Follow Us @soratemplates

Sunday, May 10, 2020

Ziarah

May 10, 2020 0 Comments

Dulu aku sering bertanya-tanya, apakah kenangan bisa dihela dan dilupakan bersama hembusan nafas. Atau meluruh bersama hujan. Atau lenyap begitu seja seiring terbentuknya memori-memori baru. Aku sendiri sudah mencoba melupakan puluhan kali sampai kadang-kadang pikiran isengku muncul untuk membuat sebuah buku berjudul ‘cara-cara melupakan’. Tapi bagaimana bisa, sedang upayaku untuk melupakan saja tak pernah ada satupun yang berhasil. Dan semakin ke sini, aku tahu bahwa semakin berusaha melupakan, justru malah semakin tidak bisa. Sampai akhirnya aku sadar bahwa satu-satunya cara melupakan tanpa berujung kegagalan hanyalah dengan mencopot kepala dari badan.

Di dinding-dinding beton rumah sakit itu, aku masih melihat wajah kakekku. Di pelataran yang jadi tempat parkir mobil dan motor, aku juga melihat kakekku yang bertelanjang kaki, dengan lumpur yang membenamkan seluruh pergelangan kakinya nyaris mencapai lutut. Rumah sakit megah ini, berdiri di persawahan milik kakekku yang terpaksa harus dilepasnya karena tak ada lagi keluarga yang membelanya.

Kau sudah tua, sudah waktunya berhenti bertani. Anak cucumu tak ada yang mau bertani. Begitu kata orang-orang yang akhirnya meninggalkan beberapa ratus ribu rupiah untuk sekian petak sawah yang dirawat kakekku. Beberapa petak tanah yang tak dijualnya, ia hadiahkan semua pada adik-adik tirinya yang jumlahnya lebih dari jari-jari di satu tangan. Setelah kehilangan seluruh tanah persawahan yang pernah begitu dicintainya, usia senjanya ia habiskan mengurus anak-anak orang yang dititipkan mengaji di sebuah langar kecil di samping rumahnya.

Rumah yang dulu ditinggali kakekku adalah sebuah rumah memanjang dengan batu-bata merah dan tegel semen kelabu. Bagian paling depan adalah rumah kayu yang berisi kamar kakekku, rak-rak berisi kitab-kitab tebal berhuruf arab dan pegon, dan sebuah televisi tabung hitam putih. Kadang-kadang aku suka tidur di sana, mendengarkan dongeng-dongeng, cerita nabi, dan cerita wayang yang sebetulnya tak pernah begitu kupahami. Tapi aku senang mendengarnya.

Kala adzan maghrib berkumandang, aku akan beranjak menuju langgar sambal mengekor kakek. Ikut sholat di pangimaman sambal mencuri kesempatan untuk naik ke punggungnya saat ia sujud. Mengaji bersamanya juga menyenangkan. Meski bodoh mengeja alif ba ta, kakek tak pernah memarahiku. Berbeda dengan ibu. Bersama ibu, membaca basmalah saja sudah begitu menakutkan. Makhraj yang salah bisa berujung cubitan dan bentakan yang mengerikan.

Kini, rumah memanjang milik kakekku sudah binasa. Yang ada hanya sebuah rumah kecil berarsitektur modern yang ditinggali mendiang nenekku selepas kakekku tiada. Langgar kayu yang dulu juga kini sudah dipugar lebih modern. Empang di samping langgar yang dulu dihuni ikan-ikan gemuk segala rupa juga sudah tidak ada; hanya terlihat sisa ceruk lebar yang kini mengering. Segala kenangan-kenangan masa kecilku pun seperti ikut luntur Bersama bangunan-bangunan yang kini punah itu.

Kembali ke tanah itu rasanya serupa menziarahi kenangan-kenangan yang menyenangkan sekaligus menyakitkan. Ada begitu banyak kenangan buruk yang membersamai masa-masa indah itu dan begitu ingin kulupakan. Tetapi semua kenangan baik dan buruk itu serupa wajah di kedua sisi mata koin yang sama; keberadaannya bebarengan menjadi satu dan kita tidak bisa memilih salah satunya.

Jadi, satu-satunya cara adalah berdamai. Menyaksikan tanah-tanah hijau yang begitu berarti bagi kakekku dulu itu menjadi bangunan-bangunan berbeton. Mata air-mata air alami tempatku dulu bermain dan mandi kini kering. Pohon-pohon murbei dan cimplukan yang buahnya segar dan sering kumakan saat main masak-masakan juga kini tiada. Tanah itu telah berubah Kek, begitu asing, begitu asing…

Purwokerto, 10 Mei 2020

Thursday, May 7, 2020

Meski Ambyar Hatiku, Selamat Berpulang Didi Kempot!

May 07, 2020 0 Comments
Foto dari NU Online yang saya dapat dari kiriman pesan WA seorang kawan
Kemarin, Didi Kempot berpulang. Selalu ada rasa pedih dan kehilangan ketika mendengar orang yang namanya akrab dengan kehidupan kita sehari-hari tiada. Berita itu juga datang begitu tiba-tiba. Memang maut selalu demikian, tidak pernah memberi aba-aba. Tapi, beberapa hari sebelumnya, kita masih mendengar konser amalnya tembus angka sekian milyar dan didedikasikan untuk mereka yang terdampak COVID19. Wajar belaka jika sekian detik pasca mendengar kabar duka itu kita tertegun tak percaya. 

Tentu warisan Didi Kempot bukan konser amal saja. Salah satu yang lain adalah jasa besarnya mempopulerkan istilah "ambyar" ke dalam kosa-kata keseharian berbahasa Indonesia kita. Bahkan ulasan-ulasan dari mulai yang filosofis sampai biasa-biasa saja muncul merespon kata "ambyar" tersebut.

Saya sendiri bukan fans berat Didi Kempot atau lagu-lagunya. Justru, saya barangkali adalah sedikit orang yang nyaris tidak pernah ikut euforia dengan populernya lagu-lagu "ambyar" tersebut. Tetapi, meskipun bukan termasuk fans beratnya, rasa duka akibat kehilangan yang kurasakan nampaknya bukanlah rasa duka ikut-ikutan semata.

Ketika kuingat-ingat kembali, aku memang tidak pernah secara sengaja memutar lagu-lagu Didi Kempot. Tak ada satupun lagunya masuk ke dalam daftar favorit di playlist spotify milikku. Tapi, bukan berarti lagu-lagu itu tidak akrab di telingaku. Sesekali, tanpa sadar, mulutku ikut mendengungkan nada-nada lagu yang tidak pernah betul-betul kusukai tersebut.


Dek opo salah awakku iki

Kowe nganti tego mblenjani janji


Aku nelongso mergo ke bacut tresno
Ora ngiro saikine cidro
Wes samestine ati iki nelongso

Wong seng tak tresnani mblenjani janji

Lagu-lagunya telah menjadi bagian tidak terpisahkan dalam kehidupan keseharianku karena terlalu seringnya lagu-lagu itu mengalun dan mengakrabi telingaku tanpa pernah kuminta. Bahkan lagu lawasnya, Stasiun Balapan, nyaris kuhafal di luar kepala keseluruhan liriknya. Dalam perjalanan-perjalananku naik kereta melewati Stasiun Purwokerto-Stasiun Gubeng atau Stasiun Gambir-Stasiun Gubeng yang intensitasnya tidak pernah berkurang beberapa tahun terakhir ini, aku suka diam-diam menyanyikannya, khususnya ketika kereta yang kunaiki berhenti sejenak di Stasiun Solo Balapan. Dan kadang-kadang, tanpa kumau, sambil menggumamkan lagunya tanpa sadar, aku seperti ikut menjiwai rasa sedih dan melankolisnya... 

Ning Stasiun Balapan
Rasane Koyo Wong Kelangan
Kowe Ninggal Aku
Ra Kroso Netes Eluh Ning Pipiku
Da... Dada Sayang
Da... Slamat Jalan

Janji Lungo Mung Sedelo
Jare Sewulan Ra Ono
Pamitmu Naliko Semono
Ning Stasiun Balapan Solo

Betul. Didi Kempot dan lagu-lagunya mau tidak mau telah menjadi bagian tidak terpisahkan dari kehidupan sehari-hariku, barangkali kita. Ia menjadi rutinitas, menjadi kebiasaan. Sehingga tanpa sadar, kita semua akrab dengan lirik-liriknya yang membuat hati "ambyar" itu. Selaiknya kebiasaan atau rutinitas, kita nyaris mustahil hidup tanpanya. Iya kan? How do we fix habit? We can't. Even if we can, it will be very hard and painful.

Sebagai seseorang yang tidak pernah secara sukarela mengakrabi lagu-lagunya, dua hari ini, aku memutar semua lagu-lagu Didi Kempot di spotify, setengah berharap bahwa aku mengakrabi lagu-lagu ini sejak dulu, lalu ikut berdiri di tengah-tengah penonton konsernya sambil meneriakkan lirik-lirik lagu patah hati ini sampai serak. Tapi, kesadaran memang kadang suka datang terlambat bukan? Meski ambyar hatiku, dengan duka dan kehilangan, aku ingin berkata: selamat berpulang Didi Kempot...

Purwokerto, 7 Mei 2020 
   


Tuesday, May 5, 2020

Mendengarkan Versi Lain "The Sound Of Silence"

May 05, 2020 0 Comments
Ilustrasi diambil dari https://www.tvtime.com/en/show/311903
Serial The Blacklist barangkali adalah sedikit serial televisi yang betul-betul saya ikuti dan membuat saya begitu tenggelam secara emosional dalam ceritanya. Tayang pertama pada 2013, tahun ini adalah tahun ke-tujuh serial ini membersamai para penonton setianya. Tentu banyak yang sepakat bahwa Season 1 adalah yang terbaik di antara semuanya, tetapi fakta bahwa di Season 7 yang masih berlangsung ini ternyata masih banyak yang menonton dan menanti kejutan-kejutan berikut (seperti, siapa sih sebetulnya Raymond Reddington kalau ternyata dia yang sekarang ini adalah imposter?) membuktikan bahwa masih banyak orang yang enggan melewatkan cerita Red. Lagian, apa sih yang lebih memukau dari seorang penjahat kriminal paling dicari tiba-tiba masuk ke lobby kantor FBI untuk menyerahkan diri? Bagi mereka yang bukan penggemar serial ini pasti akan menjawab: banyak! Tentu saja. 

Lagi pula banyak hal sudah terjadi sejak peristiwa Red menyerahkan diri; plot-twist yang menyebalkan, kemarahan, pengkhianatan, love-hate feeling antara Liz dengan Raymond Reddington yang seperti ayahnya sendiri, kemunculan Katarina Rostova ibu kandung Liz yang awalnya dikira sudah mati, kematian orang-orang di dekat Liz dan Red seperti Mr. Kaplan dan Tom. Iya Tom Keen!

Satu dari banyak hal yang membekas tentang serial ini adalah lagu-lagu penyertanya yang bagus-bagus. Beberapa lagu Elton John, Bob Dylan, Nancy Sinatra, AC/DC, Fink, dan beberapa penyanyi favorit saya menyertai episode-episode The Blacklist dari Season 1. Ada satu lagu yang ketika saya dengarkan lagi di luar film ini membawa campuran emosi marah, sedih, dan putus asa yang menyesakkan. Lagu itu adalah The Sound Of Silence.

The Sound Of Silence yang menjadi lagu pengiring salah satu episode di serial The Blacklist ini (di salah satu Season 5 kalau tidak salah) bukanlah versi asli yang dinyanyikan oleh Simon & Garfunkel; yang tentu saja sendu, melankolis, lembut. Tetapi versi cover yang dinyanyikan oleh salah satu band rock alternative, Disturbed. Lagu ini muncul ketika Liz dan suaminya, Tom Keen terkapar sekarat setelah segala adegan kejar-kejaran-kucing-kucingan yang mendebarkan. Keduanya dilarikan ke rumah sakit di mobil yang sama. Di luar, suara sirine meraung-raung. Sementara Red, dengan ekspresi khawatir di wajahnya, duduk di samping Liz dengan tangan terulur merengkuh perempuan yang begitu disayanginya seperti anaknya sendiri. Tapi kita semua tahu, meski enggan mengakui, bahwa kondisi Tom Keen yang luka parah hampir mati itu salah satunya disebabkan oleh Red juga. Satu kalimat pendek "How long?" dari Red pada Dembe yang menyupir di depan mengimplikasikan ketidaksabaran Red untuk segera tiba di Rumah Sakit. Sementara percakapan pendek dengan nafas terengah-engah antara Liz dan Tom Keen seperti sebuah seremoni ucapan selamat tinggal yang menyesakkan. Lalu, lagu The Sound Of Silence yang dinyanyikan Disturbed menyalak keras, membawa rasa marah dan putus asa yang tidak terbayangkan.   

Sejak saat itu, persepsi saya pada lagu The Sound Of Silence berubah. Setiap lagu itu mengalun, mau tak mau saya akan teringat malam jahanam itu: ketika Liz kehilangan Tom dan seperti ikut merasakan perih yang menusuk ulu hati.

Purwokerto, 6 Mei 2020

Monday, May 4, 2020

Budaya Populer*

May 04, 2020 0 Comments
Ilustrasi diambil dari https://www.beutlerink.com/blog/2015-mashup-illustration/

Adakah teman-teman yang suka mengikuti serial Marvel atau Star Wars, membaca buku-buku Tereliye, menikmati kopi kekinian seperti Kopi Kenangan, Janji Jiwa, Dalgona coffee? Apakah teman-teman juga ada yang aktif di Instagram atau media sosial lain seperti facebook, kemudian suka bertukar meme, suka musik dangdut, pernah tergila-gila dengan Noah atau Dewa 19? Apa film dan music favorit teman-teman? Apa kedai kopi/café yang paling sering teman-teman kunjungi?
Lalu, ketika mendengar kata budaya popular, apa yang ada dalam pikiran teman-teman?
Selama ini nampaknya kita tanpa sadar mengamini bahwa yang disebut budaya adalah seperti budaya daerah: tari-tarian, upacara adat, baju daerah, bahasa daerah atau seni-sastra adiluhung seperti Shakespeare, Monalisa, musik klasik. Kemudian, hal-hal yang saya sebutkan di bagian awal yang kerap dikenal sebagai produk budaya populer apakah bukan kategori budaya?
Padahal kita tahu, ada begitu banyak perubahan yang terjadi karena budaya populer. Misalnya saja industri mainan berubah karena Star Wars atau Toy Story. Cara pandang kita tentang tubuh perempuan ideal berubah karena boneka Barbie. Cara kita mengkonsumsi kopi berubah karena Dalgona Coffee. Cara pandang kita tentang kecantikan berubah karena iklan kosmetik atau menonton beauty vlogger.
Masihkan kita berkata kalau budaya populer tidak penting? Lalu, apa sih budaya itu?
Jika merujuk pada pengertian budaya yang diajukan oleh para pemikir kajian budaya seperti Raymond Williams, maka budaya bisa diartikan sebagai sebuah cara hidup atau praktek hidup sehari-hari. Sehingga perayaan Idul Fitri, liburan sekolah, sinetron, musik dangdut, komik, makan rame-rame menggunakan tangan, jajan kopi kekinian, novel Twillight yang semuanya terlihat sepele, biasa, dan tidak berarti sebetulnya adalah budaya.
Istilah budaya popular sendiri muncul untuk menunjukkan beragam budaya yang bisa jadi diproduksi secara massal sehingga ada dimana-mana, menarik sehingga populer di banyak kalangan, dan disukai oleh banyak orang. Berbeda dengan misalnya Monalisa, atau konser musik klasik yang hanya bisa dinikmati oleh kalangan tertentu, budaya populer justru adalah budaya yang dinikmati oleh banyak orang secara massal.
Budaya populer yang begitu lekat dengan kehidupan kita sehari-hari biasanya diabaikan karena dianggap sepele dan tidak penting. Atau dianggap sebatas rutinitas belaka sehingga tidak berarti apa-apa, tidak disadari, dan tidak dipikirkan lagi. Justru di sinilah pentingnya memahami budaya populer. Fakta bahwa ia dikonsumsi oleh begitu banyak orang, menunjukkan bahwa budaya ini merepresentasikan pengalaman-pengalaman orang-orang kebanyakan sehingga semestinya tidak diabaikan.  
Dari beberapa istilah di atas, kita bisa melihat bahwa kita hidup di tengah-tengah budaya populer dan mustahil melepaskan diri darinya. Kita ada di sana, sebagai konsumen sekaligus produsen. Turut berparisipasi dalam siklus pergerakannya, memilih untuk mendengarkan atau tidak, memilih untuk membeli atau tidak. Sehingga, apa yang selama ini dianggap sebagai budaya populer sebetulnya tak kurang “budaya” dari budaya-budaya adiluhung lainnya. Budaya populer ini justru sama pentingnya dengan budaya adiluhung. Sebab kalau mengatakan bahwa budaya populer ini bukan budaya, berarti kita mengafirmasi perbedaan kelas antara kelas elit dan kelas kebanyakan.  
Sehingga, meskipun budaya populer ini dianggap tidak penting, sebetulnya budaya populer ini penting dan tidak bisa diabaikan. Karena budaya populer membantu kita memahami banyak hal melalui apa yang disukai dan dianggap penting oleh banyak orang. Dalam salah satu tulisannya tentang budaya populer di Indonesia, Ariel Heryanto menunjukkan betapa pentingnya budaya populer dengan menyatakan bahwa ada sebuah lubang atau kekosongan dalam kajian-kajian tentang Indonesia karena kurangnya kajian mengenai budaya populer yang selama ini tidak dianggap, disalahpahami, atau dianggap tidak penting.

Purwokerto, 4 Mei 2020
*Tulisan ini dibawakan dalam diskusi open mic tadarus online bersama DSC (Dunia Santri Community pada 4 Mei 2020)