Follow Us @soratemplates

Wednesday, November 6, 2019

Asia as Method: Toward Deimperialization, Kuan Hsing Chen*

November 06, 2019 0 Comments

Buku Asia as Method tulisan dari Kuan Hsing Chen ini menawarkan sebuah kerangka kerja analisis berbasis materialisme geokolonial historis untuk mengembangkan pemahaman baru terhadap kajian budaya di negara terjajah khususnya wilayah regional Asia dalam upayanya untuk memahami bentuk, praktek, dan institusi budaya populer dengan lebih baik. Penulis juga mengkritik kajian budaya postkolonialis yang dianggap mandeg sebab adanya kritik berlebihan terhadap Barat serta berusaha menempatkan sejarah kolonialisme dan imperialisme kembali dalam kajian globalisasi. Hal lain yang dibahas adalah mengenai bidang kajian Asia, yang selama ini didominasi oleh kajian-kajian yang dilakukan di luar ruang geografis Asia. 

Di sinilah potensi ‘Asia sebagai Metode’, bahwa kajian kritis terhadap pengalaman-pengalaman di Asia menawarkan sebuah paradigma baru dalam memandang sejarah dunia dan juga dalam mengajukan serangkaian pertanyaan-pertanyaan yang berbeda. Selama ini, para intelektual berpandangan subjektif mengkritik pandangan objektif yang menempatkan Barat sebagai pusat dan selain Barat sebagai pinggiran (periferi) sehingga ‘Asia sebagai Metode’ berupaya untuk mengatasi perdebatan ini dengan berupaya menempatkan Asia sebagai pusat. 

Mundurnya upaya deimperialisasi yang menjadi faktor pendukung terjadinya konflik lokal, regional, dan global di seluruh dunia berhubungan dengan kondisi terkini produksi pengetahuan. Perspektif ‘Asia sebagai Metode’ muncul di persimpangan antara kritik postkolonialisme, kajian globalisasi, dan Kajian Asia di Asia sebagai metode yang menciptakan kemungkinan-kemungkinan baru dalam kerja intelektual dan menjawab masalah produksi pengetahuan tersebut. Ia berupaya mentransformasikan struktur pengetahuan yang sudah ada sekaligus mentransformasikan diri kita. Implikasinya adalah menggunakan Asia sebagai ‘imaginary anchoring point’ yang memungkinkan masyarakat di Asia menjadi titik rujukan masing-masing sehingga pemahaman pada diri bisa ditransformasi dan subjektifitas bisa dibangun ulang. Pengalaman-pengalaman dan praktek historis di Asia bisa dikembangkan sebagai cakrawala, pandangan, atau metode alternatif untuk memunculkan serangkaian pertanyaan-pertanyaan yang berbeda tentang sejarah dunia. Dengan menggunakan perspektif ‘Asia sebagai Metode’, masyarakat di Asia bisa saling terinspirasi bagaimana masyarakat di negara-negara Asia yang lain menyelesaikan masalah-masalah serupa. 

Sebagai persoalan teoritis, ‘Asia sebagai Metode’ merupakan hasil dari praktek-praktek yang berkembang dari Inter-Asia Cultural Studies, sebuah jurnal pergerakan yang berjalan sejak 1990an dan dianggap sebagai gerakan ‘self-reflexive’. Metode ini juga mengkritisi diskusi paradigma dikotomi: Timur versus Barat, Cina versus Barat, Korea Selatan versus Barat, Jepang versus Barat, India versus Barat yang menunjukkan bahwa selama ini subjek wacana nasionalis selalu Barat dengan menawarkan empat strategi sebagai berikut: 

Pertama, melakukan disrupsi ‘the Other’ melalui dekonstruksi, bahwa Barat tidak bisa menjadi ‘our Other’. Kedua, membatasi bahwa pengalaman Barat hanya di satu bagian dunia saja, sehingga meskipun berpengaruh dan menjadi bagian sumber kultural di Asia namun sebagai bagian lain dari dunia serta sebuah produk sejarah, ia tidak bisa mengklaim universalitas. Strategi ketiga dari Ashis Nandy yang mengungkapkan bahwa hal-hal yang kelihatannya berasal dari Barat sebenarnya sudah ada menjadi bagian dari kebudayaan masyarakat non-Barat, dalam hal ini India. Strategi keempat yaitu nativisme dunia ketiga melalui internasionalisasi lokalitas. Persoalan sosial budaya di Asia diungkapkan melalui fenomena lokal dan dikenalkan ke dunia internasional. 

Strategi tersebut sejalan dengan pandangan Partha Chatterje yang mengungkapkan bahwa fenomena yang terjadi di India memiliki kesamaan dengan apa yang terjadi di Taiwan. Tentu saja fenomena itu terjadi di tempat lain secara global, tetapi dengan memahami struktur lokasi, proses modernisasi, serta pengalaman-pengalaman historis yang serupa di Asia Dunia Ketiga memungkinkan fenomena-fenomena ini bisa ‘terlihat’. Sehingga kajian komparatif perlu dilakukan. Hal ini pernah dilakukan sebelumnya, tetapi dengan membandingkan teori Eropa-Amerika dengan pengalaman lokal kita yang tidak begitu membantu upaya kita dalam memahami kondisi dan praktek di masyarakat Asia. Perbandingan sesama negara Asia justru lebih membantu dibandingkan dengan perbandingan antara Barat dan fenomena lokal kita. Chatterje juga mengungkapkan bahwa masyarakat politis adalah kekuatan perubahan sosial di ruang postkolonial. 

Penulis juga meminjam pandangan-pandangan Mizoguchi tentang ‘Cina sebagai Metode’ untuk melihat fenomena-fenomena di Jepang melalui Cina. Namun ada perbedaan ‘Cina sebagai Metode’ dengan ‘Asia sebagai Metode’ yang terletak pada pilihan-pilihan penekanannya. Pertama, objek dialog ‘Asia sebagai Metode’ adalah lokal (Seoul, Tokyo, Shanghai, atau Taipei misalnya) tetapi juga lintas-batas, regional, dan bahkan interkontinental. Kedua, pandangan ini mengakui elemen-elemen Barat sudah ada secara internal di Asia. Ketiga, pandangan ini membuat perubahan pada Asia, dari Asia Timur ke bagian lain Asia, dengan harapan pandangan dunia kita akan meliputi cakrawala yang beragam ini. Keempat, pandangan ini secara sadar menekankan pada praktek-praktek yang dalam upaya menyibak modernitas, pikiran intelektual hanya satu saja dari praktek historis lainnya. Terakhir, inti agenda teoritis dan politis ‘Asia sebagai Metode’ adalah untuk mentransformasi subjektifitas kita.

*Tulisan ini adalah laporan bacaan buku 'Asia as Method: Toward Deimperialization' karya Kuan Hsing Chen sebagai tugas mata kuliah Pemetaan Cultural Studies yang diampu Prof. Melani Budianta dan mendapatkan predikat laporan bacaan terbaik dengan nilai tertinggi di kelas.

Wednesday, September 25, 2019

Menafsir 'Ayam'; Melacak Genealogi, Membaca Ulang Ingatan*

September 25, 2019 0 Comments

Dalam salah satu perkuliahan Pemetaan Cultural Studies, dosen kami meminta mahasiswa untuk menggambar ayam. Setelah gambar-gambar itu dikumpulkan dan diperlihatkan kembali, tampaklah kecenderungan yang nyaris sama di semua gambar: ayam itu menghadap ke kiri. Kenyataan tersebut membuat para mahasiswa tersentak dan mulai bertanya-tanya. Pada awalnya kita tidak menyadari sejak kapan konsep gambar ayam menghadap ke kiri itu terbentuk dalam benak kita. Kita tidak ingat siapa yang mengajarkan kita cara menggambar dan mengapa kita menggambar seperti itu. Begitu terbiasanya kita dengan hal ini sehingga luput mengajukan pertanyaan-pertanyaan dari mana gambar ayam menghadap kiri itu berasal. 

Sebagai sebuah produk budaya, gambar menjadi teks visual yang dapat dianalisis dan ditafsirkan. Ia berkomunikasi melalui tanda yang memiliki beragam arti. Menurut teori semiotik Peirce, tanda adalah sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain, dimana proses pemaknaannya mengaitkan antara ‘realitas’ dan ‘apa yang ada dalam kognisi manusia’ (Hoed, 2014: 9). Asumsi dasarnya, gambar ayam yang hampir seluruhnya menghadap ke kiri itu berusaha mengungkapkan hal lain, seperti fenomena kekuasaan apakah yang mendasari ketidaksadaran masyarakat dalam menggambar seperti itu.

Konsep sintagmatik-paradigmatik dalam semiotik berusaha mencari oposisi-oposisi yang tersembunyi dan bagaimana urutan suatu teks menghasilkan makna (Ida, 2014: 30). Dengan konsep ini, dapat dilihat bagaimana masyarakat Indonesia pada umumnya melihat sesuatu dengan paradigma kiri ke kanan, atas ke bawah. Paradigma ini terlihat dari cara membaca dan menulis orang Indonesia. Kebiasaan lainnya seperti berjalan harus di sebelah kiri sebab menyetir dilakukan dari sebelah kanan juga membentuk paradigma yang dominan kiri. Beberapa data tambahan yang diperoleh dari gambar-gambar ayam dari responden lain menunjukkan bahwa kecenderungan gambar menengok ke kanan sangat sedikit, salah satu diantara penggambar ayam menghadap ke kanan itu karena ia kidal. Beberapa responden mengakui bahwa menggambar ayam yang menghadap ke kiri lebih mudah karena menggunakan tangan kanan. Sementara penggambar kidal mengakui bahwa menggambar ayam menghadap ke kanan cenderung lebih mudah karena menggunakan tangan kiri.

Kebiasaan menggunakan tangan kanan ini bahkan dikukuhkan dalam dalil-dalil agama yang menyitir hadits nabi bahwa tangan kanan itu lebih baik disbanding tangan kiri. Juga dalam pendidikan, bahwa menggunakan tangan kanan selalu lebih sopan. Secara kultur agama dan pendidikan, masyarakat Indonesia nyaris sepakat untuk menolak dominansi penggunaan tangan kiri/kidal. Struktur paradigmatik kiri-kanan dalam menulis dan membaca, serta keharusan untuk selalu berjalan di sebelah kiri juga dilanggengkan melalui konsep pendidikan. Di sini terlihat bagaimana aparatus negara ideologis (Althusser, 2008: 18-22) seperti agama dan pendidikan melakukan hegemoni.

Hegemoni pendidikan yang dilakukan selama bertahun-tahun berhasil membentuk memori kolektif masyarakat yang membentuk nyaris seragamnya gambar ayam mereka. Dalam istilah Gramsci, hegemoni budaya ini memungkinkan seseorang untuk berpandangan sesuai yang diinginkan oleh kekuasaan secara suka rela tanpa paksaan (Lears, 1985). Tentu saja kekuasaan ini bisa apa saja, bisa pendidikan, bisa Negara. Pendapat tentang memori kolektif sendiri berakar dari pemikiran Durkheim dan Halbwahs yang kemudian Olick menjelaskan salah satu konsep memori kolektif dimana kita memandang ingatan sebagai residu otentik tentang masa lalu (Olick, 1999). Ini menjelaskan perbedaan yang cukup mencolok antara gambaran ayam yang digambar oleh orang dewasa dan anak-anak. Orang-orang dewasa memiliki ingatan kolektif hasil hegemoni pendidikan selama bertahun-tahun sejak masa lalu yang diwariskan dari orang tua-orang tua dan guru-guru mereka, sementara anak-anak tidak atau belum.

Data tambahan yang diperoleh dari anak-anak yang belum sekolah atau baru memasuki tahap sekolah dasar menampakkan perbedaan hasil cukup signifikan. Beberapa responden anak-anak yang diminta untuk menggambarkan ayam memperlihatkan gambar yang tidak dominan menghadap ke kiri, tetapi ke depan juga ke kanan. Sangat jarang didapati anak menggambar ayam menghadap ke kiri. Berkebalikan dengan hasil gambar yang diterima dari responden orang dewasa.








Ini disebabkan juga barangkali oleh masih singkatnya pendidikan yang diperoleh anak-anak sehingga konsep-konsep paradigmatik kiri-kanan, menulis-membaca dari kiri, berjalan selalu di sebelah kiri, belum betul-betul tertanam dalam ingatan anak-anak.

Ada satu data yang cukup menarik dari responden anak berusia 3.5 tahun (perempuan). Awalnya ia menggambar ayam menghadap ke kiri, ketika ditanya apa dia diajari menggambar seperti itu, ibunya (30 tahun) mengaku bahwa sang ibu memberi contoh terlebih dahulu dengan menggambar ayam menghadap kiri. Ketika anak tersebut diminta kembali untuk menggambar ayam sesuka hatinya, hasilnya ternyata menghadap ke kanan. Bahkan gambar yang sebelah kanan terlihat lebih natural dibanding yang di sebelah kiri.



(Gambar kiri dengan arahan ibunya, gambar kanan sesuai kebebasan anak) 

Dari analisis-analisis di atas, dapat disimpulkan bahwa gambar ayam menghadap ke kiri dominan terjadi pada orang-orang yang sudah dewasa dan mengenyam pendidikan selama bertahun-tahun, sementara untuk anak-anak kecil yang belum sekolah atau baru memasuki tahapan sekolah dasar, gambar ayamnya lebih variatif. Jika ditelusuri kembali, penggambaran yang dominan menghadap ke kiri berawal dari masa sekolah dan berlangsung terus menerus selama bertahun-tahun sebagai imbas dari hegemoni kekuasaan Negara dalam bidang pendidikan, yang tujuan utamanya menciptakan masyarakat yang seragam; seragam dalam menulis dengan tangan kanan, seragam berjalan di sisi sebelah kiri, hingga akhirnya seragam dalam menggambar hewan ayam menghadap ke kiri secara tidak sadar dan tidak lagi mempertanyakan karena itu dianggap sebagai sebuah kelaziman belaka.



Daftar Pustaka

Althusser, Louis. 2008. Tentang Ideologi: Marxisme Strukturalis, Psikoanalisis, Cultural Studies.Yogyakarta: Jalasutra
Hoed, Benny H. 2014. Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya. Depok: Komunitas Bambu.
Ida, Rachmah. 2014. Metode Penelitian Studi Media dan Kajian Budaya. Jakarta: Kencana.
Lears, T. J. Jackson. 1985. The Concept of Cultural Hegemony: Problems and Possibilities. The American Historical Review, Vol. 90, No. 3 (Jun., 1985), pp. 567-593. (diakses di http://www.jstor.org/stable/1860957 pada 23 September 2019)
Olick, Jeffrey K. 1999. The Two Cultures. Sociological Theory, Vol. 17, No. 3 (Nov., 1999), pp. 333-348 (diakses di https://www.jstor.org/stable/370189 pada 23 September 2019)


*Tulisan ini dibuat untuk tugas kelas Pemetaan Cultural Studies yang diampu oleh Dr. Risa Permanadeli. 

Sunday, September 8, 2019

Menjadi Humanis

September 08, 2019 0 Comments

Terus berbicara untuk menyuarakan keberpihakan tidaklah mudah. Kita tidak hanya harus menghadapi orang-orang yang memiliki kuasa dan para penindas, tetapi acap kali kita juga harus berhadapan dengan orang-orang terdekat yang berbeda pandangan dengan kita. Tetapi, sebagai orang yang memiliki kemewahan mengecap ilmu pengetahuan, harus kemana kita berpihak jika tidak kepada mereka yang lemah dan ditindas? 

Mungkin bukan hanya saya, yang juga sering kehilangan keberanian. Ketakutan akan menyakiti orang-orang terdekat kita, sahabat-sahabat kita, juga kekhawatiran tidak bisa menjadi role-model bagi orang-orang yang mengikuti kita kadang membuat kita berhenti sejenak dan mempertanyakan, sudah benarkan kita melangkah. Jangan-jangan nanti saya dibenci dan dimusuhi kalau melakukan ini, kalau berkata begini. Jangan-jangan keluarga saya nanti ikutan kena gara-gara saya memutuskan melakukan hal yang seperti ini. Dan pertanyaan-pertanyaan lain yang kadang membuatku memilih untuk diam mencari aman. Tapi sekali lagi, bukankah rasa keadilan seharusnya tidak membuat kita peduli dengan rasa-rasa yang egois?

Dan dalam keragu-raguan, aku berterima kasih kepada mereka yang terus berada di jalan kemanusiaan, tak rela tunduk, dan terus berani. Kepada mereka yang tulisannya, musik-musiknya, kata-katanya kembali membangkitkan percikan keberanian dalam hati saya, sungguh saya berterima kasih.

Jalan perjuangan tentu beragam, tetapi kecintaan kepada sesama manusia selalu menjadi titik tolak yang sama. Dengan jalan apapun nanti akhirnya aku memutuskan untuk melangkah, aku berharap keberanian dalam hatiku tidak pernah mati. 




Purwokerto, 9 September 2019

(Tulisan ini saya persembahkan untuk kakakku Bagus Dwi Danto 'Sisir Tanah' dan mas Bayu Agni. Terima kasih banyak.)

Thursday, August 29, 2019

Mothering and Studying

August 29, 2019 0 Comments




Tentu saja, semua ibu pasti ingin selalu dekat dengan anaknya. Jadi, ketika saya kemudian memutuskan untuk melanjutkan sekolah lagi, setelah punya anak, saya tahu pilihan yang saya buat ini bukanlah sebuah pilihan yang mudah. Saya berusaha untuk mengabaikan segala penghakiman orang-orang yang kurang lebih mempertanyakan keibuan saya serta keegoisan saya memilih lanjut sekolah timbang mengurusi anak.

Di sisi lain, ada pula yang mengatakan betapa enaknya menjadi saya, bisa sekolah lagi, ninggalin anak, berasa masih gadis, bebas kemana-mana. Yang begini ini, ya mari kita tertawakan saja, sambil berdoa semoga hidup kita dipenuhi keselamatan, kebahagiaan, dan keberkahan.

Dan karena ada beberapa teman-teman saya, ibu-ibu muda juga yang kebanyakan sudah punya anak namun ingin lanjut sekolah lagi, bertanya tentang bagaimana proses jungkir balik saya untuk bisa sekolah lagi, tulisan saya ini dipersembahkan khusus untuk mereka.

Sejak dulu, jauh sebelum menikah dan punya anak, saya punya mimpi untuk bisa melanjutkan sekolah sampai jenjang yang paling tinggi seandainya memungkinkan dan ada kesempatan. Kalau ditanya apa cita-cita saya, ya cita-cita saya sederhana sih, muda kaya raya, mati masuk surga. Namun, sebagai seorang hamba yang bersyukur dianugerahi akal dan pikiran juga kesadaran bahwa awak kulo niki bodo, tekad untuk sekolah lagi itu terus saya pelihara sampai sekarang.

Saya sadar, sekolah lagi itu butuh biaya yang tidak sedikit, makanya saya berusaha nyari beasiswa. Dan nyari beasiswa ini juga ternyata tidak mudah. Saya beberapa kali daftar beasiswa, dari Australia Awards sampai LPDP. Tahun 2015, sebelum menikah dan punya anak, saya daftar beasiswa LPDP dan tidak lolos. Ceritanya bisa dibaca di sini ya. Dan ndilalah saya dapat beasiswa-nya malah ketika sudah menikah dan sudah punya anak.

Jadi, kalau anda seorang perempuan, sudah menikah, sudah punya anak, bertanya kepada saya, apa mungkin bisa lanjut sekolah lagi? Maka jawabannya adalah sangat mungkin. Tetapi keputusan itu membutuhkan banyak kompromi dan saya berterima kasih banyak kepada suami serta anak yang mendukung kekeras-kepalaan saya habis-habisan.

Saya mulai mengajukan aplikasi beasiswa LPDP setahun yang lalu, ketika anak saya belum genap dua tahun dan masih butuh ASI. Seleksi LPDP tidak hanya berhenti di tahap administrasi karena saat lolos di tahap tersebut, kita harus mengikuti tahap selanjutnya yaitu seleksi berbasis komputer (SBK). Begitu membulatkan tekad untuk sekolah lagi, kita harus siap dengan segala resikonya. Termasuk kompromi waktu dan lain-lain dengan keluarga. Tes-tes seleksi yang saya ikuti mengharuskan saya untuk melakukan perjalanan bolak-balik Sumenep-Surabaya (karena lokasi tes saya waktu itu di Surabaya), bawa anak yang masih ASI dan sedang aktif-aktifnya. Ketika saya ujian di lokasi tes, anak saya titipkan ke suami di hotel. Bagi perempuan yang tidak pernah lama-lama meninggalkan anak, karena anak selalu nempel kemana-mana, seleksi beasiswa ini beratnya jadi berlipat-lipat karena selain harus konsentrasi ke tes juga sambil kepikiran anak nangis apa nggak, rewel apa nggak, minta minum ASI apa nggak dan lain-lain. Nah, waktu saya tes SBK itu malah anak sakit karena masuk angin di perjalanan Sumenep-Surabaya. Jadi makin nggak konsen lah ngerjain tesnya.

Persiapan ujiannya juga tidak kalah berat. Saya belajar TPA dari buku-buku milik suami. Kadang baru buka satu halaman, anak sudah nangis minta main. Akhirnya belajarnya nunggu pas anak tidur, kadang sampai begadang malam-malam. Jadi, tidak jarang kalau pagi dan siang saya nguap-nguap melulu karena ngantuk dan kecapekan.

Belum lagi setelah lulus semua tesnya dan dinyatakan jadi penerima beasiswa, saya harus ikut PK (Persiapan Keberangkatan) selama nyaris seminggu di Jakarta. Itu kali pertama saya jauh-jauhan sama anak dalam waktu yang cukup lama. Apalagi anak masih ASI jadi bisa dibayangkan bagaimana sakitnya payudara yang tidak disusu oleh anaknya. Meskipun sudah dipompa, tetap saja rasanya nggak karu-karuan. 


Karena saya lolos beasiswa tahun lalu, perkuliahan saya dimulai tahun ini. Dan inilah ujian kesabaran yang sebenar-benarnya. Saya sadar, proses adaptasi di tempat baru tidak mudah, oleh karena itu sampai sekarang, di bulan-bulan pertama kepindahan saya dari Sumenep ke Depok, anak belum saya ajak. Sementara anak saya titipkan di rumah eyangnya. Dan saya tinggal sendirian di kos. Sesekali suami tinggal di sini satu-dua minggu. Kalau sedang tidak terlalu banyak tugas, rencananya juga saya pulang menengok anak di rumah eyangnya barang dua-tiga hari.

Memang tidak mudah, tapi kita pasti bisa melewatinya. Buat teman-teman kesayanganku, ibu-ibu muda yang ingin segera lanjut sekolah, ayo semangat. Diskusikan semua dengan suami dan keluarga. Saling berbagi peran dan ketika merasa down atau tidak semangat, segera cerita dengan teman-teman terdekat, biar saling memberi kekuatan dan dukungan. Dari pada mendengarkan omongan nyinyir orang-orang, yang bahkan sama sekali tidak berkontribusi apapun bagi kita, lebih baik mengelilingi diri dengan orang-orang berenergi positif, orang-orang yang bersedia mendengarkan keluh kesah kita dan memeluk kita untuk memberikan kekuatan. Dan dari pengalaman saya, apa yang saya capai tidak lepas dari orang-orang baik yang selalu mendengarkan dan mendukung saya, memberikan kekuatan di tengah gempuran kenyinyiran dan kejulidan orang-orang. Kalau saya bisa, teman-teman juga pasti bisa :*



Depok, 29 Agustus 2019

Thursday, August 22, 2019

Perempuan dan Apa yang Ia Kenakan

August 22, 2019 0 Comments
Gambar diambil dari http://waterfordwhispersnews.com/2019/08/21/how-much-clothes-should-a-woman-wear/

Pagi tadi, saya berjalan kaki sekitar satu kilometer dari kos menuju pemberhentian bis kuning (bikun-transportasi umum yang melewati hampir semua fakultas di kampus) terdekat. Tak lama, bis yang saya tunggu tiba. Mungkin karena masa perkuliahan belum betul-betul dimulai, bis yang saya naiki tidak terlalu ramai. Setengah mengantuk, saya membuka gawai saya untuk membalas pesan-pesan di whatsapp dan aplikasi pesan lainnya. Beberapa halte sudah dilewati. Saya menoleh ke arah jendela, memastikan kampus yang saya tuju tidak terlewat karena sebelumnya saya dua kali nyasar naik bikun. Di halte RIK, bikun berhenti agak lama karena banyak yang turun sekaligus ada beberapa yang naik. Salah satunya seorang perempuan yang hampir jatuh tersandung roknya sendiri. Tepat di hadapan saya.

Saya sudah mau berdiri untuk mempersilakannya duduk tetapi kursi di hadapan saya sudah lebih dulu ditinggalkan penumpang sebelumnya, sehingga perempuan yang tadi nyaris jatuh itu duduk di sana. Saya menatapnya sekilas lalu tersenyum. Pandangan saya kembali terpaku ke gawai di tangan tetapi pikiran saya mengembara kemana-mana. Perempuan itu masih muda. Kukira umurnya terpaut jauh denganku. Mungkin 7-8 tahun lebih muda. Mungkin juga lebih. Sepertinya ia mahasiswa jenjang sarjana. Aku kembali melirik ke arahnya sedikit. Bajunya lusuh dan tampak kebesaran. Ia berkali-kali memperbaiki letak pinggang roknya supaya roknya sedikit terangkat ke atas. Mungkin supaya roknya tidak kepanjangan dan menyulitkan saat berjalan. Kuperhatikan roknya yang juga tampak kebesaran, warna hitamnya lusuh dan agak mengkilat, seperti terlalu sering dicuci dan disetrika. Mata kami bertemu. Aku merasa bersalah karena sudah memperhatikannya, sehingga aku tersenyum penuh permohonan maaf. Dan ia membalas senyumku dengan rasa malu yang tidak bisa disembunyikan oleh sepasang matanya. Tiba-tiba hatiku merasa nyeri.

Tak jarang kita melihat tulisan-tulisan yang membahas bagaimana perempuan seharusnya berpakaian. Ada yang mengkritik perempuan berbaju ketat, memakai celana, atau rok mini. Namun sering pula kita mendapati orang-orang yang mengkritik perempuan berbaju gamis, bercadar, berkaus tangan. "Mana yang lebih baik?" begitu orang terus memperdebatkan. Ada yang membandingkan perempuan tak berjilbab dengan permen loli dikerubungi semut dan ada yang mencela perempuan bercadar dengan mengatakan bahwa di sini bukan gurun pasir.

Perdebatan itu tidak pernah selesai. Tidak akan pernah.

Tetapi, apakah kita pernah berpikir bahwa bagi beberapa perempuan, memperoleh baju yang nyaman ia kenakan juga tidak mudah? Saya ingat bertahun-tahun lalu, kala masih mahasiswa jenjang sarjana. Saya hanya punya beberapa potong baju yang bisa dibilang bagus dan pantas dipakai kuliah. Kadang, saya bahkan memakai baju-baju bekas punya bulik yang diwariskan pada saya, karena usia kami tidak terpaut terlalu jauh dan ukuran badan kami nyaris sama. Untuk membeli baju yang sedikit agak bagus, saya harus berpikir puluhan kali karena uang tersebut bisa dialokasikan untuk membeli buku dan keperluan primer lainnya. Sehingga saya jarang sekali berganti-ganti baju karena stok baju kuliah saya memang itu-itu saja.

Dan perdebatan orang-orang tentang baju apa yang harus dikenakan perempuan itu begitu menyakitkan didengar karena mereka yang sibuk berdebat itu seolah tidak peduli dengan pendapat personal para perempuan. Beberapa perempuan nyaman memakai rok, beberapa merasa lebih nyaman memakai celana. Beberapa mungkin juga nyaman memakai cadar, beberapa yang lain mungkin tidak nyaman memakai kerudung. Pilihan-pilihan berpakaian itu adalah hal-hal yang sangat personal dan kompleks. Beberapa perempuan bahkan tidak punya terlalu banyak pilihan karena ketidakmampuan finansial dalam membeli baju-baju yang menurut mereka nyaman dikenakan. Alih-alih menghakimi pilihan perempuan dalam berpakaian, kenapa kita tidak belajar memahami dan menghormati pilihan-pilihan orang lain? 

Tentu saja, gaya berpakaian tidak bisa dilepaskan dengan konteks budaya, atau kalau mau merujuk kajian-kajian sosial budaya, model-model baju juga terkait erat dengan pertarungan identitas, kuasa, bahkan kapitalisme (kita tahu kan baju-baju tertentu harganya bisa sangat tidak masuk akal). Tetapi, maksud saya begini, kenapa kita harus selalu memperdebatkan cara berpakaian perempuan dan berusaha mengatur mereka sesuai norma agama atau apapun yang kita yakini? Merasa bahwa mengurusi pakaian perempuan adalah tugas dan kewajiban kita, tetapi abai dengan perasaan atau pilihan sadar mereka seolah itu tidak penting. Padahal yang terpenting tentang pakaian adalah kenyamanan bagi mereka yang mengenakannya. 



Depok, 23 Agustus 2019