Follow Us @soratemplates

Friday, April 3, 2020

Life In Time of Corona

April 03, 2020 0 Comments
Akhir Februari lalu saya sudah menulis tentang COVID19 dan banyak orang mencela saya, mengatakan bahwa saya panik berlebihan. Beberapa juga denial dengan mengatakan bahwa tidak mungkin corona sampai ke Indonesia karena dan hal ini masih terus terjadi sampai akhir Maret kemarin ketika ribuan pemudik dari Jabodetabek membanjiri daerah-daerah yang masih termasuk zona hijau tanpa melakukan swa-karantina sebelum dan sesudah sampai ke daerah. Sekarang kita lihat, gelombang kepanikan menyapu bahkan kemanusiaan di desa-desa. Pasien COVID19 yang meninggal tidak diterima di pemakaman sekitar. ODP dan PDP distigma habis-habisan. Karena apa? Karena takut. Mereka takut dengan hal-hal yang tidak mereka kenal sebelumnya dan pemerintah terlalu terlambat melakukan edukasi. They should have anticipated it long ago!
Foto dari The Guardian

COVID19 yang awalnya hanya kita dengar terjadi di tempat-tempat jauh, di negara lain, tiba-tiba ada begitu dekat dengan kita. Orang yang kita kenal mulai ada yang terjangkit virusnya bahkan ada yang meninggal. Dan kita tidak pernah tahu apakah kita turut berkontribusi terhadap penyebaran itu atau tidak, sebagai carrier misalnya. Imbauan tinggal di rumah juga tidak dipikirkan bagaimana realisasi dan konsekuensinya. Semuanya gagap menanggapi pandemi ini. Dan seperti yang sudah-sudah, masyarakat hanya bisa saling bergantung satu sama lain. 

Terlepas dari apapun, upaya penggalangan donasi untuk keperluan APD tenaga kesehatan (yang entah kenapa tidak diprioritaskan sama pemerintah, oke, kalaupun bilang diprioritaskan tetapi kenyataannya tidak demikian. Banyak sekali sahabat-sahabat saya yang dokter mengeluhkan betapa langka nya APD, termasuk masker!) dan basic needs para pekerja harian yang lemah secara finansial apalagi kalau harus diam di rumah membuat saya begitu terharu, sekaligus membuat saya sadar bahwa in the end, we only got each other. Untuk pertama kalinya, saya melihat dengan begitu terang benderang sisi terbaik sekaligus tergelap manusia. Panic buying, selfishness, altruism, and even incompetent government.   

Hari ini adalah hari ketigabelas swa-karantina saya sepulang dari Depok (di Depok pun saya melakukan swa-karantina juga sebelum pulang). Dan selama ini saya masih tinggal di kamar sendiri, terpisah dari anggota keluarga yang lain. Keluar sesekali hanya ke kamar mandi ataupun dapur. Rencananya, setelah empat belas hari, saya akan keluar rumah untuk jogging sendirian, mengambil rute yang jauh dari tempat-tempat umum tentunya. Dan di tengah pembelajaran jarak jauh serta tugas-tugas yang terus menggunung, saya berdoa semoga pandemi ini segera berlalu, semoga kita semua kuat, semoga kemanusiaan kita mengalahkan keegoisan kita, dan meskipun begitu kecewa dan susah percaya lagi dengan pemerintah, saya berharap pemerintah bisa menangani pandemi ini dengan baik, jangan blunder lagi, please!

Be safe, be healthy, and just stay at home for the time being, folks!


Purwokerto, 3 April 2020 

Friday, February 28, 2020

Corona dan Curahan Hati Kepanikan Saya

February 28, 2020 0 Comments
Gambar dari Colombo Gazette

Awal-awal pemberitaan tentang merebaknya virus corona di Wuhan dan segala teori konspirasi yang melingkupinya; bahwa virus itu adalah senjata biologis yang memang sengaja dibuat untuk kepentingan mengurangi populasi manusia atau teori-teori lainnya, masih membuat saya tidak peduli sampai beberapa hari terakhir ketika pemberitaan dan isu-isu aneh mulai bermunculan di media sosial. Tentu saja pemberitaan aneh-aneh itu datang dari pemerintah kita yang terhormat; ucapan ngawur orang KPAI yang bilang berenang bisa menyebabkan kehamilan lah, 'fatwa' orang kaya untuk menikahi orang miskin, tanggapan ngawur perihal banjir yang melanda ibu kota dan kota-kota lain, serta munculnya RUU Ketahanan Keluarga yang membuat naik pitam. Dan semua itu membuat saya merenung.

Berita soal virus corona tiba-tiba senyap. Tetapi dari berita-berita yang muncul begitu jarang di lini masa media sosial, kita tahu virus ini belum teratasi. Ratusan atau bahkan ribuan orang sudah menjadi korban. Beberapa negara sudah melakukan precaution dan prevention, bahkan ada yang sudah membatasi arus keluar-masuk warga negara asing ke negaranya. Arab Saudi misalnya, membatasi jemaah umroh dari sekian negara untuk tidak dulu datang ke negaranya. Tetapi lihat apa yang terjadi di Indonesia? Kita dibuai dengan narasi-narasi yang mengatakan bahwa kita tidak mungkin terinfeksi corona karena pola hidup kita yang terbiasa tidak sehat ini membuat kita nyaris imun dari virus apapun. Kemudian muncullah meme dan unggahan lucu-lucu yang mengafirmasi narasi-narasi itu. Tapi apa narasi itu betul-betul melindungi kita dari kemungkinan semakin tersebarnya virus corona? Tidak.

Saya tidak tahu kenapa persoalan corona ini seolah tidak menjadi perhatian bagi pemerintah. Apa hidup kita tidak ada artinya apa-apa bagi mereka? Apa masyarakat yang jutaan ini hanya angka statistik bagi mereka? Alih-alih melakukan tindakan precaution atau prevention, pemerintah malah menggelontorkan dana begitu besar, puluhan milyar, untuk menarik wisatawan masuk ke Indonesia. Apa logika pemerintah hanya soal investasi, ekonomi, untung, dan rugi? 

Kita sudah begitu sering dibuat marah dengan kebijakan-kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat kecil. Kita sudah begitu sering berusaha bersabar dengan komentar-komentar ngawur wakil rakyat yang seperti mengejek kecerdasan kita. Tetapi, urusan nyawa ini, kok bisa-bisanya muncul ucapan: "Banyak-banyak berdoa saja supaya tidak kena corona." No! Bukan tugas anda untuk menyuruh kita berdoa, tugas anda adalah memastikan nyawa semua warga negara selamat dari ancaman tersebarnya virus ini bukan malah mengundang wisatawan luar negeri untuk meningkatkan pendapatan negara, tugas anda adalah membuka dengan sebenar-benarnya informasi perihal penyebaran virus corona di Indonesia sehingga tidak ada kepanikan-kepanikan karena kurangnya informasi, tugas anda adalah memastikan masyarakat bisa mengakses masker dan hand sanitizer sehingga mereka tidak harus memilih beli makan atau beli masker karena harga masker yang tidak masuk akal. 

Anda mungkin bisa bilang kalau saya berlebihan, tetapi dengan segala kengawuran pemerintah dan begitu belum jelasnya tindakan pemerintah berkaitan penyebaran virus corona ini, apa kepanikan seperti ini bisa dipersalahkan? Seolah-olah kita bahkan tidak bisa merasa aman di tempat kita sendiri karena negara seperti tidak bisa memastikan bahwa kita bisa aman dari penyebaran corona ini. Dan, meski sering sekali kami kecewa dengan pemerintah, apa kami sudah tidak lagi bisa berharap bahwa dalam situasi krisis seperti ini, mereka akan berdiri di pihak kita?  


Depok, 28 Februari 2020 

Thursday, December 12, 2019

Common Sense

December 12, 2019 0 Comments
Gambar dari WHISC

Beberapa hari yang lalu, seorang kawan menangis padaku karena kekasihnya berselingkuh dengan sahabatnya. Kami berpelukan lama sambil mendengarkan ceritanya. Apa lagi yang bisa kulakukan selain memeluknya dan berharap ia kuat? Aku tahu, hal-hal yang mungkin bagi sebagian orang remeh temeh bisa berarti hidup dan mati bagi sebagian yang lain.

Hanya berjarak sekian hari kemudian, seorang kawan yang lain datang padaku dengan kisah yang sama. Dan lagi-lagi, aku hanya bisa memeluknya sambil mendengarkan segala yang ingin ia tumpahkan. Aku berusaha menghiburnya dengan bercerita hal-hal lucu yang sebenarnya tidak lucu hanya untuk membuat hatiku sedikit lebih baik, karena tak mampu berbuat apapun untuk meringankan bebannya.

Meskipun aku tahu, nasihatku tidak berguna karena kurasa kawan-kawan yang datang padaku lebih butuh didengarkan timbang diberi nasihat, mulutku tetap tak mampu menahan sederet umpatan pada pria-pria yang berselingkuh itu dan meminta kawanku untuk tegas meninggalkan mereka karena apa sih yang bisa diharapkan dari pria tak setia dan mengkhianati komitmen begitu?

Dan seharusnya, apapun keputusan yang diambil kawan-kawanku, harus kuhormati bukan?

Seringkali, aku merasa kesensitifitasanku terhadap sesuatu menjadi sebuah kutukan. Melihat raut muram seorang kawan, atau mendengar helaan nafasnya yang berat, atau memandang tatapan kosongnya membuatku merasa harus berbuat sesuatu untuk berbagi beban berat apapun itu. Tentu aku tidak menyesalinya, hanya saja kadang aku menjadi berpikir apakah yang kulakukan tepat, apakah aku berhak untuk menjadi orang yang mendengarkan rahasia-rahasianya. Aku juga sering bertanya apakah niatku murni tulus ingin membuat perasaannya menjadi lebih baik atau jangan-jangan aku hanya kepo dan ingin terlihat baik?

Tetapi, aku berharap bahwa common sense yang kulakukan ini tidak dibajak setan, tidak dibajak rasa-rasa palsu tanpa ketulusan. Semoga. Dan siapapun yang pernah berkisah tentang hidupnya padaku, kuharap mereka menemukan ketulusanku yang membuatnya menjadi lebih kuat. Ya, hidup ini berat, tetapi semoga kita kuat bukan?


Depok, 12 Desember 2019


Monday, December 9, 2019

Budaya Sebagai Teks*

December 09, 2019 0 Comments
Gambar dari ACCS2019

Beberapa tahun terakhir, pendekatan-pendekatan analisis budaya berangkat dari etnologi atau antropologi budaya. Konsep budaya sebagai teks itu terus berkembang sebab kehidupan sosial dilihat melalui tanda dan simbol, juga representasi dan interpretasi. Dari konsep ini dipahami bahwa budaya sebagai teks mencakup sekumpulan teks dan struktur semiotik simbol yang bisa dibaca dalam bentuk ekspresi dan representasi budaya. Pandangan ini berpengaruh pada kajian social, sastra, dan tekstual. Budaya sebagai teks menjadi jembatan penting antara antropologi budaya dan kajian sastra. Awalnya konsep ini berhubungan erat dengan riset etnografi dan kerangka berpikir semiotik dalam pemaknaan antropologi budaya. Ia berkembang dari sekadar metafora konseptual menjadi analisis di dalam kajian-kajian tentang budaya. Perubahan antropologis ini memunculkan perdebatan mengenai fokus baru dalam kajian tentang budaya dalam berbagai disiplin ilmu, misalnya kajian sastra menjadi kajian budaya (cultural studies), juga berbagai pandangan baru dalam praktek penelitian seperti kajian pertunjukkan, kajian ruang, post-colonial dan lain-lain. 


Konsep ini menjadi dasar perubahan misalnya dalam etnologi yang awalnya terbatas pada ruang tertentu menjadi antropologi budaya yang lebih sistematis, metodologis, dan teoritis. Pun dalam kajian budaya yang awalnya dari kajian wilayah menjadi filologi nasional ke kajian perbandingan sastra interkultural, ke sastra dunia. Metode untuk mengungkap kesalingmempengaruhi antara teks sastra, bentuk ekspresi dan hubungan budaya adalah kontekstualitas. Sehingga bisa diketahui bahwa teks sastra terlibat dalam bentuk representasi budaya yang lebih luas, melampaui batas tekstual. Konsep ini berangkat dari pemahaman bahwa budaya sebagai struktur makna dimana setiap perilaku diterjemahkan ke dalam tanda. Memaknai “budaya sebagai teks” adalah membangun upaya pembacaan terhadap apa yang terjadi, tidak serta merta mengambil “budaya” sebagai metafora dari pembacaan yang terlepas dari praktek budaya yang sebenarnya. 

Teks harusnya dibaca sebagai “pertunjukan budaya” yang tidak semata merepresentasikan realitas tetapi juga membentuk realitas. Kajian sastra juga tidak semata merepresentasikan teks budaya tetapi juga memiliki nilai estetik intrinsik, struktur dan pola representasi yang artistik juga. Pemaparan dan analisis budaya juga perlu terbuka pada perbedaan dan kemajemukan. Persinggungan antar budaya dan pengalaman serta hubungan yang disebabkan oleh migrasi dan diaspora. Sehingga konsep budaya sebagai teks berkembang atau bahkan tergantikan oleh konsep budaya yang dinamis dan non-holistik: ide bahwa budaya sebagai proses penerjemahan dan negosiasi (yang mengakui adanya perbedaan dan relasi kuasa yang tidak setara, sehingga tidak bisa dengan mudah dianggap sebagai konsep yang berubah). Sehingga hubungan antara teks dan makna ditinjau ulang dengan lebih kompleks: dengan terlibat dalam relasi kuasa, dalam proses negosisasi makna dalam persinggungan interkultural, dan dalam proses hibridisasi melalui transnasionalisasi dan globalisasi. Sastra, kajian sastra, dan kajian tentang budaya terus mengalami perubahan ke dalam bidang-bidang riset yang baru setelah adanya kebangkitan transnasional dan globalisasi. Perubahannya tidak hanya menekankan pada pemahaman bahwa budaya dan teks yang meliputi hal-hal metarial, teateritikal, ritual, representasi, dan praktek-praktek sosial. 

Kesimpulan dari pembacaan saya terhadap teks “Culture as Text” tulisan Doris Bachmann-Medick adalah bahwa kebudayaan ada dalam masyarakat sebagai sesuatu yang harus dibaca dan ditafsirkan. Kebudayaan juga merupakan teks lintas disiplin ilmu dan bersifat inklusif. Salah satu tulisan Von Christian Hock tentang topik serupa juga memaparkan tentang budaya sebagai teks dan teks sebagai budaya yang pembedanya terletak pada ruang, dalam kaitannya antara budaya dan ruang, dan dengan relasi antara tulisan dengan ruang, dan antara budaya dan tulisan. Dan dalam tulisan Hock ini lebih detail menjelaskan tentang perbedaan-perbedaan dua konsep tersebut.




*Laporan bacaan atas "Culture as Text" Doris Bachmann-Medick untuk tugas mata kuliah Teori Kebudayaan yang diampu oleh Dr. Suma Riella Rusdiarti 


Sunday, December 1, 2019

Sejarah Center For Contemporary Cultural Studies

December 01, 2019 0 Comments
Beberapa waktu yang lalu, di salah satu kelas Pemetaan Cultural Studies, dosen kami Gietty Tambunan, PhD memberikan tugas pada semua mahasiswa untuk membuat infografis yang bisa menjelaskan sejarah kemunculan Cultural Studies dari Center for Contemporary Cultural Studies. Berikut adalah infografis yang saya buat untuk memenuhi tugas tersebut dan memperoleh nilai 90 dari Bu Gietty. Semoga infografis ini bisa bermanfaat buat teman-teman yang ingin mengetahui sejarah kemunculan Cultural Studies dan beberapa tokoh-tokohnya.