Follow Us @soratemplates

Friday, July 3, 2020

The Road - Cormac McCarthy

July 03, 2020 0 Comments
The Road, Cormac McCarthy. 2006, New York: Knopf.

We wouldnt ever eat anybody, would we?
No. Of course not.
Even if we were starving?
We're starving now. (The Road, 128)

Fiksi bertema akhir dunia atau biasa dikenal dengan fiksi post-apocalyptic memang menarik untuk dibaca. Fiksi jenis ini membangkitkan pertanyaan-pertanyaan tentang apa yang akan terjadi selanjutnya setelah bencana besar menghancurkan dunia yang dikenal sekarang bersama seluruh sistemnya, tanpa pemerintah, hukum, dan peradaban tersisa. Kisah bencananya kadang tidak begitu menarik perhatian sebab justru manusia yang tersisa atau berhasil selamat dari bencana itu dan bagaimana mereka bertahan hidup lebih membuat pembaca penasaran.

Novel bertema post-apocalyptic ini bukanlah fenomena baru. Mary Shelley dengan novelnya The Last Man yang terbit pada 1826 termasuk salah satu novel post-apocalyptic lama yang cukup terkenal. Novel tersebut menceritakan tentang wabah yang membabat habis manusia dan di tengah chaos yang terjadi antara manusia-manusia yang berhasil selamat, muncul seorang tokoh utama dengan kualitas-kualitas pribadi berbeda dengan manusia lain dan menjadi penyelamat di tengah kekalutan-kekalutan chaos tersebut. Banyak novel dengan tema serupa yang terbit kemudian seperti I Am Legend karya Richard Matheson yang berkisah tentang pertarungan manusia dengan vampir setelah wabah besar yang memporak-porandakan sistem kehidupan manusia, kemudian novel-novel zombie atau fiksi sains seperti serial The Hunger Games, Maze Runner, Divergent dan lain sebagainya yang muncul beberapa waktu terakhir juga berkaitan dengan tema akhir dunia.

Berbicara tentang novel post-apocalyptic, kita tidak bisa melewatkan salah satu novel besutan Cormac McCarthy berjudul The Road. Novel ini terbit pada 2006 dan memperoleh penghargaan Pulitzer Prize pada 2007. Novel ini semakin ramai dibicarakan dan dibahas sampai akhirnya McCarthy berkenan tampil pertama kali di TV dalam wawancara bersama Oprah Winfrey dan secara khusus membahas novel The Road serta penghargaan Pulitzer yang diterimanya.

Novel-novel post-apocalyptic biasanya bercerita tentang bagaimana terjadinya bencana, bagaimana tokoh utama yang pada akhirnya menyelamatkan para survivor yang tersisa pasca bencana, atau menceritakan perkelahian antar tokoh atau kelompok demi bertahan hidup. Tetapi novel The Road ini berbeda. Novel ini berbicara tentang perjalanan yang sangat emosional antara ayah dan anak dalam melewati dunia pasca bencana demi mencari kehidupan yang lebih baik. Dunia yang digambarkan dalam novel The Road adalah lanskap dunia yang hancur, abu-abu dan gelap, penuh debu, tanah yang terbakar, pepohonan mati, ketiadaan tanda-tanda kehidupan, mobil-rumah-supermarket yang semua terbengkalai dan ditinggalkan.

Dalam narasinya, McCarthy menyebutkan para survivor dengan jumlah yang tidak banyak berkelana di dunia post-apocalyptic ini dengan mengenakan baju-baju ‘biohazard’ dan memakai masker serta kacamata seperti pilot. Meskipun tidak dijelaskan bencana apa yang menyebabkan hancurnya dunia tersebut, apakah holokaus nuklir atau jatuhnya meteor dari luar angkasa, tetapi narasi-narasi McCarthy di novel menunjukkan kondisi dunia yang semakin memburuk setelah bencana yang entah apa itu. Malam digambarkan lebih kelam dari biasanya, siang semakin kelabu, dan suhu udara semakin dingin sampai terasa beku.

Di halaman-halaman awal novelnya, dalam mimpi si tokoh ayah, McCarthy seperti menunjukkan bahwa kehancuran dunia ini sebenarnya didukung dan dimotori oleh manusia sendiri. Bagaimana peradaban dan etika hancur jauh sebelum struktur fisik dunia ini hancur. Jiwa-jiwa korup, yang berlomba-lomba meraih kuasa dan menempatkan kepentingannya di atas kebutuhan-kebutuhan manusia lain inilah yang mula-mula membawa kehancuran pada kemanusiaan

Detail lanskap dunia yang hancur secara fisik dan kemanusiaan ini digambarkan dengan begitu nyata untuk memberikan konteks pada dua tokoh utama yang menjadi sentral cerita; yaitu seorang ayah dan anaknya yang kurang lebih berusia 10 tahun. Tokoh anak ini lahir tak lama setelah bencana dan dibesarkan sendirian oleh ayahnya sebab sang ibu memilih untuk mati bunuh diri daripada hidup di dunia yang tidak lagi menjanjikan apa-apa. Setelah bencana besar dan kematian bagi sebagian besar orang, ayah dan anak ini melakukan perjalanan ke arah Selatan dengan harapan menemukan kehidupan yang lebih baik, yaitu tempat yang jauh lebih hangat dan tempat yang mungkin menyisakan orang baik sebagai teman bagi mereka. Sepanjang perjalanan itu, mereka harus bertahan dari udara dingin yang mencekam dan berhati-hati dari ancaman bertemu para survivor lain yang menjadi predator. Sebab, dengan hancurnya dunia yang tak lagi memungkinkan berjalannya proses produksi, proses konsumsi bagi sebagian orang yang masih bertahan hidup setelah bencana telah menciptakan banyak kanibal yang memangsa sesamanya untuk bertahan hidup.

Gambaran kanibalisme ini ditampilkan dengan begitu mengerikan dalam novel McCarthy. Tokoh ayah dan anak yang selalu kelaparan, kedinginan, dan letih ini terus berpindah dari satu tempat ke tempat lain untuk menuju Selatan, dan di tengah perjalanannya, mereka tak sengaja menemukan sekumpulan tahanan di ruang bawah tanah sebuah rumah di pinggiran kota yang menjadi sumber makanan bagi orang yang menahan mereka. Kemudian mereka juga menemukan jasad bayi yang siap dimakan oleh orang tuanya yang sudah putus asa dan menyaksikan bagaimana manusia ditangkap oleh sekelompok manusia lain untuk dimakan. Di sini, orang-orang jahat digambarkan sebagai orang yang hanya peduli untuk bertahan hidup dan melakukan apa saja demi itu termasuk memakan manusia lain.

Dan di tengah hancurnya nilai-nilai kemanusiaan ini, tokoh ayah berusaha untuk mewariskan nilai kemanusiaan itu pada sang anak yang tak pernah tahu seperti apa dunia sebelum kehancuran itu terjadi. Ia mengajari anaknya untuk menjadi orang baik, meskipun lapar tetapi tidak memakan manusia lain atau merampas hak milik orang lain. Sehingga ketika mereka menemukan sebuah bunker perlindungan berisi makanan, si anak berdoa sebelum menyantap makanannya seperti ini: "Dear people, thank you for all this food and stuff. We know that you saved it for yourself and if you were here we wouldnt eat it no matter how hungry we were and we're sorry that you didnt get to eat it and we hope that you're safe in heaven with God

Hal lain yang membedakan The Road dengan novel-novel post-apocalyptic lainnya adalah penulisannya yang sengaja menghilangkan tanda baca seperti apostrop dan tanda kutip penanda dialog. Penghilangan tanda baca ini seolah ingin menunjukkan bahwa bersamaan dengan hancurnya dunia, hancur pula sistem penanda kata-kata. Dialog-dialognya pun sangat singkat. Percakapan ayah dan anak sangat sedikit dan kebanyakan diisi oleh pertanyaan “ya atau tidak”. Hal terakhir yang membuat novel ini menarik adalah bahwa tokoh utama si ayah dan anak ini tidak memiliki nama, hanya disebut sebagai ‘father’ dan ‘son’ seolah ingin menjelmakan kedua tokoh ini pada semua orang. Bahwa tokoh ayah dan anak ini bisa siapa saja, bisa saya, bisa juga anda. Dan terlepas dari apapun yang terjadi, sehancur apapun dunia dengan segala ketiadaan sistem masyarakat, sumber makanan, bahkan kebaikan, perjuangan terberat yang harus dilakukan adalah tidak semata bertahan hidup tetapi juga bertahan untuk tetap menjadi manusia yang baik.

The Road muncul sebagai sebuah tawaran tema post-apocalyptic yang berbeda, yang tidak melulu berbicara tentang bencana dan perkelahian, tetapi tentang hubungan emosional keluarga dan upaya menjaga serta mempertahankan humanisme. Dan bagi siapa saja yang tertarik dengan tema-tema akhir dunia, novel ini sangat sayang untuk dilewatkan begitu saja.

Sunday, May 10, 2020

Ziarah

May 10, 2020 0 Comments

Dulu aku sering bertanya-tanya, apakah kenangan bisa dihela dan dilupakan bersama hembusan nafas. Atau meluruh bersama hujan. Atau lenyap begitu seja seiring terbentuknya memori-memori baru. Aku sendiri sudah mencoba melupakan puluhan kali sampai kadang-kadang pikiran isengku muncul untuk membuat sebuah buku berjudul ‘cara-cara melupakan’. Tapi bagaimana bisa, sedang upayaku untuk melupakan saja tak pernah ada satupun yang berhasil. Dan semakin ke sini, aku tahu bahwa semakin berusaha melupakan, justru malah semakin tidak bisa. Sampai akhirnya aku sadar bahwa satu-satunya cara melupakan tanpa berujung kegagalan hanyalah dengan mencopot kepala dari badan.

Di dinding-dinding beton rumah sakit itu, aku masih melihat wajah kakekku. Di pelataran yang jadi tempat parkir mobil dan motor, aku juga melihat kakekku yang bertelanjang kaki, dengan lumpur yang membenamkan seluruh pergelangan kakinya nyaris mencapai lutut. Rumah sakit megah ini, berdiri di persawahan milik kakekku yang terpaksa harus dilepasnya karena tak ada lagi keluarga yang membelanya.

Kau sudah tua, sudah waktunya berhenti bertani. Anak cucumu tak ada yang mau bertani. Begitu kata orang-orang yang akhirnya meninggalkan beberapa ratus ribu rupiah untuk sekian petak sawah yang dirawat kakekku. Beberapa petak tanah yang tak dijualnya, ia hadiahkan semua pada adik-adik tirinya yang jumlahnya lebih dari jari-jari di satu tangan. Setelah kehilangan seluruh tanah persawahan yang pernah begitu dicintainya, usia senjanya ia habiskan mengurus anak-anak orang yang dititipkan mengaji di sebuah langar kecil di samping rumahnya.

Rumah yang dulu ditinggali kakekku adalah sebuah rumah memanjang dengan batu-bata merah dan tegel semen kelabu. Bagian paling depan adalah rumah kayu yang berisi kamar kakekku, rak-rak berisi kitab-kitab tebal berhuruf arab dan pegon, dan sebuah televisi tabung hitam putih. Kadang-kadang aku suka tidur di sana, mendengarkan dongeng-dongeng, cerita nabi, dan cerita wayang yang sebetulnya tak pernah begitu kupahami. Tapi aku senang mendengarnya.

Kala adzan maghrib berkumandang, aku akan beranjak menuju langgar sambal mengekor kakek. Ikut sholat di pangimaman sambal mencuri kesempatan untuk naik ke punggungnya saat ia sujud. Mengaji bersamanya juga menyenangkan. Meski bodoh mengeja alif ba ta, kakek tak pernah memarahiku. Berbeda dengan ibu. Bersama ibu, membaca basmalah saja sudah begitu menakutkan. Makhraj yang salah bisa berujung cubitan dan bentakan yang mengerikan.

Kini, rumah memanjang milik kakekku sudah binasa. Yang ada hanya sebuah rumah kecil berarsitektur modern yang ditinggali mendiang nenekku selepas kakekku tiada. Langgar kayu yang dulu juga kini sudah dipugar lebih modern. Empang di samping langgar yang dulu dihuni ikan-ikan gemuk segala rupa juga sudah tidak ada; hanya terlihat sisa ceruk lebar yang kini mengering. Segala kenangan-kenangan masa kecilku pun seperti ikut luntur Bersama bangunan-bangunan yang kini punah itu.

Kembali ke tanah itu rasanya serupa menziarahi kenangan-kenangan yang menyenangkan sekaligus menyakitkan. Ada begitu banyak kenangan buruk yang membersamai masa-masa indah itu dan begitu ingin kulupakan. Tetapi semua kenangan baik dan buruk itu serupa wajah di kedua sisi mata koin yang sama; keberadaannya bebarengan menjadi satu dan kita tidak bisa memilih salah satunya.

Jadi, satu-satunya cara adalah berdamai. Menyaksikan tanah-tanah hijau yang begitu berarti bagi kakekku dulu itu menjadi bangunan-bangunan berbeton. Mata air-mata air alami tempatku dulu bermain dan mandi kini kering. Pohon-pohon murbei dan cimplukan yang buahnya segar dan sering kumakan saat main masak-masakan juga kini tiada. Tanah itu telah berubah Kek, begitu asing, begitu asing…

Purwokerto, 10 Mei 2020

Thursday, May 7, 2020

Meski Ambyar Hatiku, Selamat Berpulang Didi Kempot!

May 07, 2020 0 Comments
Foto dari NU Online yang saya dapat dari kiriman pesan WA seorang kawan
Kemarin, Didi Kempot berpulang. Selalu ada rasa pedih dan kehilangan ketika mendengar orang yang namanya akrab dengan kehidupan kita sehari-hari tiada. Berita itu juga datang begitu tiba-tiba. Memang maut selalu demikian, tidak pernah memberi aba-aba. Tapi, beberapa hari sebelumnya, kita masih mendengar konser amalnya tembus angka sekian milyar dan didedikasikan untuk mereka yang terdampak COVID19. Wajar belaka jika sekian detik pasca mendengar kabar duka itu kita tertegun tak percaya. 

Tentu warisan Didi Kempot bukan konser amal saja. Salah satu yang lain adalah jasa besarnya mempopulerkan istilah "ambyar" ke dalam kosa-kata keseharian berbahasa Indonesia kita. Bahkan ulasan-ulasan dari mulai yang filosofis sampai biasa-biasa saja muncul merespon kata "ambyar" tersebut.

Saya sendiri bukan fans berat Didi Kempot atau lagu-lagunya. Justru, saya barangkali adalah sedikit orang yang nyaris tidak pernah ikut euforia dengan populernya lagu-lagu "ambyar" tersebut. Tetapi, meskipun bukan termasuk fans beratnya, rasa duka akibat kehilangan yang kurasakan nampaknya bukanlah rasa duka ikut-ikutan semata.

Ketika kuingat-ingat kembali, aku memang tidak pernah secara sengaja memutar lagu-lagu Didi Kempot. Tak ada satupun lagunya masuk ke dalam daftar favorit di playlist spotify milikku. Tapi, bukan berarti lagu-lagu itu tidak akrab di telingaku. Sesekali, tanpa sadar, mulutku ikut mendengungkan nada-nada lagu yang tidak pernah betul-betul kusukai tersebut.


Dek opo salah awakku iki

Kowe nganti tego mblenjani janji


Aku nelongso mergo ke bacut tresno
Ora ngiro saikine cidro
Wes samestine ati iki nelongso

Wong seng tak tresnani mblenjani janji

Lagu-lagunya telah menjadi bagian tidak terpisahkan dalam kehidupan keseharianku karena terlalu seringnya lagu-lagu itu mengalun dan mengakrabi telingaku tanpa pernah kuminta. Bahkan lagu lawasnya, Stasiun Balapan, nyaris kuhafal di luar kepala keseluruhan liriknya. Dalam perjalanan-perjalananku naik kereta melewati Stasiun Purwokerto-Stasiun Gubeng atau Stasiun Gambir-Stasiun Gubeng yang intensitasnya tidak pernah berkurang beberapa tahun terakhir ini, aku suka diam-diam menyanyikannya, khususnya ketika kereta yang kunaiki berhenti sejenak di Stasiun Solo Balapan. Dan kadang-kadang, tanpa kumau, sambil menggumamkan lagunya tanpa sadar, aku seperti ikut menjiwai rasa sedih dan melankolisnya... 

Ning Stasiun Balapan
Rasane Koyo Wong Kelangan
Kowe Ninggal Aku
Ra Kroso Netes Eluh Ning Pipiku
Da... Dada Sayang
Da... Slamat Jalan

Janji Lungo Mung Sedelo
Jare Sewulan Ra Ono
Pamitmu Naliko Semono
Ning Stasiun Balapan Solo

Betul. Didi Kempot dan lagu-lagunya mau tidak mau telah menjadi bagian tidak terpisahkan dari kehidupan sehari-hariku, barangkali kita. Ia menjadi rutinitas, menjadi kebiasaan. Sehingga tanpa sadar, kita semua akrab dengan lirik-liriknya yang membuat hati "ambyar" itu. Selaiknya kebiasaan atau rutinitas, kita nyaris mustahil hidup tanpanya. Iya kan? How do we fix habit? We can't. Even if we can, it will be very hard and painful.

Sebagai seseorang yang tidak pernah secara sukarela mengakrabi lagu-lagunya, dua hari ini, aku memutar semua lagu-lagu Didi Kempot di spotify, setengah berharap bahwa aku mengakrabi lagu-lagu ini sejak dulu, lalu ikut berdiri di tengah-tengah penonton konsernya sambil meneriakkan lirik-lirik lagu patah hati ini sampai serak. Tapi, kesadaran memang kadang suka datang terlambat bukan? Meski ambyar hatiku, dengan duka dan kehilangan, aku ingin berkata: selamat berpulang Didi Kempot...

Purwokerto, 7 Mei 2020 
   


Tuesday, May 5, 2020

Mendengarkan Versi Lain "The Sound Of Silence"

May 05, 2020 0 Comments
Ilustrasi diambil dari https://www.tvtime.com/en/show/311903
Serial The Blacklist barangkali adalah sedikit serial televisi yang betul-betul saya ikuti dan membuat saya begitu tenggelam secara emosional dalam ceritanya. Tayang pertama pada 2013, tahun ini adalah tahun ke-tujuh serial ini membersamai para penonton setianya. Tentu banyak yang sepakat bahwa Season 1 adalah yang terbaik di antara semuanya, tetapi fakta bahwa di Season 7 yang masih berlangsung ini ternyata masih banyak yang menonton dan menanti kejutan-kejutan berikut (seperti, siapa sih sebetulnya Raymond Reddington kalau ternyata dia yang sekarang ini adalah imposter?) membuktikan bahwa masih banyak orang yang enggan melewatkan cerita Red. Lagian, apa sih yang lebih memukau dari seorang penjahat kriminal paling dicari tiba-tiba masuk ke lobby kantor FBI untuk menyerahkan diri? Bagi mereka yang bukan penggemar serial ini pasti akan menjawab: banyak! Tentu saja. 

Lagi pula banyak hal sudah terjadi sejak peristiwa Red menyerahkan diri; plot-twist yang menyebalkan, kemarahan, pengkhianatan, love-hate feeling antara Liz dengan Raymond Reddington yang seperti ayahnya sendiri, kemunculan Katarina Rostova ibu kandung Liz yang awalnya dikira sudah mati, kematian orang-orang di dekat Liz dan Red seperti Mr. Kaplan dan Tom. Iya Tom Keen!

Satu dari banyak hal yang membekas tentang serial ini adalah lagu-lagu penyertanya yang bagus-bagus. Beberapa lagu Elton John, Bob Dylan, Nancy Sinatra, AC/DC, Fink, dan beberapa penyanyi favorit saya menyertai episode-episode The Blacklist dari Season 1. Ada satu lagu yang ketika saya dengarkan lagi di luar film ini membawa campuran emosi marah, sedih, dan putus asa yang menyesakkan. Lagu itu adalah The Sound Of Silence.

The Sound Of Silence yang menjadi lagu pengiring salah satu episode di serial The Blacklist ini (di salah satu Season 5 kalau tidak salah) bukanlah versi asli yang dinyanyikan oleh Simon & Garfunkel; yang tentu saja sendu, melankolis, lembut. Tetapi versi cover yang dinyanyikan oleh salah satu band rock alternative, Disturbed. Lagu ini muncul ketika Liz dan suaminya, Tom Keen terkapar sekarat setelah segala adegan kejar-kejaran-kucing-kucingan yang mendebarkan. Keduanya dilarikan ke rumah sakit di mobil yang sama. Di luar, suara sirine meraung-raung. Sementara Red, dengan ekspresi khawatir di wajahnya, duduk di samping Liz dengan tangan terulur merengkuh perempuan yang begitu disayanginya seperti anaknya sendiri. Tapi kita semua tahu, meski enggan mengakui, bahwa kondisi Tom Keen yang luka parah hampir mati itu salah satunya disebabkan oleh Red juga. Satu kalimat pendek "How long?" dari Red pada Dembe yang menyupir di depan mengimplikasikan ketidaksabaran Red untuk segera tiba di Rumah Sakit. Sementara percakapan pendek dengan nafas terengah-engah antara Liz dan Tom Keen seperti sebuah seremoni ucapan selamat tinggal yang menyesakkan. Lalu, lagu The Sound Of Silence yang dinyanyikan Disturbed menyalak keras, membawa rasa marah dan putus asa yang tidak terbayangkan.   

Sejak saat itu, persepsi saya pada lagu The Sound Of Silence berubah. Setiap lagu itu mengalun, mau tak mau saya akan teringat malam jahanam itu: ketika Liz kehilangan Tom dan seperti ikut merasakan perih yang menusuk ulu hati.

Purwokerto, 6 Mei 2020

Monday, May 4, 2020

Budaya Populer*

May 04, 2020 0 Comments
Ilustrasi diambil dari https://www.beutlerink.com/blog/2015-mashup-illustration/

Adakah teman-teman yang suka mengikuti serial Marvel atau Star Wars, membaca buku-buku Tereliye, menikmati kopi kekinian seperti Kopi Kenangan, Janji Jiwa, Dalgona coffee? Apakah teman-teman juga ada yang aktif di Instagram atau media sosial lain seperti facebook, kemudian suka bertukar meme, suka musik dangdut, pernah tergila-gila dengan Noah atau Dewa 19? Apa film dan music favorit teman-teman? Apa kedai kopi/café yang paling sering teman-teman kunjungi?
Lalu, ketika mendengar kata budaya popular, apa yang ada dalam pikiran teman-teman?
Selama ini nampaknya kita tanpa sadar mengamini bahwa yang disebut budaya adalah seperti budaya daerah: tari-tarian, upacara adat, baju daerah, bahasa daerah atau seni-sastra adiluhung seperti Shakespeare, Monalisa, musik klasik. Kemudian, hal-hal yang saya sebutkan di bagian awal yang kerap dikenal sebagai produk budaya populer apakah bukan kategori budaya?
Padahal kita tahu, ada begitu banyak perubahan yang terjadi karena budaya populer. Misalnya saja industri mainan berubah karena Star Wars atau Toy Story. Cara pandang kita tentang tubuh perempuan ideal berubah karena boneka Barbie. Cara kita mengkonsumsi kopi berubah karena Dalgona Coffee. Cara pandang kita tentang kecantikan berubah karena iklan kosmetik atau menonton beauty vlogger.
Masihkan kita berkata kalau budaya populer tidak penting? Lalu, apa sih budaya itu?
Jika merujuk pada pengertian budaya yang diajukan oleh para pemikir kajian budaya seperti Raymond Williams, maka budaya bisa diartikan sebagai sebuah cara hidup atau praktek hidup sehari-hari. Sehingga perayaan Idul Fitri, liburan sekolah, sinetron, musik dangdut, komik, makan rame-rame menggunakan tangan, jajan kopi kekinian, novel Twillight yang semuanya terlihat sepele, biasa, dan tidak berarti sebetulnya adalah budaya.
Istilah budaya popular sendiri muncul untuk menunjukkan beragam budaya yang bisa jadi diproduksi secara massal sehingga ada dimana-mana, menarik sehingga populer di banyak kalangan, dan disukai oleh banyak orang. Berbeda dengan misalnya Monalisa, atau konser musik klasik yang hanya bisa dinikmati oleh kalangan tertentu, budaya populer justru adalah budaya yang dinikmati oleh banyak orang secara massal.
Budaya populer yang begitu lekat dengan kehidupan kita sehari-hari biasanya diabaikan karena dianggap sepele dan tidak penting. Atau dianggap sebatas rutinitas belaka sehingga tidak berarti apa-apa, tidak disadari, dan tidak dipikirkan lagi. Justru di sinilah pentingnya memahami budaya populer. Fakta bahwa ia dikonsumsi oleh begitu banyak orang, menunjukkan bahwa budaya ini merepresentasikan pengalaman-pengalaman orang-orang kebanyakan sehingga semestinya tidak diabaikan.  
Dari beberapa istilah di atas, kita bisa melihat bahwa kita hidup di tengah-tengah budaya populer dan mustahil melepaskan diri darinya. Kita ada di sana, sebagai konsumen sekaligus produsen. Turut berparisipasi dalam siklus pergerakannya, memilih untuk mendengarkan atau tidak, memilih untuk membeli atau tidak. Sehingga, apa yang selama ini dianggap sebagai budaya populer sebetulnya tak kurang “budaya” dari budaya-budaya adiluhung lainnya. Budaya populer ini justru sama pentingnya dengan budaya adiluhung. Sebab kalau mengatakan bahwa budaya populer ini bukan budaya, berarti kita mengafirmasi perbedaan kelas antara kelas elit dan kelas kebanyakan.  
Sehingga, meskipun budaya populer ini dianggap tidak penting, sebetulnya budaya populer ini penting dan tidak bisa diabaikan. Karena budaya populer membantu kita memahami banyak hal melalui apa yang disukai dan dianggap penting oleh banyak orang. Dalam salah satu tulisannya tentang budaya populer di Indonesia, Ariel Heryanto menunjukkan betapa pentingnya budaya populer dengan menyatakan bahwa ada sebuah lubang atau kekosongan dalam kajian-kajian tentang Indonesia karena kurangnya kajian mengenai budaya populer yang selama ini tidak dianggap, disalahpahami, atau dianggap tidak penting.

Purwokerto, 4 Mei 2020
*Tulisan ini dibawakan dalam diskusi open mic tadarus online bersama DSC (Dunia Santri Community pada 4 Mei 2020)

Friday, April 3, 2020

Life In Time of Corona

April 03, 2020 0 Comments
Akhir Februari lalu saya sudah menulis tentang COVID19 dan banyak orang mencela saya, mengatakan bahwa saya panik berlebihan. Beberapa juga denial dengan mengatakan bahwa tidak mungkin corona sampai ke Indonesia karena dan hal ini masih terus terjadi sampai akhir Maret kemarin ketika ribuan pemudik dari Jabodetabek membanjiri daerah-daerah yang masih termasuk zona hijau tanpa melakukan swa-karantina sebelum dan sesudah sampai ke daerah. Sekarang kita lihat, gelombang kepanikan menyapu bahkan kemanusiaan di desa-desa. Pasien COVID19 yang meninggal tidak diterima di pemakaman sekitar. ODP dan PDP distigma habis-habisan. Karena apa? Karena takut. Mereka takut dengan hal-hal yang tidak mereka kenal sebelumnya dan pemerintah terlalu terlambat melakukan edukasi. They should have anticipated it long ago!
Foto dari The Guardian

COVID19 yang awalnya hanya kita dengar terjadi di tempat-tempat jauh, di negara lain, tiba-tiba ada begitu dekat dengan kita. Orang yang kita kenal mulai ada yang terjangkit virusnya bahkan ada yang meninggal. Dan kita tidak pernah tahu apakah kita turut berkontribusi terhadap penyebaran itu atau tidak, sebagai carrier misalnya. Imbauan tinggal di rumah juga tidak dipikirkan bagaimana realisasi dan konsekuensinya. Semuanya gagap menanggapi pandemi ini. Dan seperti yang sudah-sudah, masyarakat hanya bisa saling bergantung satu sama lain. 

Terlepas dari apapun, upaya penggalangan donasi untuk keperluan APD tenaga kesehatan (yang entah kenapa tidak diprioritaskan sama pemerintah, oke, kalaupun bilang diprioritaskan tetapi kenyataannya tidak demikian. Banyak sekali sahabat-sahabat saya yang dokter mengeluhkan betapa langka nya APD, termasuk masker!) dan basic needs para pekerja harian yang lemah secara finansial apalagi kalau harus diam di rumah membuat saya begitu terharu, sekaligus membuat saya sadar bahwa in the end, we only got each other. Untuk pertama kalinya, saya melihat dengan begitu terang benderang sisi terbaik sekaligus tergelap manusia. Panic buying, selfishness, altruism, and even incompetent government.   

Hari ini adalah hari ketigabelas swa-karantina saya sepulang dari Depok (di Depok pun saya melakukan swa-karantina juga sebelum pulang). Dan selama ini saya masih tinggal di kamar sendiri, terpisah dari anggota keluarga yang lain. Keluar sesekali hanya ke kamar mandi ataupun dapur. Rencananya, setelah empat belas hari, saya akan keluar rumah untuk jogging sendirian, mengambil rute yang jauh dari tempat-tempat umum tentunya. Dan di tengah pembelajaran jarak jauh serta tugas-tugas yang terus menggunung, saya berdoa semoga pandemi ini segera berlalu, semoga kita semua kuat, semoga kemanusiaan kita mengalahkan keegoisan kita, dan meskipun begitu kecewa dan susah percaya lagi dengan pemerintah, saya berharap pemerintah bisa menangani pandemi ini dengan baik, jangan blunder lagi, please!

Be safe, be healthy, and just stay at home for the time being, folks!


Purwokerto, 3 April 2020 

Friday, February 28, 2020

Corona dan Curahan Hati Kepanikan Saya

February 28, 2020 0 Comments
Gambar dari Colombo Gazette

Awal-awal pemberitaan tentang merebaknya virus corona di Wuhan dan segala teori konspirasi yang melingkupinya; bahwa virus itu adalah senjata biologis yang memang sengaja dibuat untuk kepentingan mengurangi populasi manusia atau teori-teori lainnya, masih membuat saya tidak peduli sampai beberapa hari terakhir ketika pemberitaan dan isu-isu aneh mulai bermunculan di media sosial. Tentu saja pemberitaan aneh-aneh itu datang dari pemerintah kita yang terhormat; ucapan ngawur orang KPAI yang bilang berenang bisa menyebabkan kehamilan lah, 'fatwa' orang kaya untuk menikahi orang miskin, tanggapan ngawur perihal banjir yang melanda ibu kota dan kota-kota lain, serta munculnya RUU Ketahanan Keluarga yang membuat naik pitam. Dan semua itu membuat saya merenung.

Berita soal virus corona tiba-tiba senyap. Tetapi dari berita-berita yang muncul begitu jarang di lini masa media sosial, kita tahu virus ini belum teratasi. Ratusan atau bahkan ribuan orang sudah menjadi korban. Beberapa negara sudah melakukan precaution dan prevention, bahkan ada yang sudah membatasi arus keluar-masuk warga negara asing ke negaranya. Arab Saudi misalnya, membatasi jemaah umroh dari sekian negara untuk tidak dulu datang ke negaranya. Tetapi lihat apa yang terjadi di Indonesia? Kita dibuai dengan narasi-narasi yang mengatakan bahwa kita tidak mungkin terinfeksi corona karena pola hidup kita yang terbiasa tidak sehat ini membuat kita nyaris imun dari virus apapun. Kemudian muncullah meme dan unggahan lucu-lucu yang mengafirmasi narasi-narasi itu. Tapi apa narasi itu betul-betul melindungi kita dari kemungkinan semakin tersebarnya virus corona? Tidak.

Saya tidak tahu kenapa persoalan corona ini seolah tidak menjadi perhatian bagi pemerintah. Apa hidup kita tidak ada artinya apa-apa bagi mereka? Apa masyarakat yang jutaan ini hanya angka statistik bagi mereka? Alih-alih melakukan tindakan precaution atau prevention, pemerintah malah menggelontorkan dana begitu besar, puluhan milyar, untuk menarik wisatawan masuk ke Indonesia. Apa logika pemerintah hanya soal investasi, ekonomi, untung, dan rugi? 

Kita sudah begitu sering dibuat marah dengan kebijakan-kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat kecil. Kita sudah begitu sering berusaha bersabar dengan komentar-komentar ngawur wakil rakyat yang seperti mengejek kecerdasan kita. Tetapi, urusan nyawa ini, kok bisa-bisanya muncul ucapan: "Banyak-banyak berdoa saja supaya tidak kena corona." No! Bukan tugas anda untuk menyuruh kita berdoa, tugas anda adalah memastikan nyawa semua warga negara selamat dari ancaman tersebarnya virus ini bukan malah mengundang wisatawan luar negeri untuk meningkatkan pendapatan negara, tugas anda adalah membuka dengan sebenar-benarnya informasi perihal penyebaran virus corona di Indonesia sehingga tidak ada kepanikan-kepanikan karena kurangnya informasi, tugas anda adalah memastikan masyarakat bisa mengakses masker dan hand sanitizer sehingga mereka tidak harus memilih beli makan atau beli masker karena harga masker yang tidak masuk akal. 

Anda mungkin bisa bilang kalau saya berlebihan, tetapi dengan segala kengawuran pemerintah dan begitu belum jelasnya tindakan pemerintah berkaitan penyebaran virus corona ini, apa kepanikan seperti ini bisa dipersalahkan? Seolah-olah kita bahkan tidak bisa merasa aman di tempat kita sendiri karena negara seperti tidak bisa memastikan bahwa kita bisa aman dari penyebaran corona ini. Dan, meski sering sekali kami kecewa dengan pemerintah, apa kami sudah tidak lagi bisa berharap bahwa dalam situasi krisis seperti ini, mereka akan berdiri di pihak kita?  


Depok, 28 Februari 2020