Follow Us @soratemplates

Thursday, December 12, 2019

Common Sense

December 12, 2019 0 Comments
Gambar dari WHISC

Beberapa hari yang lalu, seorang kawan menangis padaku karena kekasihnya berselingkuh dengan sahabatnya. Kami berpelukan lama sambil mendengarkan ceritanya. Apa lagi yang bisa kulakukan selain memeluknya dan berharap ia kuat? Aku tahu, hal-hal yang mungkin bagi sebagian orang remeh temeh bisa berarti hidup dan mati bagi sebagian yang lain.

Hanya berjarak sekian hari kemudian, seorang kawan yang lain datang padaku dengan kisah yang sama. Dan lagi-lagi, aku hanya bisa memeluknya sambil mendengarkan segala yang ingin ia tumpahkan. Aku berusaha menghiburnya dengan bercerita hal-hal lucu yang sebenarnya tidak lucu hanya untuk membuat hatiku sedikit lebih baik, karena tak mampu berbuat apapun untuk meringankan bebannya.

Meskipun aku tahu, nasihatku tidak berguna karena kurasa kawan-kawan yang datang padaku lebih butuh didengarkan timbang diberi nasihat, mulutku tetap tak mampu menahan sederet umpatan pada pria-pria yang berselingkuh itu dan meminta kawanku untuk tegas meninggalkan mereka karena apa sih yang bisa diharapkan dari pria tak setia dan mengkhianati komitmen begitu?

Dan seharusnya, apapun keputusan yang diambil kawan-kawanku, harus kuhormati bukan?

Seringkali, aku merasa kesensitifitasanku terhadap sesuatu menjadi sebuah kutukan. Melihat raut muram seorang kawan, atau mendengar helaan nafasnya yang berat, atau memandang tatapan kosongnya membuatku merasa harus berbuat sesuatu untuk berbagi beban berat apapun itu. Tentu aku tidak menyesalinya, hanya saja kadang aku menjadi berpikir apakah yang kulakukan tepat, apakah aku berhak untuk menjadi orang yang mendengarkan rahasia-rahasianya. Aku juga sering bertanya apakah niatku murni tulus ingin membuat perasaannya menjadi lebih baik atau jangan-jangan aku hanya kepo dan ingin terlihat baik?

Tetapi, aku berharap bahwa common sense yang kulakukan ini tidak dibajak setan, tidak dibajak rasa-rasa palsu tanpa ketulusan. Semoga. Dan siapapun yang pernah berkisah tentang hidupnya padaku, kuharap mereka menemukan ketulusanku yang membuatnya menjadi lebih kuat. Ya, hidup ini berat, tetapi semoga kita kuat bukan?


Depok, 12 Desember 2019


Monday, December 9, 2019

Budaya Sebagai Teks*

December 09, 2019 0 Comments
Gambar dari ACCS2019

Beberapa tahun terakhir, pendekatan-pendekatan analisis budaya berangkat dari etnologi atau antropologi budaya. Konsep budaya sebagai teks itu terus berkembang sebab kehidupan sosial dilihat melalui tanda dan simbol, juga representasi dan interpretasi. Dari konsep ini dipahami bahwa budaya sebagai teks mencakup sekumpulan teks dan struktur semiotik simbol yang bisa dibaca dalam bentuk ekspresi dan representasi budaya. Pandangan ini berpengaruh pada kajian social, sastra, dan tekstual. Budaya sebagai teks menjadi jembatan penting antara antropologi budaya dan kajian sastra. Awalnya konsep ini berhubungan erat dengan riset etnografi dan kerangka berpikir semiotik dalam pemaknaan antropologi budaya. Ia berkembang dari sekadar metafora konseptual menjadi analisis di dalam kajian-kajian tentang budaya. Perubahan antropologis ini memunculkan perdebatan mengenai fokus baru dalam kajian tentang budaya dalam berbagai disiplin ilmu, misalnya kajian sastra menjadi kajian budaya (cultural studies), juga berbagai pandangan baru dalam praktek penelitian seperti kajian pertunjukkan, kajian ruang, post-colonial dan lain-lain. 


Konsep ini menjadi dasar perubahan misalnya dalam etnologi yang awalnya terbatas pada ruang tertentu menjadi antropologi budaya yang lebih sistematis, metodologis, dan teoritis. Pun dalam kajian budaya yang awalnya dari kajian wilayah menjadi filologi nasional ke kajian perbandingan sastra interkultural, ke sastra dunia. Metode untuk mengungkap kesalingmempengaruhi antara teks sastra, bentuk ekspresi dan hubungan budaya adalah kontekstualitas. Sehingga bisa diketahui bahwa teks sastra terlibat dalam bentuk representasi budaya yang lebih luas, melampaui batas tekstual. Konsep ini berangkat dari pemahaman bahwa budaya sebagai struktur makna dimana setiap perilaku diterjemahkan ke dalam tanda. Memaknai “budaya sebagai teks” adalah membangun upaya pembacaan terhadap apa yang terjadi, tidak serta merta mengambil “budaya” sebagai metafora dari pembacaan yang terlepas dari praktek budaya yang sebenarnya. 

Teks harusnya dibaca sebagai “pertunjukan budaya” yang tidak semata merepresentasikan realitas tetapi juga membentuk realitas. Kajian sastra juga tidak semata merepresentasikan teks budaya tetapi juga memiliki nilai estetik intrinsik, struktur dan pola representasi yang artistik juga. Pemaparan dan analisis budaya juga perlu terbuka pada perbedaan dan kemajemukan. Persinggungan antar budaya dan pengalaman serta hubungan yang disebabkan oleh migrasi dan diaspora. Sehingga konsep budaya sebagai teks berkembang atau bahkan tergantikan oleh konsep budaya yang dinamis dan non-holistik: ide bahwa budaya sebagai proses penerjemahan dan negosiasi (yang mengakui adanya perbedaan dan relasi kuasa yang tidak setara, sehingga tidak bisa dengan mudah dianggap sebagai konsep yang berubah). Sehingga hubungan antara teks dan makna ditinjau ulang dengan lebih kompleks: dengan terlibat dalam relasi kuasa, dalam proses negosisasi makna dalam persinggungan interkultural, dan dalam proses hibridisasi melalui transnasionalisasi dan globalisasi. Sastra, kajian sastra, dan kajian tentang budaya terus mengalami perubahan ke dalam bidang-bidang riset yang baru setelah adanya kebangkitan transnasional dan globalisasi. Perubahannya tidak hanya menekankan pada pemahaman bahwa budaya dan teks yang meliputi hal-hal metarial, teateritikal, ritual, representasi, dan praktek-praktek sosial. 

Kesimpulan dari pembacaan saya terhadap teks “Culture as Text” tulisan Doris Bachmann-Medick adalah bahwa kebudayaan ada dalam masyarakat sebagai sesuatu yang harus dibaca dan ditafsirkan. Kebudayaan juga merupakan teks lintas disiplin ilmu dan bersifat inklusif. Salah satu tulisan Von Christian Hock tentang topik serupa juga memaparkan tentang budaya sebagai teks dan teks sebagai budaya yang pembedanya terletak pada ruang, dalam kaitannya antara budaya dan ruang, dan dengan relasi antara tulisan dengan ruang, dan antara budaya dan tulisan. Dan dalam tulisan Hock ini lebih detail menjelaskan tentang perbedaan-perbedaan dua konsep tersebut.




*Laporan bacaan atas "Culture as Text" Doris Bachmann-Medick untuk tugas mata kuliah Teori Kebudayaan yang diampu oleh Dr. Suma Riella Rusdiarti 


Sunday, December 1, 2019

Sejarah Center For Contemporary Cultural Studies

December 01, 2019 0 Comments
Beberapa waktu yang lalu, di salah satu kelas Pemetaan Cultural Studies, dosen kami Gietty Tambunan, PhD memberikan tugas pada semua mahasiswa untuk membuat infografis yang bisa menjelaskan sejarah kemunculan Cultural Studies dari Center for Contemporary Cultural Studies. Berikut adalah infografis yang saya buat untuk memenuhi tugas tersebut dan memperoleh nilai 90 dari Bu Gietty. Semoga infografis ini bisa bermanfaat buat teman-teman yang ingin mengetahui sejarah kemunculan Cultural Studies dan beberapa tokoh-tokohnya. 



Tuesday, November 26, 2019

Cultural Identity and Diaspora – Stuart Hall*

November 26, 2019 0 Comments
Gambar dari Centre for Research in Cultural Studies

Hall merumuskan identitas budaya melalui definisi identitas sebagai sebuah ‘produk’ yang tidak pernah selesai, selalu berproses, dan selalu menjadi bagian di dalam representasi. Artikulasi representasi ini tidak bisa dilepaskan dari konteks diposisikan (being positioned) atau memposisikan (positioning). Diaspora sebagai model untuk membicarakan identitas budaya berawal dari festival film Karibia yang membuat Hall mempertanyakan identitas orang kulit hitam dalam film tersebut, siapa subjek yang muncul di layar itu dan dari mana ia berbicara. Diaspora menjadi model untuk membicarakan identitas budaya karena pengalaman diaspora didefinisikan tidak semata melalui esensinya tetapi juga dalam pengakuan heteroginitas dan keanekaragaman (konsep identitas yang hidup dalam dan melalui perbedaan; yaitu melalui hibriditas). Identitas diaspora ini sendiri terus bereproduksi melalui transformasi dan perbedaan. 


Hall mengungkapkan bahwa ada setidaknya dua cara berbeda dalam merumuskan identitas budaya. Yang pertama, identitas budaya diterjemahkan ke dalam satu identitas yang dimiliki secara kolektif dan biasanya dimiliki oleh sekelompok orang dari latar belakang sejarah dan nenek moyang yang sama karena adanya kepentingan untuk menyatukan masyarakat dalam satu kesatuan atau ‘oneness’. Hall mencontohkan orang-orang kulit hitam Karibia dan bagaimana diaspora kulit hitam ditemukan, dieksakavasi, dan diekspresikan melalui representasi sinematik. Konsepsi ini memainkan peran penting di semua perjuangan post-kolonial yang membentuk kembali dunia kita. Contohnya adalah puisi-puisi ‘negritude’ yang merepresentasikan masyarakat-masyarakat Afrika yang marjinal dan foto Francis ‘The Black Triangle’ yang menunjukkan bahwa identitas budaya orang kulit hitam diaspora berakar dari Afrika. 

Cara kedua dalam merumuskan identitas budaya adalah menerjemahkannya sebagai ‘proses menjadi’ sekaligus ‘proses mengada’. Identitas ini adalah bagian dari masa depan sekaligus masa lalu, bukan sesuatu yang sudah ada, tetapi melampaui tempat, waktu, sejarah dan budaya. Karena adanya intervensi sejarah, pertanyaan ‘siapa sesungguhnya kita’ berubah menjadi ‘telah menjadi siapa kita’. Di sini Hall menjelaskan identitas budaya sebagai suatu penempatan (positioning), bukan esensi; bagaimana menempatkan diri dalam narasi masa lalu, dan bagaimana narasi masa lalu memposisikan diri. Hall mencontohkan identitas kulit hitam Karibia yang merupakan hasil dialogis antara kontinuitas masa lalu dan diskontinuitas pengalaman: bagaimana orang kulit hitam Afrika ditarik ke dalam perbudakan, transportasi, penjajahan, migrasi dari Afrika. 

Penjelasan Hall mengenai identitas budaya dan diaspora sangat membantu dalam memahami fenomena sosial yang terjadi di sekitar kita, bahwa identitas budaya datang dari suatu tempat, memiliki sejarah, namun tidak selalu tetap melainkan cair dan terus berkembang. Dalam penelitian saya mengenai kampanye pernikahan muda di sosial media instagram, melihat pandangan Hall, saya menyadari bahwa identitas-identitas dari subjek yang saya teliti tidak tunggal namun sangat cair, dan bagaimana para pengkampanye atau pendukung kampanye tersebut membentuk identitas budaya mereka masing-masing meskipun sama-sama orang Indonesia dan beragama Islam.


*Tulisan ini merangkum bacaan Cultural Identity and Diaspora Stuart Hall yang menjadi salah satu tugas Pemetaan Cultural Studies yang diampu Prof. Melani Budianta.

Friday, November 8, 2019

Menegosiasikan Motherhood: Antara Pariyem dan Nyai Ontosoroh*

November 08, 2019 0 Comments
Ilustrasi diambil dari http://babiekinsmag.com/momkins-art-motherhood-brooke-smart/

Peran motherhood dalam masyarakat Indonesia, Jawa khususnya, menempatkan pengasuhan anak dari kecil sampai menjelang dewasa dengan dibebankan kepada sosok ibu sehingga memungkinkan ketidak-terpisahan antara anak dan ibunya. Meskipun dalam konteks jaman yang terus berubah, banyak pasangan mulai mendialektikakan peran motherhood ini antara perempuan sebagai ibu dan laki-laki sebagai ayah. Cerita tentang motherhood ini juga muncul menjadi isu serta diskursus dalam kisah-kisah fiksi yang bisa diinterpretasi dengan pemaknaan yang beragam.

Dalam esai ini akan dibahas bagaimana motherhood dikonstruksi dalam teks dan dinegosiasikan oleh tokoh Pariyem dalam prosa liris Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi AG dan Nyai Ontosoroh dalam novel Bumi Manusia karya Parmoedya Ananta Toer. Metode kualitatif dengan pendekatan post-strukturalisme digunakan dalam upaya memahami teks dengan membacanya secara tidak tekstual semata, melainkan berupaya menyingkap makna di baliknya (Barry, 2002: 77). Untuk memahami motherhood dalam hubungannya dengan kuasa patriarki, kritik feminisme juga akan sedikit digunakan dalam tulisan ini.

Novel Pengakuan Pariyem, berlatar tahun 1970-an pada masa Sultan Hamengkubuwono IX, mengisahkan seorang permpuan bernama Pariyem yang menuturkan kembali kisah hidupnya dengan sudut pandang aku dan ditujukkan kepada seseorang bernama Mas Paiman. Diceritakan bahwa Pariyem yang berasal dari Wonosari, Gunung Kidul bekerja sebagai babu di keluarga Ndoro Kanjeng Cokro Sentono, ndalem Suryo Mentaraman, Yogyakarta. Di sana, ia hamil setelah melakukan hubungan seksual bersama anak Ndoro Kanjeng, Den Bagus Ario. Menanggapi kehamilan yang menyangkut anak lelakinya itu, Ndoro Kanjeng memutuskan bahwa permasalahan tersebut diselesaikan secara kekeluargaan; Pariyem diantar pulang ke Wonosari sampai melahirkan anaknya lalu diminta kembali lagi ke Yogyakarta untuk bekerja seperti biasa. Sementara anak yang lahir diakui sebagai anak Den Bagus Ario serta bagian keluarga Cokro Sentono meskipun tanpa pernikahan. 

Sementara novel Bumi Manusia berlatar di masa kolonial, sekitar akhir 1800-an dan awal 1900-an di masa diberlakukannya politik etis, mengisahkan seorang anak bupati dan siswa HBS bernama Minke yang menuturkan kisah hidupnya serta pertemuannya dengan keluarga Mellema yang mengubah pandangan hidupnya tentang banyak hal, termasuk tentang ilmu pengetahuan dan Barat. Diceritakan bagaimana kisah keluarga Mellema, terutama sosok Nyai Ontosoroh, gundik Herman Mellema yang dikaguminya, dan bagaimana hubungan asmaranya bersama Annelies Mellema. Setelah meninggalnya Herman Mellema, Nyai Ontosoroh terpaksa berpisah dengan anaknya dan terancam kehilangan aset-aset perusahaan yang dikelolanya karena kalah di pengadilan kolonial meskipun sudah berupaya melawan bersama Minke tak hanya secara hukum di pengadilan tetapi juga melalui tulisan-tulisan Minke di surat kabar.

Dalam cerita Pariyem, peran motherhood yang dilakukan Pariyem berbeda dari apa yang dilakukan oleh ibunya, Parjinah. Kedua orang tua Pariyem yang awalnya seniman, setelah geger G-30-S/PKI kehilangan pekerjaannya karena kegiatan kesenian kethoprak dan ledhek menjadi punah. Mereka kemudian tinggal di Wonosari, Gunung Kidul menjadi petani, “bercocok tanam di ladang” (AG, 2017: 28) dan di sanalah Parjinah mengasuh Pariyem serta kedua adiknya di tengah aktivitas bertani dan berjualan ke pasar. 

Sementara Pariyem, ia melakukan urbanisasi dengan bekerja ke kota, meninggalkan Wonosari karena motif ekonomi. Sebagai petani, orang tuanya tidak memiliki lahan sebab mereka “menggarap bengkok pak Sosial” yang luasnya “hanya tiga petak kecil-kecil” (AG, 2017: 4). Di sana, Pariyem tidak memiliki jatah pekerjaan yang memberdayakan secara ekonomi sebab lahan yang digarap juga tidak terlalu luas dan perannya tidak terlalu dibutuhkan, sehingga bekerja ke kota menjadi satu-satunya solusi ekonomi untuk membantu perekonomian keluarganya yang “melarat” (AG, 2017: 4). 

Di kota, Pariyem hamil dengan anak majikannya, Den Bagus Ario, seorang mahasiswa filsafat yang tergila-gila kepada kecantikan Pariyem. Keputusan keluarga Cokro Sentono untuk memulangkan Pariyem sampai melahirkan lalu kembali lagi bekerja di Ndalem Suryo Mentaraman membuat Pariyem meninggalkan anaknya untuk tinggal bersama keluarga Pariyem di Wonosari (AG, 2017: 239). Tentu saja keputuskan meninggalkan anak ini bukanlah kemauan Pariyem sebab penggambaran Pariyem sendiri tentang motherhood justru “tak siang tak malam tak pagi tak petang/ selalu ibu yang menggula-wenthah anaknya… digendongnya ke mana pun pergi (AG, 2017: 211-212) yang menunjukkan keinginannya untuk selalu bersama dengan anaknya.

Yang menentukan berpisahnya Pariyem dengan sang anak adalah Ndoro Kanjeng. Saat mengetahui kehamilan Pariyem, ia berkata “Pekerjaanmu tak berubah, sebagai biasa/ hanya selama setahun tinggal di dusun… Kowe bertugas merawat diri dan si thuyul/ sedang semua kebutuhan nanti tersedia.” (AG, 2017: 201-202). Meskipun sebulan sekali Pariyem menengok anaknya, perkataan Pariyem “Demi anak segala rintangan saya tempuh/ mati pisan saya lakoni… saya pun kini mondar-mandir… antara kota Ngayogya dan dusun Wonosari” (AG, 2017: 240) menunjukkan bahwa sebenarnya ia ingin selalu bersama dengan anaknya. Menurut kritik feminis, ruang domestik dalam hal aktivitas reproduksi menjadi akar subordinasi terhadap perempuan. Tetapi peran reproduksi ini dikontestasikan dan dinegosiasikan sebagai respon terhadap apa yang terjadi di luar ruang domestik (Hayami, 1998). Dan dengan pulang-pergi sebulan sekali dari Yogyakarta ke Wonosari itu, Pariyem menegosiasikan peran motherhood-nya.

Berbeda dengan Pariyem, Nyai Ontosoroh sebagai gundik Tuan Mellema bisa tinggal bersama dengan anak-anaknya sejak usia mereka masih dini, mengasuhnya sembari mengurus perusahaan Mellema. Tetapi begitu Herman Mellema meninggal dan Robert Mellema, anak lelaki Nyai Ontosoroh tidak bisa ditemukan, hak kepengasuhan terhadap Annelies Mellema yang menurut hukum kolonial masih di bawah umur pun terlepas dari tangan Nyai Ontosoroh.

Hukum kolonial memang tidak pernah mengakui Robert dan Annelies sebagai anak Nyai Ontosoroh sebagaimana diungkapkannya “hukum tidak mengakui keibuanku, hanya karena aku pribumi dan tidak dikawin secara syah” (Toer, 2005: 112). Meski demikian, kedua anak Nyai Ontosoroh diakui sebagai anak Herman Mellema sehingga ketika sang ayah meninggal, hak kepengasuhan tersebut jatuh ke tangan Maurits Mellema, kakak tiri Annelies.

Berpisahnya Nyai Ontosoroh dengan Annelies juga bukan keinginan Nyai, meskipun pledoinya “Dia anakku… hanya aku yang berhak atas dirinya” (Toer, 2005: 488) itu tidak berarti di mata hukum kolonial. Meskipun menyadari bahwa posisinya lemah di depan hukum kolonial tidak mengurungkan tekad Nyai Ontosoroh untuk mempertahankan anaknya seperti yang ia ungkapkan: “Aku akan berkelahi untuk harga diri anakku. Ibuku dulu tak mampu mempertahankan aku, maka dia tak patut jadi ibuku” (Toer, 2005: 128). Sehingga bersama Minke yang menjadi suami Annelies, Nyai Ontosoroh berjuang melawan peradilan kolonial meskipun kalah. Di sinilah Nyai Ontosoroh menegosiasikan peran motherhood-nya.

Pariyem dan Nyai Ontosoroh sama-sama perempuan yang tidak dinikahi oleh pasangannya namun sama-sama memiliki anak dari hubungan di luar pernikahan tersebut. Dalam konteks masyarakat kolonial, identitas Nyai Ontosoroh sebagai gundik Tuan Mellema sekaligus perempuan pribumi, membuatnya berada dalam posisi yang selalu dikalahkan ketika berhadapan dengan hukum kolonial yang pada akhirnya merenggut dan memisahkan Annelies dari sisinya. Hukum kolonial yang memungkinkan terjadinya perbudakan dalam bentuk ‘nyai’ dan tidak mengakui keibuan seseorang terhadap anak indo-nya ini menjadi sebuah sistem patriarkal yang mensubordinasi Nyai Ontosoroh. 

Dalam konteks masyarakat feodal, identitas Pariyem sebagai seorang babu, golongan rakyat biasa dan bukan bangsawan, menempatkannya pada posisi yang tidak bisa menawar sabda Ndoro Kanjeng. Ada alasan kenapa Pariyem diminta untuk pulang, melahirkan anaknya, lalu kembali bekerja tanpa membawa serta anaknya ke Yogyakarta. Tentu saja sebab Endang, anak Pariyem bersama Den Bagus, adalah anak di luar pernikahan yang keberadaannya bisa mengancam wibawa kekuarga Cokro Sentono.

Menurut Rich (1996:42) pengalaman motherhood dan seksualitas pada perempuan hampir selalu ‘dipaksa menyerah’ pada kepentingan atau keinginan patriarki. Pariyem yang meninggalkan anaknya demi kepentingan Ndoro Kanjeng Cokro Sentono untuk menjaga wibawa keluarganya, Nyai Ontosoroh yang terpaksa berpisah dengan anaknya demi kepentingan Maurits Mellema lewat hukum kolonial. Latar belakang dan konteks masa kejadian dua teks ini berbeda tapi posisi perempuan sebagai ibu hampir sama. Keduanya bukan istri sah, tidak diikat perkawinan sah, dan yang berkuasa membuat keputusan tentang anaknya (peran motherhood) sama-sama keluarga laki-laki. 


Daftar Pustaka:

AG, Linus Suryadi. 2017. Pengakuan Pariyem. Jakarta: KPG.
Barry, Peter. 2002. Beginning Theory. Yogyakarta: Jalasutra.
Hayami, Y. 1998. Motherhood Redefined: Women's Choices on Family Rituals and Reproduction in the Peripheries of Thailand. Sojourn: Journal of Social Issues in Southeast Asia, 242-243. Diakses di https://www.jstor.org/stable/41056989 pada 12 Oktober 2019.
Rich, Adrienne. 1996. Of Woman Born, Motherhood as Experience and Institution. New York: W. W. Norton & Company.
Toer, Pramoedya Ananta. 2005. Bumi Manusia. Jakarta: Lentera Dipantara.

*Tulisan ini merupakan tugas yang diajukan dalam mata kuliah Teori Sastra yang diampu oleh Dr. Tommy Christomy