Follow Us @soratemplates

Thursday, December 27, 2018

Pukul 5 Sore

December 27, 2018 0 Comments
Laporan harian baru saja selesai diketik. Seperti biasa, laporan harian harus dicetak dan diserahkan pada bagian administrasi sebelum semua pegawai kantor ini pulang. Aku melirik ikon jam yang menunjukkan pukul 16.50 di layar komputerku bagian kanan bawah sambil menekan tombol ctrl dan p untuk mencetak laporanku. Terdengar suara printer beroperasi yang tenggelam dalam berisik orang bercakap-cakap. Aku membereskan meja kerja, menyambar kertas yang baru saja keluar dari mesin printer, meraih jaket dan tasku, kemudian berjalan tergesa-gesa menuju ruang administrasi. Setelah menyerahkan laporanku bersama staf yang lain, aku segera melangkah ke luar kantor, mengarungi jalanan Jakarta untuk pulang.


Begitu kaki menginjak jalanan, aku bergabung dengan sekian banyak manusia yang juga berjalan keluar dari gedung tempat mereka masing-masing bekerja. Semua berjalan dengan tergesa-gesa, sebagaimana aku. Dan bahkan aku tidak mengerti mengapa aku mesti berjalan secara tergesa-gesa, dan mengapa mereka juga mesti tergesa-gesa. Tapi toh aku tetap tergesa-gesa juga, setengah berlari menuju halte TransJakarta terdekat, dan berdesak-desakkan dengan manusia-manusia Jakarta yang lain. Suara berderai klakson, suara berisik knalpot bajaj, suara deru sepeda motor, dan suara sumpah serapah bercampur aduk, riuh ramai, seperti kata-kata padat yang dibentuk menjadi kalimat tapi kehilangan spasi. Penuh, sesak, dan membikin susah bernafas. Aku memijit kepalaku yang berdenyut-denyut ngilu dan memejamkan mata yang berkabut dan terasa pedih. 

Aku mengedarkan pandangan dan melihat segala macam manusia serta kendaraan bermotor tumpah ruah menyesaki jalan. Halte TransJakarta penuh orang dan aroma keringat bercampur kolonye yang memuakkan. Itulah mengapa sebagian besar orang memilih menutup hidungnya dengan masker. Kau tahu, bau keringat bercampur kolonye bagi sebagian orang bisa jadi polusi udara yang sangat menyebalkan. Aku sendiri sudah terlalu pasrah dengan aroma semacam ini sehingga alih-alih ambil pusing untuk memasang masker (yang sebenarnya tak kupunyai), aku lebih memilih mengeluarkan inhaler dan menghirup aroma yang menyegarkan itu darinya. 

Wednesday, December 26, 2018

Tentang Mati

December 26, 2018 0 Comments
Kita tahu, hidup hanyalah menunda waktu mati. 

Waktu sendiri adalah misteri. Siapa bisa menjamin kita masih memiliki banyak waktu tersisa? Yang bisa kita lakukan adalah berbuat sebaik mungkin, seolah hari ini adalah hari terakhir kita di muka bumi. Mencintai dengan sungguh. Mengasihi dengan penuh. Menghindari saling luka-melukai, sakit -menyakiti. Sebab, jika waktu telah sampai, kedamaian macam apa yang akan diraih hati yang luka?

Sedetik kita berdiri, bisa jadi tanah membelah-merekah dan menelan habis tidak hanya tubuh kita, tetapi juga eksistensi kehidupan kita. Kita tidak pernah tahu. Tidak pernah tahu.

Segala kebisingan-kebisingan itu, teriakan-teriakan itu, apa artinya ketika waktu berhenti dan kita mati?

Kematian seperti apa yang akan kita pilih? Kematian yang dipenuhi rasa dendam dan sakit hati? 

Kita adalah pengelana, yang mengembara dari dimensi ke dimensi. Bukan untuk mencari abadi. Bukan. Kita mencari peristirahatan terakhir yang tenang dan damai. Tempat dimana sekujur tubuh kita terpeluk dalam kasih. Bukan tempat yang menyisakan luka dan air mata.

Barangkali, kita masih memiliki sedikit waktu, untuk saling mencintai, untuk berhenti saling menyakiti. Untuk menciptakan surga sebelum akhirnya kita mati dan tiada. Mungkin juga tidak. Tetapi, pilihan apa yang akan kita ambil?

Friday, December 21, 2018

Kendat*

December 21, 2018 0 Comments

Musim penghujan sudah mulai sejak penghujung Oktober yang lalu. Dan awal November ini, hujan hampir tak henti-hentinya menderas setiap harinya. Tentu saja kemarau yang lalu membikin sumur-sumur tanah menjadi kerontang, parit-parit kering, dan tanah-tanah tandus menjadi sedemikian berdebu telah membuat orang-orang di dusun ini begitu rindu akan hujan. Tetapi hujan menderas setiap hari seperti ini, ya kadang kala membikin nelangsa juga. Betapa tidak? Sebagian besar penduduk di desa ini adalah penyadap nira. Bayangkan saja betapa nelangsanya ketika pagi subuh dan senja mereka memanjat pohon kelapa yang licin karena air hujan, dan menemukan pongkornya2 bukannya penuh nira, tetapi penuh air hujan. Dan nyaris pasti, hasil gula kelapa dari nira-nira yang kebanyakan campuran air hujannya ini biasanya tidak terlalu bagus kualitasnya.


“Gulanya gemblung lagi Nang...” si Mbok mendesah memandangi sewajan besar gula kelapa yang baru saja matang. Yang ia maksud sebagai gula gemblung adalah gula kelapanya tak mau mengeras.

Biasanya, untuk membuat gula kelapa, nira dari pohon kelapa itu dimasak di wajan besar sampai menjadi cairan kental kecoklatan untuk kemudian dituangkan ke dalam cetakan-cetakan dari pohon bambu yang dipotong sepanjang 5cm. Begitu mendingin, cairan kental kecoklatan itu berubah menjadi gula kelapa yang padat berukuran silinder dan siap dijual ke tengkulak. Namun musim penghujan yang begini ini seringkali menyebabkan gula jadi gemblung, sebutan untuk gula-gula yang benyek3, yang tak mau mengeras dan memadat. Suka tidak suka, gula gemblung semacam ini pasti akan dibeli dengan harga sangat murah oleh para tengkulak. 

Wednesday, December 12, 2018

Menjadi Buruh

December 12, 2018 0 Comments
Seorang lelaki dengan rambut mulai memutih berjalan dengan tas di punggung. Tasnya sudah sedikit sobek di bagian risletingnya, seperti terlalu sering membawa beban yang melebihi seharusnya. Di sela jarinya, terselip sebatang rokok lintingan dengan bau yang khas. Racikan mbako yang diuwuri menyan serta dilinting dalam balutan kertas papir. Dia tersenyum padaku, dan terlihat gigi-giginya yang tidak rapi serta menghitam. Aku balas tersenyum ketika dia mengambil tempat duduk di sebelahku. Di bangku panjang yang memang diperuntukan untuk orang-orang yang menunggu bus itu, hanya ada aku dan lelaki itu. Sementara di belakang, di deretan warung reot pinggir jalan, ada beberapa lelaki yang tengah asyik menyesap kopi dan rokok sambil tertawa-tawa, berbicara dari satu hal ke hal lainnya. Sayup-sayup, terdengar pembicaraan tentang bus A yang tabrakan kemarin sore, lalu beralih ke obrolan tentang tontonan organ tunggal nanti malam di desa Karang Nanas, lalu sayup ada pembicaraan tentang harga beras yang mahal minta ampun, lalu pembicaran tentang demo dan mogok buruh di mana-mana serta entah apa lagi. Aku kembali asyik membaca koran di hadapanku.


Lelaki di sebelahku batuk-batuk, lalu menoleh ke arahku, dan dengan segan, ia menunduk seolah meminta maaf. Aku melipat koran di hadapanku dan memasukkannya ke dalam tas lalu menatap ke kenyataan di sampingku. “Tindak kemana Pak?” tanyaku membuka pembicaraan.

Saturday, November 24, 2018

LPDP - Journey Part III: Wawancara dan LGD

November 24, 2018 0 Comments
Tahap ketiga dalam seleksi beasiswa LPDP adalah Wawancara dan LGD. Di tahap ini, kita juga harus memastikan bahwa semua dokumen atau berkas yang diunggah saat pendaftaran terverifikasi sehingga kita bisa mengikuti wawancara. Secara keseluruhan, di tahap ini kita harus mengikuti 3 langkah: verifikasi dokumen, LGD, dan wawancara. Ketiganya bisa saja tidak berurutan, tetapi wawancara hanya bisa dilakukan setelah verifikasi dokumen. Pengalaman saya kemarin, saya mendapatkan jadwal LGD dulu di hari pertama kemudian verifikasi dokumen dan wawancara di hari kedua. 

LGD sendiri adalah kependekan dari Leaderless Group Discussion yang secara singkat berarti bahwa diskusi ini berlangsung tanpa adanya pemimpin diskusi. Setiap kelompok LGD terdiri dari sekitar 6-8 orang yang sudah ditentukan anggotanya oleh pihak LPDP. Biasanya sekian menit sebelum LGD dimulai, kelompok LGD dipanggil oleh panitia dan dipersilakan untuk menunggu di luar ruangan. Nah, di saat ini kita harus memanfaatkan waktu untuk berkenalan secara singkat dengan teman-teman yang akan menjadi anggota kelompok LGD kita. Paling tidak kita tahu siapa namanya dan apa background pendidikannya. Kita juga bisa berdiskusi kira-kira siapa yang akan bicara dulu, siapa yang akan membuka, dan siapa yang akan membuat kesimpulan. 

Kemudian saat kita dipanggil masuk, kita akan bertemu dengan dua orang psikolog (?) yang berperan sebagai observer. Semua tas dan handphone dikumpulkan di kursi paling belakang dan kita hanya diperbolehkan membawa bolpen atau pensil untuk mencatat. Observer menjelaskan pada kita beberapa hal penting seperti berapa lama LGD berlangsung dsb. Setelah itu beliau meminta kami membaca selembar kertas berisi topik masalah yang sudah disiapkan di hadapan kami dan memperbolehkan kami membuat catatan di selembar kertas yang juga sudah disiapkan. Waktu itu saya mendapatkan topik mengenai sistem zonasi PPDB. 

Friday, November 23, 2018

Tak Sepadan

November 23, 2018 0 Comments
November. Hujan. November Rain. That song!
Sudah cukup lama telinga tidak mengakrabi lagu-lagu yang dulu bahkan menemani di saat-saat paling sepi. Mencari waktu untuk bisa duduk lama, merenung, mendengarkan musik, sembari membaca atau menulis menjadi begitu tak tertahankan susahnya. Bukan, bukannya mengeluh. Tetapi, for some reason, life really is changing.
Tidak terasa, November sudah hampir selesai. Tapi akan selalu ada banyak hal yang tak pernah mudah selesai begitu saja, bahkan jika hitungan-hitungan bulan satu per satu berlalu.

Saya baru menyelesaikan sebuah novel, satu dari tiga seri Millenium yang terkenal itu. The Girl Who Played With Fire, sequel dari The Girl With The Dragon Tattoo yang tebalnya 500 sekian halaman. Seri yang pertama, saya bahkan belum sempat membaca bukunya, tetapi menonton filmnya. Baik yang adaptasi Swedia maupun yang dimainkan Daniel Craig. I will review that novel soon. Dan sekarang saya sedang membaca seri terakhir The Girl Who Kicked The Hornet's Nest. Yang pasti, I am so proud that this month I am about to finish two or perhaps three books. Sebuah pencapaian yang cukup langka 😊

Out of nowhere, saya tiba-tiba ingat dengan puisi di bawah ini saat membaca tentang Kalle Blomvkist dan Lisbeth Salander. Ya nggak ada hubungannya sih, tapi nggak tau kenapa kok ingat saja dengan puisi ini:

TAK SEPADAN – CHAIRIL ANWAR
Aku kira:
Beginilah nanti jadinya
Kau kawin, beranak dan berbahagia
Sedang aku mengembara serupa Ahasveros
Dikutuk-sumpahi Eros

Aku merangkaki dinding buta
Tak satu juga pintu terbuka
Jadi baik juga kita padami
Unggunan api ini
Karena kau tidak ‘kan apa-apa
Aku terpanggang tinggal rangka
Chairil Anwar-Februari 1943

Melihat Lisbeth Salander, aku menyadari bahwa kadang-kadang hidup begitu menakutkan, tetapi tentu harus tetap dijalani. Harapan-harapan harus tetap dipelihara, seberapapun mustahilnya. Dan aku tiba-tiba teringat dengan penggalan puisi Pablo Neruda, "In the end, everyone is aware of this: nobody keeps any of what he has, and life is only a borrowing of bones." dan tiba-tiba aku merasa mellow.


Sumenep, 24 November 2018


LPDP - Journey Part II: Seleksi Berbasis Komputer

November 23, 2018 2 Comments
Berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, mulai tahun ini ada tahapan baru di seleksi LPDP yaitu seleksi berbasis komputer (SBK). Tes ini bertempat di kantor BKN di beberapa kota besar di Indonesia dan kita bisa memilih lokasi BKN di kota yang terdekat dari tempat tinggal kita. Pemilihan kota ini kita lakukan saat mendaftar secara online di seleksi administrasi. Karena saat ini saya tinggal di Sumenep, maka saya memilih kota Surabaya sebagai tempat seleksi SBK dan wawancara.

Jadi, setelah pengumuman seleksi administrasi, semua pendaftar beasiswa LPDP akan memperoleh pemberitahuan mengenai jadwal dilaksanakannya tahapan seleksi SBK. Pertama, jadwal yang diterima adalah jadwal global per kota. Misalnya Medan tanggal sekian sampai tanggal sekian, Yogyakarta tanggal sekian sampai sekian, Jakarta tanggal sekian sampai sekian dst. Untuk jadwal individu sendiri, menurut pengalaman saya, keluarnya sangat mepet. Bahkan bisa sampai H-2 atau H-1 tes. Bagi mereka yang rumahnya jauh dari lokasi tes, sebaiknya mempersiapkan segalanya lebih awal sebelum jadwal individu keluar.

Saat saya mendapat pengumuman lolos administrasi, hal pertama yang saya lakukan adalah segera mencari informasi tentang materi tes SBK. Berdasarkan buku panduan LPDP, tes SBK meliputi Tes Potensi Akademik (TPA), soft competency, dan essay on the spot writing. Untuk persiapan TPA, saya sempat sedikit latihan soal-soal dari buku. Untuk essay on the spot writing, saya mempersiapkannya dengan membaca berita-berita nasional setiap pagi.

Wednesday, November 21, 2018

LPDP - Journey Part I: Seleksi Administrasi

November 21, 2018 6 Comments
Saya memutuskan untuk menulis sedikit pengalaman saya mengikuti seleksi beasiswa LPDP di tahun 2018 ini begitu selesai mengikuti PK (Persiapan Keberangkatan). Untuk detail tentang PK sendiri akan saya tulis di postingan berbeda. Ini adalah kedua kalinya saya mengikuti seleksi LPDP dan alhamdulillah di kesempatan ini saya berhasil lolos menjadi awardee. Postingan ini sangat subyektif karena betul-betul saya tulis murni berdasarkan pengalaman pribadi. Semoga pengalaman saya bisa bermanfaat bagi siapa saja yang membacanya, terutama sekali bagi teman-teman yang juga berniat untuk mendaftar beasiswa LPDP.

Okay, mari kita mulai!

Pada 2015, saya pernah mengikuti seleksi LPDP dengan pilihan kota seleksi Yogyakarta. Di tahun tersebut, tahapan seleksinya hanya dua: seleksi administrasi dan seleksi wawancara serta LGD. Setelah diumumkan lolos seleksi administrasi, saya pun mengikuti seleksi wawancara dan LGD di GKN Yogyakarta. Sayangnya, saya gagal di tahap kedua itu. Setelah sekian lama skeptis dan sedikit putus asa, tiga tahun kemudian saya memutuskan untuk mendaftar LPDP lagi. Kali ini semua tahapannya berbeda dan rasanya kok jauh lebih berat dari sebelumnya. Tapi, kalau sudah punya tekad, ya jalani saja!

Tuesday, November 13, 2018

The Red Haired Woman - Orhan Pamuk, Sebuah Catatan Kecil

November 13, 2018 0 Comments

Judul Buku: The Red-Haired Woman
Penulis: Orhan Pamuk
Penerjemah: Rahmani Astuti
Penerbit: Bentang, Yogyakarta
Tahun Terbit: 2018
Genre: Fiksi
Jumlah Halaman: 341

Cem, seorang pemuda yang masih SMA, bercita-cita menjadi penulis. Setelah berkali-kali ditinggalkan ayahnya, seorang aktivis gerakan kiri yang berkali-kali diciduk dan dipenjara, Cem akhirnya tidak pernah lagi melihat ayahnya kembali. Mungkin bukan karena alasan yang sama seperti biasanya, tapi itu tak penting lagi. Ia sudah terbiasa kehilangan ayahnya. Pada musim panas 1985, Cem membantu di toko buku Deniz dan mulai serius dengan impiannya untuk menjadi penulis. 

Uang yang diterima Cem di toko buku sama sekali tidak cukup untuk membayar biaya bimbingan belajar demi persiapan ujian penerimaan universitas, sehingga ibunya memutuskan untuk pindah dari Istanbul ke Gebze dan tinggal bersama adik perempuannya sementara Cem bekerja sebagai penjaga kebun buah ceri dan persik milik suami dari adik perempuan ibunya. Di sana ia bertemu dengan para penggali sumur dan tertarik dengan pekerjaan itu karena teringat dengan novel Jules Verne "Journey To The Center Of The Earth" yang pernah dibacanya. Tuan Mahmut, si penggali sumur, menawarkan pada Cem untuk ikut menjadi asistennya sebagai penggali sumur di pinggiran kota Kucukcekmece. Ia bilang, pekerjaan sepuluh hari itu akan memberi Cem penghasilan 4x lebih banyak dari pengawas kebun buah.

To Kill A Mockingbird, Sebuah Catatan Pendek

November 13, 2018 0 Comments


Judul Buku : To Kill a Mockingbird
Pengarang : Harper Lee
Penerbir dan Tahun Terbit : Hachette Book Group New York, 2010
Jumlah Halaman : 376
Genre : Fiksi, American Literature

"...remember it’s a sin to kill a mockingbird. Mockingbirds don’t do one thing except make music for us to enjoy. They don’t eat up people’s gardens, don’t nest in corn cribs, they don’t do one thing but sing their hearts out for us. That’s why it’s a sin to kill a mockingbird.” (To Kill a Mockingbird, p. 119)

Novel ini mengisahkan sebuah masa di mana diskriminasi rasial menguasai sebuah kota dan mengalahkan akal sehat manusia. Dan semboyan bahwa 'semua manusia diciptakan setara' atau 'all men are created equal' tidaklah berarti apa-apa di sebuah kota yang sebagian besar penghuninya menganggap bahwa orang kulit putih adalah lebih mulia di atas orang kulit berwarna, dan bahwa orang kulit berwarna termasuk orang negro adalah orang jahat, pembohong, serta imoral sejak lahir. Seolah bisa dikatakan bahwa 'all (white men) are created equal' dan negro tidaklah masuk dalam kategori 'men' atau 'manusia'.

Monday, November 12, 2018

Shams Tabriz dan Rumi, Dalam The Forty Rules of Love, Elif Shafak

November 12, 2018 0 Comments
(Picture: courtesy of telegram @booksthief)
Judul Buku: The Forty Rules of Love 

Pengarang: Elif Shafak 

Penerbit dan Tahun Terbit: Viking, Penguin Group, England 2010 
Jumlah Halaman: 392 
Genre: Fiksi 

/Sufi mystics say the secret of the Qur’an lies in the verse Al-Fatiha, 
And the secret of Al-Fatiha lies in Bismillahirrahmanirrahim 
And the quintessence of Bismillah is the letter ba, And there is a dot below that letter.… 
The dot underneath the B embodies the entire universe… 

ب



The Mathnawi starts with B, 
Just like all the chapters in this novel…/ 

Adalah Eka Saputra, sahabat saya, kini tinggal di NTB bersama istri dan putri kesayangannya, yang pertama kali mengenalkan sosok Shams Tabriz kepada saya. Sebagai pengagum sufi dan jalan tasawuf, kekaguman terhadap Mawlana Jalaludin Rumi--filsuf agung, penyair, dan sufi-- juga membuat saya penasaran dengan sosok Shams Tabriz, yang disebut sebagai matahari bagi Rumi. Elif Shafak, novelis dan feminis Turki kelahiran Perancis mengisahkan pertemuan dan perpisahan Rumi-Shams dengan sangat menggetarkan. 

Aksara Amananunna, Sebuah Catatan Singkat

November 12, 2018 0 Comments



Judul Buku: Aksara Amananunna
Pengarang: Rio Johan
Penerbit dan Tahun Terbit: KPG, April 2014
Jumlah Halaman: 240
Genre: Fiksi

Di sebuah setting yang sangat dystopian, di masa depan pada tahun 21xx, wabah bunuh diri melanda negeri R. UU Anti Bunuh Diri yang disahkan kemudian ternyata tidak berefek apa-apa. Angka bunuh diri terus melejit serta menjadi penyebab kematian terganas mengalahkan genosida, HIV, dan penyakit kardiovaskular. Bunuh diri menjadi gaya hidup dan filosofi tentang bagaimana cara mati semakin berkemabang. Perdana Menteri negeri R, yang putus asa memikirkan cara menanggulangi wabah ini harus kecele setelah putrinya sendiri ikut serta dalam bunuh diri masal. Hingga kemudian, ia sendiri menimbang-nimbang untuk mengakhiri saja hidupnya.

"Undang-undang Anti Bunuh Diri" adalah cerpen pertama dari 12 cerpen dalam Aksara Amananunna karya Rio Johan. Buku kumpulan cerpen yang terbit 2014 lalu ini berisi kisah-kisah yang cukup mencengangkan dan beberapa bahkan membuat begidik ngeri. Ada yang ber-setting di masa depan, ada yang ber-setting di masa lalu.

Susah Sinyal, Novel Adaptasi dari Ika Natassa dan Ernest Prakasa

November 12, 2018 0 Comments

Judul Buku: Susah Sinyal
Penulis: Ika Natassa dan Ernest Prakasa
Penerbit, Tahun Terbit: Gramedia Pustaka Utama, 2018
Genre: Novel Fiksi
Jumlah Halaman: 264 hal


"Saya percaya setiap orang, entah itu perempuan atau laki-laki, menikah atau tidak, punya anak atau tidak, berstatus single parent atau tidak, berapapun usianya, pasti punya pergulatannya sendiri, punya perjuangannya sendiri, punya kesulitannya sendiri untuk mencapai apa yang bisa disebut kesuksesan. Bahwa saya perempuan yang berstatus single mother dan tetap bisa berkarier sebagai pengacara tidak menjadikan saya lebih istimewa daripada orang lain. Everyone has their own battle to fight, just like everyone has their own battle to lose, to win the war called life." (hal. 92)

Novel Susah Sinyal ini adalah adaptasi dari film berjudul sama yang skenarionya ditulis oleh Ernest Prakasa dan Meira Anastasia. Novel ini menceritakan tentang Ellen, seorang pengacara sukses dan single mother untuk Kiara, puterinya yang beranjak remaja. Ellen bercerai dengan ayah Kiara saat Kiara berumur 2 tahun.

Laut Bercerita, Bagaimana Kita Merawat Ingatan

November 12, 2018 0 Comments
 
Judul Buku: Laut Bercerita
Pengarang: Leila S. Chudori
Penerbit dan Tahun Terbit: KPG, Oktober 2017
Genre: fiksi/nonfiksi
Jumlah Halaman: 379


Novel ini dikisahkan melalui dua sudut pandang: yang pertama adalah sudut pandang Biru Laut, seorang mahasiswa dan aktivis 98 yang diculik dan dibunuh namun jasadnya tidak pernah ditemukan oleh keluarganya atau siapapun karena ada di dasar laut. Dari sana, ia mengisahkan cerita tentang kegiatannya bersama teman-teman aktivis lainnya semasa hidup sampai akhirnya ketika ia dan teman-temannya diculik, diinterogasi, disiksa, dan akhirnya dibunuh.

Sementara sudut pandang kedua, adalah penceritaan yang dilakukan oleh Asmara Jati, adik Biru Laut, yang kehilangan kakaknya juga sempat kehilangan kekasihnya (yang kemudian pulang dan menjadi berbeda setelah diculik). Asmara Jati mengisahkan bagaimana keluarga-keluarga aktivis 98 yang hilang (mereka tidak bilang mati, karena jasad para aktivis itu tidak pernah ditemukan sehingga mereka terus berharap bahwa para aktivis itu masih hidup meski entah dimana) terus berjuang untuk melawan kesedihan akibat kehilangan orang-orang terkasih mereka dan berusaha untuk terus mencari keadilan dengan berdemonstrasi setiap kamis di depan istana negara agar kasus penghilangan paksa ini dituntaskan.

Satu Dekade Rumpun Terasing, Sebuah Catatan

November 12, 2018 0 Comments
Judul Buku: Satu Dekade Rumpun Terasing; Narasi Identitas Jemaat Ahmadiyah Indonesia
Pengarang: Nur Hikmah
Penerbit: Makar
Tahun Terbit: 2016
Genre: nonfiksi
Jumlah Halaman: 170


Apakah perbedaan keyakinan bisa menjadi pembenaran untuk berlaku tidak adil dan melakukan kekerasan? Bukankah Islam, agama yang dibawa Muhammad SAW adalah agama pembebasan dan kasih sayang. Agama yang memanusiakan manusia. Agama yang memberikan rasa aman bagi orang-orang tertindas dan papa. Pantaskah agama kasih itu dijadikan pembenaran untuk merusak dan menjarah rumah? Untuk mengusir dan menganiaya?

Lebih dari sepuluh tahun, orang-orang Ahmadiyah di Lombok diusir dari tempat tinggalnya. Oleh orang-orang yang sayangnya adalah penganut agama Muhammad SAW. "Ahmadiyah bukan Islam, mereka sesat, mereka menistakan Islam!" begitu kata sebagian dari mereka. Seolah kalimat itu menjadi pembenaran untuk segala tindak kekerasan yang ditujukan pada jemaat Ahmadiyah.

Setelah terusir dari Lombok, jemaat Ahmadiyah ini terus berpindah-pindah mencari tempat tinggal. Sampai kemudian mereka terpaksa hidup dalam pengungsian yang sangat tidak memadai; sebuah gedung besar yang disebut asrama transito di kota Mataram, yang menampung puluhan keluarga dengan fasilitas kebersihan, kesehatan, dan pendidikan yang sangat ala kadarnya. Tak layak disebut rumah. Di sana, orang-orang mati dan bayi-bayi lahir sebagai pengungsi. Nasib mereka pun tidak jelas.

Buku ini sepertinya ditulis untuk mempertanyakan kembali makna keberagaman dan hak sebagai warga negara. Terlepas dari perdebatan sesat atau tidaknya Ahmadiyah sendiri, kekerasan yang dilakukan terhadap para penganutnya tidak bisa dibenarkan. Sebelum tinggal di asrama transito, mereka telah berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain sejak 1998. Alasan kepindahannya sama: adanya penyerangan, dimana mereka dipaksa untuk bertobat dari ke-Ahmadiyah-annya dan rumah dihancurkan serta dijarah.

Di buku ini, penulis memaparkan pengalamannya dalam berinteraksi dengan para pengungsi transito; kisah-kisah mereka, harapan-harapan mereka, dan klarifikasi-klarifikasi tentang apa-apa yang selama ini dituduhkan pada mereka, seperti apakah mereka mengimani Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi setelah Muhammad SAW, atau kitab Tadzkirah yang diisukan menjadi kitab suci mereka. Selama ini dialog-dialog yang dilakukan hanya berjalan satu arah, dimana pihak luar seperti berdakwah dan mengajak jemaat Ahmadiyah untuk kembali ke jalan yang lurus, tanpa mendengarkan apa yang sebenarnya jemaat Ahmadiyah ini inginkan.

Yang paling utama, para pengungsi itu sendiri berharap bahwa mereka bisa diperlakukan sama dengan warga lainnya, beribadah sesuai keyakinannya dengan tenang tanpa takut diserang atau dipaksa pindah keyakinan. 


(review ini pertama kali tayang di perempuanmembaca.com pada Desember 2017) 

Brownies Cokelat Kukus Super Lembut

November 12, 2018 0 Comments
Beberapa hari yang lalu, saya dan ibu membeli oven listrik Kirin karena pengen bikin kue panggang kayak brownies dengan lebih praktis daripada harus pake oven tangkring yang ruibet makenya. Ternyata oh ternyata, pengoperasiannya makan listrik banyak banget. Alhasil, baru dipake sekali trus dibalikin lagi deh ke kardus padahal belum keturutan bikin brownies. Karena udah pengen banget makan brownies bikinan sendiri, akhirnya kami memutuskan untuk bikin brownies kukus aja deh. Resepnya ngintip dari buku catatan resep jaman baheula dan dimodifikasi sendiri berdasarkan bahan-bahan yang ada di rumah.

Cara membuatnya juga gampang banget. Tim 200gr mentega dan 100gr coklat blok lalu sisihkan. Kocok 3 butir telur dan 10sdm gula pasir sampai mengembang, lalu masukkan 1 gelas belimbing terigu dan 2sdm coklat bubuk yang sudah diayak trus diaduk sampai rata. Masukkan mentega dan coklat yang sudah ditim tadi, sejumput vanili bubuk, dan sejumput soda kue. Aduk lagi sampai rata. Tuang ke loyang yang sudah diolesi mentega dan terigu, lalu kukus sekitar 40 menit. Udah gitu aja. Gampang banget kan?

Hasilnya adalah brownies cokelat yang lembut banget di lidah. Apalagi dimakan barengan sama secangkir teh sambil baca buku (yang buat saya cuma jadi impian semata, karena baru lagi mau nyomot potongan brownies, bayi udah nangis kejer minta ditemenin). Silakan yang mau nyoba bikin brownies cokelat kukus yang gampang banget ini. Oh iya, kalau ada yang nanya, harus pake mixer apa nggak, sebenarnya nggak wajib-wajib banget sih. Yang penting ngocok telur dan gula pasirnya sampai mengembang gitu. Bisa pake alat kocokan telur atau garpu. Selebihnya yang penting diaduk sampai rata aja ya. Selamat mencoba!



Purwokerto, 5 Mei 2017

Popok dan Diaper Bayi

November 12, 2018 0 Comments
Seberapa banyak popok dan diaper bayi yang harus kita siapkan untuk bayi baru lahir atau newborn baby?

Sejak hamil, saya sudah bertekad untuk tidak memakaikan diaper sekali pakai (disposable diaper) untuk dedek. Tapi kenyataannya, tetap saja diaper sekali pakai dibutuhkan terutama saat berpergian.

Ketika anak saya lahir sampai usia 40 hari, saya sukses untuk tidak menggunakan diaper sekali pakai. Stok popok kain yang saya miliki memang terbilang sangat banyak (ibu saya membelikan sekitar 3 lusin popok kain, belum popok kain kado dari teman-teman dan saudara). Meskipun hari kerap hujan, penggunaan pengering dalam mesin cuci memang cukup membantu saya untuk tidak kewalahan akibat kekurangan popok. 

Menjelang usia 41 hari, kami mulai keluar rumah agak jauh; sowan ke mbah buyut di Cilongok, mbah yi Mahbub di Ajibarang, mbah yi Fadhil di Rancamaya dll. Mustahil berpergian menggunakan popok kain karena dedek bayi sebentar-sebentar pipis, sebentar-sebentar ngompol. Akhirnya, saya pun memakaikan diaper sekali pakai untuk dedek. Sejauh ini, saya hanya pernah memakaikan dua merk diaper sekali pakai untuk dedek; merk baby happy dan mamypoko. Kedua merk itu terbilang sangat ekonomis untuk kantong ibu-ibu. Secara keseluruhan, bahan kedua merk itu sama bagus, hanya saja isi dalaman baby happy sering bergerinjal kalau dipakai agak lama.

Untuk mamypoko sendiri sebenarnya ada 2 varian. Varian yang berwarna kuning adalah versi yang diklaim sebagai versi hemat dan secara harga memang lebih murah. Hanya saja bentuknya terlalu tebal sehingga kurang nyaman dipakai bayi. Namun, soal daya serap, mempertimbangkan harga yang cukup ekonomis ya lumayan sih. Cuma ya itu kadang baru dipake sebentar, rasanya udah penuh dan lembab aja di kulit bayi. Varian yang kedua adalah yang berwarna biru. Varian ini diklaim sebagai versi premiumnya mamypoko. Dari semua diaper sekali pakai, ini adalah favorit saya. Daya serapnya bagus dan tetap kering di kulit bayi meskipun rasanya sudah penuh. Menurut saya sebanding dengan harganya ya, yang hampir 2 kali lipatnya varian ekonomis, jadi ya memang jauuh lebih bagus dan lebih nyaman buat bayi.

Untuk penggunaan diaper sekali pakai memang sebaiknya diganti minimal 3 jam sekali untuk menghindari nappy rash atau ruam popok. Kelamaan mengenakan diaper sekali pakai akan membuat bayi tidak nyaman dan mengakibatkan ruam popok (untuk mengatasi ruam popok pada bayi, silakan klik postingan ini ya).

Setelah berkali-kali kena ruam popok, akhirnya saya pun mempertimbangkan penggunaan cloth diaper atau clodi. Sejauh ini, dedek nyaman memakai clodi merk GG varian Lil'G. Clodi ini sudah dilengkapi 2 insert microfiber (jadi nggak cuma cover aja ya) dengan permukaan sangat lembut yang nyaman sehingga tidak membuat bayi lecet atau kena ruam popok. Modelnya memang model cover dengan closure velcro, jadi bisa diatur sesuai bentuk tubuh bayi; nggak terlalu longgar dan ngga terlalu ketat. Varian clodi GG ini ada yang polos dan ada yang bermotif. Tentu harganya lebih mahal yang bermotif. Meskipun secara fungsi keduanya sama saja, tapi saya lebih memilih penggunaan clodi bermotif karena motif lucunya membuat saya tidak perlu memakaikan celana luaran lagi. 

Penggunaan clodi ini juga bisa dibilang cukup irit. Setiap 3 jam sekali, kita hanya perlu mengganti insertnya yang basah dan mengelap bagian dalam outernya lalu memasang insert yang baru karena outer PULnya anti bocor. Clodi ini juga tidak mengandung gel atau bahan kimia aneh-aneh seperti dalam diaper sekali pakai sehingga lebih sehat dan aman. Yang lebih penting, ramah lingkungan juga sih. Bayangkan aja kalau bayi cuma pakai diaper sekali pakai. Sehari bisa menghabiskan sampai 6 buah diaper sekali pakai. Berapa kontribusi sampah diaper yang kita sumbangkan pada bumi setiap bulannya coba? Budgetnya juga lumayan, 6 x 30 hari x 2 ribu rupiah jadi 360ribu rupiah sebulan! Coba kalau diganti pakai clodi, jauuhh lebih irit kan?

Clodi Lil'G punya dedek lumayan banyak karena waktu itu kalap dengan warna dan motifnya yang beragam. Tapi sejauh ini, yang dedek pakai cuma sekitar 4 buah clodi saja bergantian. Sisanya masih banyak dan masih tersegel. Kalau ibu-ibu ada yang mau adopsi, boleh banget loh. Harganya lebih murah daripada harga normal tentunya.





Purwokerto, 17 April 2017

UPDATE:

Sekarang dek Elnaz sudah umur 22 bulan dan saya sedang persiapan untuk toilet training. Lebih tepatnya persiapan mental sih. Selama kurun waktu 22 bulan ini, untuk konsisten memakai clodi ternyata berat ibu-ibu, apalagi Elnaz sering ikut bepergian saya dan ayahnya ke luar kota. Dan di usia 6 bulan, Elnaz sudah nggak pake diaper perekat lagi tapi pakai model celana (pants). Dia lumayan rewel saat ganti-ganti merek diaper. Awalnya saya pake Sweety pants yang biru, ternyata gampang banget bocor dan bulky. Trus pakai merek Goon dan ini lumayan bertahan beberapa kali beli sampai akhirnya pindah ke Merries. 

Menurut saya, di antara semua diaper sekali pakai yang pernah dicoba Elnaz, Merries ini yang paling bagus. Merries ini nggak bulky, dan jarang banget terjadi kasus bocor seperti kalau pakai Sweety. 

Beberapa bulan ini saya persiapan beli training pants lumayan banyak sih, tapi yang mau mulai toilet training masih maju mundur. Semoga ibu dan bayinya bisa kuat mental, aamiin... 

Btw clodi Lil G nya Elnaz jaman bayi sudah diadopsi sama tetangga di Purwokerto semua jadi yang masih nanya preloved clodi maaf banget yaaa. Tapi kalau mau beli yang baru, bisa kok nitip ke saya (ujung-ujungnya promosi hehehe). Sebenarnya pemakaian clodi ini benar-benar bisa hemat banget, cuma ya ternyata saya agak kurang telaten apalagi karena aktivitas yang lumayan padat (alesan ajaaaa...) Cuma ya memang harus diperhatikan banget kebersihannya kalau pakai clodi, takutnya ruam-ruam karena lama ngga diganti insertnya. 

Buat ibu-ibu yang bertekad untuk go green dengan istiqomah pakai clodi, semangat ya buibu. Semoga berhasil dan lancar semuanya! 😃


Sumenep, 14 November 2018

Udang Saos Padang

November 12, 2018 0 Comments
Berbicara soal olahan udang, menu udang yang paling saya suka adalah udang saos padang. Di Rawamangun, ada warung seafood yang udang saos padangnya enak binggo. Letaknya deket kosan temen saya, nama jalannya entah apa. Ya pokoknya deket jalan balai pustaka deh sebelum Tip Top. Dulu, hampir beberapa bulan sekali saya pergi ke Rawamangun, judulnya sih biasanya agenda rapat editor, tapi kadang lebih banyak dolannya daripada rapatnya. Rapatnya kadang cuma sehari doangan, itupun paling lama 3 jam. Isi rapatnya juga 90% cengengesan, sisanya baru seriusan.

Biasanya, dalam satu agenda rapat, saya menghabiskan waktu sekitar 4 harian di Rawamangun. Kadang disewain kamar sama kantor, tapi saya lebih sering numpang nginep di kosan teman. Bukannya mau sok ngirit anggaran kantor, tapi memang lebih seru aja sih kalau di kosan teman. Rame dan nggak bosen kalau pas malam-malam karena ada yang diajak ngobrol (nggosip lebih tepatnya).

Waktu saya ngontrak di Jogja, tepatnya di daerah Godean, ada rumah makan keluarga yang jadi favorit saya dan suami yaitu Gubug Mang Engking. Saya pertama ke sana bareng teman editor dan akhirnya ketagihan lalu sering ngajak suami ke sana (modus aja sih, biar dibayarin hehe). Di sana juga menu udang saos padangnya enak banget. Harganya nggak beda-beda jauh sama udang saos padang yang di Rawamangun, cuma kalau pas lagi akhir bulan ya agak sayang juga sih makan di sana. Apalagi setelah menikah, agenda makan di luarnya semakin berkurang karena ternyata masak sendiri lebih nikmat dan berkah (alesan aja, padahal mah biar ngirit ☺)

Beberapa hari yang lalu, saya lihat di kulkas ada udang basah, trus keinget udang saos padang di Rawamangun sama Gubug Mang Engking itu. Akhirnya yaudah eksekusi aja jadi udang saos padang ala ala. Lumayan lah rasanya. Paling enggak, kalau udah bisa masak begini kan kalau pas nyidam udang saos padang, bisa masak sendiri gitu. Nggak harus jalan nyari-nyari resto seafood. Apalagi kalau pas nyidam kadang malah menu yang biasanya gampang dicari tau-tau jadi susah aja nyarinya.

Nah udang saos padang ini bikinnya gampang banget. Caranya gini, tiga siung bawang putih digeprek, ditumis sama seruas jahe yang juga digeprek. Tambahin bawang bombay. Masukin udang yang sudah dibersihkan dan dilumuri jeruk nipis. Lalu masukkan saos sambal, saos tomat, saos tiram, garam. Ukurannya kira-kira aja dah. Kasih air dikit dan tepung maizena yang udah dilarutkan ke air. Koreksi rasa, trus udah deh disajikan. Kasih irisan daun bawang dikit yes. Rasanya mirip-mirip lah sama yang di resto itu, malah lebih enak dikit. Soalnya kan yang di resto itu makannya udah kapan tau, jadi udah ngga keinget lagi rasanya 👏



Purwokerto, 13 April 2017

Ruam Popok, Produk Perawatan Bayi, Dan Lain-lain

November 12, 2018 0 Comments
Seperti janji saya di postingan sebelumnya tentang persiapan menjelang persalinan, saya mau sharing soal produk perawatan bayi yang saya pake untuk dedek. Untuk rangkaian sabun bayi, shampoo, bedak bayi, baby oil, baby cream, hair lotion saya pake merk Zwitsal. Tiap item ada varian aroma yang beda-beda, nah untuk sabun bayi, shampoo, baby oil, dan hair lotion saya pake Zwitsal Natural. Varian Natural ini segar seperti ada aroma minyak telon. Baby oilnya berguna banget untuk membersihkan lipatan dan lekukan kulit yang kotor, seperti daun telinga misalnya. Nah untuk hair lotion katanya mengandung aloe vera, kemiri, dan seledri yang berguna supaya rambut jadi lebat. Belum ketauan sih ngaruh apa nggaknya, tapi yang jelas rambut dan kulit kepala dedek jadi wangi banget. Untuk bedak dan baby cream, saya pake Zwitsal varian Extra Care With Zinc, yang katanya melindungi kulit dari iritasi ringan. Baunya nggak sesegar varian Natural sih, tapi memang membantu mengatasi biang keringat. 


Ngomongin soal baby cream, dedek ini kulitnya sensitif banget. Meskipun semua produk Zwitsal ini diklaim tested hypo-allergenic, tapi dedek sering sekali kena ruam popok atau nappy rash dan biang keringat saking kerap keringatan dan sering ngompol sama pup. Meskipun saya sudah bertekad mau pake clodi terus buat dedek, tapi akhirnya kelabakan juga dan terpaksa pakai pospak (review soal clodi dan pospak di postingan berikut yaa). Alhasil dedek pun jadi sering kena ruam popok (akibat penggunaan pospak itu salah satunya), dan ternyata baby cream Zwitsal ini tak lagi ampuh buat mengatasinya. 

Akhirnya, saya pun mengganti baby cream Zwitsal dengan Sudocrem. Sudocrem ini ternyata ampuuh sekali mengatasi ruam popok. Bahkan katanya bisa mengobati eksim, luka bakar ringan, dan jerawat juga loh. Yang terakhir itu benar sih, jerawat kalo diolesin Sudocrem besoknya langsung kempes dan sembuh. Nah balik lagi ke ruam popok, kadang dedek kalau habis pake pospak kelamaan langsung deh kena ruam popok, makanya segera saya olesi dengan Sudocrem ini tipis-tipis aja, dan sembuh! Produk ini sangat saya rekomendasikan pokoknya. Oh iya, Sudocrem ini juga bisa buat mengatasi biang keringat loh. Apalagi buat bayi yang suka gerak, biasanya kan jadi keringetan dan itu rawan banget kena biang keringat. Umumnya, bayi yang kena biang keringat itu kulitnya merah-merah dan gatal-gatal. Biasanya kondisi ini bikin bayi jadi nggak nyaman dan jadi rewel banget. Nah Sudocrem ini ampuh banget untuk nyembuhin biang keringat dan mengurangi gatal panas di kulit. Trus produk ini juga bisa untuk mengatasi luka bakar loh. Jadi satu produk bisa membantu mengatasi banyak masalah ya. Lumayan ekonomis jadinya (dasar emak-emak!). Nah, Sudocrem ini saya punya dobel, ukuran 125gr. Kalau ibu-ibu ada yang berminat, boleh beli satu punya saya dengan harga yang nyungsep dari harga normal ya :)


Terakhir untuk minyak telon, salah satu item wajib yang sangat berguna buat menghangatkan tubuh bayi sehabis mandi, saat masuk angin, atau mengatasi gigitan nyamuk, saya pake Minyak Telon Cap Tiga Anak. Minyak telon ini kece badai sekali. Hangat dan aromanya segar. Adalah Mbak Rachma Agustina, teman saya, yang merekomendasikan penggunaan minyak telon ini. Saya punya beberapa botol ukuran 60ml, jadi kalau ada ibu-ibu yang mau nyoba juga bisa beli dari saya ya. Waktu itu beli banyak karena kirain pemakaian minyak telon bakal boros banget, eh ternyata satu botol ukuran 60ml udah tiga bulan lebih belum habis-habis juga.



Yak, sementara segitu dulu sharingnya. Pada akhirnya, cari produk yang dirasa paling sreg aja sih. Nggak harus juga pake merk tertentu, yang penting mah bayi cocok dan tidak alergi, juga ramah di kantong. Ya kan, ya kan?


Purwokerto, 12 April 2017

*Disclaimer: tulisan ini nggak bermaksud ngiklan atau promosi produk tertentu yaaa, cuma sharing aja berdasarkan pengalaman pribadi :)


UPDATE:
Setelah saya posting tentang Sudocrem ini, ternyata banyak sekali pembaca dan teman-teman saya yang tertarik untuk ikut make produknya. Nah berhubung produk ini agak susah dicari, saya sempat borong banyak selepas beli di Mothercare. Jadi kalau ada ibu-ibu yang tertarik mau beli, bisa kontak saya yaa.... Tararengkyu!



Sumenep, 27 Desember 2018

Persiapan Menjelang Kelahiran Bayi

November 12, 2018 0 Comments
Hai Halo...
Akhirnya ya, setelah sekian bulan vakum nulis di blog, saya kembali tergerak untuk corat-coret lagi di sini. Ditemani Simon & Garfunkel, saya mau sharing soal persiapan menjelang persalinan. Beberapa waktu yang lalu, menjelang kelahiran anak pertama saya, sambil senam-senam hamil dan latihan pernapasan (juga menyiapkan mental), saya hobi sekali berselancar di internet dalam rangka mencari referensi segala keperluan persalinan dan pernak-pernik bayi. Daaaan hampir 70% perlengkapan bayi memang saya beli melalui online shop loh. Nah, buat para ibu-ibu yang baru mau melahirkan untuk pertama kalinya, kadang memang bingung kan harus gimana persiapannya. Ini saya bagi sedikit pengalaman saya ya.

Menjelang kehamilan mencapai minggu ke 38, saya dan suami mulai belanja barang-barang yang sudah kami list (sebenarnya saya yang list sih, suami mah iya-iya aja). Berikut barang-barang yang kami beli untuk persiapan newborn baby:

  • Bedding Set kami beli secara online. Isinya ada kasur tipis yang bisa difungsikan menjadi bed cover baby juga, dengan ukuran sekitar 90x120cm berbahan katun lembut dengan isi dakron dilengkapi dengan satu bantal kotak, satu bantal peyang, dan dua bantal guling bayi.
  • Perlengkapan mandi dan kosmetik bayi yaitu sabun mandi, shampoo, bedak bayi, hair lotion, minyak telon, minyak kayu putih, baby oil, baby cream, tisu bayi, tisu basah untuk bayi, kapas bulat, kain kasa. Untuk brand dan review tiap produk nanti saya bikin postingan terpisah ya.
  • Handuk bayi, bedong, baju newborn, gurita, selimut bayi, popok, clodi, mantel bayi, kaos tangan dan kaos kaki bayi, topi bayi, bak mandi bayi, tas bayi. Khusus untuk ini hampir 99% disiapkan dan dibelikan oleh ibu. Mungkin kalau ibu membiarkan saya yang belanja, yang ada malah kalap belanja baju-baju lucu tanpa mempertimbangkan prioritas lainnya. Yang saya beli cuma beli tas bayi brand dialogue baby dan clodi GG (review menyusul di postingan berbeda ya).
Kayaknya itu aja sih. Yang lainnya dibeli menyusul setelah persalinan. Nah, sebaiknya menjelang usia kehamilan mencapai 40 minggu atau mendekati HPL, ibu-ibu harus menyiapkan dua tas untuk dibawa sewaktu-waktu harus segera berangkat ke rumah bersalin. Satu tas berisi perlengkapan bayi (perlengkapan mandi dan kosmetik bayi, handuk, selimut bayi, mantel bayi, baju bayi secukupnya, gurita dan popok secukupnya, bedong, kaos tangan dan kaos kaki bayi, topi bayi). Sementara tas satunya berisi perlengkapan ibu dan ayah ya, antara lain berisi:

  • Baju ganti untuk ibu dan ayah minimal 2 stel. Usahakan untuk ibu siapkan atasan busui ya.
  • Pakaian dalam. Untuk ibu jangan lupa siapkan bra menyusui ya, minimal bawa 2 buah. 
  • Breast Pad juga penting sekali. Waktu itu saya bawa disposable breast pad, kalau sekarang pakai yang washable (nanti saya buat review di postingan terpisah ya).
  • Kain jarik secukupnya. Kemarin saya bawa 2 potong, tapi trus ambil lagi ke rumah jadi mending bawa agak banyakan ya.
  • Perlengkapan mandi dan kosmetik seperti handuk, sabun mandi, sikat gigi dan odol, facial wash dan pelembab wajah (saya pake Jafra, nanti review menyusul yah).
  • Pembalut maternity. Saya kemarin pake yang merek Softex isi 20 pcs dan beli 2 pak. Tapi bawa secukupnya aja sih buat ditaruh di tas.
  • Buku KIA, buku nikah, dan kalau pake BPJS siapin juga syarat-syaratnya lalu satukan dalam 1 map ya.
  • Antiseptik. Waktu itu saya siapkan antiseptik detol, jadi kalau ada yang nengokin bisa dikasih antiseptik ini sebelum colek-colek dedek bayinya hehe. Sebenarnya di rumah sakit juga ada sih, tapi nggak papa siapin aja.
  • Bekal untuk ibu dan yang nungguin, bisa berupa cemilan bergizi seperti granola atau apa saja, dan jangan lupa air minum yang banyak ya.
Kurang lebihnya itu sih yang kemarin saya siapkan. Semoga nggak ada yang kelewat tercatat ya, soalnya udah agak-agak lupa. Untuk review produk yang saya dan dedek bayi pakai nanti pelan-pelan akan saya buat postingannya satu-satu ya. Insyaallah.

Oh iya ibu-ibu, jangan lupa untuk mulai membersihkan puting payudara ya menggunakan minyak kelapa atau minyak zaitun. Saya waktu itu pake minyak zaitun merk Bertolli (jangan menggunakan minyak zaitun yang tidak alami loh ya). Pembersihan ini berfungsi supaya kotoran yang menyumbat lubang-lubang puting payudara terangkat dan juga supaya puting terangkat keluar sehingga bayi nanti tidak kesulitan menyusu. Semangat IMD (Inisiasi Menyusui Dini) dan ASI Ekslusif ya buibu!



Purwokerto, 11 April 2017 

Nyi Seppo, Sang Pendidik (Mengenal Nyai Siti Maryam, Bilapora Sumenep)*

November 12, 2018 0 Comments
Hampir setiap hari, selalu ada saja tamu yang berkunjung ke ndalem. Ada yang hanya ingin silaturahmi dengan Mbah Nyai Siti Maryam atau lebih dikenal sebagai Nyi Seppo yang artinya adalah Nyai Sepuh (sepeninggal almarhum Mbah Kyai Ahmad Jazuli, suaminya, tinggal Mbah Nyai satu-satunya sesepuh di Pondok), ada yang minta doa, ada yang meminta nasihat, ada yang mengantarkan santri mondok, dan ada yang memamitkan santri. Mbah Nyai selalu menerima semua tamu itu dengan gembira, betapapun banyaknya yang berkunjung, betapapun letihnya beliau, semua ditemui dengan wajah senyum dan keramahan yang tiada duanya. “Kaule sanausa gerre manabi bede tamoy pas sehat rassana. Kaule cek sennenga manggiin tamuy,” begitu tutur Mbah Nyai yang dalam bahasa Indonesia kurang lebih berarti: “Bahkan ketika saya sedang sakit, bila ada tamu rasanya saya langsung sembuh. Saya senang sekali menemani tamu.”

Mbah Nyai memang tidak pernah menolak siapa saja yang datang bertamu ke ndalem. Semua tamu yang sowan selalu beliau temui dan hormati, betapapun lelahnya atau betapapun sibuknya. Beliau juga tidak pernah membeda-bedakan siapa tamu yang datang. Tamu jauh, tamu dekat, kaya, miskin, laki-laki, perempuan, tua, muda, semuanya diterima dengan keramahan yang sama.

Dalam adat Madura, umumnya tamu yang sowan ke kyai biasanya dipisah. Tamu laki-laki ditemui oleh laki-laki dan tamu perempuan ditemui oleh perempuan. Tapi jika sowan ke Mbah Nyai, baik laki-laki atau perempuan, semua diterima oleh Mbah Nyai, tak dibeda-bedakan berdasarkan jenis kelaminnya. Ketika ditanya, mengapa Mbah Nyai juga menemui tamu lelaki dan bahkan bersalaman dengan tamu lelaki, Mbah Nyai menjawab bahwa semuanya sudah dianggap sebagai anaknya, sehingga tidaklah menjadi penghalang bagi beliau untuk menemui anak-anaknya sendiri.

Saya teringat betul sore itu. Cuaca begitu panas dan saya baru tiba di rumah suami di Sumenep (ujung timur pulau Madura) saat serombongan tamu tampak memasuki ndalem. Setelah ikut bersalaman sebentar, saya masuk ke dalam, tidak ikut menemani para tamu. Awalnya samar-samar terdengar obrolan ringan, saling menanyakan kabar dan lain sebagainya, sampai kemudian salah seorang dari para tamu itu berbicara dengan suara lirih pada Mbah. Karena belum begitu paham bahasa Madura, saya bertanya pada suami, apa yang dikatakan tamu itu. Suami menjawab, “Itu mau memamitkan santri.” Saya mengernyit, “Loh kenapa? Bukannya baru mau tahun ajaran baru?” saya bertanya. “Mau dinikahkan,” jawab suami singkat.

Saya terdiam. Suara dari ruang tamu terdengar kabur. Lalu perlahan sunyi. Detik selanjutnya, suara Mbah Nyai yang tegas terdengar, “Sudah mau nikah? Nanti, mondok dulu, selesaikan sekolah SMK-nya (maksudnya Sekolah Menengah Kejuruan, sederajat SMA) ya. Baru setelah itu nikah.” Rombongan tamu itu diam semua, tidak ada yang berani membantah. Semuanya sami’na wa atha’na atas dawuh Mbah Nyai.

Segera setelah tamu berpamitan, Mbah Nyai masuk ke dalam dan berkata pada suami saya, “Nanti kamu bikin perguruan tinggi ya Nak di sini, biar santri-santri puteri nikahnya nanti saja kalau sudah mondok dan lulus kuliah.”

*

Di Madura, pernikahan anak umum sekali terjadi bahkan sampai sekarang. Ada begitu banyak faktor yang menjadi latar belakangnya. Pertama, faktor ekonomi. Menikahkan anak perempuan sedini mungkin dianggap bisa meringankan beban ekonomi keluarga karena setelah menikah, anak perempuan menjadi tanggung jawab suaminya. Apalagi bagi keluarga yang memiliki banyak anak, lepasnya tanggung jawab finansial terhadap satu anak akan sangat menolong ekonomi keluarga. Menyekolahkan anak perempuan dianggap tidak memberikan banyak keuntungan berarti, karena toh dia akan menikah dan dibawa oleh suaminya selepas menikah, yang penting ia bisa membaca, menulis, berhitung, dan mengaji. Terlebih, bagi anak perempuan lulusan pondok, meskipun usianya baru lulus SMP tetapi sudah dianggap memiliki cukup bekal menjadi istri karena sudah mempelajari kitab-kitab fikih dasar seperti Fathul Qarib, Fathul Mu’in, dan juga sudah mempelajari Qurrotul Uyun sebagai bekal berumah tangga.

Beberapa keluarga merasa lebih penting untuk menyekolahkan anak laki-laki, karena semakin tinggi sekolahnya maka kemungkinan untuk memperoleh pekerjaan yang lebih baik pun semakin besar. Dengan itu, keluarga bisa ikut memperoleh keuntungan jika anak lelakinya memiliki penghasilan yang cukup. Sebab anak lelaki yang sudah bekerja pastilah akan membantu meringankan beban finansial keluarganya.

Kedua, faktor sosial. Dalam adat masyarakat Madura, ada kebiasaan antar keluarga yang ingin agar pertalian hubungannya selalu dekat dan salah satu pengikatnya adalah melalui pernikahan jika memiliki anak-anak yang berbeda jenis kelamin untuk dijodohkan (istilahnya du-jhudu dalam bahasa Madura). Seringkali perjodohan antar keluarga itu bahkan direncanakan jauh sejak anak masih sangat kecil atau bahkan masih dalam kandungan (istilahnya tok-ngatok dalam bahasa Madura).

Setelah perjodohan itu disepakati lalu dilakukanlah adat ngobu, yang mana pihak keluarga laki-laki bertanggung jawab sepenuhnya atas nafkah si perempuan walaupun si bayi masih merah sampai nanti hari pernikahan, dan apabila perjodohan itu gagal, maka adat ngobu dianggap batal. Jika batal, maka keluarga perempuan harus mengembalikan semua harta benda yang sudah diterimanya dari pihak keluarga laki-laki.

Oleh karena itu, biasanya begitu anak-anak tersebut lahir dan akhirnya menginjak balig, umumnya keluarga tidak menunggu lama untuk menikahkan mereka. Menunda pernikahan dari perjodohan semacam itu dianggap beresiko. Adanya ketakutan bahwa perjodohan itu akan gagal dan lain sebagainya turut menjadi alasan bagi para orang tua tersebut untuk bersegera menikahkan anak-anaknya.

Tentu saja ini tidak terjadi pada semua keluarga di Madura. Ada banyak keluarga yang sudah mulai memikirkan untuk memfasilitasi anak-anaknya sampai ke pendidikan tinggi, termasuk juga untuk anak-anaknya yang berjenis kelamin perempuan. Namun tak dipungkiri bahwa di kampung-kampung masih banyak sekali terjadi pernikahan anak. Bagi mereka, asalkan persyaratan secara agama sudah terpenuhi, maka pernikahan itu bisa dilangsungkan. Kasus pernikahan ini paling banyak menimpa anak perempuan. Bagi mereka, anak perempuan yang sudah menstruasi dan hatam mengaji Fathul Mu’in dan Qurrotul Uyun dianggap sudah saatnya dinikahkan.

Di desa Bilapora Timur, kecamatan Ganding, Sumenep, Nyai Siti Maryam menjadi salah satu pemuka agama yang selalu berusaha agar anak-anak perempuan memperoleh pendidikan sekolah formal dan keagamaan yang cukup sebelum akhirnya menikah dan mengasuh anak. Nyai Siti jugalah perempuan pertama yang berinisiatif membangun pondok puteri di daerah tersebut 41 tahun yang lalu. Mula-mula pada masa perintisannya santri puteri yang mondok di sana hanya sekitar sepuluh orang, tetapi saat ini justru jumlahnya menyalip jumlah santri pondok putera yang lebih dulu berdiri sejak periode kakek mertuanya.

Nyai Siti Maryam dilahirkan di desa Gadu Timur, kecamatan Ganding, kabupaten Sumenep, pada tanggal 15 Muharram 58 tahun yang lalu dari pasangan Kyai Jamaluddin dan Nyai Masrurah. Silsilah dari jalur ayah adalah sebagai berikut: Nyai Siti Maryam binti Jamaluddin bin Khazin/Abdul Mu’in bin Murtadho bin Mufid bin Sihhah bin Dzu Limah bin Abdul Karim bin Syish bin Ali Zainal Abidin (Sunan Cendana) bin Khatib bin Musa bin Qasim (Sunan Drajat) bin Raden Rahmat (Sunan Ampel). Sementara dari jalur ibu, silsilahnya adalah sebagai berikut: Nyai Siti Maryam binti Masrurah binti Tsuwaibah binti Khadijah binti Kyai Mohammad Syarqowi (Pendiri Pondok Pesantren Annuqayah Guluk-Guluk, Sumenep, atau yang lebih dikenal dengan nama Pesantren Guluk-Guluk saja).

Saat kelahirannya, ibunda Nyai Siti, Nyai Masrurah mengatakan bahwa kelak Nyai Siti akan kuat menjadi seorang pemimpin karena menurut kepercayaan orang Madura, anak yang dilahirkan pada bulan purnama di bulan Muharram akan dikuatkan menjadi seorang pemimpin. Dan sepertinya ucapan Nyai Masrurah memang menjadi kenyataan.

Nyai Siti sejak kecil dididik mengaji oleh kedua orang tuanya yang juga pengasuh pondok pesantren Jamalullail sebelum akhirnya mondok di pondok pesantren Al-Anwar Gadu yang diasuh oleh paman dan bibi Nyai Siti yaitu Kyai Anwar dan Nyai Arifah (Nyai Arifah adalah adik sepupu dari Kyai As’ad Syamsul Arifin Sukorejo, Situbondo, yang menjadi salah satu pendiri Nahdlatul Ulama) sejak usia 7 tahun sampai akhirnya Nyai Siti menikah.

Nyai Siti Maryam menikah dengan Kyai Ahmad Jazuli bin Thohiruddin pada usia 13 tahun, dan sejak saat itu ikut menetap di desa Bilapora Timur, kecamatan Ganding, kabupaten Sumenep serta membantu Kyai Jazuli mengasuh pondok pesantren Darussalam. Pondok Pesantren Darussalam sendiri berdiri sejak tahun 1800an, didirikan oleh Kyai Harru, kakek Kyai Jazuli. Dan sejak tahun 1961 Kyai Ahmad Jazuli lah yang mengasuh pondok pesantren tersebut.

Pada awalnya Pondok Pesantren Darussalam hanya menerima santri putera saja, baru pada tahun 1975, berkat inisiatif Nyai Siti Maryam, pondok pesantren puteri dibuka. Saat itu Mbah Nyai baru berusia 17 tahun. Dan pondok pesantren puteri tersebut menjadi satu-satunya pondok puteri di Bilapora.

Begitu pondok pesantren Darussalam membuka pondok puteri, lama kelamaan ada banyak sekali santri puteri yang akhirnya mondok di situ. Kebanyakan adalah anak-anak alumni pondok Darussalam periode sebelumnya yang berasal dari daerah Jawa Timur dan Madura serta masyarakat sekitar. Bahkan ada juga santri puteri dari Jawa Barat dan Kalimantan yang mondok di sana. Kurikulum pengajaran di pondok puteri fokus dalam pendidikan kitab kuning dan juga menekankan pada pendidikan adab serta akhlaqul karimah.

Meskipun dulunya Nyai Siti menikah di usia 13 tahun, namun beliau sama sekali tidak menginginkan santri-santri puteri yang mondok di pondok pesantren Darussalam menikah di usia terlampau belia. Apalagi sejak pondok pesantren Darussalam memiliki sekolah formal pasca tahun 90-an.

Mulai tahun 1993 sampai sekarang, pondok pesantren Darussalam telah membangun sekolah formal mulai dari PAUD, RA, MI, SMPi, dan SMK sehingga santri-santri yang mondok di pondok pesantren Darussalam umumnya juga bersekolah di sekolahan pondok. Sebelumnya, anak-anak yang mondok sekaligus sekolah formal lebih banyak didominasi oleh santri laki-laki, namun setelah dibangunnya sekolah formal sampai ke tingkat SMK, sekarang hampir semua santri puteri yang mondok di sana juga bersekolah formal.

Meskipun begitu, tetap ada beberapa wali santri yang menganggap bahwa anak-anaknya yang perempuan cukup sekolah sampai tingkat SMP saja. Bagi para orang tua itu, yang penting anak-anaknya sudah bisa ngaji kitab, sudah paham fikih. Begitu lulus SMP, mereka biasanya dipamitkan oleh orang tuanya untuk dinikahkan. Dulu, Nyai Siti sering kesulitan mencari alasan untuk menahan santri puteri yang mau dibawa pulang orang tuanya untuk dinikahkan. Namun setelah dibangunnya sekolah SMK, Nyai Siti biasanya menahan santri puteri yang masih baru lulus SMP dan mau dinikahkan oleh orang tuanya supaya melanjutkan sekolahnya sampai ke SMK dulu sebelum menikah. Alasan Nyai Siti, selain karena faktor usia yang masih terlalu muda kalau menikah selepas lulus SMP, Nyai Siti merasa bahwa anak perempuan juga perlu memiliki bekal pendidikan formal yang cukup sebelum menikah. Karena siapa tahu, anak tersebut juga ingin bekerja selain menjadi ibu rumah tangga. Dan jenjang pendidikan yang lebih tinggi akan lebih membantu anak tersebut untuk memiliki pilihan yang lebih banyak untuk masa depannya.

Meskipun biasanya para orang tua santri sebenarnya keberatan anaknya harus melanjutkan sekolah dan mondok lagi, namun mereka juga tidak berani menentang dawuh Nyi Seppo. Akhirnya mereka pun ‘terpaksa’ mengijinkan anaknya untuk tetap tinggal di pondok dan menunda pernikahannya.

Memang sebagai seorang pemuka agama, setiap dawuh Nyai Siti pasti selalu didengarkan oleh masyarakat. Sehingga ketika Nyai Siti meminta agar santri yang mau dinikahkan selepas SMP itu mondok lagi dan melanjutkan sekolah sampai SMK, maka orang tua santri pun akan menuruti. Hal tersebut menjadi keuntungan tersendiri bagi Nyai Siti. Bahwa kekuatan ucapannya beliau jadikan sarana untuk terus memperjuangkan pendidikan bagi anak-anak perempuan.

Namun perjuangan Nyai Siti dalam mengupayakan pendidikan anak-anak perempuan juga mengalami begitu banyak kendala. Terlebih sepeninggal Kyai Ahmad Jazuli, Nyai Siti harus berjuang keras untuk mengurus baik pondok putera dan juga pondok puteri. Dengan infrastruktur dan fasilitas yang masih sangat serba terbatas, Nyai Siti mau tidak mau harus sangat bekerja keras dalam melanjutkan perjuangan almarhum suaminya..

Beberapa impian Nyai Siti untuk pondok puteri yang sampai saat ini belum terlaksana antara lain adalah membangun mushola khusus santri puteri (karena selama ini santri puteri masih menggunakan sekolahan RA sebagai mushola sementara untuk kegiatan-kegiatannya) dan membekali santri-santri puteri dengan keterampilan-keterampilan misalnya menjahit, kursus bahasa, atau memasak (yang sampai saat ini masih dipikirkan dan diupayakan oleh Nyai Siti bagaimana menyediakan peralatan menjahit, laboratorium bahasa, dan peralatan memasak serta tenaga-tenaga yang bisa mengajar keterampilan-keterampilan tersebut.) Nyai Siti juga bermimpi suatu saat nanti pondok pesantren Darussalam punya perguruan tinggi sehingga santri-santri yang mondok di sana bisa sekaligus melanjutkan sampai ke tingkat perguruan tinggi juga. Terlebih bagi santri puteri yang kebanyakan tidak terlalu diperhatikan pendidikan formalnya oleh keluarga. Padahal dengan pendidikan yang lebih tinggi, santri-santri tersebut bisa memiliki lebih banyak pilihan di masa yang akan datang, misalnya jika ingin bekerja sebagai guru atau pegawai.

Selain memperjuangkan pendidikan untuk anak perempuan, terutama sekali anak-anak perempuan di sekitar daerah kecamatan Ganding dan kecamatan Lenteng, Nyai Siti juga merintis dan menghidupkan organisasi muslimat NU di desa Bilapora dan menjadi pelopor aktifnya kegiatan Muslimat NU di dua kecamatan yaitu kecamatan Ganding (bagian Timur) dan kecamatan Lenteng (bagian Barat). Nyai Siti mulai menjadi ketua Muslimat NU sejak usianya 14 tahun dan terus berupaya keras membesarkan organisasi tersebut hingga saat ini. Beliau berupaya mendidik ibu-ibu Muslimat NU untuk berani menyuarakan pendapatnya, untuk memimpin, dan untuk mandiri.

Nyai Siti juga sangat mendorong peran dan partisipasi aktif perempuan dalam kegiatan sosial, politik, dan kemasyarakatan. Salah satunya dengan mendorong dan mengupayakan terpilihnya kepala desa perempuan di Bilapora. Saat itu hampir sebagian besar warga menolak majunya Eni Setiasih, seorang aktivis Muslimat NU desa Bilapora bimbingan Nyai Siti menjadi calon kepala desa perempuan karena adanya keyakinan bahwa pemimpin perempuan tidaklah sesuai dengan syariat agama. Ada begitu banyak penentangan yang terjadi terkait majunya calon kepala desa perempuan di desa Bilapora tersebut. Apalagi sepanjang sejarah, tak pernah ada kepala desa perempuan sebelumnya di desa Bilapora.

Warga masyarakat pun dibuat bingung dengan kondisi tersebut. Namun, ketika mereka sowan dan bertanya pada Nyai Siti soal kepemimpinan perempuan, Nyai Siti justru memberikan pandangan bahwa yang terpenting adalah kemampuan memimpin dan membawa masyarakat ke dalam kondisi yang lebih baik, bukan apa jenis kelaminnya. Penjelasan Nyai Siti akhirnya cukup meredakan kebingungan yang terjadi dalam masyarakat.

Ketika akhirnya Eni Setiasih terpilih menjadi kepala desa, ketegangan bukannya mereda. Ada banyak pihak yang tidak suka dengan terpilihnya Eni Setiasih kemudian memprovokasi warga dan membawa masalah itu ke dalam perbincangan agama, bahwa pemimpin perempuan tidaklah sesuai dengan syariat agama. Namun lagi-lagi hal tersebut berhasil diredakan berkat ketegasan Nyai Siti dalam membela dan memperjuangkan posisi kepemimpinan perempuan.

Posisi perempuan, yang dalam beberapa daerah di Madura dinomorduakan tidak berlaku dalam kehidupan Nyai Siti. Meskipun beliau tidak mengenyam pendidikan formal hingga perguruan tinggi, dan kebanyakan hanya bergelut dengan kitab-kitab klasik, bahkan beliau kurang lancar berbahasa Indonesia namun cara pandang beliau bisa dibilang cukup progresif. Beliau menekankan bahwa Allah menciptakan manusia dengan sama, baik laki-laki dan perempuan, dan semuanya berhak atas hak-hak dasar yang sama tanpa adanya pengecualian. Itulah sebabnya, Nyai Siti sangat mendorong terpenuhinya hak pendidikan bagi anak-anak perempuan, sebagaimana pada anak laki-laki. Pun jika pada akhirnya anak-anak perempuan itu memilih menjadi ibu rumah tangga saja, setidaknya mereka menikah di usia dimana mereka sudah menamatkan sekolah menengah dan menyelesaikan mondoknya.

Meskipun alasan-alasan yang diungkapkan Nyai Siti perihal penolakannya pada pernikahan anak bisa dibilang termasuk sangat sederhana (beliau tidak mengenal persoalan-persoalan seperti kesehatan seksual dan reproduksi, dan dampak kesehatan yang bisa menimpa anak-anak perempuan yang menikah di usia belia) namun penolakan beliau terhadap pernikahan anak dalam kaitannya dengan pendidikan perempuan cukup membesarkan hati. Adanya kesadaran bahwa pendidikan bagi perempuan itu sama pentingnya dengan pendidikan bagi laki-laki telah meletupkan dan menciptakan harapan-harapan yang lebih besar, terutama sekali bagi masyarakat sekitar pondok pesantren Darussalam, Bilapora.

Tak bisa dipungkiri, berdirinya pondok puteri di desa Bilapora dan banyaknya anak-anak perempuan yang akhirnya mondok dan sekolah sampai ke jenjang SMK di daerah tersebut sedikit banyak adalah buah dari perjuangan Nyai Siti.

Nyai Siti sendiri bahkan bisa dibilang menjadi pelopor ulama perempuan pemimpin di desa Bilapora. Sepeninggal wafatnya Kyai Ahmad Jazuli di tahun 2004, kepengasuhan pondok pesantren Darussalam dipegang oleh Nyai Siti sampai sekarang. Beliau lah yang memimpin kepengurusan baik di pondok putera maupun pondok puteri. Dan kemungkinan beliau lah satu-satunya pengasuh perempuan di pondok pesantren di daerah tersebut. Dalam berbagai kesempatan, Nyai Siti juga kerap memimpin tahlil atau istighosah baik di Madura, Banyuwangi, Jember, Lumajang, Ponorogo, dengan jamaah tak hanya perempuan tetapi juga lelaki.

Meskipun Nyai Siti sudah semakin sepuh, namun aktivitas beliau sama sekali tidak berkurang. Selain terus mengurus santri pondok, beliau juga masih aktif mengurus organisasi Muslimat NU, dan sederet aktivitas lainnya. Beliau juga mendirikan organisasi ikatan alumni pondok pesantren Darussalam yang menjadi wadah seluruh alumni yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia dengan tujuan supaya antar alumni saling bersilaturahmi.

Bagi Nyai Siti, masyarakat, alumni, dan santri sudah seperti keluarganya sendiri. Semua dianggap sebagai anak yang perlu diayomi dan disayangi. Dan begitupun masyarakat sekitar memperlakukan Nyai Siti, seperti orang tua mereka sendiri. Mereka datang berbondong-bondong pada beliau untuk berbagi keluh kesah, masalah, dan apa saja. Mungkin inilah yang juga membuat Nyai Siti menjadi sangat memikirkan masyarakat, terutama sekali yang berkenaan dalam bidang pendidikan.

Keistiqomahan beliau dalam mendidik santri dan masyarakat menjadi inspirasi bagi banyak orang, termasuk beberapa alumni santri baik laki-laki maupun perempuan yang menjadikan Nyai Siti sebagai role model dalam kehidupan mereka. Banyak alumni-alumni santri yang akhirnya mendirikan pesantren dan mengasuh pondok pesantren tersebut mengikuti cara-cara yang secara tidak langsung dicontohkan oleh Nyai Siti. Pondok pesantren itu tersebar di sekitar Madura sampai Jawa Timur, terutama Jember dan Banyuwangi. Harapannya, perjuangan Nyai Siti dalam memperjuangkan pendidikan untuk semua orang, tak hanya bagi laki-laki namun juga bagi perempuan bisa ditiru oleh para keluarga, santri, alumni, dan masyarakat sekitar. Dan semoga Nyai Siti diberi kesehatan serta umur panjang yang penuh keberkahan, sehingga beliau bisa mewujudkan impian-impiannya dalam dunia pendidikan santri.

*Tulisan ini menjadi Juara 1 Lomba Karya Tulis Ulama Perempuan: Peran dan Kiprahnya di Masyarakat kategori Feature/Profil yang diselenggarakan oleh Rahima, Fahmina, dan Alimat dalam rangka Kongres Ulama Perempuan Indonesia tahun 2016