Follow Us @soratemplates

Tuesday, November 26, 2019

Cultural Identity and Diaspora – Stuart Hall*

November 26, 2019 0 Comments
Gambar dari Centre for Research in Cultural Studies

Hall merumuskan identitas budaya melalui definisi identitas sebagai sebuah ‘produk’ yang tidak pernah selesai, selalu berproses, dan selalu menjadi bagian di dalam representasi. Artikulasi representasi ini tidak bisa dilepaskan dari konteks diposisikan (being positioned) atau memposisikan (positioning). Diaspora sebagai model untuk membicarakan identitas budaya berawal dari festival film Karibia yang membuat Hall mempertanyakan identitas orang kulit hitam dalam film tersebut, siapa subjek yang muncul di layar itu dan dari mana ia berbicara. Diaspora menjadi model untuk membicarakan identitas budaya karena pengalaman diaspora didefinisikan tidak semata melalui esensinya tetapi juga dalam pengakuan heteroginitas dan keanekaragaman (konsep identitas yang hidup dalam dan melalui perbedaan; yaitu melalui hibriditas). Identitas diaspora ini sendiri terus bereproduksi melalui transformasi dan perbedaan. 


Hall mengungkapkan bahwa ada setidaknya dua cara berbeda dalam merumuskan identitas budaya. Yang pertama, identitas budaya diterjemahkan ke dalam satu identitas yang dimiliki secara kolektif dan biasanya dimiliki oleh sekelompok orang dari latar belakang sejarah dan nenek moyang yang sama karena adanya kepentingan untuk menyatukan masyarakat dalam satu kesatuan atau ‘oneness’. Hall mencontohkan orang-orang kulit hitam Karibia dan bagaimana diaspora kulit hitam ditemukan, dieksakavasi, dan diekspresikan melalui representasi sinematik. Konsepsi ini memainkan peran penting di semua perjuangan post-kolonial yang membentuk kembali dunia kita. Contohnya adalah puisi-puisi ‘negritude’ yang merepresentasikan masyarakat-masyarakat Afrika yang marjinal dan foto Francis ‘The Black Triangle’ yang menunjukkan bahwa identitas budaya orang kulit hitam diaspora berakar dari Afrika. 

Cara kedua dalam merumuskan identitas budaya adalah menerjemahkannya sebagai ‘proses menjadi’ sekaligus ‘proses mengada’. Identitas ini adalah bagian dari masa depan sekaligus masa lalu, bukan sesuatu yang sudah ada, tetapi melampaui tempat, waktu, sejarah dan budaya. Karena adanya intervensi sejarah, pertanyaan ‘siapa sesungguhnya kita’ berubah menjadi ‘telah menjadi siapa kita’. Di sini Hall menjelaskan identitas budaya sebagai suatu penempatan (positioning), bukan esensi; bagaimana menempatkan diri dalam narasi masa lalu, dan bagaimana narasi masa lalu memposisikan diri. Hall mencontohkan identitas kulit hitam Karibia yang merupakan hasil dialogis antara kontinuitas masa lalu dan diskontinuitas pengalaman: bagaimana orang kulit hitam Afrika ditarik ke dalam perbudakan, transportasi, penjajahan, migrasi dari Afrika. 

Penjelasan Hall mengenai identitas budaya dan diaspora sangat membantu dalam memahami fenomena sosial yang terjadi di sekitar kita, bahwa identitas budaya datang dari suatu tempat, memiliki sejarah, namun tidak selalu tetap melainkan cair dan terus berkembang. Dalam penelitian saya mengenai kampanye pernikahan muda di sosial media instagram, melihat pandangan Hall, saya menyadari bahwa identitas-identitas dari subjek yang saya teliti tidak tunggal namun sangat cair, dan bagaimana para pengkampanye atau pendukung kampanye tersebut membentuk identitas budaya mereka masing-masing meskipun sama-sama orang Indonesia dan beragama Islam.


*Tulisan ini merangkum bacaan Cultural Identity and Diaspora Stuart Hall yang menjadi salah satu tugas Pemetaan Cultural Studies yang diampu Prof. Melani Budianta.

Friday, November 8, 2019

Menegosiasikan Motherhood: Antara Pariyem dan Nyai Ontosoroh*

November 08, 2019 0 Comments
Ilustrasi diambil dari http://babiekinsmag.com/momkins-art-motherhood-brooke-smart/

Peran motherhood dalam masyarakat Indonesia, Jawa khususnya, menempatkan pengasuhan anak dari kecil sampai menjelang dewasa dengan dibebankan kepada sosok ibu sehingga memungkinkan ketidak-terpisahan antara anak dan ibunya. Meskipun dalam konteks jaman yang terus berubah, banyak pasangan mulai mendialektikakan peran motherhood ini antara perempuan sebagai ibu dan laki-laki sebagai ayah. Cerita tentang motherhood ini juga muncul menjadi isu serta diskursus dalam kisah-kisah fiksi yang bisa diinterpretasi dengan pemaknaan yang beragam.

Dalam esai ini akan dibahas bagaimana motherhood dikonstruksi dalam teks dan dinegosiasikan oleh tokoh Pariyem dalam prosa liris Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi AG dan Nyai Ontosoroh dalam novel Bumi Manusia karya Parmoedya Ananta Toer. Metode kualitatif dengan pendekatan post-strukturalisme digunakan dalam upaya memahami teks dengan membacanya secara tidak tekstual semata, melainkan berupaya menyingkap makna di baliknya (Barry, 2002: 77). Untuk memahami motherhood dalam hubungannya dengan kuasa patriarki, kritik feminisme juga akan sedikit digunakan dalam tulisan ini.

Novel Pengakuan Pariyem, berlatar tahun 1970-an pada masa Sultan Hamengkubuwono IX, mengisahkan seorang permpuan bernama Pariyem yang menuturkan kembali kisah hidupnya dengan sudut pandang aku dan ditujukkan kepada seseorang bernama Mas Paiman. Diceritakan bahwa Pariyem yang berasal dari Wonosari, Gunung Kidul bekerja sebagai babu di keluarga Ndoro Kanjeng Cokro Sentono, ndalem Suryo Mentaraman, Yogyakarta. Di sana, ia hamil setelah melakukan hubungan seksual bersama anak Ndoro Kanjeng, Den Bagus Ario. Menanggapi kehamilan yang menyangkut anak lelakinya itu, Ndoro Kanjeng memutuskan bahwa permasalahan tersebut diselesaikan secara kekeluargaan; Pariyem diantar pulang ke Wonosari sampai melahirkan anaknya lalu diminta kembali lagi ke Yogyakarta untuk bekerja seperti biasa. Sementara anak yang lahir diakui sebagai anak Den Bagus Ario serta bagian keluarga Cokro Sentono meskipun tanpa pernikahan. 

Sementara novel Bumi Manusia berlatar di masa kolonial, sekitar akhir 1800-an dan awal 1900-an di masa diberlakukannya politik etis, mengisahkan seorang anak bupati dan siswa HBS bernama Minke yang menuturkan kisah hidupnya serta pertemuannya dengan keluarga Mellema yang mengubah pandangan hidupnya tentang banyak hal, termasuk tentang ilmu pengetahuan dan Barat. Diceritakan bagaimana kisah keluarga Mellema, terutama sosok Nyai Ontosoroh, gundik Herman Mellema yang dikaguminya, dan bagaimana hubungan asmaranya bersama Annelies Mellema. Setelah meninggalnya Herman Mellema, Nyai Ontosoroh terpaksa berpisah dengan anaknya dan terancam kehilangan aset-aset perusahaan yang dikelolanya karena kalah di pengadilan kolonial meskipun sudah berupaya melawan bersama Minke tak hanya secara hukum di pengadilan tetapi juga melalui tulisan-tulisan Minke di surat kabar.

Dalam cerita Pariyem, peran motherhood yang dilakukan Pariyem berbeda dari apa yang dilakukan oleh ibunya, Parjinah. Kedua orang tua Pariyem yang awalnya seniman, setelah geger G-30-S/PKI kehilangan pekerjaannya karena kegiatan kesenian kethoprak dan ledhek menjadi punah. Mereka kemudian tinggal di Wonosari, Gunung Kidul menjadi petani, “bercocok tanam di ladang” (AG, 2017: 28) dan di sanalah Parjinah mengasuh Pariyem serta kedua adiknya di tengah aktivitas bertani dan berjualan ke pasar. 

Sementara Pariyem, ia melakukan urbanisasi dengan bekerja ke kota, meninggalkan Wonosari karena motif ekonomi. Sebagai petani, orang tuanya tidak memiliki lahan sebab mereka “menggarap bengkok pak Sosial” yang luasnya “hanya tiga petak kecil-kecil” (AG, 2017: 4). Di sana, Pariyem tidak memiliki jatah pekerjaan yang memberdayakan secara ekonomi sebab lahan yang digarap juga tidak terlalu luas dan perannya tidak terlalu dibutuhkan, sehingga bekerja ke kota menjadi satu-satunya solusi ekonomi untuk membantu perekonomian keluarganya yang “melarat” (AG, 2017: 4). 

Di kota, Pariyem hamil dengan anak majikannya, Den Bagus Ario, seorang mahasiswa filsafat yang tergila-gila kepada kecantikan Pariyem. Keputusan keluarga Cokro Sentono untuk memulangkan Pariyem sampai melahirkan lalu kembali lagi bekerja di Ndalem Suryo Mentaraman membuat Pariyem meninggalkan anaknya untuk tinggal bersama keluarga Pariyem di Wonosari (AG, 2017: 239). Tentu saja keputuskan meninggalkan anak ini bukanlah kemauan Pariyem sebab penggambaran Pariyem sendiri tentang motherhood justru “tak siang tak malam tak pagi tak petang/ selalu ibu yang menggula-wenthah anaknya… digendongnya ke mana pun pergi (AG, 2017: 211-212) yang menunjukkan keinginannya untuk selalu bersama dengan anaknya.

Yang menentukan berpisahnya Pariyem dengan sang anak adalah Ndoro Kanjeng. Saat mengetahui kehamilan Pariyem, ia berkata “Pekerjaanmu tak berubah, sebagai biasa/ hanya selama setahun tinggal di dusun… Kowe bertugas merawat diri dan si thuyul/ sedang semua kebutuhan nanti tersedia.” (AG, 2017: 201-202). Meskipun sebulan sekali Pariyem menengok anaknya, perkataan Pariyem “Demi anak segala rintangan saya tempuh/ mati pisan saya lakoni… saya pun kini mondar-mandir… antara kota Ngayogya dan dusun Wonosari” (AG, 2017: 240) menunjukkan bahwa sebenarnya ia ingin selalu bersama dengan anaknya. Menurut kritik feminis, ruang domestik dalam hal aktivitas reproduksi menjadi akar subordinasi terhadap perempuan. Tetapi peran reproduksi ini dikontestasikan dan dinegosiasikan sebagai respon terhadap apa yang terjadi di luar ruang domestik (Hayami, 1998). Dan dengan pulang-pergi sebulan sekali dari Yogyakarta ke Wonosari itu, Pariyem menegosiasikan peran motherhood-nya.

Berbeda dengan Pariyem, Nyai Ontosoroh sebagai gundik Tuan Mellema bisa tinggal bersama dengan anak-anaknya sejak usia mereka masih dini, mengasuhnya sembari mengurus perusahaan Mellema. Tetapi begitu Herman Mellema meninggal dan Robert Mellema, anak lelaki Nyai Ontosoroh tidak bisa ditemukan, hak kepengasuhan terhadap Annelies Mellema yang menurut hukum kolonial masih di bawah umur pun terlepas dari tangan Nyai Ontosoroh.

Hukum kolonial memang tidak pernah mengakui Robert dan Annelies sebagai anak Nyai Ontosoroh sebagaimana diungkapkannya “hukum tidak mengakui keibuanku, hanya karena aku pribumi dan tidak dikawin secara syah” (Toer, 2005: 112). Meski demikian, kedua anak Nyai Ontosoroh diakui sebagai anak Herman Mellema sehingga ketika sang ayah meninggal, hak kepengasuhan tersebut jatuh ke tangan Maurits Mellema, kakak tiri Annelies.

Berpisahnya Nyai Ontosoroh dengan Annelies juga bukan keinginan Nyai, meskipun pledoinya “Dia anakku… hanya aku yang berhak atas dirinya” (Toer, 2005: 488) itu tidak berarti di mata hukum kolonial. Meskipun menyadari bahwa posisinya lemah di depan hukum kolonial tidak mengurungkan tekad Nyai Ontosoroh untuk mempertahankan anaknya seperti yang ia ungkapkan: “Aku akan berkelahi untuk harga diri anakku. Ibuku dulu tak mampu mempertahankan aku, maka dia tak patut jadi ibuku” (Toer, 2005: 128). Sehingga bersama Minke yang menjadi suami Annelies, Nyai Ontosoroh berjuang melawan peradilan kolonial meskipun kalah. Di sinilah Nyai Ontosoroh menegosiasikan peran motherhood-nya.

Pariyem dan Nyai Ontosoroh sama-sama perempuan yang tidak dinikahi oleh pasangannya namun sama-sama memiliki anak dari hubungan di luar pernikahan tersebut. Dalam konteks masyarakat kolonial, identitas Nyai Ontosoroh sebagai gundik Tuan Mellema sekaligus perempuan pribumi, membuatnya berada dalam posisi yang selalu dikalahkan ketika berhadapan dengan hukum kolonial yang pada akhirnya merenggut dan memisahkan Annelies dari sisinya. Hukum kolonial yang memungkinkan terjadinya perbudakan dalam bentuk ‘nyai’ dan tidak mengakui keibuan seseorang terhadap anak indo-nya ini menjadi sebuah sistem patriarkal yang mensubordinasi Nyai Ontosoroh. 

Dalam konteks masyarakat feodal, identitas Pariyem sebagai seorang babu, golongan rakyat biasa dan bukan bangsawan, menempatkannya pada posisi yang tidak bisa menawar sabda Ndoro Kanjeng. Ada alasan kenapa Pariyem diminta untuk pulang, melahirkan anaknya, lalu kembali bekerja tanpa membawa serta anaknya ke Yogyakarta. Tentu saja sebab Endang, anak Pariyem bersama Den Bagus, adalah anak di luar pernikahan yang keberadaannya bisa mengancam wibawa kekuarga Cokro Sentono.

Menurut Rich (1996:42) pengalaman motherhood dan seksualitas pada perempuan hampir selalu ‘dipaksa menyerah’ pada kepentingan atau keinginan patriarki. Pariyem yang meninggalkan anaknya demi kepentingan Ndoro Kanjeng Cokro Sentono untuk menjaga wibawa keluarganya, Nyai Ontosoroh yang terpaksa berpisah dengan anaknya demi kepentingan Maurits Mellema lewat hukum kolonial. Latar belakang dan konteks masa kejadian dua teks ini berbeda tapi posisi perempuan sebagai ibu hampir sama. Keduanya bukan istri sah, tidak diikat perkawinan sah, dan yang berkuasa membuat keputusan tentang anaknya (peran motherhood) sama-sama keluarga laki-laki. 


Daftar Pustaka:

AG, Linus Suryadi. 2017. Pengakuan Pariyem. Jakarta: KPG.
Barry, Peter. 2002. Beginning Theory. Yogyakarta: Jalasutra.
Hayami, Y. 1998. Motherhood Redefined: Women's Choices on Family Rituals and Reproduction in the Peripheries of Thailand. Sojourn: Journal of Social Issues in Southeast Asia, 242-243. Diakses di https://www.jstor.org/stable/41056989 pada 12 Oktober 2019.
Rich, Adrienne. 1996. Of Woman Born, Motherhood as Experience and Institution. New York: W. W. Norton & Company.
Toer, Pramoedya Ananta. 2005. Bumi Manusia. Jakarta: Lentera Dipantara.

*Tulisan ini merupakan tugas yang diajukan dalam mata kuliah Teori Sastra yang diampu oleh Dr. Tommy Christomy 

Wednesday, November 6, 2019

Asia as Method: Toward Deimperialization, Kuan Hsing Chen*

November 06, 2019 0 Comments

Buku Asia as Method tulisan dari Kuan Hsing Chen ini menawarkan sebuah kerangka kerja analisis berbasis materialisme geokolonial historis untuk mengembangkan pemahaman baru terhadap kajian budaya di negara terjajah khususnya wilayah regional Asia dalam upayanya untuk memahami bentuk, praktek, dan institusi budaya populer dengan lebih baik. Penulis juga mengkritik kajian budaya postkolonialis yang dianggap mandeg sebab adanya kritik berlebihan terhadap Barat serta berusaha menempatkan sejarah kolonialisme dan imperialisme kembali dalam kajian globalisasi. Hal lain yang dibahas adalah mengenai bidang kajian Asia, yang selama ini didominasi oleh kajian-kajian yang dilakukan di luar ruang geografis Asia. 

Di sinilah potensi ‘Asia sebagai Metode’, bahwa kajian kritis terhadap pengalaman-pengalaman di Asia menawarkan sebuah paradigma baru dalam memandang sejarah dunia dan juga dalam mengajukan serangkaian pertanyaan-pertanyaan yang berbeda. Selama ini, para intelektual berpandangan subjektif mengkritik pandangan objektif yang menempatkan Barat sebagai pusat dan selain Barat sebagai pinggiran (periferi) sehingga ‘Asia sebagai Metode’ berupaya untuk mengatasi perdebatan ini dengan berupaya menempatkan Asia sebagai pusat. 

Mundurnya upaya deimperialisasi yang menjadi faktor pendukung terjadinya konflik lokal, regional, dan global di seluruh dunia berhubungan dengan kondisi terkini produksi pengetahuan. Perspektif ‘Asia sebagai Metode’ muncul di persimpangan antara kritik postkolonialisme, kajian globalisasi, dan Kajian Asia di Asia sebagai metode yang menciptakan kemungkinan-kemungkinan baru dalam kerja intelektual dan menjawab masalah produksi pengetahuan tersebut. Ia berupaya mentransformasikan struktur pengetahuan yang sudah ada sekaligus mentransformasikan diri kita. Implikasinya adalah menggunakan Asia sebagai ‘imaginary anchoring point’ yang memungkinkan masyarakat di Asia menjadi titik rujukan masing-masing sehingga pemahaman pada diri bisa ditransformasi dan subjektifitas bisa dibangun ulang. Pengalaman-pengalaman dan praktek historis di Asia bisa dikembangkan sebagai cakrawala, pandangan, atau metode alternatif untuk memunculkan serangkaian pertanyaan-pertanyaan yang berbeda tentang sejarah dunia. Dengan menggunakan perspektif ‘Asia sebagai Metode’, masyarakat di Asia bisa saling terinspirasi bagaimana masyarakat di negara-negara Asia yang lain menyelesaikan masalah-masalah serupa. 

Sebagai persoalan teoritis, ‘Asia sebagai Metode’ merupakan hasil dari praktek-praktek yang berkembang dari Inter-Asia Cultural Studies, sebuah jurnal pergerakan yang berjalan sejak 1990an dan dianggap sebagai gerakan ‘self-reflexive’. Metode ini juga mengkritisi diskusi paradigma dikotomi: Timur versus Barat, Cina versus Barat, Korea Selatan versus Barat, Jepang versus Barat, India versus Barat yang menunjukkan bahwa selama ini subjek wacana nasionalis selalu Barat dengan menawarkan empat strategi sebagai berikut: 

Pertama, melakukan disrupsi ‘the Other’ melalui dekonstruksi, bahwa Barat tidak bisa menjadi ‘our Other’. Kedua, membatasi bahwa pengalaman Barat hanya di satu bagian dunia saja, sehingga meskipun berpengaruh dan menjadi bagian sumber kultural di Asia namun sebagai bagian lain dari dunia serta sebuah produk sejarah, ia tidak bisa mengklaim universalitas. Strategi ketiga dari Ashis Nandy yang mengungkapkan bahwa hal-hal yang kelihatannya berasal dari Barat sebenarnya sudah ada menjadi bagian dari kebudayaan masyarakat non-Barat, dalam hal ini India. Strategi keempat yaitu nativisme dunia ketiga melalui internasionalisasi lokalitas. Persoalan sosial budaya di Asia diungkapkan melalui fenomena lokal dan dikenalkan ke dunia internasional. 

Strategi tersebut sejalan dengan pandangan Partha Chatterje yang mengungkapkan bahwa fenomena yang terjadi di India memiliki kesamaan dengan apa yang terjadi di Taiwan. Tentu saja fenomena itu terjadi di tempat lain secara global, tetapi dengan memahami struktur lokasi, proses modernisasi, serta pengalaman-pengalaman historis yang serupa di Asia Dunia Ketiga memungkinkan fenomena-fenomena ini bisa ‘terlihat’. Sehingga kajian komparatif perlu dilakukan. Hal ini pernah dilakukan sebelumnya, tetapi dengan membandingkan teori Eropa-Amerika dengan pengalaman lokal kita yang tidak begitu membantu upaya kita dalam memahami kondisi dan praktek di masyarakat Asia. Perbandingan sesama negara Asia justru lebih membantu dibandingkan dengan perbandingan antara Barat dan fenomena lokal kita. Chatterje juga mengungkapkan bahwa masyarakat politis adalah kekuatan perubahan sosial di ruang postkolonial. 

Penulis juga meminjam pandangan-pandangan Mizoguchi tentang ‘Cina sebagai Metode’ untuk melihat fenomena-fenomena di Jepang melalui Cina. Namun ada perbedaan ‘Cina sebagai Metode’ dengan ‘Asia sebagai Metode’ yang terletak pada pilihan-pilihan penekanannya. Pertama, objek dialog ‘Asia sebagai Metode’ adalah lokal (Seoul, Tokyo, Shanghai, atau Taipei misalnya) tetapi juga lintas-batas, regional, dan bahkan interkontinental. Kedua, pandangan ini mengakui elemen-elemen Barat sudah ada secara internal di Asia. Ketiga, pandangan ini membuat perubahan pada Asia, dari Asia Timur ke bagian lain Asia, dengan harapan pandangan dunia kita akan meliputi cakrawala yang beragam ini. Keempat, pandangan ini secara sadar menekankan pada praktek-praktek yang dalam upaya menyibak modernitas, pikiran intelektual hanya satu saja dari praktek historis lainnya. Terakhir, inti agenda teoritis dan politis ‘Asia sebagai Metode’ adalah untuk mentransformasi subjektifitas kita.

*Tulisan ini adalah laporan bacaan buku 'Asia as Method: Toward Deimperialization' karya Kuan Hsing Chen sebagai tugas mata kuliah Pemetaan Cultural Studies yang diampu Prof. Melani Budianta dan mendapatkan predikat laporan bacaan terbaik dengan nilai tertinggi di kelas.

Wednesday, September 25, 2019

Menafsir 'Ayam'; Melacak Genealogi, Membaca Ulang Ingatan*

September 25, 2019 0 Comments

Dalam salah satu perkuliahan Pemetaan Cultural Studies, dosen kami meminta mahasiswa untuk menggambar ayam. Setelah gambar-gambar itu dikumpulkan dan diperlihatkan kembali, tampaklah kecenderungan yang nyaris sama di semua gambar: ayam itu menghadap ke kiri. Kenyataan tersebut membuat para mahasiswa tersentak dan mulai bertanya-tanya. Pada awalnya kita tidak menyadari sejak kapan konsep gambar ayam menghadap ke kiri itu terbentuk dalam benak kita. Kita tidak ingat siapa yang mengajarkan kita cara menggambar dan mengapa kita menggambar seperti itu. Begitu terbiasanya kita dengan hal ini sehingga luput mengajukan pertanyaan-pertanyaan dari mana gambar ayam menghadap kiri itu berasal. 

Sebagai sebuah produk budaya, gambar menjadi teks visual yang dapat dianalisis dan ditafsirkan. Ia berkomunikasi melalui tanda yang memiliki beragam arti. Menurut teori semiotik Peirce, tanda adalah sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain, dimana proses pemaknaannya mengaitkan antara ‘realitas’ dan ‘apa yang ada dalam kognisi manusia’ (Hoed, 2014: 9). Asumsi dasarnya, gambar ayam yang hampir seluruhnya menghadap ke kiri itu berusaha mengungkapkan hal lain, seperti fenomena kekuasaan apakah yang mendasari ketidaksadaran masyarakat dalam menggambar seperti itu.

Konsep sintagmatik-paradigmatik dalam semiotik berusaha mencari oposisi-oposisi yang tersembunyi dan bagaimana urutan suatu teks menghasilkan makna (Ida, 2014: 30). Dengan konsep ini, dapat dilihat bagaimana masyarakat Indonesia pada umumnya melihat sesuatu dengan paradigma kiri ke kanan, atas ke bawah. Paradigma ini terlihat dari cara membaca dan menulis orang Indonesia. Kebiasaan lainnya seperti berjalan harus di sebelah kiri sebab menyetir dilakukan dari sebelah kanan juga membentuk paradigma yang dominan kiri. Beberapa data tambahan yang diperoleh dari gambar-gambar ayam dari responden lain menunjukkan bahwa kecenderungan gambar menengok ke kanan sangat sedikit, salah satu diantara penggambar ayam menghadap ke kanan itu karena ia kidal. Beberapa responden mengakui bahwa menggambar ayam yang menghadap ke kiri lebih mudah karena menggunakan tangan kanan. Sementara penggambar kidal mengakui bahwa menggambar ayam menghadap ke kanan cenderung lebih mudah karena menggunakan tangan kiri.

Kebiasaan menggunakan tangan kanan ini bahkan dikukuhkan dalam dalil-dalil agama yang menyitir hadits nabi bahwa tangan kanan itu lebih baik disbanding tangan kiri. Juga dalam pendidikan, bahwa menggunakan tangan kanan selalu lebih sopan. Secara kultur agama dan pendidikan, masyarakat Indonesia nyaris sepakat untuk menolak dominansi penggunaan tangan kiri/kidal. Struktur paradigmatik kiri-kanan dalam menulis dan membaca, serta keharusan untuk selalu berjalan di sebelah kiri juga dilanggengkan melalui konsep pendidikan. Di sini terlihat bagaimana aparatus negara ideologis (Althusser, 2008: 18-22) seperti agama dan pendidikan melakukan hegemoni.

Hegemoni pendidikan yang dilakukan selama bertahun-tahun berhasil membentuk memori kolektif masyarakat yang membentuk nyaris seragamnya gambar ayam mereka. Dalam istilah Gramsci, hegemoni budaya ini memungkinkan seseorang untuk berpandangan sesuai yang diinginkan oleh kekuasaan secara suka rela tanpa paksaan (Lears, 1985). Tentu saja kekuasaan ini bisa apa saja, bisa pendidikan, bisa Negara. Pendapat tentang memori kolektif sendiri berakar dari pemikiran Durkheim dan Halbwahs yang kemudian Olick menjelaskan salah satu konsep memori kolektif dimana kita memandang ingatan sebagai residu otentik tentang masa lalu (Olick, 1999). Ini menjelaskan perbedaan yang cukup mencolok antara gambaran ayam yang digambar oleh orang dewasa dan anak-anak. Orang-orang dewasa memiliki ingatan kolektif hasil hegemoni pendidikan selama bertahun-tahun sejak masa lalu yang diwariskan dari orang tua-orang tua dan guru-guru mereka, sementara anak-anak tidak atau belum.

Data tambahan yang diperoleh dari anak-anak yang belum sekolah atau baru memasuki tahap sekolah dasar menampakkan perbedaan hasil cukup signifikan. Beberapa responden anak-anak yang diminta untuk menggambarkan ayam memperlihatkan gambar yang tidak dominan menghadap ke kiri, tetapi ke depan juga ke kanan. Sangat jarang didapati anak menggambar ayam menghadap ke kiri. Berkebalikan dengan hasil gambar yang diterima dari responden orang dewasa.








Ini disebabkan juga barangkali oleh masih singkatnya pendidikan yang diperoleh anak-anak sehingga konsep-konsep paradigmatik kiri-kanan, menulis-membaca dari kiri, berjalan selalu di sebelah kiri, belum betul-betul tertanam dalam ingatan anak-anak.

Ada satu data yang cukup menarik dari responden anak berusia 3.5 tahun (perempuan). Awalnya ia menggambar ayam menghadap ke kiri, ketika ditanya apa dia diajari menggambar seperti itu, ibunya (30 tahun) mengaku bahwa sang ibu memberi contoh terlebih dahulu dengan menggambar ayam menghadap kiri. Ketika anak tersebut diminta kembali untuk menggambar ayam sesuka hatinya, hasilnya ternyata menghadap ke kanan. Bahkan gambar yang sebelah kanan terlihat lebih natural dibanding yang di sebelah kiri.



(Gambar kiri dengan arahan ibunya, gambar kanan sesuai kebebasan anak) 

Dari analisis-analisis di atas, dapat disimpulkan bahwa gambar ayam menghadap ke kiri dominan terjadi pada orang-orang yang sudah dewasa dan mengenyam pendidikan selama bertahun-tahun, sementara untuk anak-anak kecil yang belum sekolah atau baru memasuki tahapan sekolah dasar, gambar ayamnya lebih variatif. Jika ditelusuri kembali, penggambaran yang dominan menghadap ke kiri berawal dari masa sekolah dan berlangsung terus menerus selama bertahun-tahun sebagai imbas dari hegemoni kekuasaan Negara dalam bidang pendidikan, yang tujuan utamanya menciptakan masyarakat yang seragam; seragam dalam menulis dengan tangan kanan, seragam berjalan di sisi sebelah kiri, hingga akhirnya seragam dalam menggambar hewan ayam menghadap ke kiri secara tidak sadar dan tidak lagi mempertanyakan karena itu dianggap sebagai sebuah kelaziman belaka.



Daftar Pustaka

Althusser, Louis. 2008. Tentang Ideologi: Marxisme Strukturalis, Psikoanalisis, Cultural Studies.Yogyakarta: Jalasutra
Hoed, Benny H. 2014. Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya. Depok: Komunitas Bambu.
Ida, Rachmah. 2014. Metode Penelitian Studi Media dan Kajian Budaya. Jakarta: Kencana.
Lears, T. J. Jackson. 1985. The Concept of Cultural Hegemony: Problems and Possibilities. The American Historical Review, Vol. 90, No. 3 (Jun., 1985), pp. 567-593. (diakses di http://www.jstor.org/stable/1860957 pada 23 September 2019)
Olick, Jeffrey K. 1999. The Two Cultures. Sociological Theory, Vol. 17, No. 3 (Nov., 1999), pp. 333-348 (diakses di https://www.jstor.org/stable/370189 pada 23 September 2019)


*Tulisan ini dibuat untuk tugas kelas Pemetaan Cultural Studies yang diampu oleh Dr. Risa Permanadeli. 

Sunday, September 8, 2019

Menjadi Humanis

September 08, 2019 0 Comments

Terus berbicara untuk menyuarakan keberpihakan tidaklah mudah. Kita tidak hanya harus menghadapi orang-orang yang memiliki kuasa dan para penindas, tetapi acap kali kita juga harus berhadapan dengan orang-orang terdekat yang berbeda pandangan dengan kita. Tetapi, sebagai orang yang memiliki kemewahan mengecap ilmu pengetahuan, harus kemana kita berpihak jika tidak kepada mereka yang lemah dan ditindas? 

Mungkin bukan hanya saya, yang juga sering kehilangan keberanian. Ketakutan akan menyakiti orang-orang terdekat kita, sahabat-sahabat kita, juga kekhawatiran tidak bisa menjadi role-model bagi orang-orang yang mengikuti kita kadang membuat kita berhenti sejenak dan mempertanyakan, sudah benarkan kita melangkah. Jangan-jangan nanti saya dibenci dan dimusuhi kalau melakukan ini, kalau berkata begini. Jangan-jangan keluarga saya nanti ikutan kena gara-gara saya memutuskan melakukan hal yang seperti ini. Dan pertanyaan-pertanyaan lain yang kadang membuatku memilih untuk diam mencari aman. Tapi sekali lagi, bukankah rasa keadilan seharusnya tidak membuat kita peduli dengan rasa-rasa yang egois?

Dan dalam keragu-raguan, aku berterima kasih kepada mereka yang terus berada di jalan kemanusiaan, tak rela tunduk, dan terus berani. Kepada mereka yang tulisannya, musik-musiknya, kata-katanya kembali membangkitkan percikan keberanian dalam hati saya, sungguh saya berterima kasih.

Jalan perjuangan tentu beragam, tetapi kecintaan kepada sesama manusia selalu menjadi titik tolak yang sama. Dengan jalan apapun nanti akhirnya aku memutuskan untuk melangkah, aku berharap keberanian dalam hatiku tidak pernah mati. 




Purwokerto, 9 September 2019

(Tulisan ini saya persembahkan untuk kakakku Bagus Dwi Danto 'Sisir Tanah' dan mas Bayu Agni. Terima kasih banyak.)