Follow Us @soratemplates

Thursday, May 7, 2020

Meski Ambyar Hatiku, Selamat Berpulang Didi Kempot!

May 07, 2020 0 Comments
Foto dari NU Online yang saya dapat dari kiriman pesan WA seorang kawan
Kemarin, Didi Kempot berpulang. Selalu ada rasa pedih dan kehilangan ketika mendengar orang yang namanya akrab dengan kehidupan kita sehari-hari tiada. Berita itu juga datang begitu tiba-tiba. Memang maut selalu demikian, tidak pernah memberi aba-aba. Tapi, beberapa hari sebelumnya, kita masih mendengar konser amalnya tembus angka sekian milyar dan didedikasikan untuk mereka yang terdampak COVID19. Wajar belaka jika sekian detik pasca mendengar kabar duka itu kita tertegun tak percaya. 

Tentu warisan Didi Kempot bukan konser amal saja. Salah satu yang lain adalah jasa besarnya mempopulerkan istilah "ambyar" ke dalam kosa-kata keseharian berbahasa Indonesia kita. Bahkan ulasan-ulasan dari mulai yang filosofis sampai biasa-biasa saja muncul merespon kata "ambyar" tersebut.

Saya sendiri bukan fans berat Didi Kempot atau lagu-lagunya. Justru, saya barangkali adalah sedikit orang yang nyaris tidak pernah ikut euforia dengan populernya lagu-lagu "ambyar" tersebut. Tetapi, meskipun bukan termasuk fans beratnya, rasa duka akibat kehilangan yang kurasakan nampaknya bukanlah rasa duka ikut-ikutan semata.

Ketika kuingat-ingat kembali, aku memang tidak pernah secara sengaja memutar lagu-lagu Didi Kempot. Tak ada satupun lagunya masuk ke dalam daftar favorit di playlist spotify milikku. Tapi, bukan berarti lagu-lagu itu tidak akrab di telingaku. Sesekali, tanpa sadar, mulutku ikut mendengungkan nada-nada lagu yang tidak pernah betul-betul kusukai tersebut.


Dek opo salah awakku iki

Kowe nganti tego mblenjani janji


Aku nelongso mergo ke bacut tresno
Ora ngiro saikine cidro
Wes samestine ati iki nelongso

Wong seng tak tresnani mblenjani janji

Lagu-lagunya telah menjadi bagian tidak terpisahkan dalam kehidupan keseharianku karena terlalu seringnya lagu-lagu itu mengalun dan mengakrabi telingaku tanpa pernah kuminta. Bahkan lagu lawasnya, Stasiun Balapan, nyaris kuhafal di luar kepala keseluruhan liriknya. Dalam perjalanan-perjalananku naik kereta melewati Stasiun Purwokerto-Stasiun Gubeng atau Stasiun Gambir-Stasiun Gubeng yang intensitasnya tidak pernah berkurang beberapa tahun terakhir ini, aku suka diam-diam menyanyikannya, khususnya ketika kereta yang kunaiki berhenti sejenak di Stasiun Solo Balapan. Dan kadang-kadang, tanpa kumau, sambil menggumamkan lagunya tanpa sadar, aku seperti ikut menjiwai rasa sedih dan melankolisnya... 

Ning Stasiun Balapan
Rasane Koyo Wong Kelangan
Kowe Ninggal Aku
Ra Kroso Netes Eluh Ning Pipiku
Da... Dada Sayang
Da... Slamat Jalan

Janji Lungo Mung Sedelo
Jare Sewulan Ra Ono
Pamitmu Naliko Semono
Ning Stasiun Balapan Solo

Betul. Didi Kempot dan lagu-lagunya mau tidak mau telah menjadi bagian tidak terpisahkan dari kehidupan sehari-hariku, barangkali kita. Ia menjadi rutinitas, menjadi kebiasaan. Sehingga tanpa sadar, kita semua akrab dengan lirik-liriknya yang membuat hati "ambyar" itu. Selaiknya kebiasaan atau rutinitas, kita nyaris mustahil hidup tanpanya. Iya kan? How do we fix habit? We can't. Even if we can, it will be very hard and painful.

Sebagai seseorang yang tidak pernah secara sukarela mengakrabi lagu-lagunya, dua hari ini, aku memutar semua lagu-lagu Didi Kempot di spotify, setengah berharap bahwa aku mengakrabi lagu-lagu ini sejak dulu, lalu ikut berdiri di tengah-tengah penonton konsernya sambil meneriakkan lirik-lirik lagu patah hati ini sampai serak. Tapi, kesadaran memang kadang suka datang terlambat bukan? Meski ambyar hatiku, dengan duka dan kehilangan, aku ingin berkata: selamat berpulang Didi Kempot...

Purwokerto, 7 Mei 2020 
   


Tuesday, May 5, 2020

Mendengarkan Versi Lain "The Sound Of Silence"

May 05, 2020 0 Comments
Ilustrasi diambil dari https://www.tvtime.com/en/show/311903
Serial The Blacklist barangkali adalah sedikit serial televisi yang betul-betul saya ikuti dan membuat saya begitu tenggelam secara emosional dalam ceritanya. Tayang pertama pada 2013, tahun ini adalah tahun ke-tujuh serial ini membersamai para penonton setianya. Tentu banyak yang sepakat bahwa Season 1 adalah yang terbaik di antara semuanya, tetapi fakta bahwa di Season 7 yang masih berlangsung ini ternyata masih banyak yang menonton dan menanti kejutan-kejutan berikut (seperti, siapa sih sebetulnya Raymond Reddington kalau ternyata dia yang sekarang ini adalah imposter?) membuktikan bahwa masih banyak orang yang enggan melewatkan cerita Red. Lagian, apa sih yang lebih memukau dari seorang penjahat kriminal paling dicari tiba-tiba masuk ke lobby kantor FBI untuk menyerahkan diri? Bagi mereka yang bukan penggemar serial ini pasti akan menjawab: banyak! Tentu saja. 

Lagi pula banyak hal sudah terjadi sejak peristiwa Red menyerahkan diri; plot-twist yang menyebalkan, kemarahan, pengkhianatan, love-hate feeling antara Liz dengan Raymond Reddington yang seperti ayahnya sendiri, kemunculan Katarina Rostova ibu kandung Liz yang awalnya dikira sudah mati, kematian orang-orang di dekat Liz dan Red seperti Mr. Kaplan dan Tom. Iya Tom Keen!

Satu dari banyak hal yang membekas tentang serial ini adalah lagu-lagu penyertanya yang bagus-bagus. Beberapa lagu Elton John, Bob Dylan, Nancy Sinatra, AC/DC, Fink, dan beberapa penyanyi favorit saya menyertai episode-episode The Blacklist dari Season 1. Ada satu lagu yang ketika saya dengarkan lagi di luar film ini membawa campuran emosi marah, sedih, dan putus asa yang menyesakkan. Lagu itu adalah The Sound Of Silence.

The Sound Of Silence yang menjadi lagu pengiring salah satu episode di serial The Blacklist ini (di salah satu Season 5 kalau tidak salah) bukanlah versi asli yang dinyanyikan oleh Simon & Garfunkel; yang tentu saja sendu, melankolis, lembut. Tetapi versi cover yang dinyanyikan oleh salah satu band rock alternative, Disturbed. Lagu ini muncul ketika Liz dan suaminya, Tom Keen terkapar sekarat setelah segala adegan kejar-kejaran-kucing-kucingan yang mendebarkan. Keduanya dilarikan ke rumah sakit di mobil yang sama. Di luar, suara sirine meraung-raung. Sementara Red, dengan ekspresi khawatir di wajahnya, duduk di samping Liz dengan tangan terulur merengkuh perempuan yang begitu disayanginya seperti anaknya sendiri. Tapi kita semua tahu, meski enggan mengakui, bahwa kondisi Tom Keen yang luka parah hampir mati itu salah satunya disebabkan oleh Red juga. Satu kalimat pendek "How long?" dari Red pada Dembe yang menyupir di depan mengimplikasikan ketidaksabaran Red untuk segera tiba di Rumah Sakit. Sementara percakapan pendek dengan nafas terengah-engah antara Liz dan Tom Keen seperti sebuah seremoni ucapan selamat tinggal yang menyesakkan. Lalu, lagu The Sound Of Silence yang dinyanyikan Disturbed menyalak keras, membawa rasa marah dan putus asa yang tidak terbayangkan.   

Sejak saat itu, persepsi saya pada lagu The Sound Of Silence berubah. Setiap lagu itu mengalun, mau tak mau saya akan teringat malam jahanam itu: ketika Liz kehilangan Tom dan seperti ikut merasakan perih yang menusuk ulu hati.

Purwokerto, 6 Mei 2020

Monday, May 4, 2020

Budaya Populer*

May 04, 2020 0 Comments
Ilustrasi diambil dari https://www.beutlerink.com/blog/2015-mashup-illustration/

Adakah teman-teman yang suka mengikuti serial Marvel atau Star Wars, membaca buku-buku Tereliye, menikmati kopi kekinian seperti Kopi Kenangan, Janji Jiwa, Dalgona coffee? Apakah teman-teman juga ada yang aktif di Instagram atau media sosial lain seperti facebook, kemudian suka bertukar meme, suka musik dangdut, pernah tergila-gila dengan Noah atau Dewa 19? Apa film dan music favorit teman-teman? Apa kedai kopi/café yang paling sering teman-teman kunjungi?
Lalu, ketika mendengar kata budaya popular, apa yang ada dalam pikiran teman-teman?
Selama ini nampaknya kita tanpa sadar mengamini bahwa yang disebut budaya adalah seperti budaya daerah: tari-tarian, upacara adat, baju daerah, bahasa daerah atau seni-sastra adiluhung seperti Shakespeare, Monalisa, musik klasik. Kemudian, hal-hal yang saya sebutkan di bagian awal yang kerap dikenal sebagai produk budaya populer apakah bukan kategori budaya?
Padahal kita tahu, ada begitu banyak perubahan yang terjadi karena budaya populer. Misalnya saja industri mainan berubah karena Star Wars atau Toy Story. Cara pandang kita tentang tubuh perempuan ideal berubah karena boneka Barbie. Cara kita mengkonsumsi kopi berubah karena Dalgona Coffee. Cara pandang kita tentang kecantikan berubah karena iklan kosmetik atau menonton beauty vlogger.
Masihkan kita berkata kalau budaya populer tidak penting? Lalu, apa sih budaya itu?
Jika merujuk pada pengertian budaya yang diajukan oleh para pemikir kajian budaya seperti Raymond Williams, maka budaya bisa diartikan sebagai sebuah cara hidup atau praktek hidup sehari-hari. Sehingga perayaan Idul Fitri, liburan sekolah, sinetron, musik dangdut, komik, makan rame-rame menggunakan tangan, jajan kopi kekinian, novel Twillight yang semuanya terlihat sepele, biasa, dan tidak berarti sebetulnya adalah budaya.
Istilah budaya popular sendiri muncul untuk menunjukkan beragam budaya yang bisa jadi diproduksi secara massal sehingga ada dimana-mana, menarik sehingga populer di banyak kalangan, dan disukai oleh banyak orang. Berbeda dengan misalnya Monalisa, atau konser musik klasik yang hanya bisa dinikmati oleh kalangan tertentu, budaya populer justru adalah budaya yang dinikmati oleh banyak orang secara massal.
Budaya populer yang begitu lekat dengan kehidupan kita sehari-hari biasanya diabaikan karena dianggap sepele dan tidak penting. Atau dianggap sebatas rutinitas belaka sehingga tidak berarti apa-apa, tidak disadari, dan tidak dipikirkan lagi. Justru di sinilah pentingnya memahami budaya populer. Fakta bahwa ia dikonsumsi oleh begitu banyak orang, menunjukkan bahwa budaya ini merepresentasikan pengalaman-pengalaman orang-orang kebanyakan sehingga semestinya tidak diabaikan.  
Dari beberapa istilah di atas, kita bisa melihat bahwa kita hidup di tengah-tengah budaya populer dan mustahil melepaskan diri darinya. Kita ada di sana, sebagai konsumen sekaligus produsen. Turut berparisipasi dalam siklus pergerakannya, memilih untuk mendengarkan atau tidak, memilih untuk membeli atau tidak. Sehingga, apa yang selama ini dianggap sebagai budaya populer sebetulnya tak kurang “budaya” dari budaya-budaya adiluhung lainnya. Budaya populer ini justru sama pentingnya dengan budaya adiluhung. Sebab kalau mengatakan bahwa budaya populer ini bukan budaya, berarti kita mengafirmasi perbedaan kelas antara kelas elit dan kelas kebanyakan.  
Sehingga, meskipun budaya populer ini dianggap tidak penting, sebetulnya budaya populer ini penting dan tidak bisa diabaikan. Karena budaya populer membantu kita memahami banyak hal melalui apa yang disukai dan dianggap penting oleh banyak orang. Dalam salah satu tulisannya tentang budaya populer di Indonesia, Ariel Heryanto menunjukkan betapa pentingnya budaya populer dengan menyatakan bahwa ada sebuah lubang atau kekosongan dalam kajian-kajian tentang Indonesia karena kurangnya kajian mengenai budaya populer yang selama ini tidak dianggap, disalahpahami, atau dianggap tidak penting.

Purwokerto, 4 Mei 2020
*Tulisan ini dibawakan dalam diskusi open mic tadarus online bersama DSC (Dunia Santri Community pada 4 Mei 2020)

Friday, April 3, 2020

Life In Time of Corona

April 03, 2020 0 Comments
Akhir Februari lalu saya sudah menulis tentang COVID19 dan banyak orang mencela saya, mengatakan bahwa saya panik berlebihan. Beberapa juga denial dengan mengatakan bahwa tidak mungkin corona sampai ke Indonesia karena dan hal ini masih terus terjadi sampai akhir Maret kemarin ketika ribuan pemudik dari Jabodetabek membanjiri daerah-daerah yang masih termasuk zona hijau tanpa melakukan swa-karantina sebelum dan sesudah sampai ke daerah. Sekarang kita lihat, gelombang kepanikan menyapu bahkan kemanusiaan di desa-desa. Pasien COVID19 yang meninggal tidak diterima di pemakaman sekitar. ODP dan PDP distigma habis-habisan. Karena apa? Karena takut. Mereka takut dengan hal-hal yang tidak mereka kenal sebelumnya dan pemerintah terlalu terlambat melakukan edukasi. They should have anticipated it long ago!
Foto dari The Guardian

COVID19 yang awalnya hanya kita dengar terjadi di tempat-tempat jauh, di negara lain, tiba-tiba ada begitu dekat dengan kita. Orang yang kita kenal mulai ada yang terjangkit virusnya bahkan ada yang meninggal. Dan kita tidak pernah tahu apakah kita turut berkontribusi terhadap penyebaran itu atau tidak, sebagai carrier misalnya. Imbauan tinggal di rumah juga tidak dipikirkan bagaimana realisasi dan konsekuensinya. Semuanya gagap menanggapi pandemi ini. Dan seperti yang sudah-sudah, masyarakat hanya bisa saling bergantung satu sama lain. 

Terlepas dari apapun, upaya penggalangan donasi untuk keperluan APD tenaga kesehatan (yang entah kenapa tidak diprioritaskan sama pemerintah, oke, kalaupun bilang diprioritaskan tetapi kenyataannya tidak demikian. Banyak sekali sahabat-sahabat saya yang dokter mengeluhkan betapa langka nya APD, termasuk masker!) dan basic needs para pekerja harian yang lemah secara finansial apalagi kalau harus diam di rumah membuat saya begitu terharu, sekaligus membuat saya sadar bahwa in the end, we only got each other. Untuk pertama kalinya, saya melihat dengan begitu terang benderang sisi terbaik sekaligus tergelap manusia. Panic buying, selfishness, altruism, and even incompetent government.   

Hari ini adalah hari ketigabelas swa-karantina saya sepulang dari Depok (di Depok pun saya melakukan swa-karantina juga sebelum pulang). Dan selama ini saya masih tinggal di kamar sendiri, terpisah dari anggota keluarga yang lain. Keluar sesekali hanya ke kamar mandi ataupun dapur. Rencananya, setelah empat belas hari, saya akan keluar rumah untuk jogging sendirian, mengambil rute yang jauh dari tempat-tempat umum tentunya. Dan di tengah pembelajaran jarak jauh serta tugas-tugas yang terus menggunung, saya berdoa semoga pandemi ini segera berlalu, semoga kita semua kuat, semoga kemanusiaan kita mengalahkan keegoisan kita, dan meskipun begitu kecewa dan susah percaya lagi dengan pemerintah, saya berharap pemerintah bisa menangani pandemi ini dengan baik, jangan blunder lagi, please!

Be safe, be healthy, and just stay at home for the time being, folks!


Purwokerto, 3 April 2020 

Friday, February 28, 2020

Corona dan Curahan Hati Kepanikan Saya

February 28, 2020 0 Comments
Gambar dari Colombo Gazette

Awal-awal pemberitaan tentang merebaknya virus corona di Wuhan dan segala teori konspirasi yang melingkupinya; bahwa virus itu adalah senjata biologis yang memang sengaja dibuat untuk kepentingan mengurangi populasi manusia atau teori-teori lainnya, masih membuat saya tidak peduli sampai beberapa hari terakhir ketika pemberitaan dan isu-isu aneh mulai bermunculan di media sosial. Tentu saja pemberitaan aneh-aneh itu datang dari pemerintah kita yang terhormat; ucapan ngawur orang KPAI yang bilang berenang bisa menyebabkan kehamilan lah, 'fatwa' orang kaya untuk menikahi orang miskin, tanggapan ngawur perihal banjir yang melanda ibu kota dan kota-kota lain, serta munculnya RUU Ketahanan Keluarga yang membuat naik pitam. Dan semua itu membuat saya merenung.

Berita soal virus corona tiba-tiba senyap. Tetapi dari berita-berita yang muncul begitu jarang di lini masa media sosial, kita tahu virus ini belum teratasi. Ratusan atau bahkan ribuan orang sudah menjadi korban. Beberapa negara sudah melakukan precaution dan prevention, bahkan ada yang sudah membatasi arus keluar-masuk warga negara asing ke negaranya. Arab Saudi misalnya, membatasi jemaah umroh dari sekian negara untuk tidak dulu datang ke negaranya. Tetapi lihat apa yang terjadi di Indonesia? Kita dibuai dengan narasi-narasi yang mengatakan bahwa kita tidak mungkin terinfeksi corona karena pola hidup kita yang terbiasa tidak sehat ini membuat kita nyaris imun dari virus apapun. Kemudian muncullah meme dan unggahan lucu-lucu yang mengafirmasi narasi-narasi itu. Tapi apa narasi itu betul-betul melindungi kita dari kemungkinan semakin tersebarnya virus corona? Tidak.

Saya tidak tahu kenapa persoalan corona ini seolah tidak menjadi perhatian bagi pemerintah. Apa hidup kita tidak ada artinya apa-apa bagi mereka? Apa masyarakat yang jutaan ini hanya angka statistik bagi mereka? Alih-alih melakukan tindakan precaution atau prevention, pemerintah malah menggelontorkan dana begitu besar, puluhan milyar, untuk menarik wisatawan masuk ke Indonesia. Apa logika pemerintah hanya soal investasi, ekonomi, untung, dan rugi? 

Kita sudah begitu sering dibuat marah dengan kebijakan-kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat kecil. Kita sudah begitu sering berusaha bersabar dengan komentar-komentar ngawur wakil rakyat yang seperti mengejek kecerdasan kita. Tetapi, urusan nyawa ini, kok bisa-bisanya muncul ucapan: "Banyak-banyak berdoa saja supaya tidak kena corona." No! Bukan tugas anda untuk menyuruh kita berdoa, tugas anda adalah memastikan nyawa semua warga negara selamat dari ancaman tersebarnya virus ini bukan malah mengundang wisatawan luar negeri untuk meningkatkan pendapatan negara, tugas anda adalah membuka dengan sebenar-benarnya informasi perihal penyebaran virus corona di Indonesia sehingga tidak ada kepanikan-kepanikan karena kurangnya informasi, tugas anda adalah memastikan masyarakat bisa mengakses masker dan hand sanitizer sehingga mereka tidak harus memilih beli makan atau beli masker karena harga masker yang tidak masuk akal. 

Anda mungkin bisa bilang kalau saya berlebihan, tetapi dengan segala kengawuran pemerintah dan begitu belum jelasnya tindakan pemerintah berkaitan penyebaran virus corona ini, apa kepanikan seperti ini bisa dipersalahkan? Seolah-olah kita bahkan tidak bisa merasa aman di tempat kita sendiri karena negara seperti tidak bisa memastikan bahwa kita bisa aman dari penyebaran corona ini. Dan, meski sering sekali kami kecewa dengan pemerintah, apa kami sudah tidak lagi bisa berharap bahwa dalam situasi krisis seperti ini, mereka akan berdiri di pihak kita?  


Depok, 28 Februari 2020