
Sudah hampir sebulan aku kerja di proyek pembangunan mall di Bekasi. Bagiku sendiri ini tak lebih berat dari yang kulakukan di kampung. Aku toh biasa mencangkul di sawah seharian, maka aku tak pernah mengeluh ketika harus memecah batu atau membawa adonan semen seember besar bolak-balik. Tapi, tentu saja bukan berarti aku tak lelah. Tiap malam, saat tidur bersama puluhan teman-teman yang lain di sebuah bilik yang sempit, aku harus menahan-nahan rasa ngilu dan pegal di sekujur tubuhku. Tetapi, itu tak kusesali. Bagaimana mungkin menyesali, jika aku bisa mengirim uang sebanyak empat ratus ribu rupiah setiap dua minggu sekali untuk si Mbok di rumah.
Seperti hari ini. Hari yang ditunggu-tunggu: hari gajian. Kami, buruh di proyek pembangunan mall ini, memang dihitung sebagai pekerja harian, namun uangnya dibayarkan seminggu sekali supaya lebih mudah. Setiap minggu, kami memperoleh bayaran sebesar tiga ratus ribu rupiah. Yang seratus biasanya kupakai untuk makan dan beli rokok, yang dua ratus aku sisakan untuk kukirim ke rumah. Untuk kiriman ke rumah ini, biasanya aku mengirimkannya dua minggu sekali, jadi sekaligus empat ratus ribu rupiah banyaknya.
Waktu sudah hampir Ashar ketika aku dan kawan-kawan bergerombol bersama, menunggu giliran dipanggil untuk menerima gaji. Begitu salah seorang temanku kembali dengan amplop putih di tangan dan membuat isyarat bahwa aku giliran selanjutnya, aku berdiri dan membuang puntung rokokku ke tanah serta menginjaknya sampai baranya mati.
Aku baru sedang berjalan untuk menghadap bosku dan mengambil uang gajian ketika hape bututku berdering. Deringnya jelek sekali, maklum hape jadul. Kulihat di layar yang berkedip-kedip ada nama Sutri. Aku tersenyum.
“Halo Tri, aku baru mau gajian ini, besok kukirim ya,” cerocosku sumringah begitu aku menekan tombol jawab.
“Kang,” Sutri memanggilku lirih. “Anu kang, tolong pulang sekarang... anu Bapa itu kang...” Sutri terdengar agak terisak. Perasaanku langsung tidak enak. Suaranya pun terdengar gemetar. Bapa kenapa? Aku bertanya-tanya. Jangan-jangan... pikiranku sudah kemana-mana, membayangkan yang terburuk, jangan-jangan Bapa jatuh saat ngambil nira...
“Bapa kenapa Tri?” suaraku parau.
“Bapa kendat kang... kambing kita dicuri orang, trus tabungan... yang mau buat bayaran sekolah Sutri juga... dicuri orang... tadi siang kang, waktu si Mbok sama Bapa jual gula ke juragan Dahrun... Bapa stres kang, trus tau-tau sudah kendat di kamar... pulang sekarang kang...”
Aku tak lagi mendengar cerocosan Sutri. Tubuhku lemas. Tanah yang kujejak serasa melesak dan runtuh. Oalah Pa... kok yo kendat barang... aku menangis.
Keterangan:
1Kendat: Bunuh diri dengan gantung diri
2Pongkor: Wadah untuk menadahi nira, biasanya terbuat dari bambu yang dipotong sepanjang 50cm
3Benyek: Lembek
4Hari pasaran: Penghitungan berdasarkan kalender Jawa, bahwa satu pekan terdiri atas lima hari pasaran, yaitu legi, pahing, pon, wage, kliwon
5Nderes: Kegiatan memanjat pohon kelapa untuk mengambil nira
6Pangapura sing gedhe: Bahasa Jawa yang berarti “Maaf sebesar-besarnya”
(Cerpen lama ini pernah dimuat di harian Satelit Post tapi lupa edisi kapan.)
No comments:
Post a Comment