Follow Us @soratemplates

Thursday, December 27, 2018

Pukul 5 Sore

Laporan harian baru saja selesai diketik. Seperti biasa, laporan harian harus dicetak dan diserahkan pada bagian administrasi sebelum semua pegawai kantor ini pulang. Aku melirik ikon jam yang menunjukkan pukul 16.50 di layar komputerku bagian kanan bawah sambil menekan tombol ctrl dan p untuk mencetak laporanku. Terdengar suara printer beroperasi yang tenggelam dalam berisik orang bercakap-cakap. Aku membereskan meja kerja, menyambar kertas yang baru saja keluar dari mesin printer, meraih jaket dan tasku, kemudian berjalan tergesa-gesa menuju ruang administrasi. Setelah menyerahkan laporanku bersama staf yang lain, aku segera melangkah ke luar kantor, mengarungi jalanan Jakarta untuk pulang.


Begitu kaki menginjak jalanan, aku bergabung dengan sekian banyak manusia yang juga berjalan keluar dari gedung tempat mereka masing-masing bekerja. Semua berjalan dengan tergesa-gesa, sebagaimana aku. Dan bahkan aku tidak mengerti mengapa aku mesti berjalan secara tergesa-gesa, dan mengapa mereka juga mesti tergesa-gesa. Tapi toh aku tetap tergesa-gesa juga, setengah berlari menuju halte TransJakarta terdekat, dan berdesak-desakkan dengan manusia-manusia Jakarta yang lain. Suara berderai klakson, suara berisik knalpot bajaj, suara deru sepeda motor, dan suara sumpah serapah bercampur aduk, riuh ramai, seperti kata-kata padat yang dibentuk menjadi kalimat tapi kehilangan spasi. Penuh, sesak, dan membikin susah bernafas. Aku memijit kepalaku yang berdenyut-denyut ngilu dan memejamkan mata yang berkabut dan terasa pedih. 

Aku mengedarkan pandangan dan melihat segala macam manusia serta kendaraan bermotor tumpah ruah menyesaki jalan. Halte TransJakarta penuh orang dan aroma keringat bercampur kolonye yang memuakkan. Itulah mengapa sebagian besar orang memilih menutup hidungnya dengan masker. Kau tahu, bau keringat bercampur kolonye bagi sebagian orang bisa jadi polusi udara yang sangat menyebalkan. Aku sendiri sudah terlalu pasrah dengan aroma semacam ini sehingga alih-alih ambil pusing untuk memasang masker (yang sebenarnya tak kupunyai), aku lebih memilih mengeluarkan inhaler dan menghirup aroma yang menyegarkan itu darinya. 
Sambil menunggu bus TransJakarta arah Pulogadung, aku mengedarkan pandangan ke seantero halte. Orang-orang sibuk sendiri-sendiri, dengan gawainya, dengan keterasingannya masing-masing. Bus yang akan kunaiki datang, terdengar suara petugas setengah berteriak “Dahulukan yang turun dulu Bapak Ibu... hati-hati Bapak Ibu... tolong dahulukan yang turun dulu...” entah bagian ‘dahulukan yang turun dulu’ yang mana yang tidak dimengerti orang-orang pengguna fasilitas bus TransJakarta ini. Begitu pintu bus TransJakarta terbuka, segerombolan orang berdesak-desakkan segera masuk, menabrak orang-orang yang kesulitan hendak keluar dari bus TransJakarta, sama sekali tak mengacuhkan ucapan petugas. Aku terdorong ke kanan kiri, limbung, ingin mengumpat, tapi nampaknya akan sia-sia. Maka akupun terpaksa turut mendorong ke sana sini, sampai kemudian berhasil masuk ke bus TransJakarta yang bahkan sudah sangat penuh sesak.

Seorang laki-laki di dalam bus TransJakarta berbisik padaku: “Pukul 5 sore seperti neraka ya?” Aku menoleh, menatap si laki-laki dengan mata menyipit, mendapati sebuah wajah lonjong dengan alis mata tebal yang lucu dan ekspresi yang sedemikian depresi. 

“Barangkali, itu bisa masuk dalam list doa, semoga pukul 5 sore lenyap dari Jakarta,” ucapku tanpa tersenyum.

Laki-laki di sebelahku mengangguk. Aku melirik sekilas. Dalam pikiranku, aku melihat laki-laki ini memukul-mukulkan batu ke kepalanya dan menggorok-gorok lehernya sendiri pada suatu sore yang sama, pukul 5 sore yang neraka, yang merangkak lambat dan dikutuki segala macam manusia Jakarta. Ekspresi wajahnya begitu depresi. Matanya memerah dinaungi alis tebal serupa Sinchan. Lalu darah mengalir dari lehernya yang dia gorok sendiri, membanjiri lantai bus TransJakarta, mengaliri jalanan Jakarta. Tapi tak ada seorangpun peduli sebab pada pukul 5 sore, orang-orang hanya peduli dengan dirinya sendiri.

“Pssst... pssst...,” suara laki-laki di sebelahku membuyarkan pikiran-pikiran liarku. Aku menoleh dan mendapati mata dengan alis Sinchan itu tengah menatapku. 

“Apa?” aku bertanya, sedikit judes, dan tidak ramah. 

“Lihat itu,” si laki-laki itu membuat isyarat dengan matanya, menunjuk orang-orang di dalam bus TransJakarta. “Para orang tua yang mencabuti ubannya secara berjamaah untuk menyembunyikan usianya, para perempuan muda yang sibuk mengiris-iris dagingnya, katanya biar langsing,” dia terkikik. Lalu kembali berujar, sambil berbisik-bisik, “Itu, yang itu, di sebelah sana, yang merasa seolah memegang dunia, hanya karena punya buah apel dan berry di tangannya.” Ia menghela nafas sesaat dan kembali melanjutkan ucapannya, “Kalau kau keluar di pukul 5 sore seperti ini, kau pasti akan menyaksikan seluruh penghuni dunia tumpah ruah di Jakarta.”

Aku tersenyum. Ada yang kusetujui dan tidak kusetujui dari kata-katanya. Tetapi aku sedang malas berdebat. Kulirik si lelaki dengan alis Sinchan itu. Aku lalu melihat dia seperti orang putus asa karena melihat segala temannya berubah menjadi babi dan buaya. Dari luar bus TransJakarta, terlihat jalanan Jakarta berubah menjadi tumpah ruah manusia dengan penemuan peradaban besarnya: kendaraan bermotor yang menyesaki jalanan, membikin macet, menyemburkan polusi. Asap hitam mengepul serta suara klakson dan umpatan bersahut-sahutan. 

Aku masih berdiri, di samping laki-laki beralis Sinchan, berdesak-desakkan, dan sayup-sayup suara petugas memberitahukan agar penumpang yang akan turun di halte selanjutnya untuk bersiap-siap dan menjaga agar tidak ada barang bawaannya yang tertinggal. Di halte Matraman, aku turun, si laki-laki beralis Sinchan itu tersenyum sekilas sebelum pintu bus menutup, dan ia perlahan tenggelam dalam lautan manusia yang menyesaki perut bus TransJakarta. 

Aku keluar lewat jembatan penyeberangan. Berjalan di trotoar yang bahkan disesaki motor-motor yang berebutan membunyikan klakson kepadaku. Aku menoleh dan berteriak: “Ini trotoar!” tapi sia-sia, pukul 5 sore telah membikin seluruh warga Jakarta menjadi gila. Hingga mungkin lupa, bahwa trotoar tidak untuk dilindasi roda-roda sepeda motor. Dan semakin aku berteriak, mereka semakin membombardir dengan klakson dan umpatan “Minggir woy!”

Aku putus asa. Teringat bayangan si laki-laki beralis Sinchan, dan dalam bayanganku, dia tengah memukul-mukul kepalanya dengan batu, lalu menggorok-gorok lehernya sendiri. Seketika itu, menit-menit merangkak perlahan, meninggalkan pukul 5 sore dan kurasakan bumi terbalik dan segala-galanya tumpah ruah berceceran mengambang di langit yang ditadahi awan menghitam. Dan aku, sambil menutup mata, menyayat wajahku untuk kusajenkan pada neraka, neraka Jakarta pukul 5 sore. 



No comments:

Post a Comment